MAKALAH
PEMIKIRAN KHAWARIJ DAN MURJI’AH
mata kuliah ilmu kalam
Disusun Oleh Kelompok 4:
AJI EFFENDI ( 1532100079 )
AL FARIZI (1532100180)
DOSEN
PEMBIMBING SRI HANDAYANI,M. Pd
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN RADEN FATAH
PALEMBANG
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr. Wb.
Makalah
ini bersumber pada pedoman “Sejarah Pemikiran Islam” tentang Ilmu Kalam.
Makalah ini disusun dengan harapan dapat monolong para mahasiswa dalam
mengikuti perkuliahan Ilmu Kalam yang merupakan bagian dari mata kuliah dasar
dari seluruh fakultas keguruan tinggi agama.
Makalah kami ini berjudul Pemikiran Khawarij dan Murji’ah. Karena iu kita bisa tau bagaimana sejarah Ilmu
Kalam, ini merupakan salah satu wacana dalam mengisi kegiatan agama, utamanya
di kalangan dunia Perguruan tinggi Agama. Pada kesempatan ini kami mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing Sri Hidayati, M.Pd karena memberi
kesempatan untuk kami penyajian makalah ini tersebut.
Tentu banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah kami ini, karna itu kami mintah saran dan kritikan nya dari saudara/i
sekalian. Dan semoga makalah ini menjadi hal yang bermanfaat bisa menambah ilmu
serta amal saleh.
Wassalamu’alaikum
wr. Wb.
Palembang, Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kita sudah tahu apa yang terjadi ketika peperangan Shiffin antara
Sayidina Ali dengan Sayidina Muawiyah ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah
lalu mereka mengangkat Mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian
peperangan dengan bertahkim.
Akibat itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang
setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang
tidak setuju dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika
pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran
peperangan yang ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang
melawan khalifah yang sah harus diperangi. Kaum inilah yang dinamakan kaum
Khawarij yaitu kaum yang keluar golongan dari Sayidina Ali.
Kemudian selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah.
Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak sepaham dengan kelompok
Khawarij dan Syi’ah. Pengertian Mur’jiah
sendiri adalah vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilah
Allah SWT, sehingga seorang muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini
tetap diakui sebagai muslim dan mempunyai harapan untuk bertobat.
Setiap orang Islam harus mengetahui macam dan bentuk paham Khawarij dan
Murji’ah, agar kita bisa mengambil pelajaran penting yang bisa diambil dari
kedua paham tersebut. Memang kedua golongan ini sudah hilang dibawa arus
sejarah, tetapi pahamnya masih berkeliaran dimana-mana. Dalam penulisan makalah ini, kami
mencoba mengulas tentang sejarah kemunculan khawarij, pemikiran dan
doktrin-doktrin khawarij, perkembangan khawarij, sejarah kemumculan murji’ah,
dan sekte-sekte murji’ah.
PEMBAHASAN
a. Latar Belakang Kemunculan Khawarij
Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa Arab kharaja
yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berkenaan dengan
pengertian etimologis ini, Syahrastani menyebut orang yang memberontak imam
yang sah sebagai khawarij. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij
berarti setiap muslim yang memiliki sikap laten ingin keluar dari kesatuan umat
islam.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima arbitrase/tahkim
dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/684 M dengan kelompok bughat (pemberontakan)
Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Kelompok khawarij pada
mulanya memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena Ali
merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat islam, sementara
Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah yang
sah. Lagi pula, berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh
kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik
ajakan damai Mu’awiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok
Mu’awiyah, sehingga pada mulanya Ali menolak permintaan itu. Akan tetapi,
karena desakan sebagian pengikutnya,
terutama ahli qurra’, seperti Al-Asyi’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki
At-tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan terpaksa Ali memerintahkan
Al-Asytar (komandan pasukan Ali) untuk menghentikan peperangan .
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin
Abbas sebagai delagasi juru damai (hakam)-nya, tetapi orang-orang Khawarij
menolaknya denga alasan bahwa Abdullah bin Abbas adalah orang yang berasal dari
kelompok Ali. Mereka lalu mengusulkan agar mengirim Abu Musa Al-Asyi’ari dengan
harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim,
yaitu Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah dari utusanya, sementara
Mu’awiyah dinobatkan menjadi khalifah oleh delegasinya pula sebagai pengganti
Ali, akhirnya mengecewakan orang-orang khawarij.
Sejak
itulah, orang-orang khawarij membelot dengan mengatakan, “Mengapa kalian
berhukum kepada manuisia? Tidak ada hukum selain hukum yang ada pada sisi
Allah.” Mengomentari perkataan mereka,
imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan
dengan keliru.” Pada waktu itulah orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali
dan langsung menuju Hurura, sehingga khawarij disebut juga dengan nama
Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al-Mariqah.
Di Harura, kelompok Khawarij
melanjutkan perlawanan selain kepada Mu’awiyah juga kepada Ali. Di sana mereka
mengangkat seorang pemimpin difinitif yang bernama Abdullah bin Sahab
Ar-Rasyibi. Sebelumnya mereka dipandu Abdullah Al-kiwa untuk sampai ke-Harura.
b. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij
Di antara
doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah :
1)
Khalifah atau imam harus dipilih secara
bebas oleh seluruh umat islam,
2)
Khalifah tidak harus berasal dari keturunan
Arab
3)
Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah
asal sudah memenuhi syarat
4)
Khalifah dipilih secara permanen selama
yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam. Ia harus harus
dijatuhkan dan di bunuh jika melakukan kezaliman
5)
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan
Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa ke kekhalifahannya,
Utsman r.a. di anggap telah menyeleweng
6)
Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah
terjadi arbitrase, ia dianggap menyeleweng,
7)
Mua’wiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa
Al-Asy’ari juga di anggap menyeleweng dan telah menjadi kafir
8)
Pasukan perang jamal yang melawan juga
kafir
9)
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi
disebut muslim karenanya harus dibunuh. Mereka menganggap bahwa seorang muslim
tidak lagi muslim (kafir) disebabkan tidak
mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir, dengan resiko ia menanggung
beban harus di lenyapkan pula
10)
Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung
dengan golongan mereka. Apabila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena
hidup dalam dar al harb (Negara
musuh), sedangkan golongan mereka dianggap dalam dar al islam (negara islam).
11)
Seseorang harus menghindar dari pimpinan
yang menyeleweng
12)
Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik
harus masuk syurga, sedangkan yang jahat harus masuk neraka)
13)
Amar makruf nahi mungkar
14)
Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak
mutasyabihat (samar)
15)
Al-Quran adalah makhluk
16)
Manusia bebas memutuskan perbuatannya dari
Tuhan
Apabila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum
khawarij dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu politik, teologi,
dan sosial.
c. Perkembangan Khawarij
Khawarij, sebagaimana
telah dikemukakan, telah menjadikan imamah/khalifah/politik sebagai doktrin
sentral yang memicu timbulnya doktrin-doktrin teologis lainya. Radikalitas yang melekat pada watak dan
perbuatan kelompok Khawarij menyebabkannya sangat rentan pada perpecahan, baik
secara internal kaum Khawarij maupun secara eksternal dengan sesame kelompok
islam lainnya.
Terlepas dari beberapa banyak subsekte pecahan khawarij, tokoh-tokoh
yang disebutkan di atas sepakat bahwa subsekte Khawarij yang besar hanya ada 8,
yaitu :
a.
Al-Muhakkimah
b.
Al-Azriqah
c.
An-Najdat
d.
Al-Baihasiyah
e.
Al-Ajaridah
f.
As-Saalabiyah
g.
Al-Abadiyah
h.
As-sufriyah
Semua tindakan itu membicarakan persoalan
hukum orang yang berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau telah menjadi
kafir. Tindakan kelompok Khawarij merisaukan hati kita semua umat islam saat
itu. Sebab, dengan capkafir yang diberikan salah satu subsekte tertentu
Khawarij, jiwa seseorang harus melayang, meskipun oleh subsekte yang lain orang
bersangkutan masih dikategorikan sebagai mukmin sehingga dikatakan bahwa jiwa
seseorang Yahudi atau Majusi masih lebih berharga dibandingkan dengan jiwa
seorang mukmin.
Semua aliran bersifat radikal, pada
perkembangan lebih lanju, dikategorikan sebagai aliran khawarij, selama terdapat indikasi doktrin yang identik dengan
aliran ini. Berkenanan dengan persoalan ini, Harun mengidentifikasi beberapa
indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran Khawarij masa kini,
yakni ;
a.
Mudah mengafirkan orang yang tidak
segolongan dengan mereka, walaupun orang itu adalah agama islam
b.
Islam yang benar adalah Islam yang mereka
pahami dan amalkan, sedangkan Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan
golongan lain tidak benar,
c.
Orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi
kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang
mereka pahami dan amalkan
d.
Karena pemerintahan dan ulama yang tidak
sepaham dengan mereka adalah sesat, mereka memilih imam dari golongannya, yaitu
imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan
e.
Mereka
bersifat fatanik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan
pembunuhan untuk mencapai tujuannya.[1]
a. Latar Belakang Kemunculan Murji’ah.
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’
atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a
mengandung arti member pengharapan, yaitu kepada pelaku dosa besar untuk
memperoleh pengampunan dari rahmat Allah SWT. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu
orang yang mengemudikan amal dari iman.
Menurut Ahlus Sunnah bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu
membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertainya dengan
amal perbuatan seperti shalat, zakat, haji, dan lain-lain. Masing-masingnya
adalah termasuk bagian dari iman.
Amin menerangkan:
“kebanyakan golongan murji’ah berpendapat
bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Atau dengan kata lain iman
ialah makrifat kepada Allah Swt. dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila
seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah mukmin dan muslim, sekalipun
lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak
mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan
seperti shalat, puasa dan sebagainya, itu bukan bagian daripada iman.”
Selanjutnya diterangkan:
“Sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat
bahwa iman itu terdiri dari dua unsure, yaitu membenarkan dengan hati, dan
mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja tidaklah cukup, dan
mengikrarkan dengan lisan saja pun tidak cukup, tetapi harus dengan bersama
kedua-duanya, supaya seseorang menjadi Mukmin. Karena orang yang membenarkan
dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan, tidak dinamakan mukin.”
Iman adalah pengakuan tentang ke-Maha Esaan Allah, dan kerasulan
Muhammad Saw., yaitu pengakuan dengan hati. Barangsiapa mengakui hal itu
berdasarkan kepercayaan, maka dia adalah Mukmin, apakah dia menunaikan
kewajiban-kewajibannya atau tidak, dan apakah dia menjauhi dosa-dosa besar atau
dia justru melakukannya. Salah seorang penyair mereka berkata:
“aku tidak berpendapat bahwa sesuatu dosa
dapat mengantarkan seseorang kepada syirik, selama dia tetap bertauhid kepada
tuhan.”
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban-kewajiban,
atau dia melakukan dosa-dosa besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh murji’ah
berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini: hal
itu haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kedapa Tuhan untuk menentukannya di
hari kiamat. Dari sini timbulnya istilah “Muji’ah”,
yaitu berasal dari kata “irja” yang
berarti “menangguhkan”.[2]
Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan
seseorang yang bersengketa yaitu ‘Ali dan Mu’awiyah, serta setiap pasukannya
pada hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan
Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan ira’ atau arja’a dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam
ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme.
Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir
bersama dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Murji’ah, pada saat itu
merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja’
yang merupakan basis doktrin Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan
politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini menceritakan bahwa
20 tahun setelah meninggalnya Mua’wiyah tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh
pertikaian sipil, yaitu Al-Mukhtar membawa paham Syi’ah ke Kufah dari tahun
685-687; Ibu Zubair mengklain kekhalifahan di Mekah hingga kekuasaan Islam.
Sebagai respons dari keadaan ini muncul gagasan Irji’ atau penangguhan (postponenment).
Gagasan ini tampaknya pertama kali dipergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali
bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiya, dalam sebuah surat pendeknya
yang tampak autentik. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya
dengan mengatakan, “kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan
keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang
melibatkan utsman, Ali, dan Zubair (seorang tokoh pembelot ke Mekah).” Dengan
sikap ini, Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian
mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau
mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang
menolak mengakui kekhalifahan Mu’awiyah dengan alsan bahwa ia adalah keturunan
si pendosa Ustman.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin ‘Ash, seorang
kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan
yang kontra. Kelompok kintra akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yaitu kubu
Khawarij, memandang bahwa tahkim itu
bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan
hukum Allah SWT. oleh karena itu, Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim
itu dosa besar dan dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain,
seperti zina, riba’, membunuh tanpa alas an yang benar, durhaka kepada orang
tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat Khawarij tersebut ditentang
sekelompok sahabat yang kemudia disebut Murji’ah dengan mengatakan bahwa
pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan
kepada Allah SWT., apakah mengampuninya atau tidak.[3]
b. Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’ atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan yang dihadapinya,
baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik
netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah
sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi
begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin irja’
dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang
muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang
ditanggapinya menjadi semakin kompleks, mencakup iman, kufur, dosa besar dan
ringan (mortal and venial sins),
tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atau dosa besar, kemaksuman
nabi (the impeccability of the prophet),
hukuman atas dosa (punishment og sins),
pertanyaan tentang ada yang kafir (infidel)
di kalangan generasi awal Islam, taubat (redress
of wrongs), hakikat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan
(predestination).
Berkaitan dengan doktrin-doktrin teologi Murji’ah, W. Montogomery Watt
memerincinya sebagi berikut.[4]
1) Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
2) Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat
Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3) Pemberian harapan (giving of hope)
terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat
dari Allah SWT.
4) Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mahzab) para skeptis dan
empiris dari kalangan Helenis.
Masih
berkaitan dengan doktrin-doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan
empat ajaran pokoknya, yaitu:
1) Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash, dan Abu Musa
Al-Asy’ari yang terlibat dalam tahkim hingga
kepada Allah padda hari kiamat kelak;
2) Menyerahkan keputusan kepada Allah SWT. atas orang muslim yang berdosa
besar;
3) Meletakkan (pentingnya) iman lebih utama daripada amal;
4) Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah SWT.
c. Sekte-Sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampakya dipicu oleh
perbedaan pendapat dikalangan para pendukung Murji;ah. Masalah yang cukup
mendasar ketika para pengamat
mengklasifikasi sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya adalah ada beberapa tokoh
aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut
Murji’ah, tetapi pengamat lain tidak mengklaimnya. Tokoh yang dimaksud adalah
Washil bin Atha’ dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus sunnah. Oleh karena
itu, Asy-Syahraystany seperti di kutip oleh watt, menyabutkan sekte-sekte
Murji’ah sebagai berikut ;
a.
Murji’ah Khawarij
b.
Murji’ah Qadariah
c.
Murji’ah
jabariah
d.
Murji’ah Murni
e.
Murji’ah sunni (tokohnya Abu Hanifah)
Harun Nasution
secara garis besar
mengklasifikasikan Murji’ah
menjadi dua sekte, yaitu golongan muderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendirian
bahwa pendosa besar
tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka disiksa
sebesar dosanya dan diampuni oleh Allah SWT. praktis tidak masuk neraka. Iman
adalah pengetahuan tentang tuhan dan Rasul-rasulnya serta yang datang dari-Nya
secara keseluruhan, namun dalam garis besar iman tidak bertambah dan tidak pula
berkurang. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.
Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali bin
Thalib, Abu Hanifah, Abu yusuf, dan beberapa
ahli hadits.
Adapun yang temasuk kelompok ekstrim adalah
Al-jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiah, Al-Ubaidiyah, dan Al-hasaniyah.
Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut.
a.
Jahmiyah, kelompok jahm bin Shafwan dan
para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan dan
kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidak menjadi kafir karena iman
dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan bagian lain dalam tubuhnya.
b.
Shalihiyah, kelompok Abu hasan Ash-Shalihy,
berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan
merupakan Ibadah kepada Allah SWT karena yang disebut ibadah adalah iman
kpada-Nya, dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji,
bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan
ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman.
c.
Yunusiyah dan ubaidiyah, melontarkan
pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perkjaan-pekerjaan jahat tidak merusak
iman seseorang. Mati dalam iman dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan
tidak merugikan bagi yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman
berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak merusak iman
seseorang sebagai musyrik atau polities.
d.
Hasaniyah, menyebutkan bahwa jika seseorang
mengatakan, “saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah
babi yang diharamkan itu adalah kambing ini.” Orang tersebut tetap mukmin bukan
kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, “saya tahu tuhan wajibkan naik haji
ke kakbah, tetapi saya tidak tahu apakah kakbah di India atau tempat lain”.[5]
Untuk melihat gambaran perbedaan pendapat antara aliran yang terdapat
dalam aliran Khawarij dan Murji’ah, berikut ini akan dipaparkan kembali
berdasarkan uraian pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, meliputi: Pelaku dosa
besar, iman dan kufur.
Dalam hal menyikapi pelaku dosa besar, aliran Khawarij langsung memfonis
bahwa semua pelaku dosa besar (murtabb
al-kabirah), kecuali sekte al-Najdah,
adalah kafir atau murtad sehingga wajib dibunuh dan akan disiksa di neraka
selama-lamanya. Sekte al-Azariqah,
menggunakan istilah musryik, yaitu memandang musyrik terhadap yang tidak mau
bergabung dengan barisan mereka dan yang tidak sepaham dengan mereka. Pelaku
dosa besar (membunuh, berzina, dll) dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah (agama)
yang berarti telah keluar dari Islam, kekal di neraka bersama orang-orang kafir
lainnya. Sekte al-Muhakimat menyatakan,
Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan semua orang yang menyetujui
arbitrase adalah bersalah dan menjadi
kafir termasuk orang yang berbuat dosa besar (berzina, membunuh manusia tanpa
sebab, dosa besar lainnya).
Sedangkan aliran Murji’ah memberikan pengharapan kepada masyarakat.
Sekte Murji’ah ekstrim terkenal dengan kredonya bahwa perbuatan maksiat tidak
dapat membawa kekufuran. Menurut mereka, keimanan terletak didalam kalbu,
adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang
ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang
menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak
keimanannya, bahakan keimanannya masih sempurna di mata tuhan. Mereka memandang
pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka. Adapun sekte Murji’ah moderat
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Mmeskipun disiksa
dalam neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang
dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya
hingga ia bebas dari siksaan neraka. Abu Hanifah dan penguikutnya termasuk pada
sekte Murji’ah moderat ini.[6]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis kata khawarij
berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul,
atau memberontak. Terdapat beberapa doktrin pokok dalam kaum khawarij. Doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat
dikategorikan dalam tiga kategori; politik, teologi, dan social. Dalam
perkembangannya subsekte Khawarij yang besar terdiri dari delapan macam.
Sedangkan Murji’ah
diambil dari Al-irjo’ , yaitu menunda, menangguhkan, mengakhirkan ; mungkin
karena mereka mengakhirkan tingkatan amal dari iman, atau kah mereka
menangguhkan hukuman terhadap pelaku dosa besar sampai hari kiamat, dan
menyerahkan perkaranya kepada Tuhannya. Ajaran pokok murji’ah pada dasarnya
bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam
banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik
doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang
hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Golongan murji’ah dibagi kedalam
2 kelompok besar yaitu golongan moderat dan ekstrim.
DAFTAR PUSTAKA
·
Nasir A.
Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam. Jakarta:
Rajawali Pers
·
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2012.Ilmu Kalam.
Bandung: CV Pustaka Setia
·
Watt, Montgomery,W. 1990 Early Islam: Collected
Article.Eidenburgh: University
Press.
·
https://makalahpribadi.wordpress.com/2012/04/05/ilmu-kalam-khawarij-dan-murjiah/ tgl : 20/10/2015 pukul : 16.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar