MAKALAH
Beberapa
Pemikiran Baru Sebagai Upaya Pembaruan Sistem Pendidikan Islam
Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Islam
Dosen Pengampu: Syarnubi, M.Pd.I
Disusun
Oleh Kelompok 10:
Ardi prabowo (1532100087)
Bagus Pamungkas (1532100092)
Choirul mukmin (1532100094)
Delsi iin syafutri 1532100096)
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN
AJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah azza wajal, shalawat seiring
salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw.
Keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas
ajarannya hingga hari kiamat.
Penulis sangat bersyukur karena berkat rahmat dan karuniaNyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Beberapa Pemikiran
Baru Sebagai Upaya Pembaruan Sistem Pendidikan Islam”.
Penyusunan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negri
Raden Fatah Palembang. Dalam penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari
masih banyak kekurangan dan kesalahan sehingga penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam yang telah memberikan materi perkuliahan serta arahannya,
mudah-mudahan Allah SWT. Membalas atas semua bantuan yang telah diberikan
dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap makalah ini berguna bagi kita semua
amin. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Palembang, 24 Mei
2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan menjadi pilar sangat strategis dalam proses
internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai karena pendidikan bersentuhan
langsung dengan aspek manusia yang di dalamnya terkandung kekuatan-kekuatan
yang harus distimulasi, sehingga potensi-potensi yang dimiliki berkembang
secara optimal, terutama dalam menghadapi berbagai bentuk tantangan di masa
depan. Delors mengemukakan bahwa dalam menghadapi
tantangan masa depan, kemanusiaan melihat pendidikan sebagai sesuatu yang
berharga yang sangat dibutuhkan dalam usahanya meraih cita-cita perdamaian,
kemerdekaan dan keadilan sosial.2 Islam juga
telah menggariskan bahwa pendidikan: menyiapkan individu untuk dapat beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tak perlu
dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah
pada shalat, shaum dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim
dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah.[1]
Pendidikan Islam yang dimaksudkan sebagai usaha untuk
mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi mudaya, masih
dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan
Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan,
keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana
pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat
Islam.
Dalam makalah ini akan dibahas
pemikiran pendidikan islam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, K.H. Ahmad Dahlan, dan
K.H. Hasyim Asy’ari sebagai upaya pembaharuan sistem pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Ghazali
1. Biografi Al-Ghazali
Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Ahmad Al
Ghazali Al Thusi. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Ghazal Thus,
Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, Ia adalah keturunan
Persia asli. Setelah orang tuanya wafat, Al Ghazali diserahkan ke suatu madrasah
yang menyediakn biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah Al Ghazali
bertemu dengan Yusuf Al Nasaj, seorang guru sufi kenamaan pada masa itu. Dan
saat itulah titik awal perkembangan intelektual dan spiritual Al ghazali yang
kelak akan membawanya menjadi seorang ulama besar yang berpengaruh dalam
perkembangan pemikiran islam. Sepeninggal gurunya Al Ghazali belajar di Thus
pada seorang ulama yang bernama Ahmad Ibnu Muhammad Al Razak Al Thusi,
selanjutnya belajar juga kepada Abu Nashr Al Isma’ily di Jurjan dan akhirnya masuk di sekolah
Nizhamiyah di Naisabur yang di pimpin oleh Imam Al Haramain. Imam sangat
menonjol kemahirannya dalam ilmu kalam al asy’ary bahkan ia pengikut setia
lairan ini. Dari penganut mazhab syafi’I inilah Al Ghazali memperoleh ilmu
pengetahuan seperti ilmu fiqh, kalam, dan logika. Karena kecerdasan yang
dimilikinya, semua ilmu tersebut dikuasinya dalam waktu singkat. Bahkan Al
Ghazali sempat menampilkan karya perdananya dalam bidang ilmu fiqh yaitu
Mankhul fi ‘ilmi al ushul, disekolah ini Al Ghazali pernah belajar teori dan
praktek tasawuf kepada Abu Ali Al Fadhi Abu Muhammad Ibnu Ali Al Farmadhi.
Dengan demikian semakin lengkaplah ilmu yang diterima Al Ghazali . Di sekolah
Nizhamiyah ini pula Al Ghazali diangkt menjadi dosen di usia 25 tahun.[2]
2. Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali
Al-Ghazali berpendapat
bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk menyebar luaskan keutamaan,
mengangkat harkat dan martabat manusia, menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga
dapat dikatakan, kemakmuran dan kejayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat
tergantung pada sejauh mana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan
pengajaran.[3]
Al-Ghazali
membagi materi pendidikan ke dalam dua bagian:
a.
Ilmu- ilmu pengetahuan yang
wajib dipelajari oleh setiap orang Islam (wajib ‘ain) yang
terdiri dari dari ilmu-ilmu agama dan jenis-jenisnya yang diawali dengan
kitab-kitab suci Allah dan Sunnah rasul, dasardasar pengetahuan agama , ibadat
dan sebagainya.
b.
Ilmu Pengetahuan yang
bersifat fardhu kifayah yaitu ilmu pengetahuan yang menjadi
pendukung hidup didunia seperti kodokteran, ilmu hitung, dan sebahagian ilmu
tehnik, kemudian beliau membagi lagi ilmu-ilmu menurut kekhususannya menjadi
ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu yang bukan syariah yang terdiri dari ilm-ilmu
terpuji, ilmu yang bole dipelajari dan yang tercela.
Pemikiran Alghazali dalam pendidikan harus
bernuansa Islami dan moral dengan tidak mengabaikan persoalan-persoalan
duniawiyah, sehingga beliau juga menyediakan porsi yang sesuai dalam
pendidikan, kendatipun demikian pencapaiaan tujuan duniawiyyah hanyalah sebagai
sarana untuk mencapai kebahagian yang hakiki, yaitu akhirat, sehingga tujuan
pendidikan menurut al Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Allah untuk
mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.[4]
Al-Ghazali mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat
pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan, beliau menegaskan tujuan
pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan
akhlaq,dimana fadhilah/ keutamaan dan
taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting
dalam pendidikan.[5]
Menurut Al-Ghazali faktor-faktor yang mendukung terlaksananya pendidikan
seperti, pendidik, anak didik, metode, materi dan tujuan harus berjalan dalam
koridor agama, maka menurutnya tidak sembarang orang dapat menjadi guru,
kecuali sudah mencapai derajat alim, dalam artian ia telah dapat mendidik
dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlaq yang mulai, sabar, syukur,
iklas, tawakkal dan lain-lain, dan juga kepada anak didik disyaratkan sepuluh
sifat diantaranya mempunyai kesucian jiwa, tawadhu‟ tidak congkak dengan
ilmunya dan sebagainya.[6]
Dalam kaitannya dengan sifat yang dimiliki oleh seorang guru,
beliau berpendapat bahwa guru perlu memberi perhatian pada pelajar dalam aspek
kehadiran dalam kelas dan kehidupan seharian mereka. Guru perlu memberi tugas
kepada pelajar sesuai dengan tahap pemikiran pelajar tanpa membebankan mereka.[7]
Guru juga perlu
mempertimbangkan perbedaan dalam diri setiap pelajar (dari segi fisik, intelek,
dan sebagainya). Guru perlu mempertimbangkan apa yang diajarkan kepada siswa terlebih dahulu dan tidak menipu
apa yang dikatakan. Menurut al ghazali , sifat yang perlu ada dalam diri
seorang guru adalah senantiasa benar dalam semua perkara, amanah, lemah lembut,
rendah diri dan kasih sayang. Guru perlu memahami jiwa pelajarnya.
Hal
ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam Q. S Al Baqarah [2] : 44:
tbrâßDù's?r& }¨$¨Y9$# ÎhÉ9ø9$$Î/ tböq|¡Ys?ur öNä3|¡àÿRr& öNçFRr&ur tbqè=÷Gs? |=»tGÅ3ø9$# 4 xsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÍÍÈ
Artinya : “Apakah engkau
menyeru manusia untuk berbuat baik dan kamu melupakan dirimu sendiri ,
sedangkan kamu membaca Al Kitab (Al Qura’an) apakah kmau tidak berfikir “.[8]
Maksud firman Allah tersebut adalah peranan guru itu bukan saja
menyampaikan ilmu kepada pelajarnya dan menyuruh mereka melakukan kebaikan,
akan tetapi guru juga turut berperan sebagai model dalam kehidupan pelajarnya.
Setiap apa yang guru lakukan, pelajar akan turut mengikutiya. Jika seorang guru
itu lupa atas apa yang disampaikannya, niscaya pelajarnya tidak akan mengikuti
apa yang diajarkan guru tersebut.
Berkaitan dengan peserta didik
menurut Al-Ghazali dalam pendidikan islam bahwa kewajiban murid adalah:
memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang
guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara
sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub
kepada Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta dan pangkat.[9]
Konsep pendidikan anak menurut Al Ghazali dapat ditelusuri
dengan karyanya yang berjudul Ayuhul walad dan Riyadlat Al Nafs,
dibukunya yang kedua tersebut Al Gahzali fokus perhatian anak sekolah sampai
remaja. Menurut Al Ghazali metode mendidik anak adalah sangat penting karena
anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya, dan karena itu orang tua
bertanggung jawab atas pendidikan anaknya, Jika anak dibiasakan dengan hal yang
baik dan diajarkan dengan cara yang baik pula, maka mereka akan tumbuh dalam
kebaikan dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan orang tua
dan para guru akan memperoleh bagian pahala diakhirat nanti. Dan sebaliknya
jika anak dibiasakan dengan kejahatan dan diabaikan layaknya hewan buas maka
mereka akan merugi. Al Ghazali memandang bahwa tujuan pendidikan adalah untuk
menjamin masa depan anak di akhirat (qu anfusakum wa ahlikum naran).[10]
Berkaitan dengan tujuan pendidikan adalah untuk
menjamin masa depan anak di akhirat maka Al Ghazali menjelaskan maksud tujuan
tersebut:
a.
Mendekatkan diri kepada
Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah
wajib dan sunah.
b.
Menggali dan mengembangkan
potensi atau fitrah manusia.
c.
Mewujudkan profesionalitas
manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d.
Membentuk manusia yang
berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e.
Mengembangkan sifat-sifat
manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Metode khusus pendidikan
menurut al-Ghazali yaitu :
a.
Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode
ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, keyakinan dan
pembenaran, dan penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang
penguatan akidah.
b.
Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali
adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai
perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode
tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia,
sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia
juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu : Kesempurnaan insani yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah dan Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.[11]
Kemudian berkaitan dengan
pemikiran Al-Ghazali tentang evaluasi pendidikan, proses evaluasi dilakukan
secara periodik dengan tujuan untuk mengetahui hasil dari proses pembelajaran
yang dilakukan pada masing-masing subyek pendidikan, di antaranya pemimpin,
murid, guru, orang tua/wali murid dan tenaga administratif, serta jika terdapat
hambatan atau kendala dalam proses pendidikan untuk dicarikan solusinya.[12]
Evaluasi pendidikan islam
menurut Al-Ghazali ini dilakukan pada waktu tertentu dalam upayanya mengetahui
hasil, hambatan maupun kendala dalam proses pembelajaran, sehingga setelah
diketahui maslah-masalah yang ada dalam proses pembelajaran akan segera
dicarikan solusinya.
Di bawah ini Pemikiran
pendidikan islam sebagai upaya pembaharuan Al-Ghazali:
1
|
Sistem Pendidikan Islam
|
Pendidikan
harus bernuansa Islami dan moral dengan tidak mengabaikan persoalan-persoalan
duniawi. pencapaiaan tujuan duniawiyyah hanyalah sebagai sarana untuk
mencapai kebahagian yang hakiki, yaitu akhirat.
|
2
|
Peserta didik dalam pendidikan islam
|
kewajiban murid adalah
memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak
menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu
ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas.
|
3
|
Metode pendidikan islam
|
Metode khusus pendidikan agama (dimulai dengan hafalan dan pemahaman,
keyakinan dan pembenaran) dan Metode khusus pendidikan ahklak.
|
4
|
Kurikulum pendidikan islam
|
Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Dengan materi Ilmu-
ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari oleh setiap orang Islam (wajib
‘ain) yang terdiri dari dari ilmu-ilmu agama dan jenis-jenisnya dan Ilmu
Pengetahuan yang bersifat fardhu kifayah yaitu ilmu pengetahuan yang
menjadi pendukung hidup didunia seperti kodokteran, ilmu hitung, dan
sebahagian ilmu tehnik dan lain-lain.
|
5
|
Pendidik dalam pendidikan islam
|
Tidak sembarang
orang dapat menjadi guru, kecuali sudah mencapai derajat alim, dalam artian
ia telah dapat mendidik dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlaq
yang mulai, sabar, syukur, iklas, tawakkal dan lain-lain,
sifat yang perlu ada dalam diri
seorang pendidik adalah senantiasa benar dalam semua perkara, amanah, lemah
lembut, rendah diri dan kasih sayang
|
6
|
Tujuan pendidikan islam
|
Tujuan pendidikan
adalah mengarahkan pada realisasi
tujuan keagamaan dan akhlaq, dimana
fadhilah/ keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada
kebahagiaan dunia dan akhirat
|
7
|
Evaluasi Pendidikan
|
Proses evaluasi dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk mengetahui
hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan pada masing-masing subyek
pendidikan, di antaranya pemimpin, murid, guru, orang tua/wali murid dan
tenaga administratif, serta jika terdapat hambatan atau kendala dalam proses
pendidikan untuk dicarikan solusinya.
|
B. Ibnu Khaldun
1. Biografi Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun memiliki nama lengkap
Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Muhammad
bin Jabir bin Ibrahim bin Abdirrahman bin Khalid bin Utsman.[13]
Nama aslinya ialah Abdurrahman, dan nama keluarganya Abu Zaid, yang bergelar
Waliuddin. Namun beliau lebih dikenal dengan nama Ibn Khaldun.[14]
Untuk lebih mengenal biografi Ibn
Khaldun, Ali Abdul Wahid Wafi’ membagi sejarah kehidupan Ibn Khaldun dalam
empat fase, yaitu :
a.
Fase Perkembangan dan
Menuntut Ilmu ( 732-751 H/ 1332-1350 M)
Guru pertama Ibnu Khaldun dalam
menuntut ilmu adalah ayahnya sendiri. Masjid pada masa itu adalah sentral atau
pusat pendidikan. Ibn Khaldun pun menuntut ilmu di masjid yang hingga kini
dikenal masyarakat Tunis, yaitu masjid Quba.[15]
Ibnu khaldun mendapatkan pendidikan
pertamanya dengan menghafal Al-qur’an,
belajar ilmu tajwidnya, memperdalam Qira’at Sab’at (tujuh bacaan para ulama
ahli) dan Qira’at Ya’qub. Ibn Khaldun
juga belajar tentang dasar-dasar ilmu bahasa Arab, kesusastraan dan gramatika,
lalu mendalami ilmu ushul fiqh dan fiqh dari Mazhab Maliki; kemudian ilmu
tafsir dan hadits serta mendalami filsafat dan logika (mantiq). Selain itu beliau juga memperoleh ilmu kalam dari Mazhab
al-Asy’ariyah.[16]
b.
Fase Politik dan Kiprahnya
dalam Bidang Pemerintahan di Maroko dan Andalusia (751-776 H/1351-1374 M)
Pada masa ini, Ibnu Khaldun telah
menunujukkan berbagai kepiawaiannya dalam
berpolitik. Sejumlah jabatan penting pernah beliau duduki. Kiprahnya pertama
dalam bidang pemerintahan ialah sebagai Kitabatul
Allamah, yaitu sekretaris atau
penulis cap kekuasaan. Dari beberapa jabatan yang pernah beliau pegang, jabatan
hijabah adalah posisi yang tertinggi.
Dengan demikian Ibn Khaldun tidak pernah sampai jabatan Sultan. Mungkin karena
sistem pemerintahan yang berlaku dan belum bisa di ubah pada masa itu yang
masih bersifat keturunan, sementara beliau sendiri tidak memiliki nenek moyang
yang berkedudukan Sultan, meskipun umumnya terjun ke dunia politik.[17]
c. Fase Menulis (776-784
H/1374-1382 M)
Ibnu Khaldun diizinkan Sultan Abu
Hammu untuk tinggal di benteng Ibn Salamah guna berkonsentrasi membaca dan
menulis. Ibn Khaldun tinggal beserta keluarganya di tempat terpencil selama
empat tahun. Disinilah beliau mulai menulis sejarah yang mulai terkenal, yaitu Kitab al-‘Ibar yang kemudian dikenal dengan
nama Kitab Ibn Khaldun. Tulisan ini
diangkat dari penelitiannya terhadap perkembangan sosial yang dihadapi dan
digelutinya selama beberapa tahun terakhir. [18]
Pada saat itu usia Ibnu Khaldun
sekitar 45 tahun; suatu usia yang telah matang dan produktif karena telah
didukung oleh berbagai referensi yang telah dibacanya. Selain itu pengamatan
dan pengalamannya turut menjadi referensi dalam menulis karyanya tersebut.
Dengan akalnya yang cerdas lagi kritis
dan pengamatannya yang tajam serta cermat, telah membuatnya mampu
mendalami berbagai fenomena yang disaksikannya.[19]
d.
Fase Tugasnya dalam Bidang
Pengajaran dan Pengadilan di Mesir (784-808 H/1382-1406 M)
Pada masa itu Al-Azhar telah menjadi
Universitas terkemuka di Kairo. Ibn Khaldun mengadakan kuliah dalam bentuk halaqah yang boleh dihadiri oleh siapa
saja. Disini beliau memberikan kuliah dalam mata kuliah ilmu hadits, fiqh
Maliki, dan juga menerangkan teori-teori kemasyarakatan. Di samping kecerdasan
akal dan kecemerlangan ide-ide yang dikemukakannya, Ibn Khaldun juga bisa
beretorika dengan baik sehingga penyampaiannya mendapatkan hati bagi
pendengarnya, termasuk para ulama setempat.[20]
2. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun menganggap bahwasannya pendidikan
merupakan hakikat dari eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa
manusia mempunyai kesanggupan untuk memahami keadaan dengan kekuatan pemahaman
melalui perantara pikirannya yang ada dibalik panca indera. Manusia juga
mempunyai
kecenderungan untuk mengembangkan diri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga tercapai realitas
kemanusiaan dengan pendidikan yang merupakan hasil pengembangan diri. Dengan
hal tersebut akan membentuk kehidupan masyarakat yang berbudaya dan masyarakat
yang mampu bekerja untuk melestarikan dan meningkatkan kehidupan. Oleh karena
itu, pendidikan merupakan usaha mengembangkan segenap potensi yang dimiliki
manusia.[21]
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa
pendidikan adalah upaya untuk memperoleh suatu kepandaian,
pengertian dan kaidah-kaidah yang baru. Karena setiap diri manusia bisa berubah
setiap saat, setiap kehidupan yang terjadi merupakan proses dari
pendidikan yang besar dan luas.[22]
Pandangan
Ibnu Khaldun mengenai pendidikan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas
yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek
pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala
konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam
tahapan kebudayaan. Menurutnya, bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan
gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.[23]
Ibnu Khaldun adalah sosok yang
sangat rasionalis, karena pernah belajar filsafat, sekaligus merupakan
seorang empiris. Perpaduan dua aliran ini yang pada masa sekarang disebut
ilmiah. Bahkan Fuad Baali dan Ali Wardi berpendapat bahwa Ibnu Khaldun sangat
religius dan memiliki kecenderungan sufistik. Hal ini dibuktikan bahwa Ibnu
Khaldun pernah menjabat sebagai Hakim Agung Madzhab Maliki di Mesir
berkali-kali. Muhammad Iqbal juga menambahkan bahwa Ibnu Khaldun adalah
satu-satunya muslim yang telah memasuki tasawuf yang
berjiwa ilmiah.
a.
Hakikat Manusia
Dalam pandangan psikologi,
“pandangan manusia terhadap dirinya sangat mempengaruhi pendidikannya”.[24]
Pertama, Manusia sebagai makhluk
berpikir. Menurut Ibn Khaldun, manusia adalah makhluk berpikir. Hal ini membedakannya dengan hewan-hewan dan makhluk
lainnya. Kesanggupan berpikir ini merupakan sumber segala kesempurnaan puncak
dari kemuliaan, dan ketinggian di atas makhluk lain. Ibn Khaldun mengemukakan
ada tiga tingkatan berjenjang dalam proses berpikir, yaitu: Al- ‘aql-tamyiziy
atau akal pemilah, Al –‘aql al-tajribiy. Atau akal eksperimen, dan Al- ‘aql
al-nazhariy atau akal kritis/spekulatif.[25]
Kedua, Manusia sebagai Makhluk
Berkepribadian Utuh. Tidak diragukan lagi bahwa islam
memandan kepribadian manusia, secra umum, tersusun dari dua dimensi yaitu
dimensi jasad dan roh, atau disebut juga dengan dimensi jasmani dan rohani. Ibn
Khaldun juga seorang tokoh intelektual terkemuka juga mengakui akan kepribadian
manusia terdiri dari dimensi jasad dan roh atau jiwa.[26]
Ketiga, Manusia sebagai Khalifah
Allah fi al-Ardhi. Dengan kemampuan berpikir, manusia
mampu melahirkan tindakan yang teratu dan tertib sehingga benda-benda yang ada
sebagai sumber daya alam dapat diolah dan dikembangkannya. Bahkan, makhluk Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun
lebih rendah kedudukannya dari manusia sehingga dapat menguasai dan
memanfaatkannya. Karena kemampuan yang bersifat alamiah itulah manusia
dijadikan Allah sebagai khalifah Allah
fil ardhi.
Keempat, Manusia sebagai Makhluk
Individu dan Sosial. Ibn Khaldun mengakui bahwa manusia
sebagai makhluk individu memiliki karakter dan potensi yang berbeda anatara
yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut tentunya dilatarbelakangi
oleh tingkat pola berpikirnya, lingkungan geografisnya, atau kondisi mentalnya.[27]
b.
Tujuan Pendidikan Islam
a)
Untuk mengembangkan
intekektulitas peserta didik. Ia memandang bahwa aktivitas ini sangat penting
bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Kemudian, kematangan ini akan mendapatkan
faedah bagi masyarakat.
b)
Memperoleh
ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam
masyarakat maju dan berbudaya.
c)
Memperoleh
lapangan pekerjaan yang digunakan untuk memperoleh rizki. Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa: “Ketahuilah bahwa menurut wataknya manusia membutuhkan sesuatu
untuk dikamakan, dan untuk melengkapi dirinya dalam semua keadaan dan tahapan
hidupnya sejak masa pertama pertumbuhan hingga masa tuanya.
c.
Metode Pendidikan
1) Mengajarkan di lakukan dengan berangsur-angsur.
2) Guru mengajarkan pembahasan yang akan diajarkan,
secara umum dan menyeluruh dengan mempertimbangkan kemampuan akal dan
memperhatikan kesiapan pelajar memahami apa yang akan diberikan kepadanya.
3) Guru menyampaikan secara lebih terperinci dan
menyeluruh,
4) Guru harus memberikan perbaikan kepada seluruh
materi pelajaran yang diberikan.
5) Guru tidak boleh memperkenalkan permasalahan
disiplin ilmu lainnya kepada para siswa sebelum para siswa tersebut memahami
suatu disiplin ilmu secara penuh.
6) Metode diskusi.
7) Pendidikan dengan cara yang lemah lembut.[28]
d.
Pendidik dalam pendidikan
islam
1)
memahami naluri, bakat dan
karakter yang dimiliki para siswa.
2)
Para guru
bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya,
berperilaku lembut dan tidak menerapkan perilaku keras dan kasar.
3)
Sebagai
pemimpin yang membuat perbaruan dan perbaikan melalui keteladanannya.
4)
Seorang
guru harus mengetahui kondisi kejiwaan dan kesiapan peserta didiknya ketika
hendak memberikan pelajaran.[29]
e.
Peserta Didik dalam
Pendidikan Islam
Ibnu Khaldun memandang peserta didik
sebagai subyek didik, bukan obyek didik yang memiliki
potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ini menandakan bahwa
Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang optimistik terhadap peserta didik. Peserta
didik bagi Ibnu Khaldun merupakan subyek didik yang dituntut kreativitasnya agar
dapat mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan ini membuat pendidikan
sebagai anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing ke
alam kedewasaan. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun memandang peserta
didik sebagai obyek didik yang memerlukan subyek didik, yaitu guru.[30]
f.
Kurikulum Pendidikan Islam
Ibnu Khaldun membagi macam-macam
ilmu yang perlu dimasukkan ke alam kurikulum pendidikan
menjadi dua bagian, yaitu (1) ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik, yang
dipelajari karena faedah dari ilmu itu sendiri, seperti ilmu-ilmu syar’iyat, ilmu-ilmu tha’biyat dan filsafat yang
berhubungan dengan ke-Tuhan-an, seperti ilmu tafsir, hadits, kalam dan
sebagainya. Pendidikan agama, menurut Ibnu Khaldun, memiliki peran penting
dalam memupuk persatuan demi berlangsungnya pendirian negara yang besar,
(2) ilmu-ilmuyang bernilai ekstrinsik instrument, yaitu ilmu
alat bagi ilmu-ilmu jenis pertama di atas, seperti bahasa, matematika, ilmu
logika yang membantu mempelajari filsafat dan lain-lain.[31]
Kemudian mengenai evaluasi
pendidikan Ibnu Khaldun, Evaluasi
pendidikn, di lakukan dengan melibatkan aktivitas jasmaniah dalam kehidupan
sehari-hari. [32]
jadi evaluasi yang dilakukan tidak hanya dari sisi prestasi belajar saja, akan
tetapi melibatkan aktivitas jasmaniah siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut ini tabel pemikiran
pendidikan islam Ibnu Khaldun sebagai upaya pembaharuan pendidikan islam:
1
|
Hakikat
Manusia
|
Manusia
sebagai makhluk berpikir, Manusia sebagai Makhluk Berkepribadian Utuh,
Manusia sebagai, Khalifah Allah fi al-Ardhi, dan Manusia sebagai Makhluk
Individu dan Sosial.
|
2
|
Tujuan Pendidikan Islam
|
mengembangkan
intekektulitas peserta didik, Memperoleh ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam
masyarakat maju dan berbudaya, dan Memperoleh lapangan pekerjaan yang
digunakan untuk memperoleh rizki
|
3
|
Metode Pendidikan Islam
|
di lakukan
dengan berangsur-angsur, penyampaian secara terperinci
dan menyeluruh, memberikan perbaikan
kepada seluruh materi, Metode diskusi, dan penyampaian yang lemah lembut.
|
4
|
Pendidik dalam Pendidikan Islam
|
memahami
naluri, bakat dan karakter siswa, berperilaku penuh kasih
sayang, berperilaku lembut, keteladanan, dan mengetahui
kondisi kejiwaan dan kesiapan peserta didiknya.
|
5
|
Peserta Didik
|
Peserta
didik merupakan subyek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat
mengembangkan diri dan potensinya. Sebagai anak manusia yang memerlukan
bantuan orang lain, agar terbimbing ke alam kedewasaan, Dalam konteks ini
peserta didik sebagai obyek didik.
|
6
|
Kurikulum Pendidikan Islam
|
ilmu-ilmu
yang bernilai instrinsik seperti tafsir, hadits, kalam dan sebagainya. Dan
ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik seperti bahasa, matematika, ilmu logika
dan lain-lain.
|
7
|
Evaluasi Pendidikan Islam
|
Evaluasi pendidkan dilakukan tidak
hanya dari sisi prestasi belajar saja, akan tetapi melibatkan aktivitas
jasmaniah siswa dalam kehidupan sehari-hari.
|
C. Ahmad Dahlan
1. Biografi Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan sewaktu mudanya bernama Muhammad Darwis,
lahir tahun 1868 M./1285 H. di kampung kauman yokyakarta. Ayahnya seorang ulama
yang bernama K.H. Abu Bakar bin K.H. Sulaiman, pejabat khatib dan imam di
masjid besar kesultanan yokyakarta. Dan ibunya bernam Siti Aminah Binti K.H.
Ibrahim, pejabat penghulu kesultanan yokyakarta. Muhammad Darwis adalah anak
ke-4, dari tujuh bersaudara. (1) Kyai Khatib Harun, (2) Kyai Muhsin (Kyai Nur),
(3) K.H. Saleh, (4) K.H. Ahmad Dahlan, (5) K.H. Abdurrahman, (6) Muhammad
Faqih, dan (7) Basir.[33]
K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 februari 1923 atau bertepatan
dengan 7 rajab 1340 di kauman Yokyakarta dalam usia 55 tahun.[34]
Secara formal Kyai Haji Ahmad Dahlan dpat dikatakan tidak
pernah memperoleh pendidikan. Pengetahuannya sebagian diperoleh dari
otodidaknya. Sementara kemampuan dasar baca-tulis ia peroleh dari ayahnya
sendiri, sahabat dan saudara-saudara iparnya.[35]
Setelah beberapa waktu belajar dengan beberapa
guru, K.H. Ahmad Dahlan pergi ke mekkah untuk ibadah haji. Ia tiba di mekkah
pada bulan rajab 1308 H./1890 M. Setelah menunaikan umrah ia bersilaturahmi
dengan para ulama indonesia maupun arab sekaligus untuk menimba ilmu darinya.[36]
Pada tahun 1903, Ia berngkat lagi ke mekkah dan menetap selama
dua tahun. Ia studi lanjut tentang berbagai ilmu islam kepada gurunyaketika
haji yang pertama dulu, juga kepada lainnya.[37]
Pada saat itu Ahmad Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang
dilakukan melai penganalisaan ktab-kitab yang dikarang oleh reformer isalm,
seperti Ibn Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al-jauziyah, Muhammad Bin Abdul Wahab, Jamal
Al-din Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui
kitab yang dikarang oleh reformer islam, telah membuka wawasan dahlan tentang
universitas islam. Ide-ide tentang
reintepretasi islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan As-sunnah
mendapat perhatian khusus Dahlan ketika itu.
2. Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan
Pemikiran K.H. Ahmag Dahlan hampir seluruhnya berangkat dari
keprihatinan terhadap situasi dan kondis global umat islam waktu itu yang
tenggelam dalam kejumudan, kebodohan, serta keterbelakangan. Keadaan ini
semakin diperparah dengan politik kolonial belanda yang sangat merugikan bangsa
indonesia.[38]
K.H. Ahmad Dahlan sangat merasa kemunduran umat islam di tanah
air, hal itu merisaukan hatinya, ia merasa bertanggung jawab dan berkewajiban
membangunkan, menggerakkan, dan memajukan mereka. Beliau sadar kewajiban itu
tidak mungkin dilakukan seseorang diri, harus dilakukan oleh beberapa orang
yang diatur secara seksama. Kerjasama beberapa orang yang diatur secara
bersama. Kerjasama antar beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Dengan pemahaman seperti itu, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan
organisasi atau perkumpulan yang ia beri nama Muhammadiyah. Faktor lain yang
mendorong berdirinya Muhammadiyah ialah sikap keberagamaan umat islam kala itu
dinilai sangat sinkietis dan diselimuti oleh tradisi Hindu-Budha dalam menjalankan
ibadah ritual. Selain sikap keberagaman umat islam kala itu yang masih belum
rasional. banyak bercampur dengan syirik, Khurafat, Bid’ah, dan dan Taqlid. Hal
ini ditambah sistem pendidikan yang lebih menekankan kepada kemapuan mengaji,
bukan mengkaji sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional kurang rasional.[39]
Usaha-usaha dibidang pendidikan oleh K.H. Ahmad Dahlan semakin
digalakan setelah Ia membentuk perkumpulan Muhammadiyah. Perkumpulann ini
dibentuk pada tanggal 18 November 1912 bertepatan 8 zulhijjah 1330 H.[40]
salah satu sebab didirikannya Muhammadiyah ialah karena lembaga-lembaga
pendidikan islam di indonesia sudah tidak memenuhi lagi kebutuhan dan tuntutan
zaman. Tidak saja isi dan metode yang tidak sesuai, bahkan sistem
pendidikannyapun harus diadakan
perubahan.[41]
Menurut Dhlan hal ini kalau dibiarkan maka akan berdampak pada stagnan
pemikiran, kejumudan serta pola pikir yang regresif.
Dalam muhammadiyah, guru menduduki tempat
penting, tidak hanya sekedar alat mekanis tanpa pengetahuan, kesadaran,
motivasi, dan tujuan. Di dalam pengertian Muhammadiyah, guru merupakan subjek
pendidikan, dan subjek dakwah yang sangat penting fungsi dan amal
pengabdiannya.
Sesungguhnya Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan islam
pada masanya. Pada watu itu pendidikan islam hanya dipahami sebagai proses
pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun sosial yang telah
menjadi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan
peserta didik untu berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi demikian
menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dialogis.
Padahal dalam pandangan Ahmad Dahlan, pengembangan daya kritis, sikap dialogis,
menghargai potensi akal dan hati yang suci.
Pelaksanaan pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan hendaknya di
dadasarkan atas landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis
bagi perumusan konsep dan tujuan pendidikan islam. Baik secara vertikal
(Khaliq) maupun horizontal (Makhluk). Dalam pandangan islam, paling tidak ada
dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai Abd Allah dan Khalifah
Fil Ardh. Dalam proses kejadiannnya, manusia diberikan Allah dengan Al-ruh
dan Al-Aql. Oleh karena itu hendaknya pendidikan menjadi media yang
dapat mengembangkan potensi Al-ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaa
ketundukan dan kepatuhan manusia dengan sang Khaliqnya. Di sini eksistensi akal
sebagai potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan
demi menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang
harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya.[42]
Menurut K.H. Ahmad Dahlan Pendidikan islam hendaknya diarahkan
pada membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur dan ‘alim dalam agama,
luas pandangan dan paham masalah keduniawian, serta berjuan untuk kemajuan
masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan islam merupakan upaya pembinaan
muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai Abd dan Khalifah fil ardh. Untuk
mencapai tujuan ini, pendidikan islam hendaknuya mengakomodasikan berbagai ilmu
pengetahuan, baik ilmu umum maupun ilmu agama, untuk mempertajam daya
intelektualitas dan memeperkokoh spiritualitas peserta didik. Upaya ini akan
terealisasi manakala pendidikan islam dilaksanakan secara integral, untuk
menghasilkan peserta didik yang “intelektual-ulama”. Maka epistemologi islam
dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang
dilaksanakan. Beliau mengemukakan bahwa materi pendidikan ialah pengajaran
Al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar.
Berpijak pada pandangan di atas sebenarnya Ahmad Dahlan ingin
pengelolaan pendidikan islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan
yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik memenuhi dinamika zamannya.
Untuk itu pendidikan islam perlu membuka diri, inovatif dan progresif.
Untuk mewujudkan pembaharuan dibidang pendidikan K.H. Ahmad
Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada
pedidikan modern, yaitu dengan sistem klasikal.[43]
Apa yang dilakukannya masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan
islam pada masa itu. Di sini ia menggabungkan sistem pendidikan belanda dengan
sistem pendidikan tradisional secara integral.[44]
Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara
metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari sini
tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan
lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini.
Dari uraian di atas terlihat bahwa, pemikiran pendidikan islam sebagai
upaya pembaharuan Ahmad Dahlan ini, merupakan tranformasi paradigma pendidikan
islam yang saat itu hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan
sosialisasi perilaku individu maupun sosial. Kepada pendidikan yang
mengembangkan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati
yang suci. Hal ini diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi
pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan,
serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Mengenai evaluasi pendidikan menurut Ahmad Dahlan, penulis
tidak menemukan secara rinci dari berbagai sumber yang telah kami baca
berkaitan dengan Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dan pemikiran pendidikannya. Di
sana hanya dijelaskan pembaruan pendidikan islam dilakukan dari sistem
pendidikan pesantren yang menggunakan metode sorogan, bandongan dan wetonan
menjadi pendidikan berbentuk madrasah dengan menerapkan metode klasikal. Dengan
sistem pendidikan seperti itu muhammadiyah telah mengenal rencana pembelajaran
yang teratur dan integral. Sehingga hasil belajar lebih dapat dievaluasi.
Mengenai bentuk evaluasi pendidikan Ahmad Dahlan secara pasti, penulis belum
menemukan. Yang pasti evaluasi itu harus dapat mengukur tingkat kemajuan hasil
belajar secara menyeluruh.
Berikut tabel pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan:
No
|
Pemikiran
Pendidikan Islam Secara Umum
|
|
Pemikiran
pendidikan masa sebelum pembaharuan
|
Usaha pembaharuan
Ahmad Dahlan
|
|
1
|
Keberagamaan umat islam diselimuti oleh tradisi Hindu-Budha dalam
menjalankan ibadah ritual.
|
Melepaskan segala tradisi diluar
islam dalam menjalankan ritual ibadah, temasuk Hindu-Budha.
|
2
|
keberagaman umat islam yang masih belum rasional banyak bercampur
dengan syirik, Khurafat, Bid’ah, dan dan Taqlid.
|
Pendidikan islam merupakan upaya pembinaan muslim sejati yang
bertaqwa tajam daya intelektualitas dan kokoh spiritualitas.
|
3
|
Sistem pendidikan yang lebih menekankan kepada kemapuan mengaji
sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional kurang rasional.
|
Membangun
pendidikan yang tidak hanya mampu mengaji tapi juga kemampuan mengkaji agar
melahirkan pemikiran yang rasional.
|
4
|
Pendidikan islam hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan
sosialisasi perilaku individu maupun sosial.
|
Pendidikan yang mengembangkan daya
kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci.
|
Dari tabel terlihat bahwa, diharapkan pendidikan mampu
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan
dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya. Inilah tujuan akhir gagasan pembaharuan pendidikan islam K.H.
Ahmad Dahlan.
Dalam mewujudkan tujuan pendidikan islam di antaranya yaitu
manusia yang budi pekerti luhur, luas pandangan dan punya integritas tinggi,
maka Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan islam dengan berbagai sistem di
antaranya sebagai berikut:
a.
Sekolah yang mengikuti pola
pendidikan gubernemen yang ditambah dengan pelajaran agama. Yaitu yang
memasukkan pelajaran umum dan agama yang berdasarka pelajaran bahasa arab dan
tafsir.
Sekolah yang dibangun Ahmad Dahlan
itu agaknya sama dengan dekolah setingkat dengan sistem pendidikan pemerintahan
Hindia Belanda. Sampai akhir tahun 1923 di yokyakarta telah berdiri empat SD
Muhammadiyah dan tengah mempersiapkan pendirian HIS (holands inslandse school)
dan sekolah pendidikan guru.
Untuk sekedar melihat kurikulum
salah satu sekolah gubernemen itu, dalam hal ini MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwis), sebagai berikut:
Tabel
Kurikulum Mulo
Mata
Pelajaran
|
Kelas
|
||
I
|
II
|
III
|
|
Membaca
Bahasa Belanda
Menulis
Berhitung
Sejarah (Belanda dan Jajahan)
Sejarah Dunia
Geografi
Ilmu Alam
Bahasa Perancis
Bahasa Inggris
Bahasa Jerman
Menggambar
|
3
5
6
1
1
3
3
2
4
4
2
2
|
3
4
9
1
1
3
3
3
3
3
2
1
|
2
4
2
2
1
3
4
4
3
4
2
5
|
|
36
|
36
|
36
|
Dari tabel di atas terlihat bahwa
kurikulum mulo yang dikembangkan pemerintah tidak menawarkan materi-materi
keagamaan. Dalam hal ini K.H. Ahmad Dahlan melengkapi kekurangan itu sehingga
ada keseimbangan antara materi keagamaan dan non keagamaa.[45]
b.
Madrasah yang lebih banyak
mengajarkan ilmu-ilmu agama. Jadi dalam kurikulum madrassah tersebut lebih
banyak mata pelajaran keagamaannya tanpa mengesampingkan muatan pelajaran umum.
Di antara madrasah yang didirikan pada masa penjajahan tersebut:
1)
Kweekschool Muhammadiyah
2)
Muallimin Muhammadiyah
3)
Muallimat Muhammadiyah
4)
Zu’ama/Za’imat
5)
Kulliyah
Muballighin/Muballighat
6)
Tablik School
7)
H.I.K. Muhammadiyah
Dari pandangan tersebut dapat
diketahui bahwa menurut K.H. Ahmad
Dahlan akal merupakan prioritas dari pendidikan islam. Sebab dengan akal akan
memberi peluang peningkatan dan pengembangan dalam memahami dan mengenal makna
petunjuk Al-Qur’an. Oleh karena itu sistem yang sesuai menurut Ahmad Dahlan
adalah sistem madrasah sebagimana di atas.
Berikut tabel beberapa pembaharuan
pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dari aspek kurikulum pembelajaran:
No
|
Mata
Pelajaran
|
|
|
Sekolah
Belanda
|
Ahmad
Dahlan
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
|
Membaca
Bahasa Belanda
Menulis
Berhitung
Sejarah (Belanda dan Jajahan)
Sejarah Dunia
Geografi
Ilmu Alam
Bahasa Perancis
Bahasa Inggris
Bahasa Jerman
Menggambar
|
Al-Qur’an
Hadits
Membaca
Menulis
Berhitung
ilmu bumi
menggambar
|
Di atas terlihat mata pelajaran
agama seperti Al-Qur’an dan Hadits yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan
oleh Ahmad Dahlan. Inilah kurikulum pendidikan Ahmad Dahlan sebagai upaya
pembaharuan Pendidikan Islam.
Secara keseluruhan, upaya
pembaharuan pendidikan islam K.H. Ahmad Dahlan meliputi:
No.
|
|
|
1
|
Landasan
Pendidikan
|
Pelaksanaan pendidikan didadasarkan atas landasan yang kokoh,
yakni Qur’an Hadits. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi perumusan
konsep dan tujuan pendidikan islam
|
2
|
Pola Pikir
|
Mengembangkan
daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci
|
3
|
Lembaga
Pendidikan
|
Lembaga
pendidikan berbentuk Madrasah.
|
4
|
Sistem
Pendidikan
|
Sistem pendidikan islam yang modern dan profesional yakni dengan
menggabungkan sistem pendidikan belanda dengan sistem pendidikan tradisional
secara integral.
|
5
|
Materi/Kurikulum
Pendidikan
|
Al-Qur’an,
Hadits, Membaca, Menulis, Berhitung, ilmu bumi, menggambar.
|
6
|
Metode
|
Metode
sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan
pesantren.
|
7
|
Pendidik
|
Guru merupakan subjek pendidikan, dan
subjek dakwah yang sangat penting fungsi dan amal pengabdiannya.
|
8
|
Peserta
Didik
|
Peserta didik mempunyai Akal dan hati
suci yang merupakan potensi dasar dalam pelaksanaan pendidikan yang harus
dipelihara dan dikembangkan.
|
9
|
Tujuan
Pendidikan
|
Berbudi
pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
|
10
|
Evaluasi
|
Mengenai evaluasi pendidikan menurut Ahmad Dahlan, penulis tidak
menemukan secara rinci. Di sana hanya dijelaskan pembaruan pendidikan islam
dilakukan dari sistem pendidikan pesantren yang menggunakan metode sorogan,
bandongan dan wetonan menjadi pendidikan berbentuk madrasah dengan menerapkan
metode klasikal. Dengan sistem pendidikan seperti itu muhammadiyah telah
mengenal rencana pembelajaran yang teratur dan integral. Sehingga hasil
belajar lebih dapat dievaluasi. Mengenai bentuk evaluasi pendidikan Ahmad
Dahlan secara pasti, penulis belum menemukan. Yang pasti evaluasi itu harus
dapat mengukur tingkat kemajuan hasil belajar secara menyeluruh.
|
D. Hasyim Asy’Ari
1. Biografi Hasyim Asy’Ari
Hasyim
Asy’ari lahir di desa Nggedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Kabupaten
Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd.
Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz
Abd. Al Fatah ibn Maulana Ishak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan
Sunan Giri.[46]
Semasa hidupnya, KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan dari
ayahnya sendiri, Abd al-Wahid, terutama pendidikan di bidang Al-qur’an dan
penguasaan beberapa literatur keagamaan. Setelah itu ia pergi untuk menuntut
ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona,
Siwalan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo. Setelah
menimba ilmu di pondok pesantren Sidoarjo, ternyata KH. Hasyim Asy’ari merasa
terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada KH. Ya’kub yang
merupakan kyai di pesantren tersebut. Kyai Ya’kub lambat laun merasakan
kebaikan dan ketulusan KH. Hasyim Asy’ari sehingga kemudian ia menjodohkannya
dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun.[47]
Di antara ilmu-ilmu pengetahuan yang
dipelajari oleh KH. Hasyim Asy’ari selama di Mekkah, adalah fiqh, dengan
konsentrasi mazhab Syafi’i, ulum al-Hadist, tauhid,
tafsir, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf,
mantiq, balaghah dan lainlain).
Perjalanan intelektual KH. Hasyim Asy’ari di Mekkah berlangsung selama 7 tahun. Masa ini
tampaknya telah membuat beliau memiliki kecakapan- kecakapan sendiri, terutama
dalam pengetahuan keagamaan.[48]
Pada
tanggal 26 Rabiul Awwal 1320 M, bertepatan dengan 6 Februari 1906 M, KH Hasyim Asy’ari
mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah beliau banyak
melakukan aktivitas-akivitas sosial-kemanusiaan sehingga tidak hanya berperan
sebagai pimpinan pesantren secara formal, tetapi juga pemimpin kemasyarakan
secara informal. Sebagai pemimpin pesantren, beliau melakukan pengembangan
institusi pesantrenya, termasuk mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum.
Jika pada saat itu pesantren hanya mengembangkan sistem halaqah, maka beliau memperkenalkan sistem
belajar madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, disamping pendidikan
keagamaan. Aktifitas KH. Hasyim Asy’ari di bidang sosial yang lain adalah
mendirikan organisasi Nahdhaul Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya,
seperti Syaikh Abdul Wahab Hasbullah dan Syaikh Bisri Syamsuri, pada tanggal 31
Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi yang didirikannya ini memiliki
tujuan untuk memperkokoh pengetahuan keagamaan di kalangan masyarakat.[49]
Hasyim
Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947
M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal
ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung
Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke
Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta
banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu,
sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.[50]
2. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari adalah peneguh
pendidikan pesantren. Ia dilahirkan, dan dibesarkan dalam tradisi pesantren, ia
juga berjuang dan mengabdikan sebagaian besar hidupnya untuk membesarkan dan meneguhkan sistem
pendidikan pesantren. Ia membangun pesantren yang kemudian dikenal dengan nama
pesantren Tebuireng. Pesantren yang didirikannya ini dapat berkembang dengan
pesat menjadi pesantren yang besar. Bahkan ia menjadi penyedia (supplier)
paling penting bagi kebutuhan pesantren di seluruh Jawa dan Madura sejak tahun
1910 M.[51]
Ketekunannya
untuk mengembangkan pesantren sesuai dengan semangatnya untuk memperbaiki moral
masyarakat dan semangat anti penjajahan. Sebagaimana telah maklum bahwa sistem
pendidikan pesantren adalah suatu sistem pendidikan asli Indonesia. Lembaga
semacam pesantren ini sudah ada sejak kekuasaan Hindu-Budha. Kehadiran Islam
hanya memberi warna keislaman pada lembaga yang sebenarnya sudah ada ini.
Dengan lembaga pendidikan semacam ini moralitas Islam mudah ditransformasikan
pada masyarakat karena lembaga ini lahir dari budaya masyarakat. Bahkan secara
khusus ia menulis buku yang mengaitkan pendidikan Islam dengan moralitas atau
akhlaq. Buku itu ia beri nama Adab al-’Alim wa al-muta’alim Semangatnya
anti penjajahan yang mengantarkannya pada semangat anti Barat juga mendapat
tempat berteduh di pesantren. Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan asli
Indonesia ini secara umum mengandung ciri-ciri tradisionalisme. Dengan demikian
ia dapat di kontraskan dengan modernisme yang umumnya datang dari Barat. Dari
sini semangat juang atau jihad melawan penjajah dapat dikobarkan melalui
pesantren ini. Semangat tradisionalismenya ini juga terlihat sampai pada
sistem, dan metode pengajaran, serta materi pelajaran. Metode pengajaran yang
digunakan di pesantren yang dipimpinnya ini adalah metode tradisional, yaitu
metode sorogan (santri membaca dan membahas kitab dihadapan guru) dan bandongan
(santri menyimak bacaan dan penjelasan guru), dan materinya khusus mata
pelajaran keagamaan. Namun dalam perkembangannya untuk menyesuaikan
perkembangan pendidikan ia mengadakan pembaharuan menjadi sistem madrasah
dengan sistem pengajaran klasikal dan bahkan tiga tahun kemudian, yakni tahun 1919
M mulai dimasukkan mata pelajaran umum.[52]
Perlu diketahui KH. Hasyim adalah
sosok kyai pendidik sekaligus manajer yang handal. Sebagai pendidik
hampir seluruh waktunya didedikasikan untuk mengajar, di samping
menulis, serta memimpin pesantren Tebuireng sejak awal didirikan. Para stafnya
adalah pelaksana yang diberikan tanggung jawab mengenai operasional pondok,
namun seluruh kebijaksaaan pendidikannya sepenuhnya tetap
berada di tangannya sebagai pemimpin tertinggi di pesantren.[53]Beberapa
pemikiran K.H. Hasyim Ay’ari dalam bidang pendidikan islam di antaranya:
a.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Hasyim
Asy’ari di samping pemahaman terhadap pengetahuan (knowledge),
adalah pembentukkan good man yang penuh dengan
pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan
dalam kehidupan sehari-harinya secara konsisten. Tujuan pendidikan ini mampu direalisasikan
jika peserta didik mampu terlebih dahulu mendekatkan diri (muraqabah)
kepada Tuhan dan ketika berproses dalam pendidikan, dirinya harus
steril dari unsurunsur materalisme, seperti kekayaan, jabatan, popularitas dan
sebagainya. Oleh karena itu, ketika peserta didik melakukan kesalahan, maka
menjadi kewajiban guru untuk melakukan koreksi terhadap kesalahan tersebut. Kepada
peserta didik yang belum mengetahui tentang suatu perbuatan itu sendiri, maka
guru harus mampu menolongnya agar peserta didik memperoleh pemahaman yang
benar. Dengan berdasarkan argumentasi seperti ini, maka Kyai Hasyim menggunakan
term tarbiyyah untuk menunjuk substansi pendidikan.[54]
b.
Metode Pendidikan
Dalam hal penggunaan
metode pembelajaran, Pada umumnya pesantren dalam hal ini bertumpu pada metode sorogan
dan bandongan.
Akan tetapi, di pesantren Tebuireng penggunaan kedua metode ini tidak dominan
sejak awal (1899-1916). Yang kemudian dikembangkan justru penggunaan metode musyawarah,
mirip sistem seminar di perguruan tinggi sekarang, karena dianggap lebih
cocok untuk para santrinya yang dari segi tingkatan mereka
sudah senior. Konon mereka sedang dipersiapkan menjadi tenaga
penopang bagi usaha perbaikan pendidikan yang akan dijalankannya,
dalam jangka pendek maupun jangka panjang, mengingat masih
langkanya tenaga yang bisa diharapkan untuk maksud tersebut pada saat
itu. Dan ini terbukti segera setelah masuknya sejumlah guru muda,
lewat mereka kemudian berbagai inovasi pembelajaran diperlihatkan secara
bertahap di dalamnya menuju reformasi pendidikan yang diinginkan.[55]
c.
Lembaga pendidikan
dan Kurikulum
KH. Hasyim sebagai pimpinan pondok
pada 1916, pembaruan tahap pertama di pesantren Tebuireng dimulai dengan
memperkenalkan sebuah model kelembagaan baru berbentuk madrasah, yang diberi
nama Madrasah Salafiyah. Hingga 1919 madrasah ini sepenuhnya masih berkurikulum
diniyah, yang hanya mengajarakan ilmu-ilmu
agama saja. Yang diperbarui adalah sistem pembelajarannya, yang disusun secara bertingkat
dalam 7 kelas, dibagi ke dalam dua jenjang. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifr
awwâl dan sifr tsânî, sebagai
madrasah persiapan sebelum memasuki jenjang kedua, madrasah 5 tahun berikutnya.
Untuk memudahkan penguasaan bahasa Arab, karena bahasa ini sebagai bahasa
sumber pelajaran, Kyai Ma’shum mengembangkan pendekatan pembelajaran baru,
disebut pendekatan morfologi (sharaf), yang dengannya
pemahaman formasi kosakata sebagai basis pemahaman teks bahasa Arab,
mendapatkan perhatian. Buku karangnya mengenai hal ini hingga kini masih
menjadi pegangan utama dalam pembelajaran bahasa Arab di pesantren. Pada 1919 madrasah mengadakan
perombakan kurikulumnya dengan memberlakukan kurikulum campuran, yang
memberikan pengajaran pengetahuan umum, di samping ilmu-ilmu agama yang sudah
ada, mencakup bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan ilmu bumi, yang
kesemuanya ditulis dengan huruf Latin. [56]
d.
Peserta Didik
Dalam pendidikan islam, Hasyim
Asy’ari berkenaan dengan peserta didik menekankan masalah-masalah etika dalam
menempuh pendidikannya, sebagai berikut:[57]
1)
Etika yang harus dicamkan
dalam diri peserta didik.
a)
membersihkan hati dari berbagai
gangguan material keduniaan dan hal-hal yang merusak sistem kepercayaan,
b)
membersihkan niat,
c)
merasa cukup dengan apa
yang ada,
d)
pandai mengatur waktu,
e)
tidak berlebihan dalam
makan dan minum,
f)
meninggalkan hal-hal yang
kurang berfaedah dan lain lain.
2)
Etika seorang peserta didik
terhadap Pendidik/guru.
a)
Meminta petunjuk kepada Allah
swt dalam memilih guru,
b)
Mengikuti guru terutama dalam
kecerundungan pemikiran,
c)
Memuliakan guru,
d)
Memperhatikan hal-hal yang
menjadi hak pendidik,
e)
Bersabar terhadap kekerasan
pendidik,
f)
Berkunjung kepada guru,
g)
Menempati posisi duduk
dengan rapi dan sopan,
h)
Berbicara dengan lemah
lembut dan lain-lain.
3) Etika Peserta didik tehadap Pelajaran.
a)
Mendahulukan ilmu yang
bersifat Fardlu ‘ain,
b)
Harus mempelajari ilmu pendukung
ilmu yang bersifat fardlu ’ain,
c)
Hati-hati dalam menanggapi ikhtilāf
para ulama’,
d)
Merencanakan cita-cita yang
tinggi,
e)
Bergaul dengan guru dan teman
yang berilmu tinggi dan pintar,
f)
Mempelajari pelajaran dengan
kontinyu/istiqomah dan
g)
Menanamkan rasaantusias dan
semangat untuk belajar dan lain-lain
e.
Pendidik
Hasyim Asy’ari memberikan beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh pendidik sebagai pemikiran pendidikannya:[58]
1)
Etika Pendidik terhadap
dirinya.
a) Berusaha sekuat tenaga untuk mendekatkan diri kepada Allah,
b) Senaniasa takut kepada Allah,
c) Bersikap tenang,
d) Berhati-hati (wara’),
e) Tidak mempunyai sikap tinggi hati tetapi selalu tawādlu’,
f)
Konsentrasi (khusyū’)
dan lain-lain.
2)
Etika Pendidik terhadap
Pelajaran.
a)
Mensucikan diri dari hadast
dan kotoran,
b)
Ketika mengajarkan ilmu
kepada peserta didik hendaknya berniat untuk beribadah
c)
Menyampaikan hal-hal yang
diajarkan oleh Allah swt,
d)
Membiasakan membaca
menambah ilmu pengetahuan,
e)
Memberi perhatian terhadap
kemampuan masing- masing murid dalam mengajar dan mengajarnya tidak terlalu
lama,
f)
Menghindari mengajarkan hal-hal
yang syubhāt,
3)
Etika Pendidik terhadap
Peserta Didik.
a)
Berniat mendidik dan
menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam,
b)
Memiliki keihlasan,
c)
Mencintai peserta didik
sebagaimana mencinta dirinya sendiri,
d)
memberi kemudahan dalam mengajar
dan menggunakan kata-kata yang dapat dipahami,membangkitkan semangat peseta
didik dengan jalan memotivasinya,
e)
memberikan latihan-latihan
yang bersifat membantu dan lain-lain.
f.
Lingkungan
Pendidikan
Pendidikan, menurut Kyai Hasyim,
pada hakikatnya merupakan tanggung jawab orang tua peserta didik, terutama dari
pihak ibu. Tanggung jawab tersebut melekat sampai dengan peserta didik telah
dianggap dewasa dan mampu untuk hidup secara mandiri. Di samping itu, orang tua
juga memiliki kewajiban untuk memberikan nama yang baik saat bayi baru lahir
dan memberikan makanan yang baik pula. Peran keluarga terhadap pembentukan
peserta didik yang sukses dalam pendidikannya sangat penting dan dominan. Oleh
karena itu, Kyai Hasyim menyarankan agar persiapan untuk mewujudkan hal itu harus
sudah dilakukan ketika memilih seorang calon suami atau calon isteri adalah
yang memiliki moralitas baik, masih perawan, sederajat (kufu’)
dan sebagainya. Dalam lingkungan masyarakat, Kyai Hasyim menekankan agar
peserta didik berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain, mengingat manusia
adalah homo social yang pasti membutuhkan bantuan yang
lain, tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri.[59]
g.
Evaluasi Pendidikan
Menurut Hasyim Asy’ari dalam proses
evaluasi tidak hanya unuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan murid
terhadap materi namun juga untuk mengetahui sejauh mana upaya internalisasi
nilai-nilaidalam peserta didik bisa diserap dalam kehidupan sehati-hari. Adapun
untuk mengukur tingkat keberhasilan seorang guru dalam mendidik akhlak pada
peserta didik lebih ditekankan kepada pengamatan kehidupan santri
sehari-harinya. Sehingga mengenai hal evaluasi tidak menggunakan standarisasi
nilai, namun mereka sudah dianggap baik bila mereka sudah bisa mengamalkan ilmu
dalam kehidupan sehari-hari.[60]
Pemikiran Hasyim Asy’ari tentang
evaluasi pendidikan tidak hanya menekankan maslah prestasi belajar, akan tetapi
lebih menekankan pada aspek pengamalan nilai-nilai yang terkandung dari ilmu
dalam pendidikan yang telah diperoleh.
Berikut ini tabel pemikiran
pendidikan islam Hasyim Asy’ari sebagai upaya pembaharuannya:
1
|
Tujuan Pendidikan Islam
|
Pemahaman
terhadap pengetahuan (knowledge), dan pembentukkan good
man yang penuh dengan pemahaman secara benar dan sempurna terhadap
ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-harinya secara konsisten.
|
2
|
Metode Pendidikan Islam
|
Metode
musyawarah, mirip sistem seminar di perguruan tinggi.
|
3
|
Lembaga dan Kurikulum Pendidikan Islam
|
Lembagaan
berbentuk madrasah, dan kurikulum mencakup bahasa Indonesia (Melayu),
matematika, dan ilmu bumi, yang kesemuanya ditulis dengan huruf Latin di
samping mata pelajaran agama yang sudah ada.
|
4
|
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
|
Harus
steril dari unsur-unsur materalisme, seperti kekayaan, jabatan, popularitas
dan sebagainya. kemudian Beberapa hal yang harus ada pada peserta didik
berkaitan dengan etika yang harus ada dalam diri peserta didi, etika seorang
peserta didik terhadap Pendidik/guru, dan etika Peserta didik tehadap Pelajaran.
|
5
|
Pendidik dalam Pendidikan Islam
|
Ada beberapa etika bagi pendidik, yakni etika Pendidik terhadap peserta
didik, etika pendidik terhadap pelajaran, dan etika pendidik terhadap
dirinya.
|
6
|
Lingkungan Pendidikan
|
Mlingkungan
keluarga merupakan tanggung jawab orang tua peserta didik dalam memeberi
pendidikan. Dan lingkungan masyarakat seorang peserta didik harus berinteraksi dengan anggota masyarakat yang
lain, mengingat manusia adalah homo social yang pasti
membutuhkan bantuan yang lain.
|
7
|
Evaluasi
|
Evaluasi
pendidikan tidak hanya menekankan maslah prestasi belajar, akan tetapi lebih
menekankan pada aspek pengamalan nilai-nilai yang terkandung dari ilmu dalam
pendidikan yang telah diperoleh.
|
Berikut ini tabel perbandingan
pemikiran pendidikan islam di antara para tokoh di atas:
Pemikiran
Pendidikan Islam
|
Tokoh Pemikir
Pendidikan Islan
|
|||
Al-Ghazali
|
Ibnu Khaldun
|
Ahmad Dahlan
|
Hasyim Asy’ari
|
|
Metode
Pendidikan
|
Metode hafalan dan pemahaman, keyakinan dan pembenaran,
dan penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang keyakinan.
|
Metode diskusi, kemudian dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan
berangsur-angsur, penyampaian secara terperinci
dan menyeluruh, memberikan perbaikan
kepada seluruh materi.
|
Metode sintesis antara metode pendidikan
modern Barat dengan metode pendidikan pesantren.
|
Sebelumya
menggunakan metode sorogan dan bandongan, kemudian diperbarui dengan Metode
musyawarah, mirip sistem seminar di perguruan tinggi.
|
Materi/Kurikulum
|
Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam
pendidikan.
Dengan
materi Ilmu- ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari oleh setiap
orang Islam (wajib ‘ain) yang terdiri dari dari
ilmu-ilmu agama dan jenis-jenisnya dan Ilmu Pengetahuan yang bersifat
fardhu kifayah yaitu ilmu pengetahuan yang menjadi
pendukung hidup didunia seperti kodokteran, ilmu hitung, dan
sebahagian ilmu tehnik dan lain-lain.
|
Ilmu-ilmu
yang bernilai instrinsik seperti tafsir, hadits, kalam dan sebagainya. Dan
ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik seperti bahasa, matematika, ilmu logika
dan lain-lain.
|
Al-Qur’an,
Hadits, Membaca, Menulis, Berhitung, ilmu bumi, menggambar.
|
Mencakup
bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan ilmu bumi, yang kesemuanya ditulis
dengan huruf Latin di samping mata pelajaran agama yang sudah ada.
|
Pendidik
|
Tidak sembarang
orang dapat menjadi guru, kecuali sudah mencapai derajat alim, dalam artian
ia telah dapat mendidik dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlaq
yang mulai, sabar, syukur, iklas, tawakkal dan lain-lain,
senantiasa
benar dalam semua perkara, amanah, lemah lembut, rendah diri dan kasih sayang.
|
Memahami
naluri, bakat dan karakter siswa, berperilaku penuh kasih
sayang, berperilaku lembut, keteladanan, dan mengetahui
kondisi kejiwaan dan kesiapan peserta didiknya.
|
Guru
merupakan subjek pendidikan, dan subjek dakwah yang sangat penting fungsi dan
amal pengabdiannya.
|
Ada
beberapa etika bagi pendidik, yakni etika Pendidik terhadap peserta didik,
etika pendidik terhadap pelajaran, dan etika pendidik terhadap dirinya.
|
Peserta
Didik
|
kewajiban murid adalah
memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak
menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu
ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas.
|
Peserta
didik merupakan subyek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat
mengembangkan diri dan potensinya. Sebagai anak manusia yang memerlukan
bantuan orang lain, agar terbimbing ke alam kedewasaan, Dalam konteks ini
peserta didik sebagai obyek didik.
|
Peserta
didik mempunyai Akal dan hati suci yang merupakan potensi dasar dalam
pelaksanaan pendidikan yang harus dipelihara dan dikembangkan.
|
Harus
steril dari unsur-unsur materalisme, seperti kekayaan, jabatan, popularitas
dan sebagainya. Kemudian Beberapa hal yang harus ada pada peserta didik
berkaitan dengan etika yang harus ada dalam diri peserta didi, etika seorang
peserta didik terhadap Pendidik/guru, dan etika Peserta didik tehadap Pelajaran.
|
Sistem/lembaga
pendidikan
|
Sistem Pendidikan harus bernuansa
Islami dan moral dengan tidak mengabaikan persoalan-persoalan duniawiyah.
|
|
Menggabungkan sistem pendidikan belanda
dengan sistem pendidikan tradisional secara integral. Dan sisitem/lembaga
pendidikan berbentuk madrasah.
|
Sitem/lembaga
pendidikan berbentuk pesantren.
|
Tujuan
Pendidikan
|
Mengarahkan pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq,
dimana fadhilah/keutamaan dan taqarrub
kepada Allah dan
kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
|
Mengembangkan
intekektulitas peserta didik, Memperoleh ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam
masyarakat maju dan berbudaya, dan Memperoleh lapangan pekerjaan yang
digunakan untuk memperoleh rizki.
|
berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama,
luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang
untuk kemajuan masyarakatnya. Atau dengan singkat disebut dengan
intelektual-ulama.
|
Pemahaman
terhadap pengetahuan (knowledge) dan pembentukkan good
man yang penuh dengan pemahaman secara benar dan sempurna terhadap
ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-harinya secara konsisten
|
Evaluasi
|
Proses evaluasi dilakukan secara periodik
dengan tujuan untuk mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan
pada masing-masing subyek pendidikan, di antaranya pemimpin, murid, guru,
orang tua/wali murid dan tenaga administratif, serta jika terdapat hambatan
atau kendala dalam proses pendidikan untuk dicarikan solusinya
|
Evaluasi pendidkan dilakukan tidak
hanya dari sisi prestasi belajar saja, akan tetapi melibatkan aktivitas
jasmaniah siswa dalam kehidupan sehari-hari.
|
Mengenai evaluasi pendidikan menurut Ahmad
Dahlan, penulis tidak menemukan secara rinci. Di sana hanya dijelaskan
pembaruan pendidikan islam dilakukan dari sistem pendidikan pesantren yang
menggunakan metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi pendidikan
berbentuk madrasah dengan menerapkan metode klasikal. Dengan sistem
pendidikan seperti itu muhammadiyah telah mengenal rencana pembelajaran yang
teratur dan integral. Sehingga hasil belajar lebih dapat dievaluasi. Mengenai
bentuk evaluasi pendidikan Ahmad Dahlan secara pasti, penulis belum
menemukan. Yang pasti evaluasi itu harus dapat mengukur tingkat kemajuan
hasil belajar secara menyeluruh.
|
Evaluasi
pendidikan tidak hanya menekankan maslah prestasi belajar, akan tetapi lebih
menekankan pada aspek pengamalan nilai-nilai yang terkandung dari ilmu dalam
pendidikan yang telah diperoleh.
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan
menurut Al-Ghazali merupakan satu-satunya jalan untuk menyebar luaskan
keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan
harus bernuansa Islami dan moral dengan tidak mengabaikan persoalan-persoalan
duniawiyah. Beliau menegaskan tujuan pendidikan adalah mengarah pada realisasi
tujuan keagamaan dan akhlaq,dimana
fadhilah/ keutamaan dan taqarrub kepada Allah. Sedangkan tujuan yang
paling penting dalam pendidikan terlaksananya pendidikan
seperti, pendidik, anak didik, metode, materi dan tujuan harus berjalan dalam
koridor agama.
Paradigma Ibnu Khaldun terhadap
pendidikan pada hakikatnya lebih menonjolkan dan mementingkan konsep
pendidikannya kepada pembentukan perilaku, ahklak dan budi pekerti. Hal ini
dilakukan sebagai wujud apresiasi Ibnu Khaldun terhadap ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Ibnu Khaldun menganggap bahwasannya
pendidikan merupakan hakikat dari eksistensi manusia. pendidikan adalah upaya
untuk memperoleh suatu kepandaian, pengertian dan kaedah-kaedah yang baru.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan berpijak pada konsep dan pendekatan
filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, ia memberikan arahan terhadap visi
tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis yakni mencari ridha Allah SWT.
Pemikiran Ahmad Dahlah sebagai pembaharuan pendidikan islam
adalah tranformasi paradigma dan lembaga pendidikan. Paradigma pendidikan yang
mengembangkan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati
yang suci. Dan lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, yang menggabungkan
antara sistem belanda dan sistem madrasah. Hal ini diarahkan pada usaha
membentuk manusia Berakhlak, ‘alim, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya, dan juga
menjadi manusia yang Intelektual-Ulama.
Pemikiran pendidikan yang dikembangkan Kyai Hasyim,
sesungguhnya ingin membawa lembaga pendidikan Islam tradisional, dalam hal ini
pesantren Tebuirengnya, senantiasa mampu beradaptasi dengan kebutuhan
lingkungan dalam arti luas, dalam rangka menjalankan peran utamanya memberikan
peluang pendidikan yang sama kepada seluruh partisipannya, tanpa harus
memberikan sekat-sekat yang sifatnya formal. Semua ini pada gilirannya mampu
mengantarkan para alumninya tanpa perasaan canggung dalam memasuki kehidupan
real di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Asegaf,
Abd Rahman, 2013. Aliran Pemikiran
Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali
Pers
Ardiansyah, Lilik, 2013. Pemikiran
Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan, Skripsi Universitas
Negeri Yokyakarta
A’dlom,
Syamsul, 2014. Kiprah Kh. Hasyim Asy’ari Dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam, Jurnal
Pustaka, Edisi Juli-Desember
As’ad,
Mahrus, 2012. Pembaharuan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari, Jurnal Tsaqafah, Vol. 8 No. 1
Damami, Muhammad, 2000. Akar Gerakan
Muhammadiyah, Yokyakarta: Fajar Pustaka
Baru
Hasbullah, 2001. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia: Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Kosim, Muhammad, 2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun,
Jakarta: Rineka Cipta
Khuluq, Lathiful, 2000. Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LKIS
Mukani,
2014. Pemikiran Pendidikan Islam perspektif Hasyim Asy’ari, Jurnal PAI, Vol. 1 No. 1 ISSN 2355-8237
Nizar, Syamsul, 2002. Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Ciputat Press
Nurhaidi,
Rofiq dan Sudar, Basis Filosofi Pendidikan Nasional (Studi Terhadap Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara,
K.H.A. Dahlan, Dan K.H. Hasyim
Ashari), Surya Edukasi
Nata, Abuddin, 2001. Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga- Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Nasokah, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UNSIQ Wonosobo, Konsep
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Anak dalam Islam (Studi Kitab
Ihya’ Ulumuddin), Jurnal Manarul Qura’an
Pasha, Mustafa Kamal dan Darban, Ahmad Adaby,
2002. Muhammaiyah sebagai Gerakan
Islam: dalam perspektif Historis dan Ideologis, Jakarta: Pustaka Pelajar Offset
Rohayati, Enok, 2011. Dosen Fakultas Tarbiyah
IAIN Raden Fatah Pelembang, Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak, TA’DIB, VOL. XVI, NO. 01
Rizal, Syamsul, Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan, Jurnal
STAI Miftahul Ulum Pamekasan
Silahuddin, 2014. Konsep Pendidikan Islam
Menurut Al-Ghazali (Tinjauan Filsafat
Pendidikan), Islamic Studies Jurnal, Vol. 2 No. 1
Suwendi, 2003. Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Wafi’, Ali Abdul Wahid,
2004. Kejeniusan Ibnu Khaldun, Penj.
Sari Narulita, Jakarta: Nuansa
Press
Zar ,
Sirajuddin, 2009. Filsafat islam filosof
dan filsafatnya, Jakarta : Rajawali Pers
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat islam Filsof dan Filsafatnya, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2009),
hlm.
155-156
[11]http://putrapelitajaya.blogspot.co.id/2012/11/pendidikan-menurut-imam-al-ghazali.html.tanggal 13 April 2016 jam 22 : 48
[13] Ali Abdul Wahid
Wafi’, Kejeniusan Ibnu Khaldun, Penj.
Sari Narulita, (Jakarta: Nuansa Press, 2004), hlm. 25
[15] Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 14-15