Sabtu, 07 November 2015

makalah (Ilm Klm) pemikiran kalam khawarij dan murji'ah



MAKALAH
PEMIKIRAN KHAWARIJ DAN MURJI’AH

Add caption
Sebagai tugas
 mata kuliah ilmu kalam



Disusun Oleh Kelompok 4:

AJI EFFENDI ( 1532100079 )
AL FARIZI (1532100180)



DOSEN PEMBIMBING SRI HANDAYANI,M. Pd
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2015/2016

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr. Wb.
Makalah ini bersumber pada pedoman “Sejarah Pemikiran Islam” tentang Ilmu Kalam. Makalah ini disusun dengan harapan dapat monolong para mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan Ilmu Kalam yang merupakan bagian dari mata kuliah dasar dari seluruh fakultas keguruan tinggi agama.
    Makalah kami ini berjudul Pemikiran Khawarij dan Murji’ah. Karena iu kita bisa tau bagaimana sejarah Ilmu Kalam, ini merupakan salah satu wacana dalam mengisi kegiatan agama, utamanya di kalangan dunia Perguruan tinggi Agama. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Sri Hidayati, M.Pd karena memberi kesempatan untuk kami penyajian makalah ini tersebut.
 Tentu banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah kami ini, karna itu kami mintah saran dan kritikan nya dari saudara/i sekalian. Dan semoga makalah ini menjadi hal yang bermanfaat bisa menambah ilmu serta amal saleh.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.


Palembang, Oktober 2015


Penulis



DAFTAR ISI








Kita sudah tahu apa yang terjadi ketika peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan Sayidina Muawiyah ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim.
Akibat itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang melawan khalifah yang sah harus diperangi. Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij yaitu kaum yang keluar golongan dari Sayidina Ali.
Kemudian selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah. Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak sepaham dengan kelompok Khawarij dan Syi’ah. Pengertian Mur’jiah sendiri adalah vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilah Allah SWT, sehingga seorang muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan mempunyai harapan untuk bertobat.
Setiap orang Islam harus mengetahui macam dan bentuk paham Khawarij dan Murji’ah, agar kita bisa mengambil pelajaran penting yang bisa diambil dari kedua paham tersebut. Memang kedua golongan ini sudah hilang dibawa arus sejarah, tetapi pahamnya masih berkeliaran dimana-mana. Dalam penulisan makalah ini, kami mencoba mengulas tentang sejarah kemunculan khawarij, pemikiran dan doktrin-doktrin khawarij, perkembangan khawarij, sejarah kemumculan murji’ah, dan sekte-sekte murji’ah.
PEMBAHASAN

a. Latar Belakang Kemunculan Khawarij

Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa Arab kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berkenaan dengan pengertian etimologis ini, Syahrastani menyebut orang yang memberontak imam yang sah sebagai khawarij. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang memiliki sikap laten ingin keluar dari kesatuan umat islam.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima arbitrase/tahkim dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/684 M dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat islam, sementara Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah yang sah. Lagi pula, berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Mu’awiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Mu’awiyah, sehingga pada mulanya Ali menolak permintaan itu. Akan tetapi, karena desakan sebagian pengikutnya,  terutama ahli qurra’, seperti Al-Asyi’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukan Ali) untuk menghentikan peperangan .
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delagasi juru damai (hakam)-nya, tetapi orang-orang Khawarij menolaknya denga alasan bahwa Abdullah bin Abbas adalah orang yang berasal dari kelompok Ali. Mereka lalu mengusulkan agar mengirim Abu Musa Al-Asyi’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yaitu Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah dari utusanya, sementara Mu’awiyah dinobatkan menjadi khalifah oleh delegasinya pula sebagai pengganti Ali, akhirnya mengecewakan orang-orang khawarij.
Sejak itulah, orang-orang khawarij membelot dengan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manuisia? Tidak ada hukum selain hukum yang ada pada sisi Allah.”  Mengomentari perkataan mereka, imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.” Pada waktu itulah orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura, sehingga khawarij disebut juga dengan nama Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al-Mariqah.
            Di Harura, kelompok Khawarij melanjutkan perlawanan selain kepada Mu’awiyah juga kepada Ali. Di sana mereka mengangkat seorang pemimpin difinitif yang bernama Abdullah bin Sahab Ar-Rasyibi. Sebelumnya mereka dipandu Abdullah Al-kiwa untuk sampai ke-Harura.

b. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij

Di antara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah :
1)                  Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam,
2)                  Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab
3)                  Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah asal sudah memenuhi syarat
4)                  Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam. Ia harus harus dijatuhkan dan di bunuh jika melakukan kezaliman
5)                  Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa ke kekhalifahannya, Utsman r.a. di anggap telah menyeleweng
6)                  Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap menyeleweng,
7)                  Mua’wiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga di anggap menyeleweng dan telah menjadi kafir
8)                  Pasukan perang jamal yang melawan juga kafir
9)                  Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karenanya harus dibunuh. Mereka menganggap bahwa seorang muslim tidak lagi muslim  (kafir) disebabkan tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir, dengan resiko ia menanggung beban harus di lenyapkan pula
10)              Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Apabila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al harb (Negara musuh), sedangkan golongan mereka dianggap dalam dar al islam (negara islam).
11)              Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng
12)              Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk syurga, sedangkan yang jahat harus masuk neraka)
13)              Amar makruf nahi mungkar
14)              Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak mutasyabihat (samar)
15)              Al-Quran adalah makhluk
16)              Manusia bebas memutuskan perbuatannya dari Tuhan

Apabila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu politik, teologi, dan sosial.

c. Perkembangan Khawarij

Khawarij, sebagaimana telah dikemukakan, telah menjadikan imamah/khalifah/politik sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya doktrin-doktrin teologis lainya. Radikalitas yang melekat pada watak dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkannya sangat rentan pada perpecahan, baik secara internal kaum Khawarij maupun secara eksternal dengan sesame kelompok islam lainnya.
Terlepas dari beberapa banyak subsekte pecahan khawarij, tokoh-tokoh yang disebutkan di atas sepakat bahwa subsekte Khawarij yang besar hanya ada 8, yaitu :
a.                   Al-Muhakkimah
b.                   Al-Azriqah
c.                   An-Najdat
d.                  Al-Baihasiyah
e.                   Al-Ajaridah
f.                    As-Saalabiyah
g.                   Al-Abadiyah
h.                   As-sufriyah
Semua tindakan itu membicarakan persoalan hukum orang yang berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau telah menjadi kafir. Tindakan kelompok Khawarij merisaukan hati kita semua umat islam saat itu. Sebab, dengan capkafir yang diberikan salah satu subsekte tertentu Khawarij, jiwa seseorang harus melayang, meskipun oleh subsekte yang lain orang bersangkutan masih dikategorikan sebagai mukmin sehingga dikatakan bahwa jiwa seseorang Yahudi atau Majusi masih lebih berharga dibandingkan dengan jiwa seorang mukmin.
Semua aliran bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanju, dikategorikan sebagai aliran khawarij, selama  terdapat indikasi doktrin yang identik dengan aliran ini. Berkenanan dengan persoalan ini, Harun mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran Khawarij masa kini, yakni ;  
a.                   Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka, walaupun orang itu adalah agama islam
b.                   Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan, sedangkan Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan lain tidak benar,
c.                   Orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang mereka pahami dan amalkan
d.                  Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, mereka memilih imam dari golongannya, yaitu imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan
e.                    Mereka bersifat fatanik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuannya.[1]

a. Latar Belakang Kemunculan Murji’ah.

Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung arti member pengharapan, yaitu kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dari rahmat Allah SWT. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.
Menurut Ahlus Sunnah bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertainya dengan amal perbuatan seperti shalat, zakat, haji, dan lain-lain. Masing-masingnya adalah termasuk bagian dari iman.
Amin menerangkan:
kebanyakan golongan murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah Swt. dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah mukmin dan muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa dan sebagainya, itu bukan bagian daripada iman.
Selanjutnya diterangkan:
Sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua unsure, yaitu membenarkan dengan hati, dan mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja tidaklah cukup, dan mengikrarkan dengan lisan saja pun tidak cukup, tetapi harus dengan bersama kedua-duanya, supaya seseorang menjadi Mukmin. Karena orang yang membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan, tidak dinamakan mukin.
Iman adalah pengakuan tentang ke-Maha Esaan Allah, dan kerasulan Muhammad Saw., yaitu pengakuan dengan hati. Barangsiapa mengakui hal itu berdasarkan kepercayaan, maka dia adalah Mukmin, apakah dia menunaikan kewajiban-kewajibannya atau tidak, dan apakah dia menjauhi dosa-dosa besar atau dia justru melakukannya. Salah seorang penyair mereka berkata:
aku tidak berpendapat bahwa sesuatu dosa dapat mengantarkan seseorang kepada syirik, selama dia tetap bertauhid kepada tuhan.
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban-kewajiban, atau dia melakukan dosa-dosa besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh murji’ah berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini: hal itu haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kedapa Tuhan untuk menentukannya di hari kiamat. Dari sini timbulnya istilah “Muji’ah”, yaitu berasal dari kata “irja” yang berarti “menangguhkan”.[2] Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yaitu ‘Ali dan Mu’awiyah, serta setiap pasukannya pada hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan ira’ atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersama dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Murji’ah, pada saat itu merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja’ yang merupakan basis doktrin Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah meninggalnya Mua’wiyah tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil, yaitu Al-Mukhtar membawa paham Syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibu Zubair mengklain kekhalifahan di Mekah hingga kekuasaan Islam. Sebagai respons dari keadaan ini muncul gagasan Irji’ atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini tampaknya pertama kali dipergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiya, dalam sebuah surat pendeknya yang tampak autentik. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, “kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan utsman, Ali, dan Zubair (seorang tokoh pembelot ke Mekah).” Dengan sikap ini, Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Mu’awiyah dengan alsan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Ustman.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin ‘Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kintra akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yaitu kubu Khawarij, memandang bahwa tahkim itu bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah SWT. oleh karena itu, Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar dan dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba’, membunuh tanpa alas an yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat Khawarij tersebut ditentang sekelompok sahabat yang kemudia disebut Murji’ah dengan mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah SWT., apakah mengampuninya atau tidak.[3]

b. Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah

Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’ atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan yang dihadapinya, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin irja’ dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks, mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan (mortal and venial sins), tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atau dosa besar, kemaksuman nabi (the impeccability of the prophet), hukuman atas dosa (punishment og sins), pertanyaan tentang ada yang kafir (infidel) di kalangan generasi awal Islam, taubat (redress of wrongs), hakikat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (predestination).
Berkaitan dengan doktrin-doktrin teologi Murji’ah, W. Montogomery Watt memerincinya sebagi berikut.[4]
1)      Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2)      Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3)      Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah SWT.
4)      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mahzab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin-doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1)      Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat dalam tahkim hingga kepada Allah padda hari kiamat kelak;
2)      Menyerahkan keputusan kepada Allah SWT. atas orang muslim yang berdosa besar;
3)      Meletakkan (pentingnya) iman lebih utama daripada amal;
4)      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah SWT.

c. Sekte-Sekte Murji’ah

Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampakya dipicu oleh perbedaan pendapat dikalangan para pendukung Murji;ah. Masalah yang cukup mendasar  ketika para pengamat mengklasifikasi sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi pengamat lain tidak mengklaimnya. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha’ dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus sunnah. Oleh karena itu, Asy-Syahraystany seperti di kutip oleh watt, menyabutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut ;
a.                   Murji’ah Khawarij
b.                   Murji’ah Qadariah
c.                   Murji’ah  jabariah
d.                  Murji’ah Murni
e.                   Murji’ah sunni (tokohnya Abu Hanifah)

Harun  Nasution secara garis besar  mengklasifikasikan  Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan muderat dan golongan ekstrim.  Murji’ah moderat  berpendirian  bahwa  pendosa  besar  tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan diampuni oleh Allah SWT. praktis tidak masuk neraka. Iman adalah pengetahuan tentang tuhan dan Rasul-rasulnya serta yang datang dari-Nya secara keseluruhan, namun dalam garis besar iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.  Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu yusuf, dan beberapa  ahli hadits.
Adapun yang temasuk kelompok ekstrim adalah Al-jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiah, Al-Ubaidiyah, dan Al-hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut.
a.                   Jahmiyah, kelompok jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidak menjadi kafir karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan bagian lain dalam tubuhnya.
b.                   Shalihiyah, kelompok Abu hasan Ash-Shalihy, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan  kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan Ibadah kepada Allah SWT karena yang disebut ibadah adalah iman kpada-Nya, dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji, bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman.
c.                   Yunusiyah dan ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perkjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman seseorang. Mati dalam iman dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidak merugikan bagi yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik atau polities.
d.                  Hasaniyah, menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini.” Orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, “saya tahu tuhan wajibkan naik haji ke kakbah, tetapi saya tidak tahu apakah kakbah di India atau tempat lain”.[5]

Untuk melihat gambaran perbedaan pendapat antara aliran yang terdapat dalam aliran Khawarij dan Murji’ah, berikut ini akan dipaparkan kembali berdasarkan uraian pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, meliputi: Pelaku dosa besar, iman dan kufur.
Dalam hal menyikapi pelaku dosa besar, aliran Khawarij langsung memfonis bahwa semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), kecuali sekte al-Najdah, adalah kafir atau murtad sehingga wajib dibunuh dan akan disiksa di neraka selama-lamanya. Sekte al-Azariqah, menggunakan istilah musryik, yaitu memandang musyrik terhadap yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka dan yang tidak sepaham dengan mereka. Pelaku dosa besar (membunuh, berzina, dll) dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama) yang berarti telah keluar dari Islam, kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya. Sekte al-Muhakimat menyatakan, Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir termasuk orang yang berbuat dosa besar (berzina, membunuh manusia tanpa sebab, dosa besar lainnya).
Sedangkan aliran Murji’ah memberikan pengharapan kepada masyarakat. Sekte Murji’ah ekstrim terkenal dengan kredonya bahwa perbuatan maksiat tidak dapat membawa kekufuran. Menurut mereka, keimanan terletak didalam kalbu, adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya, bahakan keimanannya masih sempurna di mata tuhan. Mereka memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka. Adapun sekte Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Mmeskipun disiksa dalam neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya hingga ia bebas dari siksaan neraka. Abu Hanifah dan penguikutnya termasuk pada sekte Murji’ah moderat ini.[6]



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Secara  etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Terdapat beberapa doktrin pokok dalam kaum khawarij.  Doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori; politik, teologi, dan social. Dalam perkembangannya subsekte Khawarij yang besar terdiri dari delapan macam.
Sedangkan Murji’ah diambil dari Al-irjo’ , yaitu menunda, menangguhkan, mengakhirkan ; mungkin karena mereka mengakhirkan tingkatan amal dari iman, atau kah mereka menangguhkan hukuman terhadap pelaku dosa besar sampai hari kiamat, dan menyerahkan perkaranya kepada Tuhannya. Ajaran pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Golongan murji’ah dibagi kedalam 2 kelompok besar yaitu golongan moderat dan ekstrim.  



DAFTAR PUSTAKA

·         Nasir  A. Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam. Jakarta: Rajawali Pers
·         Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2012.Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
·         Watt, Montgomery,W. 1990 Early Islam: Collected Article.Eidenburgh: University Press.
·         https://makalahpribadi.wordpress.com/2012/04/05/ilmu-kalam-khawarij-dan-murjiah/  tgl : 20/10/2015 pukul : 16.00



[1]. Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2012, hal 63
[2]. Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, hlm 152
[3]               Ibid., hlm 70
[4]               W. Mongomey Watt, Early Islam: Collected Articles, Eidenburgh, 1990, hlm 181
                [5] Ibid., hlm 75
[6] . https://makalahpribadi.wordpress.com/2012/04/05/ilmu-kalam-khawarij-dan-murjiah/  tgl : 20/10/2015 pukul : 16.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar