Dosen Pengampu:
Nyayu Soraya, M.Hum
Nyayu Soraya, M.Hum
Adela Destri
(1532100073)
Askur Hadi (1532100088)
Ayu Lestari (153200089)
Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Raden Fatah Palembang
Tahun 2016/2017
Daftar Isi
PENDAHULUAN
Para sejarawan mereka berusaha merekam setiap peristiwa penting yang terjadi, dan
mereka senantiasa eksis dengan masalah-masalah relavan untuk dikaji yang mereka
suguhkan. Karena itu mempelajari, menelaah dan merenungkan masalah-masalah yang
mereka kemukakan tetap urgen terutama dalam rangka menanggulangi problem nyata
yang kita hadapi. Ide-ide para sejarawan dan pemikiran muslim, seperti Ibn
al-Thabari, al-Mas’udi, al-Biruni dan Ibn Khaldun, serta para sejarawan
lainnya. Pemikiran mereka dengan konpleksitasnya telah berusia berabad-abad,
namun tetap saja eksis untuk dikaji dan diteliti.
1.
Siapa Saja Tokoh
Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan Pertengahan?
2.
Apa Saja Karya
Tokoh Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan Pertengahan?
1. Hanya
Membahas Tokoh Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan Pertengahan?
2.
Hanya Membahas
Karya Tokoh Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan Pertengahan?
PEMBAHASAN
Nama
lengkapnya Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari.
Lahir di Amul, Thabaristan yang
terletak di pantai selatan laut Thabaristan (Laut Qazwayn) pada tahun 225 H/839
M dan meninggal di Baghdad pada tahun 310 H/923 M. Ia adalah seorang sejarawan
besar, ensiklopedis, ahli tafsir, ahli qira’at, ahli hadits dan ahli fikih. Ia
sudah mulai belajar pada usia yang sangat muda dengan kecerdasan yang sangat
menonjol. Dia sudah hafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Ilmu-ilmu dasar
dipelajarinya di kota kelahirannya. Pertama-tama dia berangkat ke Rayy. Salah
seorang gurunya di sana adalah Muhammad ibn Humayd al-Razi, seorang sejarawan
besar waktu itu. Dari sana ia pindah ke Baghdad dengan maksud belajar kepada
Ahmad ibn Hanbal, seorang ahli hadits dan ahli fikih termasyhur pada saat itu.
Akan tetapi Ahmad ibn Hanbal sudah meniggal sebelum ia sampai ke kota tersebut.
Kemudian ia pindah ke Bashrah dan sebelumnya mampir di Washit untuk mendengar
beberapa kuliah. Kemudian dia pergi ke Kufah di mana ia menimba 100.000 hadits
dari Syaikh Abu Kurayb. Tidak lama setelah itu dia kembali ke Baghdad dan
menetap di sana untuk jangka waktu yang lama. Setelah itu, pada tahun 876 M, ia
pergi ke Fustat, Mesir, tetapi ia singgah di Syiria untuk menuntut ilmu hadits.
Ketika di Fustat (871-872 M) orang-orang memasukkannya dalam barisan ulama
terkenal. Kemudian dia kembali ke Baghdad dan menetap di sana hingga ia
meninggal dunia pada tahun 310 H/923 M. Dalam masa itu dia hanya dua kali
meninggalkan Baghdad, pergi ke kota kelahirannya, yaitu sekitar tahun 902 dan
903 M.[8]
Al-Thabari
tidak mempunyai harta benda melebihi apa yang dibutuhkannya, meskipun
sebenarnya dia mempunyai kesempatan untuk mengecap kehidupan material yang
mewah. Dia memang sering menolak tawaran untuk menduduki jabatan-jabatan yang
diberikan kepadanya. Oleh karena itu pula dia bisa menyalurkan semangat
intelektualnya dengan sangat produktif. Bidang intelektual pertama yang
digarapnya adalah sejarah, fikih, ilmu qira’at al-Qur’an dan tafsir, dan
kemudian mempelajari ilmu sastra, ilmu bahasa, gramatika, etika, ilmu pasti,
dan kedokteran.
Sepuluh
tahun setelah ia pindah dari Mesir ke Baghdad dia mendirikan mazhab sendiri
dalam bidang fikih yang disebut oleh para pengikutnya dengan mazhab Jaririyah.
Sebelumnya ia bermazhab Syafi’i. Perbedaan mazhabnya dengan mazhab Syafi’i
dalam bidang teoritis lebih sedikit daripada
dalam bidang praktis. Oleh karena itu, segera setelah dia wafat, para
pengikutnya lupa akan mazhabnya dan kembali menganut mazhab Syafi’i. Meskipun
dikenal sebagai seorang yang kuat berpegang pada tafsir bi al-ma’tsur (tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an dan hadts), dia juga memperkenankan bagi dirinya
sendiri untuk menggunakan rasio (al-ra’yu) tanpa disandarkan kepada riwayat
untuk mengadakan kritik sejarah. Karya al-Thabari dalam bidang sejarah yang
sangat terkenal, yaitu dalam bidang sejarah umum, berjudul Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Sejarah Bangsa-bangsa dan Raja-raja)
atau Tarikh al-Rusul wa al-Anbiya’ wa
al-Muluk wa al-Khulafa’ (Sejarah Para Rasul, Para Nabi, Para Raja, dan Para
Khalifah).
1.
Al-Thabari
sebagai Sejarawan
Pada
bagian pertama, al-Thabari memulai sejarah para rasul dan raja-raja itu dengan
mengetengahkan sejarah Nabi Adam dan nabi-nabi permulaan dan sistem
pemerintahan mereka. Pada bagian selanjutnya, ia mengetengahkan sejarah
kebudayaan Sasania (Persia). Riwayat-riwayat yang dikumpulkannya yang berhubungan
dengan sejarah Sasania tersebut dikutipnya dari naskah berbahasa Arab dari buku
raja-raja Persia yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa’. Dalam hal itu,
al-Thabari tidak banyak berusaha menganalisis kaitan sejarah antara satu
peristiwa dengan peristiwa lainnya. Dia hanya mengumpulkan peristiwa-peristiwa
itu, meskipun ada yang saling bertentangan, karena demikianlah informasi yang
sampai kepadanya, dan dia pun enggan mempertanggung jawabkan kebenaran
peristiwa-peristiwa itu. Pada bagian ini, dia juga memaparkan sejarah bangsa
Romawi, bangsa Yahudi, dan bangsa Arab sebelum Islam.[9]
Adapun
pada bagian kedua, al-Thabari memaparkan sejarah Nabi Muhammd saw.,
peristiwa-peristiwa penting yang dilaluinya dan perang-perang yang dipimpinnya.
Setelah itu ia memaparkan sejarah Islam pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun
termasuk didalamnya ekpansi-ekspansi yang terjadi pada saat ini. Sejarah
Dinasti Umawiyah merupakan bagian tersendiri, dan karyanya itu diakhiri dengan
sejarah ‘Abbasiyah. Peristiwa yang terakhir yang diangkat oleh al-Thabari
adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 302 H (915 M).
Dalam
mengumpulkan bahan-bahan sejarah ini, dia bersandar kepada riwayat-riwayat yang
sudah dibukukan dan yang belum dibukukan. Berkenaan dengan peristiwa-peristiwa
yang hampir sezaman dengannya, ia melakukan pengumpulan riwayat-riwayat yang
belum dibukukan dengan banyak melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk
menuntut ilmu dan belajar kepada ulama-ulama.
2.
Metode
sejarah al-Thabari
Dilihat dari karya sejarahnya yang terkenal
ini, dapat bdisimpulkan beberapa hal yang berkenaan dengan metode yang
digunakan al-Thabari dalam menulis sejarah, yang membedakannya dengan
sejarawan-sejarawan sebelum dan sesudahnya. Hal-hal yang berkenaan dengan
metode penulisan sejarah al-Thabari ini adalah:[10]
a.
Bersandar
kepada Riwayat
Setiap informasi yang disajikannya
didalam kitab sejarahnya ini disandarkannya kepada para perawi. Dalam hal ini
dia berpendapat bahwa sejarawan tidak otentik apabila hanya bersandar kepada
logika dan kias. Didalam muqaddimah kitabnya itu dia berkata: “hendaknya para
pembaca mengetahui bahwa semua informasi yang disajikan didalam kitab ini
adalah informasi yang aku peroleh/terima/dengar dari perawinya langsung, dan
aku tidak menyandarkannya kepada alasan-alasan logika, kecuali sangat sedikit.”
Karena disandarkan hanya kepada
perawinya, maka didalam kitabnya ini banyak ditemukan informasi yang
berbeda-beda tentang peristiwa yang sama. Dalam hal ini, al-Thabari sendiri
membiarkan para pembaca untuk menyeleksi, menilai, dan memilih
informasi-informasi yang disajikan itu.
b.
Sangat
Memperhatikan Sanad
Setiap informasi yang disajikan di dalam
kitab ini disertai penyebutan perawinya dan sanadnya sehingga sehingga sampai
kepada tangan pertama, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits
dalam meriwayatkan hadits-hadits
Rasulullah saw. Apabila informasi itu dikutip dari buku, maka al-Thabari akan
menyebutkan nama pengarang buku itu, misalnya aw qal Muhammad ibn Ishaq, aw qal al-Waqidi (berkata ibn Kalbi,
atau berkata Muhammad ibn Ishaq, atau berkata al-Waqidi). Jarang sekali
al-Thabari menyebut nama buku yang dikutipnya.
Apabila informasi itu didengarnya langsung
sendirian, maka di dalam karyanya itu dia akan berkata: haddatsani fulan .... (“Si Fulan berkata kepadaku ....”), dan
apabila ada orang yang mendengar informasi itu bersamanya, maka ia akan
berkata: haddatsani fulan .... (“Si
Fulan berkata kepada kami ...”). kadang-kadang dia juga menyandarkan informasi
yang dituangkannya di dalam kitabnya itu kepada surat-menyurat. Misalnya, di
dalam karyanya ini dia berkata: kataba
ilayya al-sadiyy ‘an fulan ila akhirih (al-Sadiyy menulis surat kepadaku,
dari fulan dari fulan dan seterusnya).
Akan tetapi, di akhir bukunya, terlihat
bahwa dia tidak begitu ketat kepada sanad ini, seperti tidak lagi menyebut nama
sumber pengambilan informasi.
Ahmad
Muhammad al-Hufi berpendapat bahwa sebab tidak ketatnya al-Thabari dalam
menyebutkan perawi dan sanad dalam informasi-informasi yang tertuang di dalam
bukunya pada bagian akhir itu adalah karena informasi-informasi yang disajikan
itu dapat menimbulkan kemurkaan penguasa. 0leh karena itu, al-Thabari berupaya
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan terhadap sumber informasi
tersebut.[11]
c.
Sistematika
Penulisan Bersifat Kronologi Berdasarkan Tahun
(hawliyat,
annalistic form)
Pada
bagian bukunya yang menyajikan informasi sejarah sebelum Islam,
peristiwa-peristiwa itu tidak disusun berdasarkan tahun, karena hal itu diluar
kemampuannya. Bagian ini dimulainya dengan penciptaan Nabi Adam, kemudian
Nabi-nabi dan peristiwa-peristiwa pada masing-masingnya.
Pada
bagian yang menyajikan peristiwa-peristiwa sejarah setelah kedatangan Islam,
sistematika penulisannya dilakukan berdasarkan tahun demi tahun, sejak awal
hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah sampai tahun 302 H. Pada setiap disajikannya
peristiwa-peristiwa yang pantas disajikan. apabila peristiwa itu berlarut-larut
sehingga berlangsung bertahun-tahun, maka ada dua kemungkinan. Pertama
peristiwa itu dipotong-potongnya sesuai dengan tahun kejadian itu sehingga
dapat disajikan dalam bentuk hawliyat,
dan kedua, dia memberi isyarat pada setiap tahun bahwa peristiwa tertentu itu
terjadi, dan kemudian menjelaskan peristiwa itu secara rinci pada tempat
tertentu yang menurutnya pantas.
Metode
hawliyat ini sudah digunakan oleh sejarawan muslim sebelumnya seperti
al-Haytsam ibn ‘adi (w. 208 H), Ja’far ibn Muhammad ibn al-Azhar (w.276 H),
‘Ammar ibn Wasimah al-Mishri (w. 289 H), dan al-Waqidi (w. 207 H). Metode ini
kemudian digunakan pula oleh sejarawan muslim sesudahnya, seperti ibn al-Atsir,
Abu al-Fida’. Akan tetapi, al-Yaqubi, al-Dinawari, al-Mas’udi, dan ibn Khaldun
tidak menggunakan metode ini. Mereka yang tersebut terakhir ini menulis suatu
peristiwa secara runtut dan rinci dari awal sampai akhir, meskipun berlangsung
dalam waktu bertahun-tahun.[12]
d.
Informasi
yang umum
Informasi-informasi sejarah yang tidak
ada hubungannya dengan waktu tertentu, ditulis sendiri secara tematik.
Misalnya, setelah membicarakan peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahan
khalifah tertentu, setelah itu dia membicarakan sifat-sifat, akhlak, dan
keistimewaan-keistimewaan khalifah bersangkutan. Contohnya, setelah
membicarakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah
Harun al-Rasyid, al-Thabari menyajikan riwayat hidup khalifah Harun al-Rasyid
itu secara ringkas yang memakan tempat sekitar sepuluh halaman. Dalam hal ini
dia menyajikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan Harun
al-Rasyid, seperti, khalifah Harun al- Rasyid menunaikan shalat setiap hari
sebanyak seratus rakaat, mengeluarkan sedekah dari hartanya sendiri sebanyak
seribu dirham setiap hari, disamping zakat.
e.
Menyajikan
juga teks-teks sastra (syair)
Al-Thabari
dipandang banyak menyajikan teks-teks sastra, seperti syair, khithabah
(pidato), surat-surat, dan perbincangan-perbincangan dalam peristiwa-peristiwa
sejarah. Di antara sejarawan yang melanjutkan kajian sejarah al-Thabari ini adalah:
1.
Kitab
al-Muzayyil atau Shilat al-Tarikh karya Abu Muhammad al-Farghani,
seorang
murid al-Thabari.
2.
Kitab yang
dikarang oleh Abu al-Hasan Muhammad al-Hamadzani
(w. 1128). Kitab ini merekam peristiwa sejarah
sampai tahun 1094 M.
Ibn Atsir seorang sejarawan Arab sesudah
al-Thabari banyak sekali mengutip riwayat-riwayat al-Thabari.
Sejarawan-sejarawan Arab yang lain sesudahnya juga banyak berhutang budi kepada
al-Thabari karena karya sejarahnya tersebut diatas.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali
ibn Husayn ibn Ali (Baghdad- Fustat, Mesir 956 M). ia adalah seorang sejarawan
dan ahli geografis, ahli geologi, dan ahli zoology Muslim, juga mempelajari
ilmu kalam (theology), akhlaq, politik, dan ilmu bahasa. Singkatnya, dia adalah
salah seorang tokoh eksiklopedik dalam sains islam, tetapi sangat dikenal
sebagai seorang ahli geografi dan sejarah. Kemashurannya dalam hal terakhir ini
tampaknya ada hubungannya dengan keadaan dirinya yang juga seorang pengembara
yang menghimpun materi sejarah dari kawasan-kawasan yang luas sekali.
Oleh Ibn Khalikan (608-681/1211-1282),
sejarawan muslim terkenal pada masanya, dia digelari sebagai imam al-mu’arrikbin, pemimpin
para sejarawan. Dia juga digelari sebagai Herodotusnya orang Arab.
Masa
kecilnya tidak banyak diketahui orang. Sebagian besar sejarawan berpendapat
bahwa ia dilahirkan di Baghdad di penghujung abad ke-9 dan meninggal dunia
difustat pada tahun 956M. Namun,
Ibn Nadim dalam kitabnya al–Fibrits (indeks) menyebutkannya sebagai
berasal dari Maghrib.[13] Oleh karena itu
ahnad Ramadhan Ahmad (seorang ahli sejarah), dalam karyanya al–Rihlah wa al-Rahalah
al-Muslimun (wisata dan Para Penjelajah Muslimin) menyimpulkan pertama,
keluarganya datang dari Maghrib ketika ia masih dalam usia kanak-kanak dan
kemudian menetap di Baghdad. Ahmad sendiri tidak
berusaha mengambil pendapat yang lebih kuat.
Setelah
menyelesaikan pendidikan pertama yang diterima dari ayahnya, ia segera
merencanakan untuk mendalami sejarah, adat istiadat, kebiasaan dan cara hidup setiap
negeri. Rencananya ini membawanya mengembara dari satu negeri ke negeri lain.
Negeri pertama yang dikunjungi adalah Iran dan Kiraman (917 M) dan bermukim di
ushtukar, dan dari sana ia melanjutkan pengembaraannya bersama para pedagang ke Ceylon
dan ikut mengarungi Laut Cina. Dengan demikian ia telah berkeliling di Persia,
Asia Tengah, India dan Timur Dekat. Bahkan menurut riwayat tradisional, dalam
perjalanan pulangnya, ia mengelilingi Lautan Hindia, untuk kemudian mengunjungi
Oman, Zanzibar, pesisir Afrika Timur, Sudan dan bahkan Madagaskar. Beberapa
lama kemudian ia kembali mengadakan perjalanan ke beberapa negeri seperti ke
Tiberias, Palestina, dan Antioch (943 M). Dia juga mengelilingi negeri-negeri
Suriah, Irak, dan
Arab Selatan. Sepuluh tahun terakhir hidupnya dilaluinya mula-mula di Syria dan
kemudian di Mesir, tempat ia meninggal dunia. Oleh sebab itula ia juga dikenal
sebagai seorang pengembara dunia.
Ia
meninggalkan banyak karangan. Sebagian besar tidak ditemukan lagi. Yang sampai
ke tangan generasi sekarang ini, ada yang utuh, ada juga dalam bentuk ringkasan. Dia juga
menyebut beberapa karya geografis, yang
sampai ke generasi sekarang. Diantara karyanya yang dapat diketahui adalah
sebagia berikut. (1) Dzakba’ir
al-Ulum wa Ma
Kana fi Sa’ir al- Duhur (Khazanah
ilmu pada setiap Kurun), (2) al–Istidzkar Lima Marra fi
Salif al-A’mar, tentang peristiwa-peristiwa masa
lalu. Kedua buku ini telah diterbitkan ulang di Najaf pada tahun 1955. (3) Tarikh fi akhbar
al–Umam min al- ‘Arab
wa al-‘Ajam ( Sejarah Bangsa
–bangsa, Arab dan Persia), (4) Akhbar al–Zaman wa Man
Abadahu
al–Hadtsan
min al–Umam al–Madhiyah wa al Ajyal
al- Haliyab
wa al-Mamalik
al-Da’irab (tentang sejarah umat
masa lampau dan bangsa-bangsa sekarang serta kerajaan-kerajaan mereka). Dikatan
bahwa buku yang memuat sejarah dunia ini terdiri dari 30 jilid. Buku ini tidak seluruhnya
sampai ke tangan generasi sekarang. yang sampai ke tangan
generasi kita hanya dalam bentuk ringkasan.
Salah satu ringkasan yang ditemukan tidak diketahui pengarang nya. Beberapa
manuskrip menyebut bahwa ringkasan itu justru merupakan jilid pertama dari
kitab ini. Meskipun demikian ,materi-materinya termuat didalam dua karya
berikut. (5) al–Awsath. Kitab ini merupakan ringkasan dari karyanya yang
berjudul Akhbar
al–Zaman diatas, berisi kronologi sejarah umum. (6) Muruj al-Dzabab wa al
Ma’adin, yang berarti Padang rumput Emas dan tambang batu pemata. Karya ini
disusunnya pada tahun 947M. Kitab yang sekarang dianggap sebagai kitab “Turats” (Khazanah Islam Klasik
), ini pertama diterbitkan kembali pada tahun 1866 M di bulaq dan Kairo. Kitab
ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh C.B de Maynard dan P.de
Courteille menjadi 9 jilid (Paris 1861 -1877). Sebelumnya, jilid satu dari
kitab itu terjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh A. Sprenger (London, 1841M). Buku ini
banyak memuat observasi ilmiah berharga, yang menunjukan perhatiannya akan
prinsip umum geografi. Ia membuat studi deskriptif dan melakukan pengamatan
khusus tentang berbagai bagian dunia. Sebenarnya, pada tahun 956 M, menjelang akhir
hayatnya, ia telah menyelesaikan penulisan sebuah arab yang konon cakupannya
lebih luas dari kitab diatas, tetapi sayang
kitabnya ini belum berhasil ditemukan kembali. (7) al- Tanbib wa al- lsyraf (indiksi
dan revisi ). Kitab
ini ditulis pada tahun 956 M itu juga. Buku ini merupakan ringkasan sekaligus memuat
beberapa revisi terhadap beberapa tulisannya yang lain. Kitab ini telah di edit
oleh M.j.de Geoje (Leiden, 1894)
dan telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Carra de Vaux (Paris.
1896).[14]
Selain
kitab-kitab ini, beberapa judul karya nya yang tidak ditemukan lagi disebutkan
didalam kitabnya Muruj al- Dzahab.
Buku –buku itu adalah sebagai berikut. (8) al-shafwah fi al-Imamah
(tentang kepemimpinan). (9) al-Istinshar (Kebangkitan). (10) al-Zahi (Masa Kecemerlangan). (11) al-Intishar al-Mufrad Li Firaq al-Khawarij
(kemenangan tunggal melawan kelompok-kelompok khawarij) (12) al-Qadhaya wa al-Tajarib (Peristiwa dan
pengalaman). Dan (13) Mazhahir
al-Akhbar wa Thara’if al-Atsar
(Fenomena dan peninggalan
sejarah)
Sesuai
dengan rencana studinya semula, ia betul-betul
berusaha mendalami sejarah, adat istiadat, kebiasaan dan cara hidup penduduk negeri negeri yang
dikunjunginya. Ia bahkan juga banyak mempelajari ajaran Kristen dan Yahudi, dan memahami baik sejarah Barat
dan timur yang berlatar belakang Kristen dan Yahudi itu. Berkenaan dengan
informasi-informasi
yang tertuang didalam karya-karyanya tentang negeri-negeri yang dikunjunginya, didapatnya
dari sumber-sumber primer, terutama negeri-negeri islam
Secara
keselurahan,karya-karyanya-bersama karya-karya para sejarawan besar Muslim lainnya dapat di
fungsikan sebagi sumber berharga untuk memahami pandangan umum Muslim mengenai
dunia, dan juga sebagai bahan penyelidikan pengetahuan yang dimiliki saintis
dan sarjana Muslim tentang geografi dan sejarah alam.
Al-Mas’udi
dikenal sebagai seorang pengikut aliran Muktazilah yang tidak begitu ekstrem.
Hal itu dapat diketahui dari karyanya Muruj
al-Dzahab.
Bahkan ada juga yang menuduhnya sebagai pengikut Syi’ah.
Tuduhan itu bukan tidak beralasan sama sekali, karena ia memang
banyak mengungkapkan, dalam tulisannya, kebesaran syi’ah. Dalam dua karyanya
pertama dan kedua tersebut diatas, ia menyatakan adanya “wasiat” Nabi kepada Ali ibn Abi
Thalib, suatu peristiwa sejarah yang tidak diakui oleh golongan Sunni dan
secara ketat diyakini oleh golongan Syiah.
Kitab
al-Tanbib wa al-Isyraf
memuat pandangan filsafatnya tentang alam, dimana tergambar
sintesa pengamatannya tentang evolusi alam, dan dari mineral sampai ke
tanaman, dari tanaman sampai ke hewan, dan dari hewan kepada manusia. Sebagai
contoh terjadinya evolusi itu, ia berpendapat bahwa jerapah adalah hibrida dari
unta dan macan
tutul (panter). Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat dengan pendapat ilmuwan
muslim lainnya. Al-Jahiz dan Abu Yahya al- Qazwini yang berpendapat bahwa
jerapah sebagai hibrida dari unta betina liar dan hyena jantan. Dari sini, sebenarnya kita dapat
mengatakan bahwa pemikiran evolusi dalam islam jauh mendahului Darwin.[15]
Kitab Muruj al-Dzahab adalah karya
ensiklopedia sejarah dan sekaligus geografis (ilmu bumi) yang bernilai sangat
tinggi. Kitab ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian
besar. Bagian pertama berisi sejarah
“Penciptaan” alam dan manusia, sifat-sifat,
bumi, laut, peristiwa luar biasa, riwayat nabi-nabi,
sejarah bangsa-bangsa kuna beserta agama dan alirannya, adat-istiadat dan
tradisi. Bagian kedua khusus
berisi sejarah islam mulai akhir masa
al-Khulafa al-Muthi. Berkenaan
dengan bagian pertama,
terutama yang berhubungan dengan sejarah bangsa-bangsa kuna, dia banyak mengutip
karya-karya sejarawan
sebelumnya. Oleh karena itu, dongeng dan mitos, sebagaiman juga isra’iliyyat, tidak dapat
dihindarinya. Bagian kedua, berbicara tentang sejarah negeri-negeri yang
dikunjungi dan berlangsung pada masa hayatnya. Ia menjelaskan kehidapan Bani
Hasyim diwilayah kekuasaan ‘Abbasiyah, kehidupan para budak lelaki dan wanita,
mawali (orang asing, terutama Persia), kehidupan masyarakat umum, pembangunan
fisik seperti istana beserta segala perlengkapannya, kebiasaan para pembesar,
dan kebiasaan, adat istiadat, dan tradisi negeri-negeri yang dikunjunginya.
Dia
juga memaparkan pembagian bumi ke dalam beberapa wilayah, sebagaimana ia juga
memaparkan pemikirannya tentang bentuk daratan dan lautan yang menyerupai
segmen sebuah bola. Dalam kitabnya itu ia menulis: “…. Para filosof berbeda
pendapat tentang bentuk lautan. Kebanyakan orang kuna, umpamanya ahli
Matematika Hindu dan Yunani mengatakan bahwa laut itu cembung. Tapi hipotesis
ini ditolak oleh orang yang ketat mengikuti wahyu. Yang pertama mengajukan
banyak alasan untuk membuktikan pernyataan mereka. Kalau berlayar di lautan,
daratan dan gunung makin lama makin menghilang, hingga orang tidak melihat lagi
puncak gunung yang tertinggi pun,
sebaliknya jika orang mendekati pantai, tampaklah mula-mula pegunungan, dan
jika tambah dekat, tampaklah pohon-pohon dan padang datar, Inilah yang terjadi
dengan gunung Damawand...
antara al-Rai dan Tabaristan...
Gunung itu terletak kira-kira 20 farsakh dari laut Kaspia. Jika kapal berlayar
di laut ini dan jaraknya jauh sekali, gunung itu tak tampak; tapi jika kapal
itu menuju pegunungan Tabaristan dan berjarak sekitar 100 farsakh, akan
terlihat bagian gunung ini akan makin tampak, ini adalah bukti nyata tentang
bentuk bulat
air laut, yang menyerupai segment
sebuah bola”.[16]
Berkenaan
dengan langit, dia menyatakan bahwa langit dunia (langit pertama) tercipta dari
permata zamrud berwarna
biru, langit kedua tercipta dari perak berwarna
putih, langit ketiga dari yakut (sejenis batu mulia) berwarna merah, langit
keempat dari mutiara berwarna
putih, langit kelima dari emas berwarna
merah, langit keenam dari yakut berwarna
kuning, dan
langit ketujuh dari cahaya.
Dalam
penulisan sejarah, berbeda dengan sejarawan-sejarawan lainnya yang kebanyakaan
pada masa itu menggunakan pendekatan al-hawliyat
(al-Tarikh
‘ala al-sinin
atau annalistic
form, penulisan sejarah berdasarkan tahun),
dia malah sudah menggunakan pendekatan
tematik (al-tshnif
al-mawdhu’i) dan tidak lagi
menggunakan pendekatan al-hawliyat itu.Tema-temanya bertolak dari
bangsa-bangsa, raja-raja,
dan dinasti-dinasti. Dalam pemamparan sejarah, dia menyajikan materi dengan
menarik, diramu bersama peristiwa-peristiwa politik, peperangan, dan informasi
tentang masyarakat dan adat istiadatnya, disamping pembahasan geografis yang
bernilai tinggi. Dalam hal ini ia banyak diikuti oleh sejarawan yang datang
kemudian, termasuk Ibn khaldun
Nama
lengkapnya adalah Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad Biruni al-Khawarizmi. Dia lahir
di Khawizm, Turkmenia pada
bulan Dzulhijjah 362 H/ September
1048. Pada masanya, termasuk salah seorang sarjana muslim terbesar. Ia menguasa
ilmu-ilmu sejarah,
matematika, fisika, ilmu falak, kedokteran,
ilmu-ilmu bahasa, geogologi,
geografi, dan filsafat. Dia adalah seorang yang terkenal banyak mengarang dan
menerjemahkan karya-karya tentang kebudayaan India kedalam bahasa Arab[17],
dengan menambahkan keterangan, latarbelakang, dan unsur-unsur baru padanya.
Al-Biruni adalah julukan
yang diberikan kepadanya. Dalam bahasa Khawarizmi, kata ‘biruni” berarti orang
asing. Ada dua pendapat tentang alasan mengapa ia dijuluki sebagai “orang
asing” itu. Pendapat pertama menyatakan bahwa ia dijuluki demikian karena dia,
meskipun berasal dari khawarizmi,
dia bermukim disana hanya sebentar, karena ia sering mengembara. Karena dia
sering meniggalkan kota kelahirannya itu, maka ketika ia kembali kesana, dia
dijuluki sebagai “al-Biruni”,
orang asing. Pendapat kedua, menyebutkan bahwa sebab dia dijuluki demikian
karena dia pertama-pertama tinggal disalah satu daerah di Khawarizmi yang banyak dihuni
oleh orang asing (pendatang). Pendapat kedua ini dipandang oleh Abu al-Futuh
sebagai pendapat yang paling kuat[18]. Disamping itu ada juga
yang menyatakan bahwa dia dijuluki demikian karena dia menetap cukup lama di
Birun, sebuah negeri yang terletak didekat Sungai Sind, di India.
Setelah
pindah ke jurjan dan beberapa lama tinggal disana, kecerdasan dan penguasaan al-Biruni terhadap
berbagai disiplin ilmu sudah menonjol. Oleh karena itu para penguasa jurjan banyak
memperhatikan dan menghormatinya. Penguasa jurjan ketika itu adalah seorang
yang menyukai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, penguasa itu meminta al-Biruni
untuk menulis. Namun, ia kemudian pindah dari jurjan ke Kurkanj, sebelah utara
Khawarizmi. Ia banyak
melakukan perjalanan ke daerah utara Persia.
Dia
adalah seorang yang sangat gemar membaca dan menulis. Sebagian besar
kehidupannya digunakan untuk ilmu. Dia sangat cenderung menggeluti ilmu-ilmu
yang bertolak dari empirik,
yaitu dari pengalaman dan eksperimen. Demikian giatnya dalam dunia ilmu,
sehingga terlihat seolah-olah dia mengabaikan kehidupan materialnya demi
menuntut ilmu. Untuk memperhatikan berbagai cabang, ia menguasai beberapa
bahasa: Khawarizmi, Arab,
Persia, sansekerta, Yunani, ibrani dan suryani.
Diantara
guru-gurunya adalah ‘Abd
al-Shamad ibn ‘Abd
al-Shamad, Abu Sahal al- Masihi dan Abu
al-Wafa’ al-Buzjani dalam
bidang astronomi, kedokteran, dan
matematika. Dia juga berguru kepada Abu Nashr
Manshur ibn ‘Ali
ibn ‘Iraq dalam bidang ilmu ukur (handasah).[19]
Dalam
bidang filsafat, disebutkan bahwa dia menjalin hubungan intelektual dengan Ibn
Sina, seorang
Filosof besar dalam islam, dengan
surat-menyurat, meskipun pemikiran filsafat
keduanya berbeda. Al-Biruni,
berbeda dari Ibn-Sina,
tidak begitu terikat dengan paripatetik
dan bahkan juga dengan pemikiran filsafat Yunani secara keseluruhan. Dia
adalah seorang yang kritis dan berpikiran lebih bebas. Meskipun dia banyak
melakukan kritik terhadap pemikiran filsafat Aristoteles, pengaruh ibn Sina, al-Kindi, dan al-Mas’udi,
banyak mempengaruhi pemikiran filsafatnya.[20] Hanya saja, sangat
disayangkan, karya-karya filsafatnya banyak tidak sampai ke generasi sekarang
karena hilang.
Dalam bidang astronomi
islam, al-Biruni
menulis karangan yang berjudul al-Qaumun al-Mas’udi untuk dipersembahkan kepada
Sulthan Mas’ud al-Ghaznawi.
Dalam bidang astrologi, dia menulis sebuah buku tentang elemen astrologi.
Ketika Mahmud al-Ghaznawi
menguasai Asia Tengah, termasuk wilayah kekuasaan dinasti Khawarizmi, al-Biruni
diminta oleh Mahmud al-Ghaznawi untuk pindah ke istananya di Ghazna. Selama
hidup bersama Mahmud al-Ghaznawi, Mas’ud al-Ghaznawi, al-Biruni banyak melakukan
perjalanan wisata (rihlah) ilmiah ke negeri-negeri
Hindu yang sudah ditaklukan dinasti Ghaznawiyah. Bahkan disebutkan bahwa
sebagian besar hidupnya dihabiskannya di India,
terutama diwilayah Pakistan sekarang. Ketika itulah dia mempelajari bahasa
sansekerta, yang memungkinkannya untuk mengetahui sumber-sumber kebudayaan
India dan berhubungan dengan pendeta-pendeta agama Hindu. Dalam perihalnya ini
dia melakukan penelitian tentang negeri-negeri yang dikunjunginya, searah,
kebudayaan, dan agamanya. Dalam penelitian itu, dia berusaha mendapat informasi
dari tangan pertama. Tentu saja dia menguasai bahasa negeri-negeri yang
dikunjunginya, yaitu bahasa sansekerta. Hal ini disebabkan karena dia belajar
dengan ilmuwan-ilmuwan Hindu. Melalui bahasa yang dimilikinya dia berhasil
melakukan dialog dengan pendeta-pendeta dan ilmuwan-ilmuwan hindu dan berhasil
menghimpun banyak informasi tentang India.
Berkenaan dengan
karyanya tentang India
ini, dia cenderung untuk melakukan penelitian untuk mendapatkan pengetahuan
dengan bersandar kepada sumber-sumber India
yang ditulis ilmuwan pada masa sebelumnya atau yang semasa denganya. Pada tahun
1017 dia mengarang sebuah buku terkenal yang berjudul al-Hind. Karyanya ini, untuk masa itu, dinilai sebagi kajian
terbaik mengenai agama Hindu, sains dan adat-istiadat
India pada abad pertengahan. Data-data yang dihimpunnya dinilai akurat dan
obyektif. Dia adalah ilmuwan muslim pertama yang mempelajari filsafat hindu .[21]
Sebagaimana al-Mas’udi,
perhatiannya terhadap gerak bumi mengelilingi matahari sudah ada. Dikatakan
bahwa bukunya dalam hal ini termasuk dalam buku-buku yang hilang itu. Seperti
tertera dalam suratnya kepada Ibn Sina, ia menyatakan bahwa gerak elipsis lebih
mungkin dari pada gerak melingkar pada planet.
Dalam dunia ilmu pada
umumnya, dia dikenal sebagi seorang ilmuwan-ilmuwan muslim yang mengembangkan
teori eksperimen. Pengetahuan, menurutnya, tidak mungkin dapat melalui
pemikiran rasional belaka, sebagaimana yang dianut oleh aliran Paripatetik. Dia
selalu berusaha menyaksikan langsung segala perkara yang dikajinya. apa yang disaksikannnya
itu dianalisis dan kemudian dirumuskannya . Schoun berpendapat, bahwa al-Biruni
adalah orang intelektual terbesar dalam sejarah”, dan seorang orientalis yang
lain menyatakan, bahwa “merupakan hal yang mustahil penelitian pembahasan
tentang sejarah, astronomi, atau matematika, tanpa memandang
karya-karya ilmuwan-ilmuwan yang kreatif ini”… mungkin keistimewaan terbesar
al-Biruni adalah semangat ilmiahnnya, ketulusannya terhadap realitas, dan
seruannya, untuk
memahami kesatuan asal-usul manusia dan ilmu pengetahuan, diantara bangsa-bangsa, dalam dunia yang satu”.[22]
1.
Karya-karyanya
Karyanya
sangat banyak, tidak kurang dari seratus delapan puluh buku. Namun, hanya
sebagian kecil saja yang sampai ketangan generasi sekarang. Di antaranya yang
sudah ditemukan adalah (1) al-Atsar al-Baqiyah ‘an al-Qurun al-Khaliyah
(Peninggalan abad-abad masa lalu). Buku ini adalah karyannya yang terkenal dan
terpenting. (2) Tahqiq ma li al-Hind min
Maqulah Maqbulah fi al-Aql aw Mardzulah.
buku ini dikenal juga dengan nama lain,
yaitu al-Hin
al- Kabir.
Secara ilmiah, buku ini tidak kurang penting dari kitab yang pertama. (3) al-Kusuf wa al-Khusuf ‘ala al-khayal al-Hunud (Pandangan Orang Hindu terhadap
Gerhana Matahari dan Gerhana bulan . (4) al-Hawy.(5) Maqalid ‘Ilm al-Hayah, dan lainnya.
2.
Metode
Sejarah
Dua
karyanya yang tersebut pertama dapat dikatakan sebagai karya sejarah, meskipun
tidak seluruh kandungannya berkenaan dengan sejarah. Metode dalam melakukan
penelitian sejarah dia melakukan wawancana dengan ahlul kitab, penganut
sekte-sektenya, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang
diteliti. Cara ini menurut al-Biruni
sendiri adalah cara yang sulit dilakukan,[23]
apalagi objek kajian berkenaan dengan zaman yang sudah lama berlalu, sejauh ini
yang bisa dilakukan kritik berdasarkan rasio, informasi itu perlu diperbaiki,
tetapi apabila tidak, maka informasi itu
diambil sebagaimana adanya.
Dari kedua karyanya ini dapat
diketahui metodenya dalam melakukan penelitian sejarah.
Di dalam bukunya yang pertama
sangat jelas disebutkan bahwa dalam melakukan penelitian sejarah dia melakukan
wawancara dengan ahlul kitab, penganut sekte-sektenya, dan orang-orang yang
memiliki pengetahuan tentang masalah yang diteliti.
D. Ibnu Khaldun
1. Riwayat
Hidup
Nama lengkapnya adalah Waliyuddin ‘Abd al-Ramhan ibn Muhammad ibn Muhammad
ibn Abi bakr Muhammad ibn al-Hasan ibn Khaldun. Dia
lahir di Tunisia di awal bulan Ramadhan 732 H (27 mei 1333 M) dan wafat di
kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 maret 1406 M).
Keluarganya
berasal dari Hadhramaut dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi yang
bernama Wayl ibn Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wayl, Khalid ibn
Utsman, memasuki daerah Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk di awal
abad ke-3 H (9 M). Anak cucu Khalid membentuk suatu keluarga yang besar dengan
nama Bani Khaldun. dari
Bani inilah nama ibn Khaldun berasal. Bani Khaldun ini pertama kali berkembang
di kota Qarmunah di Andalusia di kota inilah mereka bertempat tinggal sebelum
hijrah ke kota Isybilia (Seville). Di kota yang terakhir ini bintang Bani
Khaldun mulai bersinar. Anggota keluarga Bani Khaldun menduduki beberapa
jabatan penting. Ketika dinasti al-Muwahhidun mengalami kemunduran di
Andalusia, Bani Hafsh, penguasa Isybilia, hijrah ke Tunisia, Afrika karena
daerah kekuasaannya jatuh ke tangan penguasa Kristen. Bani Khaldun juga ikut
hijrah ke sana. Abu Bakr diangkat menjadi gubernur di Tunisia, sementara anaknya,
muhammad ibn Abi Bakr, kakek ibn Khaldun, menjadi menteri kehakiman. Walaupun
kekuasaan Bani Hafsh di Tunisia jatuh ke tangan pemimpin al-Muwahhidun, Amir
Abu Yahya al-Lihyani (711 H), kakek ibn Khaldun tetap menduduki jabatan
penting. Akan tetapi, salah seorang puteranya, Abu Abdillah Muhammad, ayah ibn
Khaldun, tidak terjun ke dunia dan cenderung memasuki dunia ilmu dan
pendidikan.
Secara umum kehidupan Ibnu Khaldun dapat dibagi
menjadi empat fase, yaitu:[24]
Pertama,
fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran
sampai usia dua puluh tahun, yaitu dari tahun 732 H-1332 M hingga tahun 751
H/1350 M. Fase ini dilaluinya di tunis.
Kedua,
fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di maghrib dan
Andalusia, yaitu dari tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776H/1374 M.
Ketiga,
fase kepengarangan, ketika
dia berpikir dan berkontemplasi di Benteng Ibn Salman milik Banu Arif, yaitu
sejak tahun 776 H/1374 M sampai
784 H/1382 M.
Keempat,
fase mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari tahun 784
H/1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M.
Tiga dinasti yang terkenal di antaranya adalah :
1.
Dinasti Bani
Hafsh di Maghrib Dekat, Tunisia, dan wilayah di antara keduanya.
2.
Dinasti Bani Abd
al-Wad di Maghrib Tengah dengan ibukotanya Tilimsan.
3.
Dinasti Bani
Marin di Maghrib jauh dengan ibukota Fez.
Ketika Fez jatuh ke
tangan Sulthan Abu al-Abbas Ahmad (776H/1374 M), ibn Khaldun pergi ke Granada
untuk kedua kalinya. Namun, Sulthan Bani Ahmar di sana meminta ibn Khaldun
untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara. Meski
sudah bersalah, ibn Khaldun diterima kembali oleh penguasa Tilimsan, Abu Hammu,
menerimanya dengan senang hati. Sesampainya di Tilimsan, dia berjanji pada
dirinya sendiri, tidak akan terjun lagi dalam dunia politik. Dia akhirnya
menyepi di Qal’at (Benteng) ibn Salamah dan menetap di sana sampai 780 H (1378
M). Di sinilah dia mengarang kitab monumentalnya Kitab al-Tharwa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-
Ajam wa al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-Sulthan al-Akbar (disingkat
al-Tbar) yang terdiri dari tujuh jilid besar. Kitab ini berisi kajian sejarah,
dan didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia
yang dikenal dengan nama Muqaddimah ibn
Khaldun yang sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab al-‘ibar. Kitab Muqaddimah itu membuka lebar-lebar jalan menuju bahasan ilmu-ilmu
sosial. Oleh karena itu dalam sejarah islam, ibn Khaldun dipandang sebagai
peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam Islam.
Selama di Mesir dia
kembali merivisi dan menambah pasal-pasal kitab Muqaddimah dan al-‘ibar.
Peristiwa-peristiwa terbaru dimasukkannya, demikian juga temuan-temuan
ilmiahnya, seperti konsep-konsep sosiologis. Selain kitab al-Tbar yang muqaddimah
sebagai jilid pertamanya, ibn Khaldun juga menulis kitab lain yang juga
bernilai sejarah sangat tinggi. Di antaranya adalah al-Ta’rif bi ibn Khaldun, sebuah autobiografiyang dijadikannya
sebagai dzayl, catatan, dari kitab
sejarahnya tersebut di atas. Ia juga menulis sebuah kitab teologi berjudul Lubab al-Muhashshal fi Ushul al-Din yang
merupakan ringkasan dari kitab Muhashshal
Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin karya imam Fakhr al-Din al-Razi.
Di samping ringkasan ia juga menulis pendapat-pendapatnya dalam masalah teologi
dalam kitab itu.
2.
Metode Sejarah
Ibn Khaldun
a.
Syarat-Syarat
Yang Harus Dipenuhi Seorang Sejarawan
Di dalam pendahuluan
kitab Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun menyebutkan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang sejarawan bila ingin tulisannya tidak ditolak oleh
pembaca karena dianggap tidak benar syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1)
Sarjana yang
terjun langsung ke lapangan sejarah membutuhkan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip politik, watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa,
tempat-tempat dan periode-periode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan,
nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte-sekte mazhab-mazhab, dan segala ikhwal
lainnya.
2)
Dia harus membandingkan kesamaan-kesamaan,
atau membedakan keadaan-keadaan, kini dan masa lalu. Dia harus mengetahui sebab
timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi, dan sebab timbulnya perbedaan dalam
situasi lainnya.
3)
Dia harus
mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukung suatu peristiwa.
Sasarannya tidak lain adalah untuk melengkapi tentang sebab terjadinya setiap
peristiwa dan untuk mengenal asal muasal masing-masing.
b.
Sebab-Sebab
Kesalahan dalam Penulisan Sejarah
Menurut Ibn Khaldun ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam penulisan sejarah.
Sebab-sebab tersebut sebagai berikut :
1)
Kecendrungan
orang untuk menerima begitu saja berita yang sesuai dengan pendapat atau
kepercayaannya, tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Atau dengan terminologi
dalam ilmu jiwa, dikatakan bahwa sebab kesalahan dalam hal ini merupakan faktor
psikologis murni. Karena penilaian-penilaian orang tersebut telah terpengaruh
oleh pendapat-pendapat yang telah masuk ke pikirannya sebelumnya, yakni
pendapat-pendapat yang berkembang dalam masyarakat, yang berupa paham-paham
yang mengarahkan pemikiran orang perorang sehingga mempengaruhi penilaian
mereka.[25]
2)
Kepercayaan yang
berlebihan kepada para penutur, padahal penuturan apa pun seharusnya baru bisa
diterima apabila telah dilakukan ta’dil
dan tajrih (personality criticism).
3)
Ketidaksanggupan
memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Banyak para pencatat sejarah yang jatuh
dalam kesalahan karena mereka tidak dapat memahami maksud sebenarnya dari apa
yang dilihat dan didengarnya. Dan juga karena mereka menghubungkan berita itu
menurut apa yang dipikirkan dan diprasangkainya, sehingga terjatuh dalam
kekeliruan.
4)
Kepercayaan yang
salah kepada ‘kebenaran’.
5)
Ketidaksanggupan
menempatkan dengan tepat suatu kejadian dalam hubungan peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya, karena kabur dan rumitnya keadaan.
3.
Sebagai Filosof
Sejarah
Di dalam mengantar
kitab Muqaddimah-nya Ibn Khaldun
membagi sejarah ke dalam dua aspek : aspek lahir dan batin.
Secara lahir, sejarah
tidak lebih dari pada berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-negara,
dan kejadian-kejadian pada abad-abad yang silam. Dalam perjamuan-perjamuan
besar, peristiwa-peristiwa itu dituturkan sebagai sajian. Sedangkan secara
batin (hakikat)-nya, dalam sejarah terkandung pengertian observasi dan usaha
mencari kebenaran, keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal mula
kejadian, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, essensi, dan
sebab-sebab terjadinya peristiwa.
Dalam menyusun
informasi sejarah itu semua, dia menggunakan sistematika yang tidak biasa pada
masa itu. Dia sadar betul bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan hal yang
baru yang besar manfaatnya, karena menurutnya dengan cara barunya ini akan
tercapai makna dan tujuan pengkajian sejarah.
Ilmu baru yang dimaksud
Ibn Khaldun itu, menurut Zaynab al-Khudhayri adalah filsafat sejarah yang di
Eropa baru dikenal beberapa abad kemudian. Banyak tokoh pemikir dunia yang
memandang Ibn Khaldun sebagai pengasas filsafat sejarah. Di antara mereka
adalah Arnold Tovnbee (sejarawan terkenal), Robert Flint (guru besar sejarah pada
Universitas Edinburgh) dll, semua terkenal pada negara masing-masing.
Pemikiran filsafat sejarah Ibn
Khaldun terlihat dalam pendapatnya yang menyatakan bahwa, masyarakat adalah
makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus
berkenaan dengannya. Di antara hukum atau faktor yang mengendalikan sejarah
itu, menurut Ibn Khaldun, ashabiyah
(fanatisme, kesukuan, nasionalisme) merupakan asas berdirinya negara. Dia juga
berpendapat bahwa faktor ekonomi adalah faktor terpenting yang menyebabkan
terjadinya perkembangan masyarakat.[26]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa penulisan sejarah islam klasik tidak lepas dari para tokoh
muslim pada jamannya seperti :
1.
Al Thabari menggagas
metode sejarahnya berdasarkan riwayat, sangat memperhatikan sanad, sistematika
penulisan, kronologi tahun, informasi yang umum.
2.
Al Masudi dalam
penulisan sejarah dimasanya mayoritas menggunakan pendekatan tematik.
3.
Al Baruni
menulis sejarah dengan wawancara terhadap ahlul kitab dan hasil wawancara
dibandingkan antara satu dengan wawancara yang lain.
4.
Ibn Khaldun
mengatakan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
sejarahwan yaitu memiliki pengetahuan mengenai prinsip-prinsip politik, nilai-nilai
akhlak, mampu membandingkan kesamaan dan perbedaan kini dengan masa lalu.
Abu
al-Futuh Muhammad al-tawanisi. 1967. Abu al-Rayhan Muhammad Ibn Ahmad Biruni. Kairo: al-Majlis, al-A'la,
al-syu'un, Al-Islamiyah.
Badri Yatim. 1997.Historiografi
islam. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu
M,
Natsir.1990. Ilmuwan Muslim
Sepanjang Sejarah. Bandung: Penerbit Mizan
Seyyed
Hossein Nasr.1998. Sains dan Peradaban di dalam Islam. Bandung: Pustaka
[17] Abu al-Futuh Muhammad al-tawanisi.
(1967). Abu al-Rayhan Muhammad Ibn Ahmad Biruni. Kairo: al-Majlis,
al-A'la, al-syu'un, Al-Islamiyah.
[21] Http://tata-mukhtadin.blogspot.ae/2011/12
/penulisan -sejarah-islam-klasik.html.tgl 12 april 2016 jam 15:45
[23]Ibid., hlm 107
[26] Http://www.tongkronganislami.net/2012/06/pemikiran-ibn-khaldun-tentang
-sejarah.html tanggal 12 april 2016 jam 16:57