Rabu, 20 Juli 2016

Kel. 10 Beberapa Pemikiran Baru sebagai Upaya Pembaharuan Pendidikan Islam



MAKALAH
Beberapa Pemikiran Baru Sebagai Upaya Pembaruan Sistem Pendidikan Islam

Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Syarnubi, M.Pd.I

Disusun Oleh Kelompok 10:

Ardi prabowo (1532100087)
Bagus Pamungkas (1532100092)
Choirul mukmin (1532100094)
Delsi iin syafutri 1532100096)

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2015/2016

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah azza wajal, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw. Keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas ajarannya hingga hari kiamat.
Penulis sangat bersyukur karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Beberapa Pemikiran Baru Sebagai Upaya Pembaruan Sistem Pendidikan Islam”.
Penyusunan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negri Raden Fatah Palembang. Dalam penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang telah memberikan materi perkuliahan serta arahannya, mudah-mudahan Allah SWT. Membalas atas semua bantuan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap makalah ini berguna bagi kita semua amin. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palembang, 24 Mei 2016


Penulis



DAFTAR ISI




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan menjadi pilar sangat strategis dalam proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai karena pendidikan bersentuhan langsung dengan aspek manusia yang di dalamnya terkandung kekuatan-kekuatan yang harus distimulasi, sehingga potensi-potensi yang dimiliki berkembang secara optimal, terutama dalam menghadapi berbagai bentuk tantangan di masa depan. Delors mengemukakan bahwa dalam menghadapi tantangan masa depan, kemanusiaan melihat pendidikan sebagai sesuatu yang berharga yang sangat dibutuhkan dalam usahanya meraih cita-cita perdamaian, kemerdekaan dan keadilan sosial.2 Islam juga telah menggariskan bahwa pendidikan: menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah pada shalat, shaum dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah.[1]
Pendidikan Islam yang dimaksudkan sebagai usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi mudaya, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam.
Dalam makalah ini akan dibahas pemikiran pendidikan islam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai upaya pembaharuan sistem pendidikan islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Al-Ghazali

1.      Biografi Al-Ghazali

Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Ahmad Al Ghazali Al Thusi. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Ghazal Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, Ia adalah keturunan Persia asli. Setelah orang tuanya wafat, Al Ghazali diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakn biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah Al Ghazali bertemu dengan Yusuf Al Nasaj, seorang guru sufi kenamaan pada masa itu. Dan saat itulah titik awal perkembangan intelektual dan spiritual Al ghazali yang kelak akan membawanya menjadi seorang ulama besar yang berpengaruh dalam perkembangan pemikiran islam. Sepeninggal gurunya Al Ghazali belajar di Thus pada seorang ulama yang bernama Ahmad Ibnu Muhammad Al Razak Al Thusi, selanjutnya belajar juga kepada Abu Nashr Al Isma’ily  di Jurjan dan akhirnya masuk di sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang di pimpin oleh Imam Al Haramain. Imam sangat menonjol kemahirannya dalam ilmu kalam al asy’ary bahkan ia pengikut setia lairan ini. Dari penganut mazhab syafi’I inilah Al Ghazali memperoleh ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqh, kalam, dan logika. Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua ilmu tersebut dikuasinya dalam waktu singkat. Bahkan Al Ghazali sempat menampilkan karya perdananya dalam bidang ilmu fiqh yaitu Mankhul fi ‘ilmi al ushul, disekolah ini Al Ghazali pernah belajar teori dan praktek tasawuf kepada Abu Ali Al Fadhi Abu Muhammad Ibnu Ali Al Farmadhi. Dengan demikian semakin lengkaplah ilmu yang diterima Al Ghazali . Di sekolah Nizhamiyah ini pula Al Ghazali diangkt menjadi dosen di usia 25 tahun.[2]

2.      Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali

Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk menyebar luaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan, kemakmuran dan kejayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat tergantung pada sejauh mana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.[3]
Al-Ghazali membagi materi pendidikan ke dalam dua bagian:
a.       Ilmu- ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari oleh setiap orang Islam (wajib ‘ain) yang terdiri dari dari ilmu-ilmu agama dan jenis-jenisnya yang diawali dengan kitab-kitab suci Allah dan Sunnah rasul, dasardasar pengetahuan agama , ibadat dan sebagainya.
b.      Ilmu Pengetahuan yang bersifat fardhu kifayah yaitu ilmu pengetahuan yang menjadi pendukung hidup didunia seperti kodokteran, ilmu hitung, dan sebahagian ilmu tehnik, kemudian beliau membagi lagi ilmu-ilmu menurut kekhususannya menjadi ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu yang bukan syariah yang terdiri dari ilm-ilmu terpuji, ilmu yang bole dipelajari dan yang tercela.
Pemikiran Alghazali dalam pendidikan harus bernuansa Islami dan moral dengan tidak mengabaikan persoalan-persoalan duniawiyah, sehingga beliau juga menyediakan porsi yang sesuai dalam pendidikan, kendatipun demikian pencapaiaan tujuan duniawiyyah hanyalah sebagai sarana untuk mencapai kebahagian yang hakiki, yaitu akhirat, sehingga tujuan pendidikan menurut al Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.[4]
Al-Ghazali mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan Islam mengenai tujuan pendidikan, beliau menegaskan tujuan pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq,dimana  fadhilah/ keutamaan dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.[5]
Menurut Al-Ghazali faktor-faktor yang mendukung terlaksananya pendidikan seperti, pendidik, anak didik, metode, materi dan tujuan harus berjalan dalam koridor agama, maka menurutnya tidak sembarang orang dapat menjadi guru, kecuali sudah mencapai derajat alim, dalam artian ia telah dapat mendidik dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlaq yang mulai, sabar, syukur, iklas, tawakkal dan lain-lain, dan juga kepada anak didik disyaratkan sepuluh sifat diantaranya mempunyai kesucian jiwa, tawadhu‟ tidak congkak dengan ilmunya dan sebagainya.[6]
Dalam kaitannya dengan sifat yang dimiliki oleh seorang guru, beliau berpendapat bahwa guru perlu memberi perhatian pada pelajar dalam aspek kehadiran dalam kelas dan kehidupan seharian mereka. Guru perlu memberi tugas kepada pelajar sesuai dengan tahap pemikiran pelajar tanpa membebankan mereka.[7]
 Guru juga perlu mempertimbangkan perbedaan dalam diri setiap pelajar (dari segi fisik, intelek, dan sebagainya). Guru perlu mempertimbangkan apa yang diajarkan  kepada siswa terlebih dahulu dan tidak menipu apa yang dikatakan. Menurut al ghazali , sifat yang perlu ada dalam diri seorang guru adalah senantiasa benar dalam semua perkara, amanah, lemah lembut, rendah diri dan kasih sayang. Guru perlu memahami jiwa pelajarnya.
            Hal ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam Q. S Al Baqarah [2] : 44:
tbrâßDù's?r& }¨$¨Y9$# ÎhŽÉ9ø9$$Î/ tböq|¡Ys?ur öNä3|¡àÿRr& öNçFRr&ur tbqè=÷Gs? |=»tGÅ3ø9$# 4 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÍÍÈ
Artinya : “Apakah engkau menyeru manusia untuk berbuat baik dan kamu melupakan dirimu sendiri , sedangkan kamu membaca Al Kitab (Al Qura’an) apakah kmau tidak berfikir “.[8]
Maksud firman Allah tersebut adalah peranan guru itu bukan saja menyampaikan ilmu kepada pelajarnya dan menyuruh mereka melakukan kebaikan, akan tetapi guru juga turut berperan sebagai model dalam kehidupan pelajarnya. Setiap apa yang guru lakukan, pelajar akan turut mengikutiya. Jika seorang guru itu lupa atas apa yang disampaikannya, niscaya pelajarnya tidak akan mengikuti apa yang diajarkan guru tersebut.
            Berkaitan dengan peserta didik menurut Al-Ghazali dalam pendidikan islam bahwa kewajiban murid adalah: memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub kepada Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta dan pangkat.[9]
Konsep pendidikan anak menurut Al Ghazali dapat ditelusuri dengan karyanya yang berjudul Ayuhul walad dan Riyadlat Al Nafs, dibukunya yang kedua tersebut Al Gahzali fokus perhatian anak sekolah sampai remaja. Menurut Al Ghazali metode mendidik anak adalah sangat penting karena anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya, dan karena itu orang tua bertanggung jawab atas pendidikan anaknya, Jika anak dibiasakan dengan hal yang baik dan diajarkan dengan cara yang baik pula, maka mereka akan tumbuh dalam kebaikan dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan orang tua dan para guru akan memperoleh bagian pahala diakhirat nanti. Dan sebaliknya jika anak dibiasakan dengan kejahatan dan diabaikan layaknya hewan buas maka mereka akan merugi. Al Ghazali memandang bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menjamin masa depan anak di akhirat (qu anfusakum wa ahlikum naran).[10] 
Berkaitan dengan tujuan pendidikan adalah untuk menjamin masa depan anak di akhirat maka Al Ghazali menjelaskan maksud tujuan tersebut:
a.         Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b.        Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c.         Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d.        Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e.         Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
       Metode khusus pendidikan menurut al-Ghazali yaitu :
a.         Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, keyakinan dan pembenaran, dan penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
b.         Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu : Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan    Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.[11]
Kemudian berkaitan dengan pemikiran Al-Ghazali tentang evaluasi pendidikan, proses evaluasi dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan pada masing-masing subyek pendidikan, di antaranya pemimpin, murid, guru, orang tua/wali murid dan tenaga administratif, serta jika terdapat hambatan atau kendala dalam proses pendidikan untuk dicarikan solusinya.[12]
Evaluasi pendidikan islam menurut Al-Ghazali ini dilakukan pada waktu tertentu dalam upayanya mengetahui hasil, hambatan maupun kendala dalam proses pembelajaran, sehingga setelah diketahui maslah-masalah yang ada dalam proses pembelajaran akan segera dicarikan solusinya.
Di bawah ini Pemikiran pendidikan islam sebagai upaya pembaharuan Al-Ghazali:
1
Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan harus bernuansa Islami dan moral dengan tidak mengabaikan persoalan-persoalan duniawi. pencapaiaan tujuan duniawiyyah hanyalah sebagai sarana untuk mencapai kebahagian yang hakiki, yaitu akhirat.
2
Peserta didik dalam pendidikan islam
kewajiban murid adalah memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas.
3
Metode pendidikan islam
Metode khusus pendidikan agama (dimulai dengan hafalan dan pemahaman, keyakinan dan pembenaran) dan Metode khusus pendidikan ahklak.
4
Kurikulum pendidikan islam
Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Dengan materi Ilmu- ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari oleh setiap orang Islam (wajib ‘ain) yang terdiri dari dari ilmu-ilmu agama dan jenis-jenisnya dan Ilmu Pengetahuan yang bersifat fardhu kifayah yaitu ilmu pengetahuan yang menjadi pendukung hidup didunia seperti kodokteran, ilmu hitung, dan sebahagian ilmu tehnik dan lain-lain.
5
Pendidik dalam pendidikan islam
Tidak sembarang orang dapat menjadi guru, kecuali sudah mencapai derajat alim, dalam artian ia telah dapat mendidik dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlaq yang mulai, sabar, syukur, iklas, tawakkal dan lain-lain,
sifat yang perlu ada dalam diri seorang pendidik adalah senantiasa benar dalam semua perkara, amanah, lemah lembut, rendah diri dan kasih sayang
6
Tujuan pendidikan islam
Tujuan pendidikan adalah mengarahkan  pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq, dimana  fadhilah/ keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan    kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat
7
Evaluasi Pendidikan
Proses evaluasi dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan pada masing-masing subyek pendidikan, di antaranya pemimpin, murid, guru, orang tua/wali murid dan tenaga administratif, serta jika terdapat hambatan atau kendala dalam proses pendidikan untuk dicarikan solusinya.

B.     Ibnu Khaldun

1.      Biografi Ibnu Khaldun

            Ibnu Khaldun memiliki nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Muhammad bin Jabir bin Ibrahim bin Abdirrahman bin Khalid bin Utsman.[13] Nama aslinya ialah Abdurrahman, dan nama keluarganya Abu Zaid, yang bergelar Waliuddin. Namun beliau lebih dikenal dengan nama Ibn Khaldun.[14]
            Untuk lebih mengenal biografi Ibn Khaldun, Ali Abdul Wahid Wafi’ membagi sejarah kehidupan Ibn Khaldun dalam empat fase, yaitu :
a.       Fase Perkembangan dan Menuntut Ilmu ( 732-751 H/ 1332-1350 M)
            Guru pertama Ibnu Khaldun dalam menuntut ilmu adalah ayahnya sendiri. Masjid pada masa itu adalah sentral atau pusat pendidikan. Ibn Khaldun pun menuntut ilmu di masjid yang hingga kini dikenal masyarakat Tunis, yaitu masjid Quba.[15]
            Ibnu khaldun mendapatkan pendidikan pertamanya dengan menghafal Al-qur’an, belajar ilmu tajwidnya, memperdalam Qira’at Sab’at (tujuh bacaan para ulama ahli) dan Qira’at Ya’qub. Ibn Khaldun juga belajar tentang dasar-dasar ilmu bahasa Arab, kesusastraan dan gramatika, lalu mendalami ilmu ushul fiqh dan fiqh dari Mazhab Maliki; kemudian ilmu tafsir dan hadits serta mendalami filsafat dan logika (mantiq). Selain itu beliau juga memperoleh ilmu kalam dari Mazhab al-Asy’ariyah.[16]
b.      Fase Politik dan Kiprahnya dalam Bidang Pemerintahan di Maroko dan Andalusia (751-776 H/1351-1374 M)
            Pada masa ini, Ibnu Khaldun telah menunujukkan berbagai kepiawaiannya dalam berpolitik. Sejumlah jabatan penting pernah beliau duduki. Kiprahnya pertama dalam bidang pemerintahan ialah sebagai Kitabatul Allamah, yaitu sekretaris atau penulis cap kekuasaan. Dari beberapa jabatan yang pernah beliau pegang, jabatan hijabah adalah posisi yang tertinggi. Dengan demikian Ibn Khaldun tidak pernah sampai jabatan Sultan. Mungkin karena sistem pemerintahan yang berlaku dan belum bisa di ubah pada masa itu yang masih bersifat keturunan, sementara beliau sendiri tidak memiliki nenek moyang yang berkedudukan Sultan, meskipun umumnya terjun ke dunia politik.[17]
c.       Fase Menulis (776-784 H/1374-1382 M)
            Ibnu Khaldun diizinkan Sultan Abu Hammu untuk tinggal di benteng Ibn Salamah guna berkonsentrasi membaca dan menulis. Ibn Khaldun tinggal beserta keluarganya di tempat terpencil selama empat tahun. Disinilah beliau mulai menulis sejarah yang mulai terkenal, yaitu Kitab al-‘Ibar yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Ibn Khaldun. Tulisan ini diangkat dari penelitiannya terhadap perkembangan sosial yang dihadapi dan digelutinya selama beberapa tahun terakhir. [18]
            Pada saat itu usia Ibnu Khaldun sekitar 45 tahun; suatu usia yang telah matang dan produktif karena telah didukung oleh berbagai referensi yang telah dibacanya. Selain itu pengamatan dan pengalamannya turut menjadi referensi dalam menulis karyanya tersebut. Dengan akalnya yang cerdas lagi kritis  dan pengamatannya yang tajam serta cermat, telah membuatnya mampu mendalami berbagai fenomena yang disaksikannya.[19]
d.      Fase Tugasnya dalam Bidang Pengajaran dan Pengadilan di Mesir (784-808 H/1382-1406 M)
            Pada masa itu Al-Azhar telah menjadi Universitas terkemuka di Kairo. Ibn Khaldun mengadakan kuliah dalam bentuk halaqah yang boleh dihadiri oleh siapa saja. Disini beliau memberikan kuliah dalam mata kuliah ilmu hadits, fiqh Maliki, dan juga menerangkan teori-teori kemasyarakatan. Di samping kecerdasan akal dan kecemerlangan ide-ide yang dikemukakannya, Ibn Khaldun juga bisa beretorika dengan baik sehingga penyampaiannya mendapatkan hati bagi pendengarnya, termasuk para ulama setempat.[20]

2.      Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun

            Ibnu Khaldun menganggap bahwasannya pendidikan merupakan hakikat dari eksistensi manusia. Ia menjelaskan bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk memahami keadaan dengan kekuatan pemahaman melalui perantara pikirannya yang ada dibalik panca indera. Manusia juga mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan diri dalam memenuhi  kebutuhan hidupnya sehingga tercapai realitas kemanusiaan dengan pendidikan yang merupakan hasil pengembangan diri. Dengan hal tersebut akan membentuk kehidupan masyarakat yang berbudaya dan masyarakat yang mampu bekerja untuk melestarikan dan meningkatkan kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan usaha mengembangkan segenap potensi yang dimiliki manusia.[21]
            Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa pendidikan adalah upaya untuk memperoleh suatu kepandaian, pengertian dan kaidah-kaidah yang baru. Karena setiap diri manusia bisa berubah setiap saat, setiap kehidupan yang terjadi merupakan proses dari pendidikan yang besar dan luas.[22]
            Pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya, bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.[23]
            Ibnu Khaldun adalah sosok yang sangat rasionalis, karena pernah belajar filsafat, sekaligus merupakan seorang empiris. Perpaduan dua aliran ini yang pada masa sekarang disebut ilmiah. Bahkan Fuad Baali dan Ali Wardi berpendapat bahwa Ibnu Khaldun sangat religius dan memiliki kecenderungan sufistik. Hal ini dibuktikan bahwa Ibnu Khaldun pernah menjabat sebagai Hakim Agung Madzhab Maliki di Mesir berkali-kali. Muhammad Iqbal juga menambahkan bahwa Ibnu Khaldun adalah satu-satunya muslim yang telah memasuki tasawuf yang berjiwa ilmiah.
a.       Hakikat Manusia
            Dalam pandangan psikologi, “pandangan manusia terhadap dirinya sangat mempengaruhi pendidikannya”.[24]
            Pertama, Manusia sebagai makhluk berpikir. Menurut Ibn Khaldun, manusia adalah makhluk berpikir. Hal ini  membedakannya dengan hewan-hewan dan makhluk lainnya. Kesanggupan berpikir ini merupakan sumber segala kesempurnaan puncak dari kemuliaan, dan ketinggian di atas makhluk lain. Ibn Khaldun mengemukakan ada tiga tingkatan berjenjang dalam proses berpikir, yaitu: Al- ‘aql-tamyiziy atau akal pemilah, Al –‘aql al-tajribiy. Atau akal eksperimen, dan Al- ‘aql al-nazhariy atau akal kritis/spekulatif.[25]
            Kedua, Manusia sebagai Makhluk Berkepribadian Utuh. Tidak diragukan lagi bahwa islam memandan kepribadian manusia, secra umum, tersusun dari dua dimensi yaitu dimensi jasad dan roh, atau disebut juga dengan dimensi jasmani dan rohani. Ibn Khaldun juga seorang tokoh intelektual terkemuka juga mengakui akan kepribadian manusia terdiri dari dimensi jasad dan roh atau jiwa.[26]
            Ketiga, Manusia sebagai Khalifah Allah fi al-Ardhi. Dengan kemampuan berpikir, manusia mampu melahirkan tindakan yang teratu dan tertib sehingga benda-benda yang ada sebagai sumber daya alam dapat diolah dan dikembangkannya. Bahkan, makhluk Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun lebih rendah kedudukannya dari manusia sehingga dapat menguasai dan memanfaatkannya. Karena kemampuan yang bersifat alamiah itulah manusia dijadikan Allah sebagai khalifah Allah fil ardhi.
            Keempat, Manusia sebagai Makhluk Individu dan Sosial. Ibn Khaldun mengakui bahwa manusia sebagai makhluk individu memiliki karakter dan potensi yang berbeda anatara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut tentunya dilatarbelakangi oleh tingkat pola berpikirnya, lingkungan geografisnya, atau kondisi mentalnya.[27]
b.      Tujuan Pendidikan Islam
a)      Untuk mengembangkan intekektulitas peserta didik. Ia memandang bahwa aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan  kematangan individu. Kemudian, kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat.
b)      Memperoleh ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.
c)      Memperoleh lapangan pekerjaan yang digunakan untuk memperoleh rizki. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa: “Ketahuilah bahwa menurut wataknya manusia membutuhkan sesuatu untuk dikamakan, dan untuk melengkapi dirinya dalam semua keadaan dan tahapan hidupnya sejak masa pertama pertumbuhan hingga masa tuanya.
c.       Metode Pendidikan
1)      Mengajarkan di lakukan dengan berangsur-angsur.
2)      Guru mengajarkan pembahasan yang akan diajarkan, secara umum dan menyeluruh dengan mempertimbangkan kemampuan akal dan memperhatikan kesiapan pelajar memahami apa yang akan diberikan kepadanya.
3)      Guru menyampaikan secara lebih terperinci dan menyeluruh,
4)      Guru harus memberikan perbaikan kepada seluruh materi pelajaran yang diberikan.
5)      Guru tidak boleh memperkenalkan permasalahan disiplin ilmu lainnya kepada para siswa sebelum para siswa tersebut memahami suatu disiplin ilmu secara penuh.
6)      Metode diskusi.
7)      Pendidikan dengan cara yang lemah lembut.[28]
d.      Pendidik dalam pendidikan islam
1)      memahami naluri, bakat dan karakter yang dimiliki para siswa.
2)      Para guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, berperilaku lembut dan tidak menerapkan perilaku keras dan kasar.
3)      Sebagai pemimpin yang membuat perbaruan dan perbaikan melalui keteladanannya.
4)      Seorang guru harus mengetahui kondisi kejiwaan dan kesiapan peserta didiknya ketika hendak memberikan pelajaran.[29]
e.       Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
            Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai subyek didik, bukan obyek didik yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ini menandakan bahwa Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang optimistik terhadap peserta didik. Peserta didik bagi Ibnu Khaldun merupakan subyek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan ini membuat pendidikan sebagai anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing ke alam kedewasaan. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai obyek didik yang memerlukan subyek didik, yaitu guru.[30]
f.       Kurikulum Pendidikan Islam
            Ibnu Khaldun membagi macam-macam ilmu yang perlu dimasukkan ke alam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian, yaitu (1) ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik, yang dipelajari karena faedah dari ilmu itu sendiri, seperti ilmu-ilmu syar’iyat, ilmu-ilmu tha’biyat dan filsafat yang berhubungan dengan ke-Tuhan-an, seperti ilmu tafsir, hadits, kalam dan sebagainya. Pendidikan agama, menurut Ibnu Khaldun, memiliki peran penting dalam memupuk persatuan demi berlangsungnya pendirian negara yang besar, (2) ilmu-ilmuyang bernilai ekstrinsik instrument, yaitu ilmu alat bagi ilmu-ilmu jenis pertama di atas, seperti bahasa, matematika, ilmu logika yang membantu mempelajari filsafat dan lain-lain.[31]
            Kemudian mengenai evaluasi pendidikan Ibnu Khaldun, Evaluasi pendidikn, di lakukan dengan melibatkan aktivitas jasmaniah dalam kehidupan sehari-hari. [32] jadi evaluasi yang dilakukan tidak hanya dari sisi prestasi belajar saja, akan tetapi melibatkan aktivitas jasmaniah siswa dalam kehidupan sehari-hari.
            Berikut ini tabel pemikiran pendidikan islam Ibnu Khaldun sebagai upaya pembaharuan pendidikan islam:
1
Hakikat Manusia
Manusia sebagai makhluk berpikir, Manusia sebagai Makhluk Berkepribadian Utuh, Manusia sebagai, Khalifah Allah fi al-Ardhi, dan Manusia sebagai Makhluk Individu dan Sosial.

2
Tujuan Pendidikan Islam
mengembangkan intekektulitas peserta didik, Memperoleh ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya, dan Memperoleh lapangan pekerjaan yang digunakan untuk memperoleh rizki
3
Metode Pendidikan Islam
di lakukan dengan berangsur-angsur, penyampaian secara terperinci dan menyeluruh, memberikan perbaikan kepada seluruh materi, Metode diskusi, dan penyampaian yang lemah lembut.
4
Pendidik dalam Pendidikan Islam
memahami naluri, bakat dan karakter siswa, berperilaku penuh kasih sayang, berperilaku lembut, keteladanan, dan mengetahui kondisi kejiwaan dan kesiapan peserta didiknya.

5
Peserta Didik
Peserta didik merupakan subyek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Sebagai anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing ke alam kedewasaan, Dalam konteks ini peserta didik sebagai obyek didik.
6
Kurikulum Pendidikan Islam
ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik seperti tafsir, hadits, kalam dan sebagainya. Dan ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik seperti bahasa, matematika, ilmu logika dan lain-lain.
7
Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi pendidkan dilakukan tidak hanya dari sisi prestasi belajar saja, akan tetapi melibatkan aktivitas jasmaniah siswa dalam kehidupan sehari-hari.

C.    Ahmad Dahlan

1.      Biografi Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan sewaktu mudanya bernama Muhammad Darwis, lahir tahun 1868 M./1285 H. di kampung kauman yokyakarta. Ayahnya seorang ulama yang bernama K.H. Abu Bakar bin K.H. Sulaiman, pejabat khatib dan imam di masjid besar kesultanan yokyakarta. Dan ibunya bernam Siti Aminah Binti K.H. Ibrahim, pejabat penghulu kesultanan yokyakarta. Muhammad Darwis adalah anak ke-4, dari tujuh bersaudara. (1) Kyai Khatib Harun, (2) Kyai Muhsin (Kyai Nur), (3) K.H. Saleh, (4) K.H. Ahmad Dahlan, (5) K.H. Abdurrahman, (6) Muhammad Faqih, dan (7) Basir.[33] K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 februari 1923 atau bertepatan dengan 7 rajab 1340 di kauman Yokyakarta dalam usia 55 tahun.[34]
Secara formal Kyai Haji Ahmad Dahlan dpat dikatakan tidak pernah memperoleh pendidikan. Pengetahuannya sebagian diperoleh dari otodidaknya. Sementara kemampuan dasar baca-tulis ia peroleh dari ayahnya sendiri, sahabat dan saudara-saudara iparnya.[35] Setelah  beberapa waktu belajar dengan beberapa guru, K.H. Ahmad Dahlan pergi ke mekkah untuk ibadah haji. Ia tiba di mekkah pada bulan rajab 1308 H./1890 M. Setelah menunaikan umrah ia bersilaturahmi dengan para ulama indonesia maupun arab sekaligus untuk menimba ilmu darinya.[36]
Pada tahun 1903, Ia berngkat lagi ke mekkah dan menetap selama dua tahun. Ia studi lanjut tentang berbagai ilmu islam kepada gurunyaketika haji yang pertama dulu, juga kepada lainnya.[37] Pada saat itu Ahmad Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melai penganalisaan ktab-kitab yang dikarang oleh reformer isalm, seperti Ibn Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al-jauziyah, Muhammad Bin Abdul Wahab, Jamal Al-din Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui kitab yang dikarang oleh reformer islam, telah membuka wawasan dahlan tentang universitas  islam. Ide-ide tentang reintepretasi islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan As-sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan ketika itu.

2.      Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan

Pemikiran K.H. Ahmag Dahlan hampir seluruhnya berangkat dari keprihatinan terhadap situasi dan kondis global umat islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan, kebodohan, serta keterbelakangan. Keadaan ini semakin diperparah dengan politik kolonial belanda yang sangat merugikan bangsa indonesia.[38]
K.H. Ahmad Dahlan sangat merasa kemunduran umat islam di tanah air, hal itu merisaukan hatinya, ia merasa bertanggung jawab dan berkewajiban membangunkan, menggerakkan, dan memajukan mereka. Beliau sadar kewajiban itu tidak mungkin dilakukan seseorang diri, harus dilakukan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama beberapa orang yang diatur secara bersama. Kerjasama antar beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Dengan pemahaman seperti itu, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi atau perkumpulan yang ia beri nama Muhammadiyah. Faktor lain yang mendorong berdirinya Muhammadiyah ialah sikap keberagamaan umat islam kala itu dinilai sangat sinkietis dan diselimuti oleh tradisi Hindu-Budha dalam menjalankan ibadah ritual. Selain sikap keberagaman umat islam kala itu yang masih belum rasional. banyak bercampur dengan syirik, Khurafat, Bid’ah, dan dan Taqlid. Hal ini ditambah sistem pendidikan yang lebih menekankan kepada kemapuan mengaji, bukan mengkaji sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional kurang rasional.[39]
Usaha-usaha dibidang pendidikan oleh K.H. Ahmad Dahlan semakin digalakan setelah Ia membentuk perkumpulan Muhammadiyah. Perkumpulann ini dibentuk pada tanggal 18 November 1912 bertepatan 8 zulhijjah 1330 H.[40] salah satu sebab didirikannya Muhammadiyah ialah karena lembaga-lembaga pendidikan islam di indonesia sudah tidak memenuhi lagi kebutuhan dan tuntutan zaman. Tidak saja isi dan metode yang tidak sesuai, bahkan sistem pendidikannyapun harus  diadakan perubahan.[41] Menurut Dhlan hal ini kalau dibiarkan maka akan berdampak pada stagnan pemikiran, kejumudan serta pola pikir yang regresif.
            Dalam muhammadiyah, guru menduduki tempat penting, tidak hanya sekedar alat mekanis tanpa pengetahuan, kesadaran, motivasi, dan tujuan. Di dalam pengertian Muhammadiyah, guru merupakan subjek pendidikan, dan subjek dakwah yang sangat penting fungsi dan amal pengabdiannya.
Sesungguhnya Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan islam pada masanya. Pada watu itu pendidikan islam hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun sosial yang telah menjadi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untu berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dialogis. Padahal dalam pandangan Ahmad Dahlan, pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci.
Pelaksanaan pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan hendaknya di dadasarkan atas landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi perumusan konsep dan tujuan pendidikan islam. Baik secara vertikal (Khaliq) maupun horizontal (Makhluk). Dalam pandangan islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai Abd Allah dan Khalifah Fil Ardh. Dalam proses kejadiannnya, manusia diberikan Allah dengan Al-ruh dan Al-Aql. Oleh karena itu hendaknya pendidikan menjadi media yang dapat mengembangkan potensi Al-ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaa ketundukan dan kepatuhan manusia dengan sang Khaliqnya. Di sini eksistensi akal sebagai potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan demi menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya.[42]
Menurut K.H. Ahmad Dahlan Pendidikan islam hendaknya diarahkan pada membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur dan ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah keduniawian, serta berjuan untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan islam merupakan upaya pembinaan muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai Abd dan Khalifah fil ardh. Untuk mencapai tujuan ini, pendidikan islam hendaknuya mengakomodasikan berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu umum maupun ilmu agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memeperkokoh spiritualitas peserta didik. Upaya ini akan terealisasi manakala pendidikan islam dilaksanakan secara integral, untuk menghasilkan peserta didik yang “intelektual-ulama”. Maka epistemologi islam dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan. Beliau mengemukakan bahwa materi pendidikan ialah pengajaran Al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar.
Berpijak pada pandangan di atas sebenarnya Ahmad Dahlan ingin pengelolaan pendidikan islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik memenuhi dinamika zamannya. Untuk itu pendidikan islam perlu membuka diri, inovatif dan progresif.
Untuk mewujudkan pembaharuan dibidang pendidikan K.H. Ahmad Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pedidikan modern, yaitu dengan sistem klasikal.[43] Apa yang dilakukannya masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan islam pada masa itu. Di sini ia menggabungkan sistem pendidikan belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral.[44] Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini.
Dari uraian di atas terlihat bahwa, pemikiran pendidikan islam sebagai upaya pembaharuan Ahmad Dahlan ini, merupakan tranformasi paradigma pendidikan islam yang saat itu hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun sosial. Kepada pendidikan yang mengembangkan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci. Hal ini diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Mengenai evaluasi pendidikan menurut Ahmad Dahlan, penulis tidak menemukan secara rinci dari berbagai sumber yang telah kami baca berkaitan dengan Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dan pemikiran pendidikannya. Di sana hanya dijelaskan pembaruan pendidikan islam dilakukan dari sistem pendidikan pesantren yang menggunakan metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi pendidikan berbentuk madrasah dengan menerapkan metode klasikal. Dengan sistem pendidikan seperti itu muhammadiyah telah mengenal rencana pembelajaran yang teratur dan integral. Sehingga hasil belajar lebih dapat dievaluasi. Mengenai bentuk evaluasi pendidikan Ahmad Dahlan secara pasti, penulis belum menemukan. Yang pasti evaluasi itu harus dapat mengukur tingkat kemajuan hasil belajar secara menyeluruh.
Berikut tabel pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan:
No
Pemikiran Pendidikan Islam Secara Umum
Pemikiran pendidikan masa sebelum pembaharuan
Usaha pembaharuan Ahmad Dahlan
1
Keberagamaan umat islam diselimuti oleh tradisi Hindu-Budha dalam menjalankan ibadah ritual.
Melepaskan segala tradisi diluar islam dalam menjalankan ritual ibadah, temasuk Hindu-Budha.
2
keberagaman umat islam yang masih belum rasional banyak bercampur dengan syirik, Khurafat, Bid’ah, dan dan Taqlid.
Pendidikan islam merupakan upaya pembinaan muslim sejati yang bertaqwa tajam daya intelektualitas dan kokoh spiritualitas.
3
Sistem pendidikan yang lebih menekankan kepada kemapuan mengaji sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional kurang rasional.

Membangun pendidikan yang tidak hanya mampu mengaji tapi juga kemampuan mengkaji agar melahirkan pemikiran yang rasional.
4
Pendidikan islam hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku individu maupun sosial.
Pendidikan yang mengembangkan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci.


Dari tabel terlihat bahwa, diharapkan pendidikan mampu membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Inilah tujuan akhir gagasan pembaharuan pendidikan islam K.H. Ahmad Dahlan.
Dalam mewujudkan tujuan pendidikan islam di antaranya yaitu manusia yang budi pekerti luhur, luas pandangan dan punya integritas tinggi, maka Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan islam dengan berbagai sistem di antaranya sebagai berikut:
a.         Sekolah yang mengikuti pola pendidikan gubernemen yang ditambah dengan pelajaran agama. Yaitu yang memasukkan pelajaran umum dan agama yang berdasarka pelajaran bahasa arab dan tafsir.
Sekolah yang dibangun Ahmad Dahlan itu agaknya sama dengan dekolah setingkat dengan sistem pendidikan pemerintahan Hindia Belanda. Sampai akhir tahun 1923 di yokyakarta telah berdiri empat SD Muhammadiyah dan tengah mempersiapkan pendirian HIS (holands inslandse school) dan sekolah pendidikan guru.
Untuk sekedar melihat kurikulum salah satu sekolah gubernemen itu, dalam hal ini MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwis), sebagai berikut:
Tabel Kurikulum Mulo
Mata Pelajaran
Kelas
I
II
III
Membaca
Bahasa Belanda
Menulis
Berhitung
Sejarah (Belanda dan Jajahan)
Sejarah Dunia
Geografi
Ilmu Alam
Bahasa Perancis
Bahasa Inggris
Bahasa Jerman
Menggambar
3
5
6
1
1
3
3
2
4
4
2
2
3
4
9
1
1
3
3
3
3
3
2
1
2
4
2
2
1
3
4
4
3
4
2
5

36
36
36
Dari tabel di atas terlihat bahwa kurikulum mulo yang dikembangkan pemerintah tidak menawarkan materi-materi keagamaan. Dalam hal ini K.H. Ahmad Dahlan melengkapi kekurangan itu sehingga ada keseimbangan antara materi keagamaan dan non keagamaa.[45]
b.         Madrasah yang lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama. Jadi dalam kurikulum madrassah tersebut lebih banyak mata pelajaran keagamaannya tanpa mengesampingkan muatan pelajaran umum. Di antara madrasah yang didirikan pada masa penjajahan tersebut:
1)        Kweekschool Muhammadiyah
2)        Muallimin Muhammadiyah
3)        Muallimat Muhammadiyah
4)        Zu’ama/Za’imat
5)        Kulliyah Muballighin/Muballighat
6)        Tablik School
7)        H.I.K. Muhammadiyah
Dari pandangan tersebut dapat diketahui bahwa  menurut K.H. Ahmad Dahlan akal merupakan prioritas dari pendidikan islam. Sebab dengan akal akan memberi peluang peningkatan dan pengembangan dalam memahami dan mengenal makna petunjuk Al-Qur’an. Oleh karena itu sistem yang sesuai menurut Ahmad Dahlan adalah sistem madrasah sebagimana di atas.
Berikut tabel beberapa pembaharuan pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dari aspek kurikulum pembelajaran:
No
Mata Pelajaran

Sekolah Belanda
Ahmad Dahlan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Membaca
Bahasa Belanda
Menulis
Berhitung
Sejarah (Belanda dan Jajahan)
Sejarah Dunia
Geografi
Ilmu Alam
Bahasa Perancis
Bahasa Inggris
Bahasa Jerman
Menggambar
Al-Qur’an
Hadits
Membaca
Menulis
Berhitung
ilmu bumi
menggambar
Di atas terlihat mata pelajaran agama seperti Al-Qur’an dan Hadits yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan oleh Ahmad Dahlan. Inilah kurikulum pendidikan Ahmad Dahlan sebagai upaya pembaharuan Pendidikan Islam.
Secara keseluruhan, upaya pembaharuan pendidikan islam K.H. Ahmad Dahlan meliputi:
No.


1
Landasan Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan didadasarkan atas landasan yang kokoh, yakni Qur’an Hadits. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi perumusan konsep dan tujuan pendidikan islam

2
Pola Pikir
Mengembangkan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci
3
Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan berbentuk Madrasah.
4
Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan islam yang modern dan profesional yakni dengan menggabungkan sistem pendidikan belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral.
5
Materi/Kurikulum Pendidikan
Al-Qur’an, Hadits, Membaca, Menulis, Berhitung, ilmu bumi, menggambar.
6
Metode
Metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren.
7
Pendidik
Guru merupakan subjek pendidikan, dan subjek dakwah yang sangat penting fungsi dan amal pengabdiannya.
8
Peserta Didik
Peserta didik mempunyai Akal dan hati suci yang merupakan potensi dasar dalam pelaksanaan pendidikan yang harus dipelihara dan dikembangkan.
9
Tujuan Pendidikan
Berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
10
Evaluasi
Mengenai evaluasi pendidikan menurut Ahmad Dahlan, penulis tidak menemukan secara rinci. Di sana hanya dijelaskan pembaruan pendidikan islam dilakukan dari sistem pendidikan pesantren yang menggunakan metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi pendidikan berbentuk madrasah dengan menerapkan metode klasikal. Dengan sistem pendidikan seperti itu muhammadiyah telah mengenal rencana pembelajaran yang teratur dan integral. Sehingga hasil belajar lebih dapat dievaluasi. Mengenai bentuk evaluasi pendidikan Ahmad Dahlan secara pasti, penulis belum menemukan. Yang pasti evaluasi itu harus dapat mengukur tingkat kemajuan hasil belajar secara menyeluruh.

D.    Hasyim Asy’Ari

1.      Biografi Hasyim Asy’Ari

            Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ishak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[46]
            Semasa hidupnya, KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, Abd al-Wahid, terutama pendidikan di bidang Al-qur’an dan penguasaan beberapa literatur keagamaan. Setelah itu ia pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo. Setelah menimba ilmu di pondok pesantren Sidoarjo, ternyata KH. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada KH. Ya’kub yang merupakan kyai di pesantren tersebut. Kyai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan KH. Hasyim Asy’ari sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun.[47]
            Di antara ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy’ari selama di Mekkah, adalah fiqh, dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, ulum al-Hadist, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah dan lainlain).  Perjalanan intelektual KH. Hasyim Asy’ari di Mekkah berlangsung selama 7 tahun. Masa ini tampaknya telah membuat beliau memiliki kecakapan- kecakapan sendiri, terutama dalam pengetahuan keagamaan.[48]
            Pada tanggal 26 Rabiul Awwal 1320 M, bertepatan dengan 6 Februari 1906 M, KH Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah beliau banyak melakukan aktivitas-akivitas sosial-kemanusiaan sehingga tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal, tetapi juga pemimpin kemasyarakan secara informal. Sebagai pemimpin pesantren, beliau melakukan pengembangan institusi pesantrenya, termasuk mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum. Jika pada saat itu pesantren hanya mengembangkan sistem halaqah, maka beliau memperkenalkan sistem belajar madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, disamping pendidikan keagamaan. Aktifitas KH. Hasyim Asy’ari di bidang sosial yang lain adalah mendirikan organisasi Nahdhaul Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya, seperti Syaikh Abdul Wahab Hasbullah dan Syaikh Bisri Syamsuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi yang didirikannya ini memiliki tujuan untuk memperkokoh pengetahuan keagamaan di kalangan masyarakat.[49]
            Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.[50]

2.      Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari

            K.H. Hasyim Asy’ari adalah peneguh pendidikan pesantren. Ia dilahirkan, dan dibesarkan dalam tradisi pesantren, ia juga berjuang dan mengabdikan sebagaian besar hidupnya untuk membesarkan dan meneguhkan sistem pendidikan pesantren. Ia membangun pesantren yang kemudian dikenal dengan nama pesantren Tebuireng. Pesantren yang didirikannya ini dapat berkembang dengan pesat menjadi pesantren yang besar. Bahkan ia menjadi penyedia (supplier) paling penting bagi kebutuhan pesantren di seluruh Jawa dan Madura sejak tahun 1910 M.[51]
            Ketekunannya untuk mengembangkan pesantren sesuai dengan semangatnya untuk memperbaiki moral masyarakat dan semangat anti penjajahan. Sebagaimana telah maklum bahwa sistem pendidikan pesantren adalah suatu sistem pendidikan asli Indonesia. Lembaga semacam pesantren ini sudah ada sejak kekuasaan Hindu-Budha. Kehadiran Islam hanya memberi warna keislaman pada lembaga yang sebenarnya sudah ada ini. Dengan lembaga pendidikan semacam ini moralitas Islam mudah ditransformasikan pada masyarakat karena lembaga ini lahir dari budaya masyarakat. Bahkan secara khusus ia menulis buku yang mengaitkan pendidikan Islam dengan moralitas atau akhlaq. Buku itu ia beri nama Adab al-’Alim wa al-muta’alim Semangatnya anti penjajahan yang mengantarkannya pada semangat anti Barat juga mendapat tempat berteduh di pesantren. Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia ini secara umum mengandung ciri-ciri tradisionalisme. Dengan demikian ia dapat di kontraskan dengan modernisme yang umumnya datang dari Barat. Dari sini semangat juang atau jihad melawan penjajah dapat dikobarkan melalui pesantren ini. Semangat tradisionalismenya ini juga terlihat sampai pada sistem, dan metode pengajaran, serta materi pelajaran. Metode pengajaran yang digunakan di pesantren yang dipimpinnya ini adalah metode tradisional, yaitu metode sorogan (santri membaca dan membahas kitab dihadapan guru) dan bandongan (santri menyimak bacaan dan penjelasan guru), dan materinya khusus mata pelajaran keagamaan. Namun dalam perkembangannya untuk menyesuaikan perkembangan pendidikan ia mengadakan pembaharuan menjadi sistem madrasah dengan sistem pengajaran klasikal dan bahkan tiga tahun kemudian, yakni tahun 1919 M mulai dimasukkan mata pelajaran umum.[52]
            Perlu diketahui KH. Hasyim adalah sosok kyai pendidik sekaligus manajer yang handal. Sebagai pendidik hampir seluruh waktunya didedikasikan untuk mengajar, di samping menulis, serta memimpin pesantren Tebuireng sejak awal didirikan. Para stafnya adalah pelaksana yang diberikan tanggung jawab mengenai operasional pondok, namun seluruh kebijaksaaan pendidikannya sepenuhnya tetap berada di tangannya sebagai pemimpin tertinggi di pesantren.[53]Beberapa pemikiran K.H. Hasyim Ay’ari dalam bidang pendidikan islam di antaranya:
a.      Tujuan Pendidikan
            Tujuan pendidikan menurut Hasyim Asy’ari di samping pemahaman terhadap pengetahuan (knowledge), adalah pembentukkan good man yang penuh dengan pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-harinya secara konsisten. Tujuan pendidikan ini mampu direalisasikan jika peserta didik mampu terlebih dahulu mendekatkan diri (muraqabah) kepada Tuhan dan ketika berproses dalam pendidikan, dirinya harus steril dari unsurunsur materalisme, seperti kekayaan, jabatan, popularitas dan sebagainya. Oleh karena itu, ketika peserta didik melakukan kesalahan, maka menjadi kewajiban guru untuk melakukan koreksi terhadap kesalahan tersebut. Kepada peserta didik yang belum mengetahui tentang suatu perbuatan itu sendiri, maka guru harus mampu menolongnya agar peserta didik memperoleh pemahaman yang benar. Dengan berdasarkan argumentasi seperti ini, maka Kyai Hasyim menggunakan term tarbiyyah untuk menunjuk substansi pendidikan.[54]
b.      Metode Pendidikan
            Dalam hal penggunaan metode pembelajaran, Pada umumnya pesantren dalam hal ini bertumpu pada metode sorogan dan bandongan. Akan tetapi, di pesantren Tebuireng penggunaan kedua metode ini tidak dominan sejak awal (1899-1916). Yang kemudian dikembangkan justru penggunaan metode musyawarah, mirip sistem seminar di perguruan tinggi sekarang, karena dianggap lebih cocok untuk para santrinya yang dari segi tingkatan mereka sudah senior. Konon mereka sedang dipersiapkan menjadi tenaga penopang bagi usaha perbaikan pendidikan yang akan dijalankannya, dalam jangka pendek maupun jangka panjang, mengingat masih langkanya tenaga yang bisa diharapkan untuk maksud tersebut pada saat itu. Dan ini terbukti segera setelah masuknya sejumlah guru muda, lewat mereka kemudian berbagai inovasi pembelajaran diperlihatkan secara bertahap di dalamnya menuju reformasi pendidikan yang diinginkan.[55]
c.       Lembaga pendidikan dan Kurikulum
            KH. Hasyim sebagai pimpinan pondok pada 1916, pembaruan tahap pertama di pesantren Tebuireng dimulai dengan memperkenalkan sebuah model kelembagaan baru berbentuk madrasah, yang diberi nama Madrasah Salafiyah. Hingga 1919 madrasah ini sepenuhnya masih berkurikulum diniyah, yang hanya mengajarakan ilmu-ilmu agama saja. Yang diperbarui adalah sistem pembelajarannya, yang disusun secara bertingkat dalam 7 kelas, dibagi ke dalam dua jenjang. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifr awwâl dan sifr tsânî, sebagai madrasah persiapan sebelum memasuki jenjang kedua, madrasah 5 tahun berikutnya. Untuk memudahkan penguasaan bahasa Arab, karena bahasa ini sebagai bahasa sumber pelajaran, Kyai Ma’shum mengembangkan pendekatan pembelajaran baru, disebut pendekatan morfologi (sharaf), yang dengannya pemahaman formasi kosakata sebagai basis pemahaman teks bahasa Arab, mendapatkan perhatian. Buku karangnya mengenai hal ini hingga kini masih menjadi pegangan utama dalam pembelajaran bahasa Arab di pesantren. Pada 1919 madrasah mengadakan perombakan kurikulumnya dengan memberlakukan kurikulum campuran, yang memberikan pengajaran pengetahuan umum, di samping ilmu-ilmu agama yang sudah ada, mencakup bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan ilmu bumi, yang kesemuanya ditulis dengan huruf Latin. [56]
d.      Peserta Didik
            Dalam pendidikan islam, Hasyim Asy’ari berkenaan dengan peserta didik menekankan masalah-masalah etika dalam menempuh pendidikannya, sebagai berikut:[57]
1)   Etika yang harus dicamkan dalam diri peserta didik.
a)    membersihkan hati dari berbagai gangguan material keduniaan dan hal-hal yang merusak sistem kepercayaan,
b)    membersihkan niat,
c)    merasa cukup dengan apa yang ada,
d)   pandai mengatur waktu,
e)    tidak berlebihan dalam makan dan minum,
f)    meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah dan lain lain.
2)   Etika seorang peserta didik terhadap Pendidik/guru.
a)    Meminta petunjuk kepada Allah swt dalam memilih guru,
b)   Mengikuti guru terutama dalam kecerundungan pemikiran,
c)    Memuliakan guru,
d)   Memperhatikan hal-hal yang menjadi hak pendidik,
e)    Bersabar terhadap kekerasan pendidik,
f)    Berkunjung kepada guru,
g)   Menempati posisi duduk dengan rapi dan sopan,
h)   Berbicara dengan lemah lembut dan lain-lain.
3)   Etika Peserta didik tehadap Pelajaran.
a)    Mendahulukan ilmu yang bersifat Fardlu ‘ain,
b)   Harus mempelajari ilmu pendukung ilmu yang bersifat fardlu ’ain,
c)    Hati-hati dalam menanggapi ikhtilāf para ulama’,
d)   Merencanakan cita-cita yang tinggi,
e)    Bergaul dengan guru dan teman yang berilmu tinggi dan pintar,
f)    Mempelajari pelajaran dengan kontinyu/istiqomah dan
g)   Menanamkan rasaantusias dan semangat untuk belajar dan lain-lain
e.       Pendidik
            Hasyim Asy’ari memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pendidik sebagai pemikiran pendidikannya:[58]
1)   Etika Pendidik terhadap dirinya.
a)    Berusaha sekuat tenaga untuk mendekatkan diri kepada Allah,
b)   Senaniasa takut kepada Allah,
c)    Bersikap tenang,
d)   Berhati-hati (wara’),
e)    Tidak mempunyai sikap tinggi hati tetapi selalu tawādlu’,
f)    Konsentrasi (khusyū’) dan lain-lain.
2)   Etika Pendidik terhadap Pelajaran.
a)    Mensucikan diri dari hadast dan kotoran,
b)   Ketika mengajarkan ilmu kepada peserta didik hendaknya berniat untuk beribadah
c)    Menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah swt,
d)   Membiasakan membaca menambah ilmu pengetahuan,
e)    Memberi perhatian terhadap kemampuan masing- masing murid dalam mengajar dan mengajarnya tidak terlalu lama,
f)    Menghindari mengajarkan hal-hal yang syubhāt,
3)   Etika Pendidik terhadap Peserta Didik.
a)    Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam,
b)   Memiliki keihlasan,
c)    Mencintai peserta didik sebagaimana mencinta dirinya sendiri,
d)   memberi kemudahan dalam mengajar dan menggunakan kata-kata yang dapat dipahami,membangkitkan semangat peseta didik dengan jalan memotivasinya,
e)    memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu dan lain-lain.
f.       Lingkungan Pendidikan
            Pendidikan, menurut Kyai Hasyim, pada hakikatnya merupakan tanggung jawab orang tua peserta didik, terutama dari pihak ibu. Tanggung jawab tersebut melekat sampai dengan peserta didik telah dianggap dewasa dan mampu untuk hidup secara mandiri. Di samping itu, orang tua juga memiliki kewajiban untuk memberikan nama yang baik saat bayi baru lahir dan memberikan makanan yang baik pula. Peran keluarga terhadap pembentukan peserta didik yang sukses dalam pendidikannya sangat penting dan dominan. Oleh karena itu, Kyai Hasyim menyarankan agar persiapan untuk mewujudkan hal itu harus sudah dilakukan ketika memilih seorang calon suami atau calon isteri adalah yang memiliki moralitas baik, masih perawan, sederajat (kufu’) dan sebagainya. Dalam lingkungan masyarakat, Kyai Hasyim menekankan agar peserta didik berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain, mengingat manusia adalah homo social yang pasti membutuhkan bantuan yang lain, tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri.[59]
g.      Evaluasi Pendidikan
            Menurut Hasyim Asy’ari dalam proses evaluasi tidak hanya unuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan murid terhadap materi namun juga untuk mengetahui sejauh mana upaya internalisasi nilai-nilaidalam peserta didik bisa diserap dalam kehidupan sehati-hari. Adapun untuk mengukur tingkat keberhasilan seorang guru dalam mendidik akhlak pada peserta didik lebih ditekankan kepada pengamatan kehidupan santri sehari-harinya. Sehingga mengenai hal evaluasi tidak menggunakan standarisasi nilai, namun mereka sudah dianggap baik bila mereka sudah bisa mengamalkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.[60]
            Pemikiran Hasyim Asy’ari tentang evaluasi pendidikan tidak hanya menekankan maslah prestasi belajar, akan tetapi lebih menekankan pada aspek pengamalan nilai-nilai yang terkandung dari ilmu dalam pendidikan yang telah diperoleh.
            Berikut ini tabel pemikiran pendidikan islam Hasyim Asy’ari sebagai upaya pembaharuannya:
1
Tujuan Pendidikan Islam
Pemahaman terhadap pengetahuan (knowledge), dan pembentukkan good man yang penuh dengan pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-harinya secara konsisten.
2
Metode Pendidikan Islam
Metode musyawarah, mirip sistem seminar di perguruan tinggi.
3
Lembaga dan Kurikulum Pendidikan Islam
Lembagaan berbentuk madrasah, dan kurikulum mencakup bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan ilmu bumi, yang kesemuanya ditulis dengan huruf Latin di samping mata pelajaran agama yang sudah ada.
4
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Harus steril dari unsur-unsur materalisme, seperti kekayaan, jabatan, popularitas dan sebagainya. kemudian Beberapa hal yang harus ada pada peserta didik berkaitan dengan etika yang harus ada dalam diri peserta didi, etika seorang peserta didik terhadap Pendidik/guru, dan etika Peserta didik tehadap Pelajaran.
5
Pendidik dalam Pendidikan Islam
Ada beberapa etika bagi pendidik, yakni etika Pendidik terhadap peserta didik, etika pendidik terhadap pelajaran, dan etika pendidik terhadap dirinya.
6
Lingkungan Pendidikan
Mlingkungan keluarga merupakan tanggung jawab orang tua peserta didik dalam memeberi pendidikan. Dan lingkungan masyarakat seorang peserta didik harus  berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain, mengingat manusia adalah homo social yang pasti membutuhkan bantuan yang lain.
7
Evaluasi
Evaluasi pendidikan tidak hanya menekankan maslah prestasi belajar, akan tetapi lebih menekankan pada aspek pengamalan nilai-nilai yang terkandung dari ilmu dalam pendidikan yang telah diperoleh.

            Berikut ini tabel perbandingan pemikiran pendidikan islam di antara para tokoh di atas:
Pemikiran Pendidikan Islam
Tokoh Pemikir Pendidikan Islan
Al-Ghazali
Ibnu Khaldun
Ahmad Dahlan

Hasyim Asy’ari
Metode Pendidikan
Metode hafalan dan pemahaman, keyakinan dan pembenaran, dan penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang keyakinan.
Metode diskusi, kemudian dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan berangsur-angsur, penyampaian secara terperinci dan menyeluruh, memberikan perbaikan kepada seluruh materi.
Metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren.
Sebelumya menggunakan metode sorogan dan bandongan, kemudian diperbarui dengan Metode musyawarah, mirip sistem seminar di perguruan tinggi.
Materi/Kurikulum
Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan.
Dengan  materi Ilmu- ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari oleh setiap orang Islam (wajib ‘ain) yang terdiri dari dari ilmu-ilmu agama dan jenis-jenisnya dan Ilmu Pengetahuan yang bersifat fardhu kifayah yaitu ilmu pengetahuan yang menjadi pendukung hidup didunia seperti kodokteran, ilmu hitung, dan sebahagian ilmu tehnik dan lain-lain.
Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik seperti tafsir, hadits, kalam dan sebagainya. Dan ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik seperti bahasa, matematika, ilmu logika dan lain-lain.
Al-Qur’an, Hadits, Membaca, Menulis, Berhitung, ilmu bumi, menggambar.
Mencakup bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan ilmu bumi, yang kesemuanya ditulis dengan huruf Latin di samping mata pelajaran agama yang sudah ada.
Pendidik
Tidak sembarang orang dapat menjadi guru, kecuali sudah mencapai derajat alim, dalam artian ia telah dapat mendidik dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlaq yang mulai, sabar, syukur, iklas, tawakkal dan lain-lain,
senantiasa benar dalam semua perkara, amanah, lemah lembut, rendah diri dan kasih sayang.
Memahami naluri, bakat dan karakter siswa, berperilaku penuh kasih sayang, berperilaku lembut, keteladanan, dan mengetahui kondisi kejiwaan dan kesiapan peserta didiknya.
Guru merupakan subjek pendidikan, dan subjek dakwah yang sangat penting fungsi dan amal pengabdiannya.
Ada beberapa etika bagi pendidik, yakni etika Pendidik terhadap peserta didik, etika pendidik terhadap pelajaran, dan etika pendidik terhadap dirinya.
Peserta Didik
kewajiban murid adalah memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas.
Peserta didik merupakan subyek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Sebagai anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing ke alam kedewasaan, Dalam konteks ini peserta didik sebagai obyek didik.
Peserta didik mempunyai Akal dan hati suci yang merupakan potensi dasar dalam pelaksanaan pendidikan yang harus dipelihara dan dikembangkan.
Harus steril dari unsur-unsur materalisme, seperti kekayaan, jabatan, popularitas dan sebagainya. Kemudian Beberapa hal yang harus ada pada peserta didik berkaitan dengan etika yang harus ada dalam diri peserta didi, etika seorang peserta didik terhadap Pendidik/guru, dan etika Peserta didik tehadap Pelajaran.
Sistem/lembaga pendidikan
Sistem Pendidikan harus bernuansa Islami dan moral dengan tidak mengabaikan persoalan-persoalan duniawiyah.

Menggabungkan sistem pendidikan belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral. Dan sisitem/lembaga pendidikan berbentuk madrasah.
Sitem/lembaga pendidikan berbentuk pesantren.
Tujuan Pendidikan
Mengarahkan  pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq, dimana  fadhilah/keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan    kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Mengembangkan intekektulitas peserta didik, Memperoleh ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya, dan Memperoleh lapangan pekerjaan yang digunakan untuk memperoleh rizki.
berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Atau dengan singkat disebut dengan intelektual-ulama.
Pemahaman terhadap pengetahuan (knowledge) dan pembentukkan good man yang penuh dengan pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-harinya secara konsisten
Evaluasi
Proses evaluasi dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan pada masing-masing subyek pendidikan, di antaranya pemimpin, murid, guru, orang tua/wali murid dan tenaga administratif, serta jika terdapat hambatan atau kendala dalam proses pendidikan untuk dicarikan solusinya
Evaluasi pendidkan dilakukan tidak hanya dari sisi prestasi belajar saja, akan tetapi melibatkan aktivitas jasmaniah siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai evaluasi pendidikan menurut Ahmad Dahlan, penulis tidak menemukan secara rinci. Di sana hanya dijelaskan pembaruan pendidikan islam dilakukan dari sistem pendidikan pesantren yang menggunakan metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi pendidikan berbentuk madrasah dengan menerapkan metode klasikal. Dengan sistem pendidikan seperti itu muhammadiyah telah mengenal rencana pembelajaran yang teratur dan integral. Sehingga hasil belajar lebih dapat dievaluasi. Mengenai bentuk evaluasi pendidikan Ahmad Dahlan secara pasti, penulis belum menemukan. Yang pasti evaluasi itu harus dapat mengukur tingkat kemajuan hasil belajar secara menyeluruh.
Evaluasi pendidikan tidak hanya menekankan maslah prestasi belajar, akan tetapi lebih menekankan pada aspek pengamalan nilai-nilai yang terkandung dari ilmu dalam pendidikan yang telah diperoleh.



BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

            Pendidikan menurut Al-Ghazali merupakan satu-satunya jalan untuk menyebar luaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan harus bernuansa Islami dan moral dengan tidak mengabaikan persoalan-persoalan duniawiyah. Beliau menegaskan tujuan pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq,dimana  fadhilah/ keutamaan dan taqarrub kepada Allah. Sedangkan tujuan yang paling penting dalam pendidikan terlaksananya pendidikan seperti, pendidik, anak didik, metode, materi dan tujuan harus berjalan dalam koridor agama.
            Paradigma Ibnu Khaldun terhadap pendidikan pada hakikatnya lebih menonjolkan dan mementingkan konsep pendidikannya kepada pembentukan perilaku, ahklak dan budi pekerti. Hal ini dilakukan sebagai wujud apresiasi Ibnu Khaldun terhadap ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Ibnu Khaldun menganggap bahwasannya pendidikan merupakan hakikat dari eksistensi manusia. pendidikan adalah upaya untuk memperoleh suatu kepandaian, pengertian dan kaedah-kaedah yang baru. Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, ia memberikan arahan terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis yakni mencari ridha Allah SWT.
Pemikiran Ahmad Dahlah sebagai pembaharuan pendidikan islam adalah tranformasi paradigma dan lembaga pendidikan. Paradigma pendidikan yang mengembangkan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci. Dan lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, yang menggabungkan antara sistem belanda dan sistem madrasah. Hal ini diarahkan pada usaha membentuk manusia Berakhlak, ‘alim, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya, dan juga menjadi manusia yang Intelektual-Ulama.
           

            Pemikiran  pendidikan yang dikembangkan Kyai Hasyim, sesungguhnya ingin membawa lembaga pendidikan Islam tradisional, dalam hal ini pesantren Tebuirengnya, senantiasa mampu beradaptasi dengan kebutuhan lingkungan dalam arti luas, dalam rangka menjalankan peran utamanya memberikan peluang pendidikan yang sama kepada seluruh partisipannya, tanpa harus memberikan sekat-sekat yang sifatnya formal. Semua ini pada gilirannya mampu mengantarkan para alumninya tanpa perasaan canggung dalam memasuki kehidupan real di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Asegaf, Abd Rahman, 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:   Rajawali Pers
Ardiansyah, Lilik, 2013. Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan, Skripsi       Universitas      Negeri Yokyakarta
A’dlom, Syamsul, 2014. Kiprah Kh. Hasyim Asy’ari Dalam Mengembangkan        Pendidikan Agama Islam, Jurnal Pustaka, Edisi Juli-Desember
As’ad, Mahrus, 2012. Pembaharuan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari,         Jurnal Tsaqafah, Vol. 8 No. 1
Damami, Muhammad, 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah, Yokyakarta: Fajar     Pustaka Baru
Hasbullah, 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintas Sejarah     Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kosim, Muhammad, 2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun, Jakarta:        Rineka Cipta
Khuluq, Lathiful, 2000. Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari,           Yogyakarta: LKIS
Mukani, 2014. Pemikiran Pendidikan Islam perspektif Hasyim Asy’ari, Jurnal         PAI, Vol. 1 No. 1 ISSN 2355-8237
Nizar, Syamsul, 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press
Nurhaidi, Rofiq dan Sudar, Basis Filosofi Pendidikan Nasional (Studi Terhadap     Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, K.H.A. Dahlan, Dan K.H.          Hasyim Ashari), Surya Edukasi
Nata, Abuddin, 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-           Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia        Widiasarana
Nasokah, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UNSIQ Wonosobo,           Konsep Pemikiran Al-Ghazali  Tentang Pendidikan Anak dalam Islam          (Studi Kitab Ihya’ Ulumuddin), Jurnal Manarul Qura’an
Pasha, Mustafa Kamal dan Darban, Ahmad Adaby, 2002. Muhammaiyah sebagai             Gerakan Islam: dalam perspektif Historis dan Ideologis, Jakarta: Pustaka     Pelajar Offset
Rohayati, Enok, 2011. Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Pelembang,    Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak, TA’DIB, VOL. XVI,     NO. 01
Rizal, Syamsul, Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan, Jurnal STAI            Miftahul Ulum Pamekasan
Silahuddin, 2014. Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali (Tinjauan             Filsafat Pendidikan), Islamic Studies Jurnal, Vol. 2 No. 1
Suwendi, 2003. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja            Grafindo Persada
Wafi’, Ali Abdul Wahid, 2004. Kejeniusan Ibnu Khaldun, Penj. Sari Narulita,        Jakarta: Nuansa Press
Zar , Sirajuddin, 2009. Filsafat islam filosof dan filsafatnya, Jakarta : Rajawali        Pers



                [1] Silahuddin, Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali (Tinjauan Filsafat Pendidikan), (Islamic Studies Jurnal, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2014), hlm. 150
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat islam Filsof dan Filsafatnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hlm. 155-156
                [3] Nasokah, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UNSIQ Wonosobo, Konsep Pemikiran Al-Ghazali  Tentang Pendidikan Anak dalam Islam (Studi Kitab Ihya’ Ulumuddin),  (Jurnal Manarul Qura’an), hlm. 155
                [4] Silahuddin, Op. Cit., hlm. 163
                [5] Silahuddin, Op. Cit., hlm. 161
                [6] Silahuddin, Loc. Cit.
[7] Abd Rahman Asegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm. 112
                [8] Ibid.
                [9] Enok Rohayati, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Pelembang, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak, (TA’DIB, VOL. XVI, NO. 01, Edisi Juni 2011), hlm. 108
[10] Ibid.,hlm. 113
                [12] Anwar Syadat, Pemikiran Imam Al-Ghazali, diakses dari anwarbook.blogspot.com pada tanggal 29/05/2016 pukul 14:30
[13] Ali Abdul Wahid Wafi’, Kejeniusan Ibnu Khaldun, Penj. Sari Narulita, (Jakarta: Nuansa Press, 2004), hlm. 25
[14] Ibid., hlm. 21
[15] Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 14-15
                [16] Muhammad Kosim, Op. Cit., hlm. 15
                [17] Muhammad Kosim, Op. Cit., hlm. 22-23
                [18] Muhammad Kosim, Op.Cit., hlm. 24
                [19] Ali Abdul Wahid Wafi’, Op. Cit., hlm. 46-47
                [20] Muhammad Kosim, Op. Cit., hlm. 25
                [21] Lilik Ardiansyah, Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan, (Skripsi Universitas Negeri Yokyakarta, 2013), hlm. 47
                [22] Ibid.
            [23] Syamsul Rizal, Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan, (Jurnal STAI Miftahul Ulum Pamekasan), hlm. 8
                [24] Muhammad Kosim, Op. Cit., hlm. 42
                [25] Muhammad Kosim, Op. Cit., hlm. 42-43
                [26] Muhammad Kosim, Op. Cit., hlm. 47
                [27] Muhammad Kosim, Op. Cit., hlm. 55
                [28] Syamsul Rizal, Op. Cit., hlm. 16
                [29] Syamsul Rizal, Op. Cit., hlm. 17
                [30] Imam Syafi’i, Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan, Artikel, hlm. 7
                [31] Ibid.
            [32] Nur Hanif Wachidah, Studi Komparatif Interaksi Edukatif Dalam Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun Dan K.H. Ahmad Dahlan, diakses dari eprints.ums.ac.id pada tanggal 29/05/2016 pukul 15:14
                [33] Muhammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, (Yokyakarta: Fajar Pustaka Baru, 200), hlm. 81
                [34] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 94
                [35] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 6
                [36] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammaiyah sebagai Gerakan Islam: dalam perspektif Historis dan Ideologis, (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), hlm. 104
                [37] Ibid., hlm. 106
                [38] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 103
                [39]Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2001), hlm. 256
                [40] Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 92
                [41] Mustafa dan Ahmad, Op. Cit., hlm. 133
                [42] Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 104
                [43] Sistem klasikal adalah sistem pendidikan dengan sistem belajar bersama-sama di kelas.
                [44] Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 107-108
                [45] Suwendi, Op. Cit., hlm. 97-98
                [46] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 152
                [47] Syamsul A’dlom, Kiprah Kh. Hasyim Asy’ari Dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam, Jurnal Pustaka, Edisi Juli-Desember 2014, hlm. 19
                [48] Ibid., hlm. 17
                [49] Ibid.           
                [50] Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 21
                [51] Rofiq Nurhaidi dan Sudar, Basis Filosofi Pendidikan Nasional (Studi Terhadap Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, K.H.A. Dahlan, Dan K.H. Hasyim Ashari), Surya Edukasi, hlm. 54
                [52] Ibid.
                [53] Mahrus As’ad, Pembaharuan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari, Jurnal Tsaqafah, Vol. 8 No. 1 April 2012, hlm. 115
                [54] Mukani, Pemikiran Pendidikan Islam perspektif Hasyim Asy’ari, Jurnal PAI, Vol. 1 No. 1, Juli-Desember 2014, ISSN 2355-8237, hlm. 14
                [55] Mahrus As’ad, Op. Cit., hlm 116
                [56] Mahrus As’ad, Loc. Cit.
                [57] Syamsul A’dlom, Op. Cit., hlm. 21-22
                [58] Syamsul A’dlom, Op. Cit., hlm. 22-23
                [59] Mukani, Op. Cit., hlm. 148-149
                [60] Miftahul Muthoharoh, Pemikiran Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan, diakses dari Miftahul-Muthoharoh.blogspot.com pada tanggal 29/05/2016 pukul 16:08