Sabtu, 07 November 2015

makalah (Ilm Klm) pemikiran kalam mu'tazilah dan syi'ah

Add caption


MAKALAH
PEMIKIRAN KALAM MU’TAZILAH DAN SYI’AH



Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah ilmu kalam

Dosen Pengampu: Sri Hidayati, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 6:

Aby Syarifunnahar (1532100071)
Choirul Mukmin (1532100094)
Bagus Pamungkas (1532100092)


UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TA 2015/2016

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah azza wajal, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw. Keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas ajarannya hingga hari kiamat.
Penulis sangat bersyukur karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “pemikiran kalam mu’tazilah dan syi’ah”.
Penyusunan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Kalam Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negri Raden Fatah Palembang. Dalam penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ilmu kalam yang telah memberikan materi perkuliahan serta arahannya, mudah-mudahan Allah SWT. Membalas atas semua bantuan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap makalah ini berguna bagi kita semua amin. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palembang, 04 November  2015

Penulis



DAFTAR ISI


BAB I

PENDAHULUAN


Dikatakan bahwa pesoalan yang pertama-tama kali timbul dalam islam, setelah wafatnya rasulullah, adalah persoalan politik dan bukan persoalan teologi. Persoalan politik itulah yang kemudian berkembang menjadi persoalan teologi. Ini adalah titik mula sebuah perjalanan sehingga mengakibatkan munculnya sekte-sekte dalam  islam.  Dari sejarah diketahui bahwa dari permaslahan politik muncul tiga kelompok politik. Masing-masing adalah khawarij, murji’ah dan Syi’ah. Khawarij dan murji’ah segera jelas menjadi kelompok teologi karena pembicaraan  mereka mengenai siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir mengenai setatus orang yang berbuat dosa besar. Dari sinilah timblnya kelompok lain yang bernama mu’tazilah, kelompok ini muncul sebagai respon dari kedua kubu tersebut mengenai pelaku dosa besar, sedangkan mu’tazilah hadir sebagai penengah di antara keduanya.
Adapun Syi’ah, muncul karena ketidak setujuan maslah politik pada saat itu, yaitu mengenai pengganti rasulullah setelah wafatnya baliau sebagai pemimpin. Mereka beranggapan bahwa hanya ahlul baitlah yang berhak atas kepemimpinan setelah rasulullah, dan satu-satunya aglul bait pada waktu itu Ali. tapi kenyatannya berbeda, sehingga para pendukung Ali merasa kecewa sehingga inilah titi tolak kelahiran Syi’ah. Yaitu suatu kelompok pendukung Ali. Dulu Syiah ini hanya sebatas pendukung, namun lambat laun dari waktu kewaktu, Syi’ah ini  makin berubah. Seakan mereka membuat ideologi baru di dalam kelompoknya. Sampai timbulnya perpecahan diantara mereka dikarenakan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang mendasar. Setiap sempalan membawa ideologi baru dengan segala perbedaan dan keekstrimannya.
Adapun mu’tazilah, kemunculannya malah bertolak belakang dengan tiga sekte di atas, golongan ini muncul karena  tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi. Dalam pembahasan makalah ini hanya membahas dua golongan dari dua golongan di atas, yaitu pemikiran  kalam Mu’tazilah dan kalam Syi’ah.
Mengenai pngertian  mu’tazilah Secara etimologi kata ku’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri” yang berarti juga ”menjauh” atau “menjauhkan diri”. Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Adapun pengertian Syi’ah Secara bahasa Syi’ah berasal dari kata syayya’a ataupun tasyayya’a menunjukkan pengertian: pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut ahl al bait.
Untuk lebih memahami dan mengerti serta bijaksana dalam menenggapi permasalahan sekte-sekte dalam islam, khususnya Mu’tazilah dan Syi’ah, serta pemikiran kalam nya, maka dari itu kami memnbawakan makalah ini yang kiranya dapat menambah pengetahuan kita semua.




BAB II

PEMBAHASAN

Secara etimologi kata ku’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri” yang berarti juga ”menjauh” atau “menjauhkan diri”.[1]
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[2]
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Secara tiknis, istilah mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (disebut mu’tazilah I). Golongan ini adalah golongan yang netral akan pergolakan politik pada masa itu, khususnya yang terjadi antara ali bin abi thalib dan lawan-lawannya, seperti muawiyah dan lain-lain. Menurut penulis, golongan yang netral politik masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum mu’tazilah kerena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.
Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:
Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).”  Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[3]
Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.[4]
Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[5]
Namun ada teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (1886-1994 m) menerangkan bahwa nama mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa washil dan hasan al basri, dan sebelum timbul pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama mu’tazilah diberikan  kepada golongan orang-orang yang yang tidak mau intervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian di sana, yaitu satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lainn menjauhkan diri ke kharbita (i’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamakan golongan yang menjauhkan diri tersebut dengan mu’tazilin, sedangkan Abu Al-fida’ menamakan dengan mu’tazilah.[6]
Dengan demikian, kata i’tazala dan mu’tazilah telah digunakan kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Washil dan Hasan Al-basri, yaitu dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi.
Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah At-Tauhid (pengesaan tuhan), Al-Adl (keadilan tuhan), Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (janji dan ancaman tuhan), Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran).
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat. Mereka menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat yang Qadim itu. Sebab, kalau seandainya memang ada sifat-sifat yang Qadim, tentulah akan ada beberapa “Yang Qadim”. Dan ini adalah kepercayaan syirik. Mereka berkata bahwa Allah adalah ‘Alim (Mengetahui) dengan dzat-Nya, Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyun (Hidup) dengan dzat-Nya, Mutakallim (Berbicara) dengan dzat-Nya. Bardasarkan keterangan tersebut maka mereka berkata, bahwa Al Qur’an adalah “makhluk”, karena tak ada Yang Qadim kecuali Allah.[7]
Doktrin mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang menyamai tuhan, atau dalam kata lain Mu’tazilah menolak antropomorfisme dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut. contoh kata “tangan” (Q.S. shad [38]: 75) diartikan kekuasaan dan pada konteks lain “tangan” (Q.S. Al-ma’idah[5]: 64) dapat diartikan nikmat. Kata “wajah” (Q.S. Arrahman [55]: 27) diartikan esensi dan dzat, sedangkan Al-arsy (Q.S. thoha [20]: 5) diartikan kekuasaan.
Mu’tazilah juga meolak paham bahwa allah dapat dilihat oleh mata karena ini konsekuensi logis dari dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Andai tuhan dapat dilihat di akhirat tentu di dunia pun dapat dilihat oleh mata kepala. Oleh karena itu, kata melihat (Q.S. Al-qiyamah [75]: 22-23) ditakwilkan dengan “mengetahui” (know).
Kesimpulannya, dalam ajaran tauhid Mu’tazilah ini, mereka memegang teguh tauhid bahwa allah tidak bersifat, Al-qur’an adalah makhluk, penolakan terhadap paham antropomorfisme, dan penolakann bahwa allah dapat dilihat oleh mata.
Kita mengetahui bahwa setiap nama-nama Allah pasti bergandengan dengan sifatnya, sebagai contoh Alah memiliki nama “Arrahman” yang berarti “maha pengasih”, sehingga Allah mempunyai sifat “mengasihi”. Begitu juga mengenai Al-qur’an adalah makhluk, ini tidak sesuai karena Al-qur’an itu firman atau perkataan tuhan dan bukan makhluk. Dan Mu’tazilah juga melarang mempermisalkan jissimnya allah dengan sesuatu yang lain sehingga mereka memalingkan arti kata yang ada dalam Al-qur’an dengan kata lain, contoh kata “tangan” (Q.S. shad [38]: 75) diartikan kekuasaan. Ini tidak tepat. Memang Allah tidak sama dengan sesuatu apapun tapi bukan berarti kata tangan diartikan dengan kekuasaan. Tangan tetap diartikan dengan tahan tuhan, akan tetapi tangan tuhan tidak sama dengan sesuatu apapun, apalagi dengan tangan manusia. Yang terakhir Mu’tazilah menolak bahwa manusia dapat melihat tuhan, ini tidak tepat karena Allah telah sampaikan bahwa nanti para penduduk surga diberi kenikmatan yang melebihi kenikmatan surga itu sendiri yaitu melihat Allah SWT.
Ajaraan dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti tuhan maha adil.[8] Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
1)    Perbuatan manusia
     Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaannya tuhan. Baik secara langsung maupun tidak.
2)    Berbuat baik dan terbaik
     Dalam istilah arab disebut ash-shalah wa al-ashlah. Maksudnya kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik untuk manusia.
3)    Mengutus rasul
     Mengutus asul adalah kewajiban tuhan karena beberapa alasan. Salah satunya, Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasail, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.
Al-wa’d wa al-wa’id  berarti janji dan ancaman.[9] Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan  melanggar janji-Nya. Perbuatan  tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya. Janji tuhan untuk memberi pahala masuk surga bagi yang berbuat baik  dan  mengancam dengan siksa neraka bagi yang berbuat durhaka pasti terjadi, begitu pula janji tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya madzhab mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap sebagai kafir, bahkan musyrik. Menurut murji’ah tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada tuhan. Mungkin dosa tersebut dianpunu oleh tuhan. Pendapat Washil bin Atha’ (pendiri madzhab mu’tazilah) lain lagi. Orang tersebut berada di antara dua posisi (Al-manzilah Bain Al-manzilatain) atau dengan kata lain di antara surga dan neraka.
Ajaran dasar yang kelima adalah meyeru kebajikan dan melarang dari kemungkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ’an Al-Mungkar). Perbedaan madzhab Mu’tazilah dengan madzhab lain terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
Secara bahasa Syi’ah berasal dari kata syayya’a ataupun tasyayya’a menunjukkan pengertian: pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut ahl al bait. Point penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamman dari para sahabat yang bukan ahlul bait atau para pengikutnya.[10]
Tentang sejarah kemunculan Syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul kepermukaan sejarah pada akhir pemerintahan Ustman bin Affan. Selanjutnya, aliran ini tumnbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul ketika belangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai repon atas penerimaan ali terhadap arbritase yang ditawarkan muawiyah, pasukan ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap ali –disebut Syi’ah- dan kelompok lain menolak sikap ali disebut Khawarij.[11]
Berbeda dengan pandangan diatas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah.) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Ustman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak mengantikan nabi SAW. Ketokohan Ali dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW. Diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu Nabi mengatakan bahwa orang yang peratama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang menunjukan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
Berdasarkan realitas itulah, mucul sikap dikalangansebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa  pengganti Nabi dan penguasa keagamaan adalah Ali. Mereka berkayakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya searta mengajak mansyarakat untuk mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut Syi’ah. Namun, lebih dari itu, seperti dikatan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.
Dinamakan Syi’ah imamiah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dan arti pemimpi religio-politik, yaitu yaitu bahwa Ali berhak menjadi Khalifah bukan hanya kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi ia telah ditunjuk dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi SAW. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan imam atau khalifah telah ada semenjak nabi wafat.[12]
Dalam jsejarahnya Syi’ah terpecah dalam beberapa golongan. Munculnya golongan –golongan dalam aliran ini dimulai ketika wafatnya imam husain, anak Ali bin Abi Thalib atau cucu Nabi. Perbedaan pokok dalam golongan-golongan ini berkisar pada imam dan urutan mereka. Namun kemudian perbedaan ini berimbas pula terhadap masalah terhadap masalah teologi dan hukum.[13]
Syi’ah Itsna Asyariyah dan Sab’iah pada awalnya merupakan  satu kelompok. Namun setelah wafatnya imam keenam yang bernama Ja’far As-shidiq, mereka terpecah menjadi dua kelompok. Perselisihan itu diawali siapa pengganti imam tersebut, Itsna Asyariyah berpendapat Musa Al-kazimlah penggantinya. Karena ismail anak tertua Ja’far telah meninggal sewaktu Imam Ja’far masih hidup. Sab’iah menolak pengangkatan musa al-kazim dan tetap setia kepada ismail meski ia telah wafat.
Adapun urut-urutan imam dua belas itu adalah: Ali, Hasan, Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Abdullah Ja’far As-Shidiq, Musa Al-Kazim, Ali Ar-Ridha, Muhammad Al-Jawwad, Ali Al-Hadi, Hasan Al-Askari, dan terakhir Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas.[14]
Mengenai doktrin yang pertama ini mengenai keimanan. Berlainan dengan sunni, konsep keimanan dalam ajarannya ada lima, yaitu:
1)      Tauhid, yaitu percaya kepada Tuhan yang Maha Esa.
2)      An-nubuwwah, yaitu percaya kepada kenabian Nabi Muhammad SAW.
3)      Al-ma’ad, yaitu keimanan akan hari kebangkitan
4)      Al-adl, yaitu keimanan kepada keadilan tuhan
5)      Imam, yaitu percaya kepada imam
Mengenai keimanan Syi’ah ini tentang imam, seperti yang telah digambarkana, yaitu penunjukannha dengan ta’yin nash, dan maksum. Imam wajib ada sepanjang zaman. Orang yang tidak mempunyai imam adalah sesat, bila dia mati dalam keadaan tidak berimam maka dia mati dalam keadaan kafir dan munafik.[15]
Selanjutnya mengenai taqiyah, Kekhalifahan sesudah wafatnya nabi dianggap tidak sah, ketiga khalifah sebelum Ali dianggap sebagai perampas kekuasaan yang zalim oleh kaum Syi’ah. Oleh karena itu mereka mencap khalifah-khalifah itu sebagai kafir. Pembaiatan Ali terhadap pendahulunya merupakan perbuatan taqiyah. Taqiyah berarti menyambunyikan identitas. Konsep Taqiyah dipergunakan oleh orang Syi’ah dalam  menghadapi musuh-musuhnya.
Paham lain yang berkembang dalam Syi’ah ini adalah Ar-raj’ah, yang berarti kebali. Yaitu menjelang hari kiamat kelak, timbul kekacauan yang menyeluruh dimuka bumi, lalu tuhan mengutus seorang laki-laki yang telah menghilang, kembali sebagai Al-mahdi dari keturunan Nabi untuk menegakkan keadilan dan menyelamatkan orang yang sesat.
Imam ke-12 yang bernama Muhammad Al-mahdi, dipercayai oleh kelompok Istna Asy’ariyah sebagai Al-mahdi yang dijanjikan. Pada Al-mahdi masih berumur 5 tahun, ia menghilang kedalam suatu gua di surra man raa. Meski ia menhghilang, namun ia tetap hidup. Ia menghilang karena disebabkan diancam pembunuhan oleh khalifah abbasiah. Ia akan muncul kembali guna menegakkan islam dan membasmi segala kejahatan.
Istilah Syi’ah Sab’iah “Syi’ah tujuh” dianalogikan dengan Syi’ah Istna Asyariah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam. Tujuh imam itu ialah Ali, Hasan, Husain, Ali zainal abidin, Muhammad Al-baqiir, Ja’far As-shadiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far As-shadiq, Syi’ah Sab’iah disebut juga Syi’ah ismailiah.[16]
Mengenai sejarah kemunculan Syi’ah, teori yang banyak beredar, dan bisa jadi yang cukup kuat adalah yang dikaitkan dengan pertempuran shiffin dan peristiwa tahkim. Alasan logis yang timbul ialah karena dengan peristiwa tahkim itu, ada kelompok yang menentang ali, yang disebut kemudian sebagai kelompok khawarij, tentu ada orang-orang yang masih setia dan mendukung ali yang kemudian disebut Syi’ah Ali. Namun, terlepasa dari pendapat mana yang paling kuat, jelaslah dari keempatnya didapat petunjuk kuat adanya motif politik bagi kelahirannya. Tetapi tidak diperoleh kejelasan mengenai kapan persilangan itu terjadi. Jadi, tidak jelas Sab’iah itu muncul.[17]
Para pengikut Syi’ah Sab’iah percaya bahwa imam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijeaskan Al-qadhi An-nu’man dalam Da’aim Al-islam. Tujuh pilar tersebut adalah:
1)      Iman
2)      Thaharah
3)      Shalat
4)      Zakat
5)      Shoum
6)      Menunaikan haji
7)      Zakat
Berkaitan dengan pilar (rukun), pertama, yaitu Iman, Al-qadhi An-nu’man (974 M) merincinya sebagai berikut: iman kepada allah, tiada tuhan selain allah dan muhammad selain allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman kepada hari pengadilan; iman kepada para nabi dan  para rasul; iman  kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.[18]
Mengenai Imam, yang pertama adalah Ali, imamah itu dilanjutkan oleh imam berikutnya. Imamiyah mengariskan bahwa “seorang imam memperoleh imamah dengan jalan wiratsah dan seharusnya imam merupakan anak paling tua.” Jadi anaknya yang menjadi ayahnya itulah yang menunjuk anaknya yang paling besar. Sedangkan penggarisan imamah ditetapkan hanya dari keturunan Ali dan Fatimah binti Nabi yang kemudian dikenal dengan istilah Ahlul Bait.[19]
Dalam ajaran Syi’ah ini, mereka berpendapat bahwa seorang imam itu maksum. Syi’ah Sab’iah Berpendapat bahwa walaupun terlihat melakuka kesalahan dan menyimpang dari syariat, seorang imam sesungguhnya tidak menyimpang karena mempunyai pengetahuan yang tidak dimiliki manusia biasa.[20]
Mengenai sifat Allah, Syi’ah Sab’iah sebagaimana halnya Mu’tazilah meniadakan sifat dari dzat Allah.penetapan sifat menurutnya merupakan penyamaan terhadap makhluk. Selanjutnya, orang-orang awam tidak dapat mempelajari syari’at tanpa tuntunan seorang guru, dalam hal ini adalah imam. Demikian juda Sab’iah mempunyai keyakinan bahwa wahyu itu tidak berhenti karena itu merupakan penjelmaan atau pancaran dari nabi kepada imam. [21]
Sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam V, putra imam IV, Ali Zainal Abidin. Ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-baqir, anak Zainal Abidin yang lain, sebagai imam V. Dari nama Zaid bin Ali inilah nama Zaidiah diambil. Abu Zahrah menyatakan bahwa Syi’ah Zaidiah merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni.
Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan oleh Syi’ah yang lain, Syi’ah Zaidiah mengembangkan idoktrin imamah yang tipikal. Kaum zaidiah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanhya ditentukan sifat-sifatnya. Selanjutnya, menurut Zaidiah, seorang imam harus memiliki ciri-ciri berikut:
! Merupakan ahlul bait, baik dari keturunan hasan maupun husain. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas pewarisan.
! Memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang.
! Kecenderungan intelektualisme yang dibuktikan denghan ide dan karya dalam bidang keagamaan.
! Mereka menolak kemaksuman imam.
Bertolak dengan Syi’ah yang lain mengenai Khalifah sebelum Ali, Zaidiah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar dan Umar adalah KeKhalifahan yang sah dari sudut pandang islam. Dalam pandangan mereka,  jika ahlul halli wal aqdi telah memilih seorang imam dari kalangan kaum muslim meskipun orafirkan seorang yang terpilih itu tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh zaidiah, padahal mereka telah membaiatnya, keimanannya menjadi sah dan rakyat wajib mwmbaiatnya. Selain itu mereka juga tidak mengkafirkan seorangpun sahabat. Kemudian Zaidiah juga menolak nikah Muth’ah serta doktrin Taqiyah.
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghulu-ghuluw, artinya bertambah dan naik.[22]  Atau kata ghulat jama’ dari kata ghali dari kata ghala-yaghulu-ghuluwan, yang artinya lebih dari batas atau berlebi-lebihan.[23] Jadi Al-ghulat adlah sekelompok orang yang mendukung Ali dan keturunannya dalam imamah, disertai sikap yang berlebih-lebihan, sehingga melampaui batas –batas agama, yang merubah masalah imamah dari masalah politis kemaslah keyakinan.
Menurut syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrim,[24] yaitu:
1)      Tanasukh,
Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Syi’ah ghulat menerapkan paham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far – bahwa roh Allah berpindah kepada adam kemudian kepada imam secara turun-temurun.
2)      Bada’
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah dengan kehendaknya sejalan dengan perubahan ilmunya, serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya. Dalam hal ini jika berkaitan dengan ilmu maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah.
3)      Raj’ah
Ada hubungannya dengan mahdiyah, Syi’ah Ghulat memercayai bahwa mahdi Al-muntadzar akan datang kebumi.
4)      Tasbih
Tasbih artinya meyerupakan. Syi’ah Ghulat mempersamakan salah satu imam mereka dengan tuhan atau sebaliknya.
5)      Hulul
Artinya tuhan berada disetiap tempat. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus disembah
6)      Ghayba
Artinya menghilangnya imam mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syiah bahwa imam mahdi ada dlam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.



BAB III

PENUTUP

Pemikiran Kalam Mu’tazilah adalah ada  lima yaitu:
1.      Al-Tauhid (pengesaan tuhan)
2.      Al-Adlu (keadilan Allah)
3.      Al-Wa’du wal Wa’id (Janji dan ancaman)
4.      Al-manzilah bainal manzilataini (tempat diantara dua tempat)
5.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran)
Mengenai pemikiran kalam Syi’ah yaitu:
Syi’ah Itsna Asy’ariyah. Mengenai doktrin yang pertama ini mengenai keimanan. Berlainan dengan sunni, konsep keimanan dalam ajarannya ada lima, yaitu:
1)        Tauhid, yaitu percaya kepada Tuhan yang Maha Esa.
2)        An-nubuwwah, yaitu percaya kepada kenabian Nabi Muhammad SAW.
3)        Al-ma’ad, yaitu keimanan akan hari kebangkitan
4)        Al-adl, yaitu keimanan kepada keadilan tuhan
5)        Imam, yaitu percaya kepada imam
Doktrin Imamah Dalam Pandangan Syi’ah Sab’iah
Para pengikut Syi’ah Sab’iah percaya bahwa imam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijeaskan Al-qadhi An-nu’man dalam Da’aim Al-islam. Tujuh pilar tersebut adalah:

1)        Iman
2)        Thaharah
3)        Shalat
4)        Zakat
5)        Shoum
6)        Menunaikan haji
7)        Zakat
Doktri-doktrin Syi’ah Ghulat
1)        Tanasukh,
2)        Bada’
3)        Raj’ah
4)        Tasbih
5)        Hulul
6)        Ghayba




DAFTAR PUSTAKA


Ø Muhammad Syak’ah, Musthafa. 2008.  Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi, Solo: Tiga Serangkai
Ø Nurdin, Amin dan Fauzi Abbas, Afifi. 2014.  Sejarah Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, Cet. Ke-2
Ø Razak, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2001. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, cet. VI
Ø Razak, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2014.  Ilmu Kalam,  Bandung: Puskata Setia, cet. ke-2 Edisi Revisi


                [1] Abdur Razak dan Rosihon Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2013), cet. ke-2 hal. 97.
                [2] Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 489.
                [3] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 98.
                [4] Ibid.
                [5] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal 99.
                [6] Ibid.
                [7] Sahrotul Fitria, Aliran Mu’tazilah, http://kalidanastiti-space.blogspot.co.id/2013/12/ aliran-mutazilah.html, pada tanggal 1 November 2015 pukul 05:30
                [8] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 103
                [9] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 105
                [10] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 111
                [11] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 112
                [12] Ibid., hal. 115
                [13] Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2014),  Cet. Ke-2 hal. 180
                [14] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 116
                [15] Fauzi Abbas, OP.Cit., hal 182-183
                [16] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 118
                [17] Fauzi Abbas, Op.Cit., hal. 164-165
                [18] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 119
                [19] Fauzi Abbas, Op.Cit., hal. 167
                [20] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 122
                [21] Fauzi Abbas, Op.Cit., hal. 173-174

                [22] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 127
                [23] Fauzi Abbas, Op.Cit., hal. 187
                [24] Rosifon Anwar, Op.Cit., hal. 128