Add caption |
MAKALAH
PEMIKIRAN KALAM MU’TAZILAH DAN SYI’AH
Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah ilmu kalam
Dosen Pengampu: Sri Hidayati, M.Pd
Disusun
Oleh Kelompok 6:
Aby Syarifunnahar (1532100071)
Choirul Mukmin (1532100094)
Bagus Pamungkas (1532100092)
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH
PALEMBANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TA
2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Segala
puji hanya milik Allah azza wajal, shalawat seiring salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw. Keluarga, sahabat dan
seluruh umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas ajarannya hingga hari
kiamat.
Penulis
sangat bersyukur karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “pemikiran
kalam mu’tazilah dan syi’ah”.
Penyusunan
makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Kalam Program Studi Pendidikan
Agama Islam Universitas Islam Negri Raden Fatah Palembang. Dalam penyusunan
makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan
sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah ilmu kalam yang telah memberikan materi perkuliahan
serta arahannya, mudah-mudahan Allah SWT. Membalas atas semua bantuan yang
telah diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap makalah ini berguna
bagi kita semua amin. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Palembang, 04 November 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Dikatakan bahwa pesoalan yang pertama-tama kali timbul dalam
islam, setelah wafatnya rasulullah, adalah persoalan politik dan bukan
persoalan teologi. Persoalan politik itulah yang kemudian berkembang menjadi
persoalan teologi. Ini adalah titik mula sebuah perjalanan sehingga mengakibatkan
munculnya sekte-sekte dalam islam. Dari sejarah diketahui bahwa dari permaslahan
politik muncul tiga kelompok politik. Masing-masing adalah khawarij, murji’ah
dan Syi’ah. Khawarij dan murji’ah segera jelas menjadi kelompok teologi karena
pembicaraan mereka mengenai siapa yang
kafir dan siapa yang tidak kafir mengenai setatus orang yang berbuat dosa
besar. Dari sinilah timblnya kelompok lain yang bernama mu’tazilah, kelompok
ini muncul sebagai respon dari kedua kubu tersebut mengenai pelaku dosa besar,
sedangkan mu’tazilah hadir sebagai penengah di antara keduanya.
Adapun Syi’ah, muncul karena ketidak setujuan maslah politik
pada saat itu, yaitu mengenai pengganti rasulullah setelah wafatnya baliau
sebagai pemimpin. Mereka beranggapan bahwa hanya ahlul baitlah yang berhak atas
kepemimpinan setelah rasulullah, dan satu-satunya aglul bait pada waktu itu
Ali. tapi kenyatannya berbeda, sehingga para pendukung Ali merasa kecewa
sehingga inilah titi tolak kelahiran Syi’ah. Yaitu suatu kelompok pendukung Ali.
Dulu Syiah ini hanya sebatas pendukung, namun lambat laun dari waktu kewaktu,
Syi’ah ini makin berubah. Seakan mereka
membuat ideologi baru di dalam kelompoknya. Sampai timbulnya perpecahan
diantara mereka dikarenakan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang
mendasar. Setiap sempalan membawa ideologi baru dengan segala perbedaan dan
keekstrimannya.
Adapun mu’tazilah, kemunculannya malah bertolak belakang dengan
tiga sekte di atas, golongan ini muncul karena
tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi. Dalam
pembahasan makalah ini hanya membahas dua golongan dari dua golongan di atas,
yaitu pemikiran kalam Mu’tazilah dan
kalam Syi’ah.
Mengenai pngertian
mu’tazilah Secara etimologi kata ku’tazilah berasal dari kata i’tazala
yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri” yang berarti juga ”menjauh” atau
“menjauhkan diri”. Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan
Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan
umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin
oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Adapun pengertian Syi’ah Secara bahasa Syi’ah berasal dari
kata syayya’a ataupun tasyayya’a menunjukkan pengertian: pengikut, pendukung,
partai, atau kelompok. sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum
muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada
keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut ahl al bait.
Untuk lebih memahami dan mengerti serta bijaksana
dalam menenggapi permasalahan sekte-sekte dalam islam, khususnya Mu’tazilah dan
Syi’ah, serta pemikiran kalam nya, maka dari itu kami memnbawakan makalah ini
yang kiranya dapat menambah pengetahuan kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi kata ku’tazilah
berasal dari kata i’tazala yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri” yang
berarti juga ”menjauh” atau “menjauhkan diri”.[1]
Sedang secara terminologi sebagian
ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang
berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku
dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al
Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[2]
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai
reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai
soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang
berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.
Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar
itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial
ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang
ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang
mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya
orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh
karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang
itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan
dari siksaan orang kafir.
Secara tiknis, istilah mu’tazilah
dapat menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (disebut mu’tazilah I).
Golongan ini adalah golongan yang netral akan pergolakan politik pada masa itu,
khususnya yang terjadi antara ali bin abi thalib dan lawan-lawannya, seperti
muawiyah dan lain-lain. Menurut penulis, golongan yang netral politik masa
inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum mu’tazilah kerena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.
Golongan kedua disebut Mu’tazilah
II: Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara
kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah
untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:
Versi Asy-Syahrastani mengatakan
bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin
Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika
Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah,
datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang
orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba
Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat
dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi
diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri
dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana
Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya
peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita
(i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani,
kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[3]
Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa
Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari
majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan
orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula
kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.[4]
Versi Tasy Kubra Zadah berkata
bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung
dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri.
Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia
berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak
itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[5]
Namun ada teori baru yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin (1886-1994 m) menerangkan bahwa nama mu’tazilah
sudah terdapat sebelum adanya peristiwa washil dan hasan al basri, dan sebelum
timbul pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama mu’tazilah diberikan kepada golongan orang-orang yang yang tidak
mau intervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Ustman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian di sana, yaitu satu
golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lainn menjauhkan diri ke
kharbita (i’tazalat ila kharbita). Oleh karena itu dalam surat yang dikirimnya
kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamakan golongan yang menjauhkan diri
tersebut dengan mu’tazilin, sedangkan Abu Al-fida’ menamakan dengan mu’tazilah.[6]
Dengan demikian, kata i’tazala dan
mu’tazilah telah digunakan kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Washil dan
Hasan Al-basri, yaitu dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam
pertikaian politik yang terjadi.
Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang
tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah At-Tauhid (pengesaan tuhan), Al-Adl
(keadilan tuhan), Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (janji dan ancaman tuhan), Al-Manzilah
bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa
An-Nahy ‘an Al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada
kemungkaran).
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi
Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat. Mereka menganut pendapat yang
meniadakan sifat-sifat yang Qadim itu. Sebab, kalau seandainya memang ada
sifat-sifat yang Qadim, tentulah akan ada beberapa “Yang Qadim”. Dan ini adalah
kepercayaan syirik. Mereka berkata bahwa Allah adalah ‘Alim (Mengetahui) dengan
dzat-Nya, Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyun (Hidup) dengan dzat-Nya,
Mutakallim (Berbicara) dengan dzat-Nya. Bardasarkan keterangan tersebut maka
mereka berkata, bahwa Al Qur’an adalah “makhluk”, karena tak ada Yang Qadim
kecuali Allah.[7]
Doktrin mu’tazilah
lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang menyamai tuhan, atau
dalam kata lain Mu’tazilah menolak antropomorfisme dengan cara memalingkan arti
kata-kata tersebut. contoh kata “tangan” (Q.S. shad [38]: 75) diartikan
kekuasaan dan pada konteks lain “tangan” (Q.S. Al-ma’idah[5]: 64) dapat
diartikan nikmat. Kata “wajah” (Q.S. Arrahman [55]: 27) diartikan esensi dan
dzat, sedangkan Al-arsy (Q.S. thoha [20]: 5) diartikan kekuasaan.
Mu’tazilah juga meolak
paham bahwa allah dapat dilihat oleh mata karena ini konsekuensi logis dari
dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak
tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk.
Andai tuhan dapat dilihat di akhirat tentu di dunia pun dapat dilihat oleh mata
kepala. Oleh karena itu, kata melihat (Q.S. Al-qiyamah [75]: 22-23) ditakwilkan
dengan “mengetahui” (know).
Kesimpulannya, dalam
ajaran tauhid Mu’tazilah ini, mereka memegang teguh tauhid bahwa allah tidak
bersifat, Al-qur’an adalah makhluk, penolakan terhadap paham antropomorfisme,
dan penolakann bahwa allah dapat dilihat oleh mata.
Kita mengetahui bahwa
setiap nama-nama Allah pasti bergandengan dengan sifatnya, sebagai contoh Alah
memiliki nama “Arrahman” yang berarti “maha pengasih”, sehingga Allah mempunyai
sifat “mengasihi”. Begitu juga mengenai Al-qur’an adalah makhluk, ini tidak
sesuai karena Al-qur’an itu firman atau perkataan tuhan dan bukan makhluk. Dan
Mu’tazilah juga melarang mempermisalkan jissimnya allah dengan sesuatu yang
lain sehingga mereka memalingkan arti kata yang ada dalam Al-qur’an dengan kata
lain, contoh kata “tangan” (Q.S. shad [38]: 75) diartikan kekuasaan. Ini tidak
tepat. Memang Allah tidak sama dengan sesuatu apapun tapi bukan berarti kata
tangan diartikan dengan kekuasaan. Tangan tetap diartikan dengan tahan tuhan,
akan tetapi tangan tuhan tidak sama dengan sesuatu apapun, apalagi dengan
tangan manusia. Yang terakhir Mu’tazilah menolak bahwa manusia dapat melihat
tuhan, ini tidak tepat karena Allah telah sampaikan bahwa nanti para penduduk surga
diberi kenikmatan yang melebihi kenikmatan surga itu sendiri yaitu melihat
Allah SWT.
Ajaraan dasar Mu’tazilah yang kedua
adalah al-adl yang berarti tuhan maha adil.[8] Ajaran
tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
1)
Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan
menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaannya tuhan.
Baik secara langsung maupun tidak.
2)
Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arab disebut ash-shalah wa
al-ashlah. Maksudnya kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik
untuk manusia.
3)
Mengutus rasul
Mengutus asul adalah kewajiban tuhan karena
beberapa alasan. Salah satunya, Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah
kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasail, tidak ada jalan lain selain
mengutus rasul.
Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman.[9] Tuhan
yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya.
Janji tuhan untuk memberi pahala masuk surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka bagi yang
berbuat durhaka pasti terjadi, begitu pula janji tuhan untuk memberi
pengampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
Inilah ajaran yang mula-mula
menyebabkan lahirnya madzhab mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status
orang mukmin yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah,
khawarij menganggap sebagai kafir, bahkan musyrik. Menurut murji’ah tetap
mukmin dan dosanya diserahkan kepada tuhan. Mungkin dosa tersebut dianpunu oleh
tuhan. Pendapat Washil bin Atha’ (pendiri madzhab mu’tazilah) lain lagi. Orang
tersebut berada di antara dua posisi (Al-manzilah Bain Al-manzilatain) atau
dengan kata lain di antara surga dan neraka.
Ajaran dasar yang kelima adalah
meyeru kebajikan dan melarang dari kemungkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy
’an Al-Mungkar). Perbedaan madzhab Mu’tazilah dengan madzhab lain terletak pada
tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan, kekerasan
dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
Secara bahasa Syi’ah berasal dari
kata syayya’a ataupun tasyayya’a menunjukkan pengertian: pengikut, pendukung,
partai, atau kelompok. sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum
muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada
keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut ahl al bait. Point penting
dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu
bersumber dari ahlul bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamman dari para
sahabat yang bukan ahlul bait atau para pengikutnya.[10]
Tentang sejarah kemunculan Syi’ah
dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah,
Syi’ah mulai muncul kepermukaan sejarah pada akhir pemerintahan Ustman bin Affan.
Selanjutnya, aliran ini tumnbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib. Sedangkan Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul ketika belangsung
peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang shiffin. Dalam
peperangan ini, sebagai repon atas penerimaan ali terhadap arbritase yang
ditawarkan muawiyah, pasukan ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap ali –disebut Syi’ah- dan kelompok lain menolak sikap
ali disebut Khawarij.[11]
Berbeda dengan pandangan diatas,
kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah
pengganti (khilafah.) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar,
Umar bin Khatab, dan Ustman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali
bin Abi Thalib yang berhak mengantikan nabi SAW. Ketokohan Ali dalam pandangan
Syi’ah sejalan dengan isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa
hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW. Diperintahkan menyampaikan
dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib.
Pada saat itu Nabi mengatakan bahwa orang yang peratama-tama memenuhi ajakannya
akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali
merupakan orang yang menunjukan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa
besar.
Berdasarkan realitas itulah, mucul
sikap dikalangansebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak
kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap
berpendapat bahwa pengganti Nabi dan
penguasa keagamaan adalah Ali. Mereka berkayakinan bahwa semua persoalan
kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya searta mengajak mansyarakat untuk
mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut Syi’ah. Namun, lebih dari itu, seperti
dikatan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa
kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.
Dinamakan Syi’ah imamiah karena
yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dan arti pemimpi
religio-politik, yaitu yaitu bahwa Ali berhak menjadi Khalifah bukan hanya
kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi ia telah ditunjuk dan pantas
menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi SAW. Ide tentang hak Ali dan
keturunannya untuk menduduki jabatan imam atau khalifah telah ada semenjak nabi
wafat.[12]
Dalam jsejarahnya Syi’ah terpecah
dalam beberapa golongan. Munculnya golongan –golongan dalam aliran ini dimulai
ketika wafatnya imam husain, anak Ali bin Abi Thalib atau cucu Nabi. Perbedaan
pokok dalam golongan-golongan ini berkisar pada imam dan urutan mereka. Namun
kemudian perbedaan ini berimbas pula terhadap masalah terhadap masalah teologi
dan hukum.[13]
Syi’ah Itsna Asyariyah dan Sab’iah
pada awalnya merupakan satu kelompok.
Namun setelah wafatnya imam keenam yang bernama Ja’far As-shidiq, mereka
terpecah menjadi dua kelompok. Perselisihan itu diawali siapa pengganti imam tersebut,
Itsna Asyariyah berpendapat Musa Al-kazimlah penggantinya. Karena ismail anak
tertua Ja’far telah meninggal sewaktu Imam Ja’far masih hidup. Sab’iah menolak
pengangkatan musa al-kazim dan tetap setia kepada ismail meski ia telah wafat.
Adapun urut-urutan imam dua belas
itu adalah: Ali, Hasan, Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Abdullah
Ja’far As-Shidiq, Musa Al-Kazim, Ali Ar-Ridha, Muhammad Al-Jawwad, Ali Al-Hadi,
Hasan Al-Askari, dan terakhir Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas.[14]
Mengenai doktrin yang pertama ini
mengenai keimanan. Berlainan dengan sunni, konsep keimanan dalam ajarannya ada
lima, yaitu:
1)
Tauhid, yaitu percaya
kepada Tuhan yang Maha Esa.
2)
An-nubuwwah, yaitu percaya
kepada kenabian Nabi Muhammad SAW.
3)
Al-ma’ad, yaitu keimanan
akan hari kebangkitan
4)
Al-adl, yaitu keimanan
kepada keadilan tuhan
5)
Imam, yaitu percaya kepada
imam
Mengenai keimanan Syi’ah ini
tentang imam, seperti yang telah digambarkana, yaitu penunjukannha dengan
ta’yin nash, dan maksum. Imam wajib ada sepanjang zaman. Orang yang tidak
mempunyai imam adalah sesat, bila dia mati dalam keadaan tidak berimam maka dia
mati dalam keadaan kafir dan munafik.[15]
Selanjutnya mengenai taqiyah, Kekhalifahan
sesudah wafatnya nabi dianggap tidak sah, ketiga khalifah sebelum Ali dianggap
sebagai perampas kekuasaan yang zalim oleh kaum Syi’ah. Oleh karena itu mereka
mencap khalifah-khalifah itu sebagai kafir. Pembaiatan Ali terhadap
pendahulunya merupakan perbuatan taqiyah. Taqiyah berarti
menyambunyikan identitas. Konsep Taqiyah dipergunakan oleh orang Syi’ah
dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Paham lain yang berkembang dalam
Syi’ah ini adalah Ar-raj’ah, yang berarti kebali. Yaitu menjelang hari kiamat
kelak, timbul kekacauan yang menyeluruh dimuka bumi, lalu tuhan mengutus
seorang laki-laki yang telah menghilang, kembali sebagai Al-mahdi dari
keturunan Nabi untuk menegakkan keadilan dan menyelamatkan orang yang sesat.
Imam ke-12 yang bernama Muhammad Al-mahdi,
dipercayai oleh kelompok Istna Asy’ariyah sebagai Al-mahdi yang dijanjikan.
Pada Al-mahdi masih berumur 5 tahun, ia menghilang kedalam suatu gua di surra
man raa. Meski ia menhghilang, namun ia tetap hidup. Ia menghilang karena
disebabkan diancam pembunuhan oleh khalifah abbasiah. Ia akan muncul kembali
guna menegakkan islam dan membasmi segala kejahatan.
Istilah Syi’ah Sab’iah “Syi’ah
tujuh” dianalogikan dengan Syi’ah Istna Asyariah. Istilah itu memberikan
pengertian bahwa sekte Syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam. Tujuh imam
itu ialah Ali, Hasan, Husain, Ali zainal abidin, Muhammad Al-baqiir, Ja’far
As-shadiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail
bin Ja’far As-shadiq, Syi’ah Sab’iah disebut juga Syi’ah ismailiah.[16]
Mengenai sejarah kemunculan Syi’ah,
teori yang banyak beredar, dan bisa jadi yang cukup kuat adalah yang dikaitkan
dengan pertempuran shiffin dan peristiwa tahkim. Alasan logis yang timbul ialah
karena dengan peristiwa tahkim itu, ada kelompok yang menentang ali, yang
disebut kemudian sebagai kelompok khawarij, tentu ada orang-orang yang masih
setia dan mendukung ali yang kemudian disebut Syi’ah Ali. Namun, terlepasa dari
pendapat mana yang paling kuat, jelaslah dari keempatnya didapat petunjuk kuat
adanya motif politik bagi kelahirannya. Tetapi tidak diperoleh kejelasan
mengenai kapan persilangan itu terjadi. Jadi, tidak jelas Sab’iah itu muncul.[17]
Para pengikut Syi’ah Sab’iah
percaya bahwa imam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijeaskan Al-qadhi
An-nu’man dalam Da’aim Al-islam. Tujuh pilar tersebut adalah:
1)
Iman
2)
Thaharah
3)
Shalat
4)
Zakat
5)
Shoum
6)
Menunaikan
haji
7)
Zakat
Berkaitan dengan pilar (rukun),
pertama, yaitu Iman, Al-qadhi An-nu’man (974 M) merincinya sebagai berikut:
iman kepada allah, tiada tuhan selain allah dan muhammad selain allah; iman
kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman kepada
hari pengadilan; iman kepada para nabi dan
para rasul; iman kepada imam,
percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.[18]
Mengenai Imam, yang pertama adalah
Ali, imamah itu dilanjutkan oleh imam berikutnya. Imamiyah mengariskan bahwa
“seorang imam memperoleh imamah dengan jalan wiratsah dan seharusnya imam
merupakan anak paling tua.” Jadi anaknya yang menjadi ayahnya itulah yang
menunjuk anaknya yang paling besar. Sedangkan penggarisan imamah ditetapkan
hanya dari keturunan Ali dan Fatimah binti Nabi yang kemudian dikenal dengan
istilah Ahlul Bait.[19]
Dalam ajaran Syi’ah ini, mereka
berpendapat bahwa seorang imam itu maksum. Syi’ah Sab’iah Berpendapat bahwa
walaupun terlihat melakuka kesalahan dan menyimpang dari syariat, seorang imam
sesungguhnya tidak menyimpang karena mempunyai pengetahuan yang tidak dimiliki
manusia biasa.[20]
Mengenai sifat Allah, Syi’ah
Sab’iah sebagaimana halnya Mu’tazilah meniadakan sifat dari dzat Allah.penetapan
sifat menurutnya merupakan penyamaan terhadap makhluk. Selanjutnya, orang-orang
awam tidak dapat mempelajari syari’at tanpa tuntunan seorang guru, dalam hal
ini adalah imam. Demikian juda Sab’iah mempunyai keyakinan bahwa wahyu itu
tidak berhenti karena itu merupakan penjelmaan atau pancaran dari nabi kepada
imam. [21]
Sekte ini mengakui Zaid bin Ali
sebagai imam V, putra imam IV, Ali Zainal Abidin. Ini berbeda dengan sekte
Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-baqir, anak Zainal Abidin yang lain,
sebagai imam V. Dari nama Zaid bin Ali inilah nama Zaidiah diambil. Abu Zahrah
menyatakan bahwa Syi’ah Zaidiah merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni.
Berbeda dengan doktrin imamah yang
dikembangkan oleh Syi’ah yang lain, Syi’ah Zaidiah mengembangkan idoktrin
imamah yang tipikal. Kaum zaidiah menolak pandangan yang menyatakan bahwa
seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Telah ditentukan
nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanhya ditentukan sifat-sifatnya.
Selanjutnya, menurut Zaidiah, seorang imam harus memiliki ciri-ciri berikut:
!
Merupakan ahlul bait, baik
dari keturunan hasan maupun husain. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka
atas pewarisan.
!
Memiliki kemampuan
mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang.
!
Kecenderungan
intelektualisme yang dibuktikan denghan ide dan karya dalam bidang keagamaan.
!
Mereka menolak kemaksuman
imam.
Bertolak dengan Syi’ah yang lain
mengenai Khalifah sebelum Ali, Zaidiah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar dan
Umar adalah KeKhalifahan yang sah dari sudut pandang islam. Dalam pandangan
mereka, jika ahlul halli wal aqdi
telah memilih seorang imam dari kalangan kaum muslim meskipun orafirkan seorang
yang terpilih itu tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh
zaidiah, padahal mereka telah membaiatnya, keimanannya menjadi sah dan rakyat
wajib mwmbaiatnya. Selain itu mereka juga tidak mengkafirkan seorangpun
sahabat. Kemudian Zaidiah juga menolak nikah Muth’ah serta doktrin Taqiyah.
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghulu-ghuluw,
artinya bertambah dan naik.[22] Atau kata ghulat jama’ dari kata ghali dari
kata ghala-yaghulu-ghuluwan, yang artinya lebih dari batas atau
berlebi-lebihan.[23]
Jadi Al-ghulat adlah sekelompok orang yang mendukung Ali dan keturunannya dalam
imamah, disertai sikap yang berlebih-lebihan, sehingga melampaui batas –batas
agama, yang merubah masalah imamah dari masalah politis kemaslah keyakinan.
Menurut syahrastani ada empat
doktrin yang membuat mereka ekstrim,[24] yaitu:
1)
Tanasukh,
Tanasukh adalah
keluarnya roh dari satu jasad dan dan mengambil tempat pada jasad yang lain.
Syi’ah ghulat menerapkan paham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan seperti Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far – bahwa roh
Allah berpindah kepada adam kemudian kepada imam secara turun-temurun.
2)
Bada’
Bada’ adalah
keyakinan bahwa Allah mengubah dengan kehendaknya sejalan dengan perubahan
ilmunya, serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang
sebaliknya. Dalam hal ini jika berkaitan dengan ilmu maka artinya menampakkan
sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah.
3)
Raj’ah
Ada hubungannya
dengan mahdiyah, Syi’ah Ghulat memercayai bahwa mahdi Al-muntadzar akan datang
kebumi.
4)
Tasbih
Tasbih artinya
meyerupakan. Syi’ah Ghulat mempersamakan salah satu imam mereka dengan tuhan
atau sebaliknya.
5)
Hulul
Artinya tuhan
berada disetiap tempat. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti tuhan menjelma dalam
diri imam sehingga imam harus disembah
6)
Ghayba
Artinya menghilangnya
imam mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syiah bahwa imam mahdi ada dlam negeri
ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.
BAB III
PENUTUP
Pemikiran Kalam Mu’tazilah adalah
ada lima yaitu:
1.
Al-Tauhid (pengesaan tuhan)
2.
Al-Adlu (keadilan Allah)
3.
Al-Wa’du wal Wa’id (Janji
dan ancaman)
4.
Al-manzilah bainal
manzilataini (tempat diantara dua tempat)
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan
dan mencegah kemungkaran)
Mengenai pemikiran kalam Syi’ah
yaitu:
Syi’ah Itsna Asy’ariyah. Mengenai
doktrin yang pertama ini mengenai keimanan. Berlainan dengan sunni, konsep
keimanan dalam ajarannya ada lima, yaitu:
1)
Tauhid, yaitu percaya
kepada Tuhan yang Maha Esa.
2)
An-nubuwwah, yaitu percaya
kepada kenabian Nabi Muhammad SAW.
3)
Al-ma’ad, yaitu keimanan
akan hari kebangkitan
4)
Al-adl, yaitu keimanan
kepada keadilan tuhan
5)
Imam, yaitu percaya kepada
imam
Doktrin Imamah Dalam Pandangan
Syi’ah Sab’iah
Para pengikut Syi’ah Sab’iah
percaya bahwa imam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijeaskan Al-qadhi An-nu’man
dalam Da’aim Al-islam. Tujuh pilar tersebut adalah:
1)
Iman
2)
Thaharah
3)
Shalat
4)
Zakat
5)
Shoum
6)
Menunaikan haji
7)
Zakat
Doktri-doktrin Syi’ah Ghulat
1)
Tanasukh,
2)
Bada’
3)
Raj’ah
4)
Tasbih
5)
Hulul
6)
Ghayba
DAFTAR PUSTAKA
Ø Muhammad
Syak’ah, Musthafa. 2008. Islam Tanpa
Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi, Solo: Tiga
Serangkai
Ø Nurdin, Amin
dan Fauzi Abbas, Afifi. 2014. Sejarah
Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, Cet. Ke-2
Ø Razak,
Abdul dan Anwar, Rosihon. 2001. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, cet.
VI
Ø Razak,
Abdul dan Anwar, Rosihon. 2014. Ilmu
Kalam, Bandung: Puskata Setia, cet.
ke-2 Edisi Revisi
[7] Sahrotul
Fitria, Aliran Mu’tazilah, http://kalidanastiti-space.blogspot.co.id/2013/12/
aliran-mutazilah.html, pada tanggal 1 November 2015 pukul 05:30
terimaksih banyak
BalasHapus