Selasa, 26 April 2016

kel. 5 (HI) Sejarawan Muslim Masa Klasik dan Pertengahan





Dosen Pengampu:
Nyayu Soraya, M.Hum


Adela Destri (1532100073)
Askur Hadi (1532100088)
Ayu Lestari (153200089)



Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
 Raden Fatah Palembang
Tahun 2016/2017



Daftar Isi






PENDAHULUAN

Para sejarawan mereka berusaha merekam setiap peristiwa penting yang terjadi, dan mereka senantiasa eksis dengan masalah-masalah relavan untuk dikaji yang mereka suguhkan. Karena itu mempelajari, menelaah dan merenungkan masalah-masalah yang mereka kemukakan tetap urgen terutama dalam rangka menanggulangi problem nyata yang kita hadapi. Ide-ide para sejarawan dan pemikiran muslim, seperti Ibn al-Thabari, al-Mas’udi, al-Biruni dan Ibn Khaldun, serta para sejarawan lainnya. Pemikiran mereka dengan konpleksitasnya telah berusia berabad-abad, namun tetap saja eksis untuk dikaji dan diteliti.

1.         Siapa Saja Tokoh Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan Pertengahan?
2.         Apa Saja Karya Tokoh Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan Pertengahan?

1.      Hanya Membahas Tokoh Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan Pertengahan?
2.      Hanya Membahas Karya Tokoh Sejarawan Muslim Terkenal Pada Masa Klasik dan Pertengahan?







PEMBAHASAN

       Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari.
Lahir di Amul, Thabaristan yang terletak di pantai selatan laut Thabaristan (Laut Qazwayn) pada tahun 225 H/839 M dan meninggal di Baghdad pada tahun 310 H/923 M. Ia adalah seorang sejarawan besar, ensiklopedis, ahli tafsir, ahli qira’at, ahli hadits dan ahli fikih. Ia sudah mulai belajar pada usia yang sangat muda dengan kecerdasan yang sangat menonjol. Dia sudah hafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Ilmu-ilmu dasar dipelajarinya di kota kelahirannya. Pertama-tama dia berangkat ke Rayy. Salah seorang gurunya di sana adalah Muhammad ibn Humayd al-Razi, seorang sejarawan besar waktu itu. Dari sana ia pindah ke Baghdad dengan maksud belajar kepada Ahmad ibn Hanbal, seorang ahli hadits dan ahli fikih termasyhur pada saat itu. Akan tetapi Ahmad ibn Hanbal sudah meniggal sebelum ia sampai ke kota tersebut. Kemudian ia pindah ke Bashrah dan sebelumnya mampir di Washit untuk mendengar beberapa kuliah. Kemudian dia pergi ke Kufah di mana ia menimba 100.000 hadits dari Syaikh Abu Kurayb. Tidak lama setelah itu dia kembali ke Baghdad dan menetap di sana untuk jangka waktu yang lama. Setelah itu, pada tahun 876 M, ia pergi ke Fustat, Mesir, tetapi ia singgah di Syiria untuk menuntut ilmu hadits. Ketika di Fustat (871-872 M) orang-orang memasukkannya dalam barisan ulama terkenal. Kemudian dia kembali ke Baghdad dan menetap di sana hingga ia meninggal dunia pada tahun 310 H/923 M. Dalam masa itu dia hanya dua kali meninggalkan Baghdad, pergi ke kota kelahirannya, yaitu sekitar tahun 902 dan 903 M.[8]
       Al-Thabari tidak mempunyai harta benda melebihi apa yang dibutuhkannya, meskipun sebenarnya dia mempunyai kesempatan untuk mengecap kehidupan material yang mewah. Dia memang sering menolak tawaran untuk menduduki jabatan-jabatan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu pula dia bisa menyalurkan semangat intelektualnya dengan sangat produktif. Bidang intelektual pertama yang digarapnya adalah sejarah, fikih, ilmu qira’at al-Qur’an dan tafsir, dan kemudian mempelajari ilmu sastra, ilmu bahasa, gramatika, etika, ilmu pasti, dan kedokteran.
       Sepuluh tahun setelah ia pindah dari Mesir ke Baghdad dia mendirikan mazhab sendiri dalam bidang fikih yang disebut oleh para pengikutnya dengan mazhab Jaririyah. Sebelumnya ia bermazhab Syafi’i. Perbedaan mazhabnya dengan mazhab Syafi’i dalam bidang teoritis lebih sedikit daripada  dalam bidang praktis. Oleh karena itu, segera setelah dia wafat, para pengikutnya lupa akan mazhabnya dan kembali menganut mazhab Syafi’i. Meskipun dikenal sebagai seorang yang kuat berpegang pada tafsir bi al-ma’tsur (tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an dan hadts), dia juga memperkenankan bagi dirinya sendiri untuk menggunakan rasio (al-ra’yu) tanpa disandarkan kepada riwayat untuk mengadakan kritik sejarah. Karya al-Thabari dalam bidang sejarah yang sangat terkenal, yaitu dalam bidang sejarah umum, berjudul Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Sejarah Bangsa-bangsa dan Raja-raja) atau Tarikh al-Rusul wa al-Anbiya’ wa al-Muluk wa al-Khulafa’ (Sejarah Para Rasul, Para Nabi, Para Raja, dan Para Khalifah).

1.        Al-Thabari sebagai Sejarawan
       Pada bagian pertama, al-Thabari memulai sejarah para rasul dan raja-raja itu dengan mengetengahkan sejarah Nabi Adam dan nabi-nabi permulaan dan sistem pemerintahan mereka. Pada bagian selanjutnya, ia mengetengahkan sejarah kebudayaan Sasania (Persia). Riwayat-riwayat yang dikumpulkannya yang berhubungan dengan sejarah Sasania tersebut dikutipnya dari naskah berbahasa Arab dari buku raja-raja Persia yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa’. Dalam hal itu, al-Thabari tidak banyak berusaha menganalisis kaitan sejarah antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Dia hanya mengumpulkan peristiwa-peristiwa itu, meskipun ada yang saling bertentangan, karena demikianlah informasi yang sampai kepadanya, dan dia pun enggan mempertanggung jawabkan kebenaran peristiwa-peristiwa itu. Pada bagian ini, dia juga memaparkan sejarah bangsa Romawi, bangsa Yahudi, dan bangsa Arab sebelum Islam.[9]
       Adapun pada bagian kedua, al-Thabari memaparkan sejarah Nabi Muhammd saw., peristiwa-peristiwa penting yang dilaluinya dan perang-perang yang dipimpinnya. Setelah itu ia memaparkan sejarah Islam pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun termasuk didalamnya ekpansi-ekspansi yang terjadi pada saat ini. Sejarah Dinasti Umawiyah merupakan bagian tersendiri, dan karyanya itu diakhiri dengan sejarah ‘Abbasiyah. Peristiwa yang terakhir yang diangkat oleh al-Thabari adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 302 H (915 M).

       Dalam mengumpulkan bahan-bahan sejarah ini, dia bersandar kepada riwayat-riwayat yang sudah dibukukan dan yang belum dibukukan. Berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang hampir sezaman dengannya, ia melakukan pengumpulan riwayat-riwayat yang belum dibukukan dengan banyak melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu dan belajar kepada ulama-ulama. 

2.        Metode sejarah al-Thabari
       Dilihat dari karya sejarahnya yang terkenal ini, dapat bdisimpulkan beberapa hal yang berkenaan dengan metode yang digunakan al-Thabari dalam menulis sejarah, yang membedakannya dengan sejarawan-sejarawan sebelum dan sesudahnya. Hal-hal yang berkenaan dengan metode penulisan sejarah al-Thabari ini adalah:[10]
a.        Bersandar kepada Riwayat
       Setiap informasi yang disajikannya didalam kitab sejarahnya ini disandarkannya kepada para perawi. Dalam hal ini dia berpendapat bahwa sejarawan tidak otentik apabila hanya bersandar kepada logika dan kias. Didalam muqaddimah kitabnya itu dia berkata: “hendaknya para pembaca mengetahui bahwa semua informasi yang disajikan didalam kitab ini adalah informasi yang aku peroleh/terima/dengar dari perawinya langsung, dan aku tidak menyandarkannya kepada alasan-alasan logika, kecuali sangat sedikit.”

       Karena disandarkan hanya kepada perawinya, maka didalam kitabnya ini banyak ditemukan informasi yang berbeda-beda tentang peristiwa yang sama. Dalam hal ini, al-Thabari sendiri membiarkan para pembaca untuk menyeleksi, menilai, dan memilih informasi-informasi yang disajikan itu.

b.        Sangat Memperhatikan Sanad
       Setiap informasi yang disajikan di dalam kitab ini disertai penyebutan perawinya dan sanadnya sehingga sehingga sampai kepada tangan pertama, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits dalam  meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah saw. Apabila informasi itu dikutip dari buku, maka al-Thabari akan menyebutkan nama pengarang buku itu, misalnya aw qal Muhammad ibn Ishaq, aw qal al-Waqidi (berkata ibn Kalbi, atau berkata Muhammad ibn Ishaq, atau berkata al-Waqidi). Jarang sekali al-Thabari menyebut nama buku yang dikutipnya.
        Apabila informasi itu didengarnya langsung sendirian, maka di dalam karyanya itu dia akan berkata: haddatsani fulan .... (“Si Fulan berkata kepadaku ....”), dan apabila ada orang yang mendengar informasi itu bersamanya, maka ia akan berkata: haddatsani fulan .... (“Si Fulan berkata kepada kami ...”). kadang-kadang dia juga menyandarkan informasi yang dituangkannya di dalam kitabnya itu kepada surat-menyurat. Misalnya, di dalam karyanya ini dia berkata: kataba ilayya al-sadiyy ‘an fulan ila akhirih (al-Sadiyy menulis surat kepadaku, dari fulan dari fulan dan seterusnya).
       Akan tetapi, di akhir bukunya, terlihat bahwa dia tidak begitu ketat kepada sanad ini, seperti tidak lagi menyebut nama sumber pengambilan informasi.
Ahmad Muhammad al-Hufi berpendapat bahwa sebab tidak ketatnya al-Thabari dalam menyebutkan perawi dan sanad dalam informasi-informasi yang tertuang di dalam bukunya pada bagian akhir itu adalah karena informasi-informasi yang disajikan itu dapat menimbulkan kemurkaan penguasa. 0leh karena itu, al-Thabari berupaya mencegah terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan terhadap sumber informasi tersebut.[11]


c.         Sistematika Penulisan Bersifat Kronologi Berdasarkan Tahun (hawliyat, annalistic form)
Pada bagian bukunya yang menyajikan informasi sejarah sebelum Islam, peristiwa-peristiwa itu tidak disusun berdasarkan tahun, karena hal itu diluar kemampuannya. Bagian ini dimulainya dengan penciptaan Nabi Adam, kemudian Nabi-nabi dan peristiwa-peristiwa pada masing-masingnya.
Pada bagian yang menyajikan peristiwa-peristiwa sejarah setelah kedatangan Islam, sistematika penulisannya dilakukan berdasarkan tahun demi tahun, sejak awal hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah sampai tahun 302 H. Pada setiap disajikannya peristiwa-peristiwa yang pantas disajikan. apabila peristiwa itu berlarut-larut sehingga berlangsung bertahun-tahun, maka ada dua kemungkinan. Pertama peristiwa itu dipotong-potongnya sesuai dengan tahun kejadian itu sehingga dapat disajikan dalam bentuk hawliyat, dan kedua, dia memberi isyarat pada setiap tahun bahwa peristiwa tertentu itu terjadi, dan kemudian menjelaskan peristiwa itu secara rinci pada tempat tertentu yang menurutnya pantas.
Metode hawliyat ini sudah digunakan oleh sejarawan muslim sebelumnya seperti al-Haytsam ibn ‘adi (w. 208 H), Ja’far ibn Muhammad ibn al-Azhar (w.276 H), ‘Ammar ibn Wasimah al-Mishri (w. 289 H), dan al-Waqidi (w. 207 H). Metode ini kemudian digunakan pula oleh sejarawan muslim sesudahnya, seperti ibn al-Atsir, Abu al-Fida’. Akan tetapi, al-Yaqubi, al-Dinawari, al-Mas’udi, dan ibn Khaldun tidak menggunakan metode ini. Mereka yang tersebut terakhir ini menulis suatu peristiwa secara runtut dan rinci dari awal sampai akhir, meskipun berlangsung dalam waktu bertahun-tahun.[12]

d.        Informasi yang umum
       Informasi-informasi sejarah yang tidak ada hubungannya dengan waktu tertentu, ditulis sendiri secara tematik. Misalnya, setelah membicarakan peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahan khalifah tertentu, setelah itu dia membicarakan sifat-sifat, akhlak, dan keistimewaan-keistimewaan khalifah bersangkutan. Contohnya, setelah membicarakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Thabari menyajikan riwayat hidup khalifah Harun al-Rasyid itu secara ringkas yang memakan tempat sekitar sepuluh halaman. Dalam hal ini dia menyajikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan Harun al-Rasyid, seperti, khalifah Harun al- Rasyid menunaikan shalat setiap hari sebanyak seratus rakaat, mengeluarkan sedekah dari hartanya sendiri sebanyak seribu dirham setiap hari, disamping zakat.

e.         Menyajikan juga teks-teks sastra (syair)
Al-Thabari dipandang banyak menyajikan teks-teks sastra, seperti syair, khithabah (pidato), surat-surat, dan perbincangan-perbincangan dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Di antara sejarawan yang melanjutkan kajian sejarah  al-Thabari ini adalah:
1.        Kitab al-Muzayyil atau Shilat al-Tarikh karya Abu Muhammad al-Farghani,
seorang murid al-Thabari.
2.        Kitab yang dikarang oleh Abu al-Hasan Muhammad al-Hamadzani
 (w. 1128). Kitab ini merekam peristiwa sejarah sampai tahun 1094 M.
       Ibn Atsir seorang sejarawan Arab sesudah al-Thabari banyak sekali mengutip riwayat-riwayat al-Thabari. Sejarawan-sejarawan Arab yang lain sesudahnya juga banyak berhutang budi kepada al-Thabari karena karya sejarahnya tersebut diatas.

       Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali ibn Husayn ibn Ali (Baghdad- Fustat, Mesir 956 M). ia adalah seorang sejarawan dan ahli geografis, ahli geologi, dan ahli zoology Muslim, juga mempelajari ilmu kalam (theology), akhlaq, politik, dan ilmu bahasa. Singkatnya, dia adalah salah seorang tokoh eksiklopedik dalam sains islam, tetapi sangat dikenal sebagai seorang ahli geografi dan sejarah. Kemashurannya dalam hal terakhir ini tampaknya ada hubungannya dengan keadaan dirinya yang juga seorang pengembara yang menghimpun materi sejarah dari kawasan-kawasan yang luas sekali.
           
Oleh Ibn Khalikan (608-681/1211-1282), sejarawan muslim terkenal pada masanya, dia digelari sebagai imam al-mu’arrikbin, pemimpin para sejarawan. Dia juga digelari sebagai Herodotusnya orang Arab.
            Masa kecilnya tidak banyak diketahui orang. Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa ia dilahirkan di Baghdad di penghujung abad ke-9 dan meninggal dunia difustat pada tahun 956M. Namun, Ibn Nadim dalam kitabnya al–Fibrits (indeks) menyebutkannya sebagai berasal dari Maghrib.[13] Oleh karena itu ahnad Ramadhan Ahmad (seorang ahli sejarah), dalam karyanya al–Rihlah wa al-Rahalah al-Muslimun (wisata dan Para Penjelajah Muslimin) menyimpulkan pertama, keluarganya datang dari Maghrib ketika ia masih dalam usia kanak-kanak dan kemudian menetap di Baghdad. Ahmad sendiri tidak berusaha mengambil pendapat yang lebih kuat.
            Setelah menyelesaikan pendidikan pertama yang diterima dari ayahnya, ia segera merencanakan untuk mendalami sejarah, adat istiadat, kebiasaan dan cara hidup setiap negeri. Rencananya ini membawanya mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Negeri pertama yang dikunjungi adalah Iran dan Kiraman (917 M) dan bermukim di ushtukar, dan dari sana ia melanjutkan pengembaraannya bersama para pedagang ke Ceylon dan ikut mengarungi Laut Cina. Dengan demikian ia telah berkeliling di Persia, Asia Tengah, India dan Timur Dekat. Bahkan menurut riwayat tradisional, dalam perjalanan pulangnya, ia mengelilingi Lautan Hindia, untuk kemudian mengunjungi Oman, Zanzibar, pesisir Afrika Timur, Sudan dan bahkan Madagaskar. Beberapa lama kemudian ia kembali mengadakan perjalanan ke beberapa negeri seperti ke Tiberias, Palestina, dan Antioch (943 M). Dia juga mengelilingi negeri-negeri Suriah, Irak, dan Arab Selatan. Sepuluh tahun terakhir hidupnya dilaluinya mula-mula di Syria dan kemudian di Mesir, tempat ia meninggal dunia. Oleh sebab itula ia juga dikenal sebagai seorang pengembara dunia.
            Ia meninggalkan banyak karangan. Sebagian besar tidak ditemukan lagi. Yang sampai ke tangan generasi sekarang ini, ada yang utuh, ada juga dalam bentuk ringkasan. Dia juga menyebut  beberapa karya geografis, yang sampai ke generasi sekarang. Diantara karyanya yang dapat diketahui adalah sebagia berikut. (1) Dzakba’ir al-Ulum wa Ma Kana fi Sa’ir al- Duhur (Khazanah ilmu pada setiap Kurun), (2) al–Istidzkar Lima Marra fi Salif al-A’mar, tentang peristiwa-peristiwa masa lalu. Kedua buku ini telah diterbitkan ulang di Najaf pada tahun 1955. (3) Tarikh fi akhbar al–Umam min al- Arab wa al-Ajam ( Sejarah Bangsa –bangsa, Arab dan Persia), (4) Akhbar al–Zaman wa Man Abadahu al–Hadtsan min al–Umam al–Madhiyah wa al Ajyal al- Haliyab wa al-Mamalik al-Da’irab (tentang sejarah umat masa lampau dan bangsa-bangsa sekarang serta kerajaan-kerajaan mereka). Dikatan bahwa buku yang memuat sejarah dunia ini terdiri dari 30 jilid. Buku ini tidak seluruhnya sampai ke tangan generasi  sekarang. yang sampai ke tangan generasi kita hanya dalam bentuk ringkasan. Salah satu ringkasan yang ditemukan tidak diketahui pengarang nya. Beberapa manuskrip menyebut bahwa ringkasan itu justru merupakan jilid pertama dari kitab ini. Meskipun demikian ,materi-materinya termuat didalam dua karya berikut. (5) al–Awsath. Kitab ini merupakan ringkasan dari karyanya yang berjudul Akhbar al–Zaman diatas, berisi kronologi sejarah umum. (6) Muruj al-Dzabab wa al Ma’adin, yang berarti Padang rumput Emas dan tambang batu pemata. Karya ini disusunnya pada tahun 947M. Kitab yang sekarang dianggap sebagai kitab “Turats” (Khazanah Islam Klasik ), ini pertama diterbitkan kembali pada tahun 1866 M di bulaq dan Kairo. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh C.B de Maynard dan P.de Courteille menjadi 9 jilid (Paris 1861 -1877). Sebelumnya, jilid satu dari kitab itu terjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh A. Sprenger (London, 1841M). Buku ini banyak memuat observasi ilmiah berharga, yang menunjukan perhatiannya akan prinsip umum geografi. Ia membuat studi deskriptif dan melakukan pengamatan khusus tentang berbagai bagian dunia. Sebenarnya, pada tahun 956 M, menjelang akhir hayatnya, ia telah menyelesaikan penulisan sebuah arab yang konon cakupannya lebih luas dari kitab diatas, tetapi sayang kitabnya ini belum berhasil ditemukan kembali. (7) al- Tanbib wa al- lsyraf (indiksi dan revisi ). Kitab ini ditulis pada tahun 956 M itu juga. Buku ini merupakan ringkasan sekaligus memuat beberapa revisi terhadap beberapa tulisannya yang lain. Kitab ini telah di edit oleh M.j.de Geoje (Leiden, 1894) dan telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Carra de Vaux (Paris. 1896).[14]
            Selain kitab-kitab ini, beberapa judul karya nya yang tidak ditemukan lagi disebutkan didalam kitabnya Muruj al- Dzahab. Buku –buku itu adalah sebagai berikut. (8) al-shafwah fi al-Imamah (tentang kepemimpinan). (9) al-Istinshar (Kebangkitan). (10) al-Zahi (Masa Kecemerlangan). (11) al-Intishar al-Mufrad Li Firaq al-Khawarij (kemenangan tunggal melawan kelompok-kelompok khawarij) (12) al-Qadhaya wa al-Tajarib (Peristiwa dan pengalaman). Dan (13) Mazhahir al-Akhbar wa Tharaif al-Atsar (Fenomena dan peninggalan sejarah)
            Sesuai dengan rencana studinya semula, ia betul-betul berusaha mendalami sejarah, adat istiadat, kebiasaan dan  cara hidup penduduk negeri negeri yang dikunjunginya. Ia bahkan juga banyak mempelajari ajaran Kristen dan Yahudi, dan memahami baik sejarah Barat dan timur yang berlatar belakang Kristen dan Yahudi itu. Berkenaan dengan informasi-informasi yang tertuang didalam karya-karyanya tentang negeri-negeri yang dikunjunginya, didapatnya dari sumber-sumber primer, terutama negeri-negeri islam
            Secara keselurahan,karya-karyanya-bersama karya-karya para sejarawan besar Muslim lainnya dapat di fungsikan sebagi sumber berharga untuk memahami pandangan umum Muslim mengenai dunia, dan juga sebagai bahan penyelidikan pengetahuan yang dimiliki saintis dan sarjana Muslim tentang geografi dan sejarah alam.
            Al-Mas’udi dikenal sebagai seorang pengikut aliran Muktazilah yang tidak begitu ekstrem. Hal itu dapat diketahui dari karyanya Muruj al-Dzahab. Bahkan ada juga yang menuduhnya sebagai pengikut Syi’ah. Tuduhan itu bukan tidak beralasan sama sekali, karena ia memang banyak mengungkapkan, dalam tulisannya, kebesaran syi’ah. Dalam dua karyanya pertama dan kedua tersebut diatas, ia menyatakan adanya “wasiat” Nabi kepada Ali ibn Abi Thalib, suatu peristiwa sejarah yang tidak diakui oleh golongan Sunni dan secara ketat diyakini oleh golongan Syiah.
            Kitab al-Tanbib wa al-Isyraf memuat pandangan filsafatnya tentang alam, dimana tergambar sintesa pengamatannya tentang evolusi alam, dan dari mineral sampai ke tanaman, dari tanaman sampai ke hewan, dan dari hewan kepada manusia. Sebagai contoh terjadinya evolusi itu, ia berpendapat bahwa jerapah adalah hibrida dari unta dan macan tutul (panter). Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat dengan pendapat ilmuwan muslim lainnya. Al-Jahiz dan Abu Yahya al- Qazwini yang berpendapat bahwa jerapah sebagai hibrida dari unta betina liar dan hyena jantan. Dari sini, sebenarnya kita dapat mengatakan bahwa pemikiran evolusi dalam islam jauh mendahului Darwin.[15]
            Kitab Muruj al-Dzahab adalah karya ensiklopedia sejarah dan sekaligus geografis (ilmu bumi) yang bernilai sangat tinggi. Kitab ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian besar.  Bagian pertama berisi sejarah “Penciptaan” alam dan manusia, sifat-sifat, bumi, laut, peristiwa luar biasa, riwayat nabi-nabi, sejarah bangsa-bangsa kuna beserta agama dan alirannya, adat-istiadat dan tradisi. Bagian kedua khusus berisi sejarah islam  mulai akhir masa al-Khulafa al-Muthi. Berkenaan dengan bagian pertama, terutama yang berhubungan dengan sejarah bangsa-bangsa kuna, dia banyak mengutip karya-karya sejarawan sebelumnya. Oleh karena itu, dongeng dan mitos, sebagaiman juga isra’iliyyat, tidak dapat dihindarinya. Bagian kedua, berbicara tentang sejarah negeri-negeri yang dikunjungi dan berlangsung pada masa hayatnya. Ia menjelaskan kehidapan Bani Hasyim diwilayah kekuasaan ‘Abbasiyah, kehidupan para budak lelaki dan wanita, mawali (orang asing, terutama Persia), kehidupan masyarakat umum, pembangunan fisik seperti istana beserta segala perlengkapannya, kebiasaan para pembesar, dan kebiasaan, adat istiadat, dan tradisi negeri-negeri yang dikunjunginya.
            Dia juga memaparkan pembagian bumi ke dalam beberapa wilayah, sebagaimana ia juga memaparkan pemikirannya tentang bentuk daratan dan lautan yang menyerupai segmen sebuah bola. Dalam kitabnya itu ia menulis: “…. Para filosof berbeda pendapat tentang bentuk lautan. Kebanyakan orang kuna, umpamanya ahli Matematika Hindu dan Yunani mengatakan bahwa laut itu cembung. Tapi hipotesis ini ditolak oleh orang yang ketat mengikuti wahyu. Yang pertama mengajukan banyak alasan untuk membuktikan pernyataan mereka. Kalau berlayar di lautan, daratan dan gunung makin lama makin menghilang, hingga orang tidak melihat lagi puncak gunung yang tertinggi pun, sebaliknya jika orang mendekati pantai, tampaklah mula-mula pegunungan, dan jika tambah dekat, tampaklah pohon-pohon dan padang datar, Inilah yang terjadi dengan gunung Damawand... antara al-Rai dan Tabaristan... Gunung itu terletak kira-kira 20 farsakh dari laut Kaspia. Jika kapal berlayar di laut ini dan jaraknya jauh sekali, gunung itu tak tampak; tapi jika kapal itu menuju pegunungan Tabaristan dan berjarak sekitar 100 farsakh, akan terlihat bagian gunung ini akan makin tampak, ini adalah bukti nyata tentang bentuk bulat air laut, yang menyerupai segment sebuah bola”.[16]
            Berkenaan dengan langit, dia menyatakan bahwa langit dunia (langit pertama) tercipta dari permata zamrud berwarna biru, langit kedua tercipta dari perak berwarna putih, langit ketiga dari yakut (sejenis batu mulia) berwarna merah, langit keempat dari mutiara berwarna putih, langit kelima dari emas berwarna merah, langit keenam dari yakut berwarna kuning, dan langit ketujuh dari cahaya.
            Dalam penulisan sejarah, berbeda dengan sejarawan-sejarawan lainnya yang kebanyakaan pada masa itu menggunakan pendekatan al-hawliyat (al-Tarikh ala al-sinin atau annalistic form, penulisan sejarah berdasarkan tahun), dia malah sudah menggunakan pendekatan tematik (al-tshnif al-mawdhu’i) dan tidak lagi menggunakan pendekatan al-hawliyat itu.Tema-temanya bertolak dari bangsa-bangsa, raja-raja, dan dinasti-dinasti. Dalam pemamparan sejarah, dia menyajikan materi dengan menarik, diramu bersama peristiwa-peristiwa politik, peperangan, dan informasi tentang masyarakat dan adat istiadatnya, disamping pembahasan geografis yang bernilai tinggi. Dalam hal ini ia banyak diikuti oleh sejarawan yang datang kemudian, termasuk Ibn khaldun
          Nama lengkapnya adalah Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad Biruni al-Khawarizmi. Dia lahir di Khawizm, Turkmenia pada bulan Dzulhijjah 362 H/ September 1048. Pada masanya, termasuk salah seorang sarjana muslim terbesar. Ia menguasa ilmu-ilmu sejarah, matematika, fisika, ilmu falak, kedokteran, ilmu-ilmu bahasa, geogologi, geografi, dan filsafat. Dia adalah seorang yang terkenal banyak mengarang dan menerjemahkan karya-karya tentang kebudayaan India kedalam bahasa Arab[17], dengan menambahkan keterangan, latarbelakang, dan unsur-unsur baru padanya.
            Al-Biruni adalah julukan yang diberikan kepadanya. Dalam bahasa Khawarizmi, kata ‘biruni” berarti orang asing. Ada dua pendapat tentang alasan mengapa ia dijuluki sebagai “orang asing” itu. Pendapat pertama menyatakan bahwa ia dijuluki demikian karena dia, meskipun berasal dari khawarizmi, dia bermukim disana hanya sebentar, karena ia sering mengembara. Karena dia sering meniggalkan kota kelahirannya itu, maka ketika ia kembali kesana, dia dijuluki sebagai “al-Biruni”, orang asing. Pendapat kedua, menyebutkan bahwa sebab dia dijuluki demikian karena dia pertama-pertama tinggal disalah satu daerah di Khawarizmi yang banyak dihuni oleh orang asing (pendatang). Pendapat kedua ini dipandang oleh Abu al-Futuh sebagai pendapat yang paling kuat[18]. Disamping itu ada juga yang menyatakan bahwa dia dijuluki demikian karena dia menetap cukup lama di Birun, sebuah negeri yang terletak didekat Sungai Sind, di India.
            Setelah pindah ke jurjan dan beberapa lama tinggal disana, kecerdasan dan penguasaan al-Biruni terhadap berbagai disiplin ilmu sudah menonjol. Oleh karena itu para penguasa jurjan banyak memperhatikan dan menghormatinya. Penguasa jurjan ketika itu adalah seorang yang menyukai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, penguasa itu meminta al-Biruni untuk menulis. Namun, ia kemudian pindah dari jurjan ke Kurkanj, sebelah utara Khawarizmi. Ia banyak melakukan perjalanan ke daerah utara Persia.
            Dia adalah seorang yang sangat gemar membaca dan menulis. Sebagian besar kehidupannya digunakan untuk ilmu. Dia sangat cenderung menggeluti ilmu-ilmu yang bertolak dari empirik, yaitu dari pengalaman dan eksperimen. Demikian giatnya dalam dunia ilmu, sehingga terlihat seolah-olah dia mengabaikan kehidupan materialnya demi menuntut ilmu. Untuk memperhatikan berbagai cabang, ia menguasai beberapa bahasa: Khawarizmi, Arab, Persia, sansekerta, Yunani, ibrani dan suryani.
            Diantara guru-gurunya adalah Abd al-Shamad ibn Abd al-Shamad, Abu Sahal al- Masihi dan Abu al-Wafa al-Buzjani dalam bidang astronomi, kedokteran, dan matematika. Dia juga berguru kepada Abu Nashr Manshur ibn Ali ibn Iraq dalam bidang ilmu ukur (handasah).[19]
            Dalam bidang filsafat, disebutkan bahwa dia menjalin hubungan intelektual dengan Ibn Sina, seorang Filosof besar dalam islam, dengan surat-menyurat, meskipun pemikiran filsafat keduanya berbeda. Al-Biruni, berbeda dari Ibn-Sina, tidak begitu terikat dengan paripatetik  dan bahkan juga dengan pemikiran filsafat Yunani secara keseluruhan. Dia adalah seorang yang kritis dan berpikiran lebih bebas. Meskipun dia banyak melakukan kritik terhadap pemikiran filsafat Aristoteles, pengaruh ibn Sina, al-Kindi, dan al-Mas’udi, banyak mempengaruhi pemikiran filsafatnya.[20] Hanya saja, sangat disayangkan, karya-karya filsafatnya banyak tidak sampai ke generasi sekarang karena hilang.
Dalam bidang astronomi islam, al-Biruni menulis karangan yang berjudul al-Qaumun al-Mas’udi untuk dipersembahkan kepada Sulthan Mas’ud al-Ghaznawi. Dalam bidang astrologi, dia menulis sebuah buku tentang elemen astrologi.
Ketika Mahmud al-Ghaznawi menguasai Asia Tengah, termasuk wilayah kekuasaan dinasti Khawarizmi, al-Biruni diminta oleh Mahmud al-Ghaznawi untuk pindah ke istananya di Ghazna. Selama hidup bersama Mahmud al-Ghaznawi, Mas’ud al-Ghaznawi, al-Biruni banyak melakukan perjalanan wisata (rihlah) ilmiah ke negeri-negeri Hindu yang sudah ditaklukan dinasti Ghaznawiyah. Bahkan disebutkan bahwa sebagian besar hidupnya dihabiskannya di India, terutama diwilayah Pakistan sekarang. Ketika itulah dia mempelajari bahasa sansekerta, yang memungkinkannya untuk mengetahui sumber-sumber kebudayaan India dan berhubungan dengan pendeta-pendeta agama Hindu. Dalam perihalnya ini dia melakukan penelitian tentang negeri-negeri yang dikunjunginya, searah, kebudayaan, dan agamanya. Dalam penelitian itu, dia berusaha mendapat informasi dari tangan pertama. Tentu saja dia menguasai bahasa negeri-negeri yang dikunjunginya, yaitu bahasa sansekerta. Hal ini disebabkan karena dia belajar dengan ilmuwan-ilmuwan Hindu. Melalui bahasa yang dimilikinya dia berhasil melakukan dialog dengan pendeta-pendeta dan ilmuwan-ilmuwan hindu dan berhasil menghimpun banyak informasi tentang India. Berkenaan dengan karyanya tentang India ini, dia cenderung untuk melakukan penelitian untuk mendapatkan pengetahuan dengan bersandar kepada sumber-sumber India yang ditulis ilmuwan pada masa sebelumnya atau yang semasa denganya. Pada tahun 1017 dia mengarang sebuah buku terkenal yang berjudul al-Hind. Karyanya ini, untuk masa itu, dinilai sebagi kajian terbaik mengenai agama Hindu, sains dan adat-istiadat India pada abad pertengahan. Data-data yang dihimpunnya dinilai akurat dan obyektif. Dia adalah ilmuwan muslim pertama yang mempelajari filsafat hindu .[21]
Sebagaimana al-Mas’udi, perhatiannya terhadap gerak bumi mengelilingi matahari sudah ada. Dikatakan bahwa bukunya dalam hal ini termasuk dalam buku-buku yang hilang itu. Seperti tertera dalam suratnya kepada Ibn Sina, ia menyatakan bahwa gerak elipsis lebih mungkin dari pada gerak melingkar pada planet.
Dalam dunia ilmu pada umumnya, dia dikenal sebagi seorang ilmuwan-ilmuwan muslim yang mengembangkan teori eksperimen. Pengetahuan, menurutnya, tidak mungkin dapat melalui pemikiran rasional belaka, sebagaimana yang dianut oleh aliran Paripatetik. Dia selalu berusaha menyaksikan langsung segala perkara yang dikajinya. apa yang disaksikannnya itu dianalisis dan kemudian dirumuskannya . Schoun berpendapat, bahwa al-Biruni adalah orang intelektual terbesar dalam sejarah”, dan seorang orientalis yang lain menyatakan, bahwa “merupakan hal yang mustahil penelitian pembahasan tentang sejarah, astronomi, atau matematika, tanpa memandang karya-karya ilmuwan-ilmuwan yang kreatif ini”… mungkin keistimewaan terbesar al-Biruni adalah semangat ilmiahnnya, ketulusannya terhadap realitas, dan seruannya, untuk memahami kesatuan asal-usul manusia dan ilmu pengetahuan, diantara bangsa-bangsa, dalam dunia yang satu”.[22]
1.       Karya-karyanya
          Karyanya sangat banyak, tidak kurang dari seratus delapan puluh buku. Namun, hanya sebagian kecil saja yang sampai ketangan generasi sekarang. Di antaranya yang sudah ditemukan adalah (1) al-Atsar al-Baqiyah an al-Qurun al-Khaliyah (Peninggalan abad-abad masa lalu). Buku ini adalah karyannya yang terkenal dan terpenting. (2) Tahqiq ma li al-Hind min Maqulah Maqbulah fi al-Aql  aw Mardzulah. buku ini dikenal juga dengan nama  lain, yaitu al-Hin al- Kabir. Secara ilmiah, buku ini tidak kurang penting dari kitab yang pertama. (3) al-Kusuf wa al-Khusuf ala al-khayal al-Hunud (Pandangan Orang Hindu terhadap Gerhana Matahari dan Gerhana bulan . (4) al-Hawy.(5) Maqalid ‘Ilm al-Hayah, dan lainnya.


2.        Metode Sejarah
          Dua karyanya yang tersebut pertama dapat dikatakan sebagai karya sejarah, meskipun tidak seluruh kandungannya berkenaan dengan sejarah. Metode dalam melakukan penelitian sejarah dia melakukan wawancana dengan ahlul kitab, penganut sekte-sektenya, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang diteliti. Cara ini menurut al-Biruni sendiri adalah cara yang sulit dilakukan,[23] apalagi objek kajian berkenaan dengan zaman yang sudah lama berlalu, sejauh ini yang bisa dilakukan kritik berdasarkan rasio, informasi itu perlu diperbaiki, tetapi apabila tidak,  maka informasi itu diambil sebagaimana adanya.
Dari kedua karyanya ini dapat diketahui metodenya dalam melakukan penelitian sejarah.
Di dalam bukunya yang pertama sangat jelas disebutkan bahwa dalam melakukan penelitian sejarah dia melakukan wawancara dengan ahlul kitab, penganut sekte-sektenya, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang diteliti.
D. Ibnu Khaldun
1.    Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Waliyuddin ‘Abd al-Ramhan ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abi bakr Muhammad ibn al-Hasan ibn Khaldun. Dia lahir di Tunisia di awal bulan Ramadhan 732 H (27 mei 1333 M) dan wafat di kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 maret 1406 M).
Keluarganya berasal dari Hadhramaut dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi yang bernama Wayl ibn Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wayl, Khalid ibn Utsman, memasuki daerah Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk di awal abad ke-3 H (9 M). Anak cucu Khalid membentuk suatu keluarga yang besar dengan nama Bani Khaldun. dari Bani inilah nama ibn Khaldun berasal. Bani Khaldun ini pertama kali berkembang di kota Qarmunah di Andalusia di kota inilah mereka bertempat tinggal sebelum hijrah ke kota Isybilia (Seville). Di kota yang terakhir ini bintang Bani Khaldun mulai bersinar. Anggota keluarga Bani Khaldun menduduki beberapa jabatan penting. Ketika dinasti al-Muwahhidun mengalami kemunduran di Andalusia, Bani Hafsh, penguasa Isybilia, hijrah ke Tunisia, Afrika karena daerah kekuasaannya jatuh ke tangan penguasa Kristen. Bani Khaldun juga ikut hijrah ke sana. Abu Bakr diangkat menjadi gubernur di Tunisia, sementara anaknya, muhammad ibn Abi Bakr, kakek ibn Khaldun, menjadi menteri kehakiman. Walaupun kekuasaan Bani Hafsh di Tunisia jatuh ke tangan pemimpin al-Muwahhidun, Amir Abu Yahya al-Lihyani (711 H), kakek ibn Khaldun tetap menduduki jabatan penting. Akan tetapi, salah seorang puteranya, Abu Abdillah Muhammad, ayah ibn Khaldun, tidak terjun ke dunia dan cenderung memasuki dunia ilmu dan pendidikan.
Secara umum kehidupan Ibnu Khaldun dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu:[24]
Pertama, fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran sampai usia dua puluh tahun, yaitu dari tahun 732 H-1332 M hingga tahun 751 H/1350 M. Fase ini dilaluinya di tunis.
Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di maghrib dan Andalusia, yaitu dari tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776H/1374 M.
Ketiga, fase kepengarangan, ketika dia berpikir dan berkontemplasi di Benteng Ibn Salman milik Banu Arif, yaitu sejak tahun 776 H/1374 M sampai 784 H/1382 M.
Keempat, fase mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari tahun 784 H/1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M.
Tiga dinasti yang terkenal di antaranya adalah :
1.        Dinasti Bani Hafsh di Maghrib Dekat, Tunisia, dan wilayah di antara keduanya.
2.        Dinasti Bani Abd al-Wad di Maghrib Tengah dengan ibukotanya Tilimsan.
3.        Dinasti Bani Marin di Maghrib jauh dengan ibukota Fez.
Ketika Fez jatuh ke tangan Sulthan Abu al-Abbas Ahmad (776H/1374 M), ibn Khaldun pergi ke Granada untuk kedua kalinya. Namun, Sulthan Bani Ahmar di sana meminta ibn Khaldun untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara. Meski sudah bersalah, ibn Khaldun diterima kembali oleh penguasa Tilimsan, Abu Hammu, menerimanya dengan senang hati. Sesampainya di Tilimsan, dia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan terjun lagi dalam dunia politik. Dia akhirnya menyepi di Qal’at (Benteng) ibn Salamah dan menetap di sana sampai 780 H (1378 M). Di sinilah dia mengarang kitab monumentalnya Kitab al-Tharwa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al- Ajam wa al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-Sulthan al-Akbar (disingkat al-Tbar) yang terdiri dari tujuh jilid besar. Kitab ini berisi kajian sejarah, dan didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia yang dikenal dengan nama Muqaddimah ibn Khaldun yang sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab al-‘ibar. Kitab Muqaddimah itu membuka lebar-lebar jalan menuju bahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu dalam sejarah islam, ibn Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam Islam.

Selama di Mesir dia kembali merivisi dan menambah pasal-pasal kitab Muqaddimah dan al-‘ibar. Peristiwa-peristiwa terbaru dimasukkannya, demikian juga temuan-temuan ilmiahnya, seperti konsep-konsep sosiologis. Selain kitab al-Tbar yang muqaddimah sebagai jilid pertamanya, ibn Khaldun juga menulis kitab lain yang juga bernilai sejarah sangat tinggi. Di antaranya adalah al-Ta’rif bi ibn Khaldun, sebuah autobiografiyang dijadikannya sebagai dzayl, catatan, dari kitab sejarahnya tersebut di atas. Ia juga menulis sebuah kitab teologi berjudul Lubab al-Muhashshal fi Ushul al-Din yang merupakan ringkasan dari kitab Muhashshal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin karya imam Fakhr al-Din al-Razi. Di samping ringkasan ia juga menulis pendapat-pendapatnya dalam masalah teologi dalam kitab itu.
2.    Metode Sejarah Ibn Khaldun
a.       Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Seorang Sejarawan
Di dalam pendahuluan kitab Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang sejarawan bila ingin tulisannya tidak ditolak oleh pembaca karena dianggap tidak benar syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1)         Sarjana yang terjun langsung ke lapangan sejarah membutuhkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip politik, watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa, tempat-tempat dan periode-periode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte-sekte mazhab-mazhab, dan segala ikhwal lainnya.
2)          Dia harus membandingkan kesamaan-kesamaan, atau membedakan keadaan-keadaan, kini dan masa lalu. Dia harus mengetahui sebab timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi, dan sebab timbulnya perbedaan dalam situasi lainnya.
3)         Dia harus mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukung suatu peristiwa. Sasarannya tidak lain adalah untuk melengkapi tentang sebab terjadinya setiap peristiwa dan untuk mengenal asal muasal masing-masing.
b.      Sebab-Sebab Kesalahan dalam Penulisan Sejarah
Menurut Ibn Khaldun ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam penulisan sejarah. Sebab-sebab tersebut sebagai berikut :
1)         Kecendrungan orang untuk menerima begitu saja berita yang sesuai dengan pendapat atau kepercayaannya, tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Atau dengan terminologi dalam ilmu jiwa, dikatakan bahwa sebab kesalahan dalam hal ini merupakan faktor psikologis murni. Karena penilaian-penilaian orang tersebut telah terpengaruh oleh pendapat-pendapat yang telah masuk ke pikirannya sebelumnya, yakni pendapat-pendapat yang berkembang dalam masyarakat, yang berupa paham-paham yang mengarahkan pemikiran orang perorang sehingga mempengaruhi penilaian mereka.[25]
2)         Kepercayaan yang berlebihan kepada para penutur, padahal penuturan apa pun seharusnya baru bisa diterima apabila telah dilakukan ta’dil dan tajrih (personality criticism).
3)         Ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Banyak para pencatat sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena mereka tidak dapat memahami maksud sebenarnya dari apa yang dilihat dan didengarnya. Dan juga karena mereka menghubungkan berita itu menurut apa yang dipikirkan dan diprasangkainya, sehingga terjatuh dalam kekeliruan.
4)         Kepercayaan yang salah kepada ‘kebenaran’.
5)         Ketidaksanggupan menempatkan dengan tepat suatu kejadian dalam hubungan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya, karena kabur dan rumitnya keadaan.

3.      Sebagai Filosof Sejarah
Di dalam mengantar kitab Muqaddimah-nya Ibn Khaldun membagi sejarah ke dalam dua aspek : aspek lahir dan batin.
Secara lahir, sejarah tidak lebih dari pada berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-negara, dan kejadian-kejadian pada abad-abad yang silam. Dalam perjamuan-perjamuan besar, peristiwa-peristiwa itu dituturkan sebagai sajian. Sedangkan secara batin (hakikat)-nya, dalam sejarah terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran, keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal mula kejadian, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa.
Dalam menyusun informasi sejarah itu semua, dia menggunakan sistematika yang tidak biasa pada masa itu. Dia sadar betul bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan hal yang baru yang besar manfaatnya, karena menurutnya dengan cara barunya ini akan tercapai makna dan tujuan pengkajian sejarah.
Ilmu baru yang dimaksud Ibn Khaldun itu, menurut Zaynab al-Khudhayri adalah filsafat sejarah yang di Eropa baru dikenal beberapa abad kemudian. Banyak tokoh pemikir dunia yang memandang Ibn Khaldun sebagai pengasas filsafat sejarah. Di antara mereka adalah Arnold Tovnbee (sejarawan terkenal), Robert Flint (guru besar sejarah pada Universitas Edinburgh) dll, semua terkenal pada negara masing-masing.
Pemikiran filsafat sejarah Ibn Khaldun terlihat dalam pendapatnya yang menyatakan bahwa, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya. Di antara hukum atau faktor yang mengendalikan sejarah itu, menurut Ibn Khaldun, ashabiyah (fanatisme, kesukuan, nasionalisme) merupakan asas berdirinya negara. Dia juga berpendapat bahwa faktor ekonomi adalah faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat.[26]






    





PENUTUP

Kesimpulan

            Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penulisan sejarah islam klasik tidak lepas dari para tokoh muslim pada jamannya seperti :
1.        Al Thabari menggagas metode sejarahnya berdasarkan riwayat, sangat memperhatikan sanad, sistematika penulisan, kronologi tahun, informasi yang umum.
2.        Al Masudi dalam penulisan sejarah dimasanya mayoritas menggunakan pendekatan tematik.
3.        Al Baruni menulis sejarah dengan wawancara terhadap ahlul kitab dan hasil wawancara dibandingkan antara satu dengan wawancara yang lain.
4.        Ibn Khaldun mengatakan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang sejarahwan yaitu memiliki pengetahuan mengenai prinsip-prinsip politik, nilai-nilai akhlak, mampu membandingkan kesamaan dan perbedaan kini dengan masa lalu.









Abu al-Futuh Muhammad al-tawanisi. 1967. Abu al-Rayhan Muhammad Ibn Ahmad   Biruni. Kairo: al-Majlis, al-A'la, al-syu'un, Al-Islamiyah.
Badri Yatim. 1997.Historiografi islam. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu
M, Natsir.1990. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Penerbit Mizan    
Seyyed Hossein Nasr.1998.  Sains dan Peradaban di dalam Islam. Bandung:         Pustaka



[8] Badri Yatim,Historiografi islam,(Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm 113
[9] Ibid.,hlm.116
[10] Ibid.,hlm. 119
[11] Ibid., hlm.120
[12] Ibid.,hlm 121

[14] M, Natsir. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. (Bandung: Penerbit Mizan.1990) hlm 102-103
[15] Seyyed Hossein Nasr.  Sains dan Peradaban di dalam Islam. Bandung: Pustaka.1998) hlm 99

[16] Badri Yatim.,Loc.Cit.,hlm. 88-89
[17] Abu al-Futuh Muhammad al-tawanisi. (1967). Abu al-Rayhan Muhammad Ibn Ahmad Biruni. Kairo: al-Majlis, al-A'la, al-syu'un, Al-Islamiyah.

[18] Ibid., h.27.

[19] Ibid.,hlm.25
[20] Ibid.,hlm.27
[22]  Eiftaf al-Sharqawi.. Fisafat Kebudayaan Islam. Bandung: Pustaka,1968) hlm 105


[23]Ibid., hlm 107
[24] Ibid.,hal.108
[25] Badri Yatim.,Loc.Cit. hlm 151