MAKALAH
ALIRAN-ALIRAN
FILSAFAT: RASIONALISME, EMPIRISME, POSITIVISME, INTUISIONISME
Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Umum
Disusun
Oleh Kelompok 8:
Ajeng Ratika (1532100078)
Askur Hadi (1532100088)
Desi Ambarwati (1532100098)
Dosen Pengampu: Syarnubi, M.Pd.I
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Segala
puji hanya milik Allah azza wajal, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw. Keluarga, sahabat dan seluruh
umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas ajarannya hingga hari kiamat.
Penulis sangat bersyukur karena berkat rahmat dan
karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Aliran-Aliran Filsafat: Rasionalisme, Empirisme,
Positivisme, Intuisionisme”
Penyusunan
makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat Umum Program Studi
Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Dalam
penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan
kesalahan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima
kasih kepada dosen pengampu mata kuliah filsafat umum yang telah memberikan
materi perkuliahan serta arahannya, mudah-mudahan Allah SWT. Membalas atas
semua bantuan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap
makalah ini berguna bagi kita semua amin. Atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Akhirul
kalam,
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Palembang, 3 Desember 2015
Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap
jawaban-jawaban tersebut juga memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan
metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran
yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah. Perkembangan
pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia
berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan
manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori
yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan
teori sebelumnya.
Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi
melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari
setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku,
artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung
seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap
dunia untuk itulah setiap manusia harus dapat berfikir filosofis dalam
menghadapi segala realitas kehidupan ini yang menjadikan filsafat harus
dipelajari.Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal
kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia,
karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar
pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus
humanis), bukan asal bertindak sebagai mana yang biasa dilakukan manusia (actus homoni). Kebijaksanaan tidaklah
dapat dicapai dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah tertentu,
khusus, dan istimewa.
1
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB
I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................................1
BAB
II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
A. RASIONALISME........................................................................................2
B. EMPIRISME................................................................................................6
C. POSITIVISME.............................................................................................9
D. INTUISIONISME......................................................................................12
BAB III...................................................................................................................17
PUNUTUP.............................................................................................................17
A. Kesimpulan...............................................................................................
17
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................18
ii
BAB II
PEMBAHASAN
- Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham filsafat yang
mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Jika
empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek
empiri, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara
berpikir.[1]
Rasionalisme dipelopori oleh Rane
Descrates (1596-1650) yang disebut sebagai bapak filsafat moderen. Ia ahli
dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan, bahwa ilmu
pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun satu orang, sebagai
bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode umum. Yang harus dipandang
sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctively). Ilmu
pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti, karena ilmu pasti dapat
dijadikan model cara mengenal secara dinamis.[2]
Para tokoh aliran rasionalisme,
diantaranya adalah Descrates (1596-1650 M), Spinoza (1632-1677 M), dan Leibniz
(1646-1716 M). Aliran rasionalisme ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan
dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan
dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun
dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering
berguna dalam menyusun teori pengetahuan.[3]
Menurut
Plato, pengetahuan yang hakiki adalah pengetahuan rasio karena menyangkut dunia
idea yang sifatnya tetap. Ajarannya ini terkait dengan dua dunia yang
diajarkannya, yaitu dunia idea dan dunia materi. Baginya, dunia materi adalah
pencerminan dari dunia idea. “Segala sesuatu yang termasuk dalam “dunia
material” terbuat dari materi yang yang dapat terkikis oleh waktu, namun segala
sesuatu dibuat sesuai dengan “cetakan” atau “bentuk” yang tak kenal waktu, yang
kekal dan abadi” (Jostein Gaarder, 2010: 145).
Sebagai
contoh, jika kita melihat sebuah kursi maka kursi yang terlihat oleh mata kita
itu bukanlah hakikat dari kursi itu sendiri. Tetapi kursi yang terlihat itu
adalah pencerminan dari konsep kursi yang telah ada dalam dunia idea dalam akal
budi kita. Karena meskipun kursi tersebut sangat beragam dan berbeda bentuk
serta materi pembuatnya atau telah tiada dari hadapan kita, kita tetap akan
tahu bahwa itu adalah kursi yang biasanya digunakan untuk duduk[4].
- Descartes
(1596-1650)
Menurut Descartes, kepastian itu tidak
bergantung pada objek yang dipelajari karena hal yang dialami bisa berubah
sewaktu-waktu. Begitulah terjadi bahwa metode Descartes mengembangkan aturan
universal dari pikiran manusia dan tidak mewahyukan corak dari dunia yang
dipelajari. Bagi Descartes, hal itu dianggap mungkin karena roh kita mempunyai idea innata, ide yang sudah ada waktu
kita lahir. Berdasar idea innata dan
aturan dari pikiran yang logis, kita mencapai pengetahuan yang pasti. Aturan
yang logis itu ialah jangan menerima hal yang tidak eviden, mulai dari yang
sederhana sampai yang lebih sukar dan menjadi yakin bahwa ada aturan dan corak
juga kalau corak itu tidak dilihat. Kesatuan dan universalitas ilmu pengetahuan
ialah kesatuan dan universalitas dari roh manusia. Formalisme dari logika
abstrak tidak berguna bagi ilmu. Ilmu pengetahuan berdasar intuisi dari subjek
pengetahuan yang hanya mengaku benar hal yang menampakkan dirinya dalam ide
yang nyata dan jelas les idees claires et
distincts. Jelas artinya sifat objek yang dengan terang menampakkan
dirinya, idea distincts ialah ide
yang diuraikan sampai unsur yang terkahir.
Untuk menjajaki sesuatu dianggap benar
itu, Descartes mengandalkan metode keraguan. Metode keraguan itu bukanlah
tujuannya. Tujuan metode ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan.
Sebaliknya, metode ini bergerak dari keraguan menuju kepastian. Keraguan
Descartes hanya ditujukan untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat
diragukan dari sesuatu yang tidak dapat diragukan. Ia sendiri tidak pernah
meragukan bahwa ia mampu menemukan keyakinan yang berada di balik keraguan itu,
dan menggunakannya untuk membuktikan suatu kepastian di balik sesuatu. [5]
- De
Spinoza (1632-1677)
Spinoza maupun Leibniz mengikuti
pemikiran Rane Descrates. Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa
substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar.
Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga dilakukan sebelumnya oleh Rane
Descrates, yakni dengan pendekatan deduksi matematis, yang dimulai dengan
meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian
(penyimpulan) berdasarkan definisi, aksioma, atau proposisi itu. De Spinoza
memiliki cara berpikir yang sama dengan Rane Descrates, ia mengatakan bahwa
kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa,
sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistersinya berbarengan.[6]
- Leibniz
(1646-1716)
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan
perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme dan
keseluryhannya bergantung kepada sebab,sementara substansi menurut Leibniz
ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan,
“sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan, Tuhan juga harus mempunyai alasan
untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat hanya ada satu substansi,
sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut
substansi-substansi itu monad. Setiap
monad berbeda satu dari yang lain,
dan Tuhan (sesuatu yang supermonad
dan satu-satunya monad yang tidak
dicipta) adalah pencipta monad-monad
itu sendiri[7].
.
Kelebihan dan kelemahan aliran filsafat rasionalisme :
1.
Kelebihan
rasionalisme adalah mampu menyusun sistem – sistem kefilsafatan yang berasal
dari manusia. Umpamanya logika, yang sejak zaman Aristoteles, kemudian
matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi kosistensi logis.
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan
menjelaskan pemahaman – pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan
kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah
filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai
karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia.
2.
Kelemahan
Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung
mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang
keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek
rasional secara peka. Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar
cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan
tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang
kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut.
Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang
menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul
atas , dan bebas berpendapat bahwa pengalaman atau pengamatan bukan suatu
jaminan untuk mendapat kebenaran. Beberapa realitas dapat dicapai validitasnya
tanpa bantuan pengalaman empirisme. Di antaranya adalah dengan deduksi dan
intuisi adalah suatu metode pemikiran tanpa dibuktikan dengan metode empirisme,
namun mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.
Konsekuensi rasional adalah seba-akibat, akiba
kebenaran adalah sebab – sebab yang menyatakannya benar, sedangkan kebenaran
beberapa realitas dapat dikenali dengan adanya sebab – sebab dan akibat
tersebut[8].
- Empirisme
Emmpirisme
merupakan doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani emperia yang berarti coba-coba atau pengalaman. Untuk memahami isi
doktrin ini perlu dipahami lebih dahulu pokok empirisme, yaitu mengenai teori
tentang makna dan teori tentang pengetahuan.
Teori tentang makna pada aliran
empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu
asal-usul idea atau konsep. Pada Abad Pertengahan teori ini diringkaskan dalam
rumus Nihil ast in intellectu quod non
prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain
didahului oleh pengalaman).
Pada abad ke-20 kaum empirisis cenderung
menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan
dengan benar atau tidak,bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah contoh
penggunaan empirisme secara pragmatis ini ialah pada Charles Sanders Peurce
dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat
dipahami kemudian konsep tentang pemgaruh itu, itulah konsep tentang objek
tersebut”.[9]
Teori yang kedua, yaitu teori
pengetahuan. Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti
“setiap kejadian tentu mempunyai sebab", dasar-dasar matematika, dan
beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan
sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisisme menolak
pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang
disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran
a posteriori[10].
Dalam
kehidupan kehidupan sehari-hari, banyak sekali contoh yang
berkaitan dengan empirisme. Salah satu contoh nya seperti “Bagaimana kita
mengetahui api itu panas?” Maka, seseorang empirisme akan berpandangan bahwa
api itu panas karena memang dia mengalaminya sendiri dengan menyentuh api
tersebut dan memperoleh pengalaman yang kita sebut “panas”. Dengan kata lain,
dengan menggunakan alat inderawi, kita akan memperoleh pengalaman yang menjadi
pengetahuan kita kelak.
Dalam
kehidupan pribadi, misalnya kita melakukan sesuatu dengan
tujuan tertentu dan ternyata apa yang kita lakukan tadi gagal atau tidak
berhasil. Hal ini akan menjadi pelajaran bagi kita agar, saat kita akan mencoba
melakukan hal itu kembali, kita tidak akan gagal karena sebelumnya kita sudah
mengalami nya dan kita tidak akan jatuh dalam kesalahan yang sama. Pengalaman
menjadi bermanfaat saat pengalaman itu berisi pembelajaran bagi seseorang.
Contoh sederhananya, ketika kita belajar memasak, mungkin saat kita baru
pertama kali mencoba masakan yang telah kita masak, masakan nya terasa terlalu
asin, atau bahkan tidak ada rasa sama sekali, nah dari situ kita bisa belajar
bagaimana menciptakan masakan yang enak sesuai dengan pengalaman yang telah
didapat[11].
- Francis
Bacon
Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang
sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi
dan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya bahwa kita
sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Menurut Bacon, ilmu yang
benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian
diperkuat oleh sentuhan indrawi
- David
Hume
Menurut para penulis sejarah filsafat,
empirisme berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip
empiristis dengan cara yang paling radikal, terutama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat) yang menjadi objek kritiknya. Ia
menerima substansi, sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa
ciri yang selalu terdapat bersama-sama (misalnya: putih, licin, berat, dan
sebagainya). Akan tetapi, atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa
di belakang ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap (misalnya: sehelai
kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi). Sebagai seorang empiris, Hume tampak
lebih konsekuen dari pada Berkeley.[12]
- John
Locke
Dalam penelitiannya ia memakai istilah sensation dan reflection. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan dengan
dunia luar, tetapi manusia tidak dapat mengerti dan meraihnya. Sedangkan reflection adalah pengenalan intuitif
yang memberikan pengetahuan kepada manusia, yang sifatnya lebih baik daripada sensation. Mengapa demikian? Karena jiwa
manusia di saat dilahirkan putih bersih (tabula rasa) yaitu jiwa itu kosong
bagaikan kertas putih yang belum tertulis. Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang
dibawa sejak lahir, melainkan pengalamanlah yang membentuk jiwa seseorang.[13]
Kelebihan
dan kelemahan empirisme yaitu :
1. Kelebihan
empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar,
karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
2. Sedangkan
kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Indra
terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil benda itu
kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek salah.
b. Indera
menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara panas
dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
c. Objek yang
menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak
sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membihongi indera. Ini jleas dapat
menimbulkan inderawi yang salah.
d. Indera dan
objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor
kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan
badannya secara keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah
kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus
memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan
indera manusia[14].
- Positivisme
Filsafat positivisme lahir pada abad
ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual
dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Yang dimaksud dengan positif
adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta
tersebut kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan[15].
Contoh positivisme sederhana yaitu seperti tugas yang
harusnya selesai dalam 3 hari, dan tugas itu sangatlah banyak, saya akan
berusaha menyelesaikan semaksimal kemampuan saya tanpa membuat saya stress.
Jika memang tak terselesaikan, apa mau dikata, karena memang daya saya segitu
saja adanya. Saya tidak ingin merusak pikiran dan mental. Mudah-mudahan saja
bisa saya selesaikan tepat waktu[16].
August
Comte (1798-1857)
Menurut pendapatnya, perkembangan
pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap teologis, tahap
metafisis, dan tahap ilmiah/positif.
Tahap teologis, yaitu pada tahap ini
manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama).
Tahap metafisis, yaitu pada tahap ini
manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis.
Tahap ilmiah/positif, yaitu pada tahap
ini manusia telah mulai mengetahui dan sadar, bahwa upaya pengenalan teologis
dan metafisis tidak ada gunanya[17].
Tokoh-tokoh yang paling
berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K.
Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini
membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan
dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik[18].
Secara umum,
positivisme memiliki beberapa ciri-ciri yaitu :
1.
Bebas Nilai
Artinya menegaskan antara fakta dan
nilai kepada peneliti untuk mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap
imparsial-netral.
2.
Fenomenalisme
Artinya pengetahuan yang absah hanya
berfokus pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu di
belakang fenomena ditolak mentah-mentah.
3.
Nominalisme
Artinya positivisme berfokus pada
yang individual-partikular karena itu kenyataan satu-satunya. Semua bentuk
universalisme adalah semata penanaman dan bukan kenyataan itu sendiri.
4.
Reduksionisme
Artinya positivisme meruduksi
semesta menajdi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
5.
Naturalisme
Artinya positivisme dapat
menjelaskan semua gejala alam secara mekanikal-determinis seperti layaknya
mesin.
Positivisme yang dikembangkan oleh
Auguste Comte dinamakan sebagi positivisme sosial. Hal ini dikarenakan faham
yang menyakini kemajuan sosial hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu-ilmu
positif[19].
Fungsi filsafat
positivisme yaitu :
1. Perkembangan yang diberi konotasi sebagai kemajuan
memberikan makna bahwa positivisme
telah mempertebal optimisme. Berkat pandangan positivisme orang tidak sekedar
menghimpun fakta, tapi ia berupaya meramal masa depan, yang antara lain turut
mendorong perkembangan teknologi.
2. fungsi
filsafat positivisme ini berperan sebagai pendorong timbulnya perkembangan dan
kemajuan yang dirasakan sebagai kebutuhan.
3. Dengan
adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi rasional ilmiah, maka
berfungsi pula kemampuannya untuk menerangkan kenyataan[20]
Kelebihan dan kelemahan positivisme yaitu :
Kelebihan
positivisme : 1) Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar
dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut. 2) Positivisme
telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi. 3)
Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology
ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
Kelemahan
positivisme : 1) Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga
manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam
positivistic semua hal itu dinafikan. 2) Hanya berhenti pada sesuatu yang
nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid[21].
- Intuisionisme
Intuisionisme (berasal
dari bahasa Latin:
intuitio yang berarti pemandangan) adalah suatu aliran filsafat
yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia,
yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson.
Intuisionisme
selalu berdebat dengan paham rasionalisme
Intuisionisme
adalah sistem etika
yang tidak mengukur baik atau buruk sesuatu perbuatan berdasarkan hasilnya
tetapi berdasarkan niat dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dalam bahasa Inggris
Intuisionisme berasal kata Intuiton yang berarti manusia memliki gerak
hati atau disebut hati nurani. Gerak hati mampu membuat manusia melihat suatu
perkara benar atau salah, jahat atau baik. Intuisionisme juga merupakan suatu proses
melihat dan memahami secara spontan dan intelek. Organ fiskal yang berkaitan dengan gerak hati atau intuisi tidak
diketahui secara jelas. Namun, setengah ahli filsafat
menyebutkan jantung
dan otak kanan sebagai organ
fiskal yang menggerakan intuisi.
Gerak hati
yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu pengalaman emosional
dan spiritual.
Menurut Immanuel Kant, akal tidak pernah mampu mencapai
pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir
perkara yang dilihat terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara
dengan tidak terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan
objek[22].
Intuisi disebut juga sebagai ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan
intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun ia juga tidak terjadi kepada
semua orang melainkan hanya jika seseorang itu sudah berfikir keras mengenai
suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami
tekanan, lalu dia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka
saat itulah intuisi berkemungkinan akan muncul. Bahkan intuisi sering disebut
separo rasional atau kemampuan yang berbeda pada tahap yang lebih tinggi dari
rasional dan hanya berfungsi jika rasio telah digunakan secara maksimal namun
menemui jalan buntu[23].
Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme menganggap
tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita
tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya
tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari
keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan
yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi.
Intuisionisme dipelopori dan dipopulerkan oleh Henry Bergson (1859-1941).
Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk
penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya,
dalam beberapa hal. intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi,
kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui
intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suau jenis
pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang
diungkapkan oleh indera dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam
penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan
langsung yang mengatasi (trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari
indera dan akal[24].
Tokoh- Tokoh Intuisionisme
1.
Luitzen
Egbartus Jan Brouwer (1881-1966)
Brouwer
lahir pada tanggal 27 februari 1881 di kota Overschie, Belanda.Selama
berkuliah di Univeristy of
Amsterdam, Brouwer belajar tentang matematika
dan fisika.
Dalam
berfilsafat, Brouwer banyak terpengaruh oleh gurunya. Diederik Korteweg dan Gerrit Mannoury. Karya
pertama Brouwer adalah "Perubahan
Pada Ruang Empat Dimensi" dibawah bimbingan Korteweg[25].
Menurut Brouwer, dasar dari
Intuisionisme adalah pikiran. Namun, pemikiran-pemikiran yang dicetuskannya banyak
dipengaruhi oleh pandangan Immanuel Kant. Matematika didefinisaikan oleh
Brouwer sebagai aktivitas berfikir secara bebas, namun matematika
adalah suatu aktivitas yang ditemukan dari intusi pada saat tertentu. Pandangan
intuisionisme adalah tidak ada realisme terhadap objek dan tidak ada bahasa
yang menghubungi sehingga boleh dikatakan tiak ada penentu kebenaran matematika
di luar aktivitas berpikir. Proposisi hanya berlaku ketika subjek dapat dibuktikan
kebenarannya. Kesimpulannya, Brouwer mengungkapkan bahwa tiada kebenaran tanpa
dilakukan pembuktian.
2.
Arend Heyting (1898-1980)
Arend Heyting lahir pada 9 Mei 1898
di kota Amsterdam,
Belanda.
Arend Heyting dalah murid Brouwer yang berpengaruh besar terhadap perkembangan
intuisionisme filsafat
matematika. Heyting membangunkan sebuah formula logika
intuisionisme yang sangat tepat. Sistem ini dinamakan "Predikat
Kalkulus Heyting". Heyting menegaskan bahwa metafisika
adalah pokok dalam kebenaran realisme logika klasik.
Bahasa matematika klasik adalah pengertian faktor-faktor objektif sebagai
syarat-syarat kebenaran yang terbaik.
Heyting menemukan bukti dalam pandangan
Brouwer tentang kelaziman alat mental serta pemacu bahasa
dan logika.
Dalam bukunya berjudul Intuitionism tahun 1956, Heyting mengungkankan
bahwa pendapat Bouwer yaitu bahasa adalah media tidak sempurna untuk
membincangkan matematika. Sistem utamanya adalah dirinya sendiri sebagai
peraturan pemacu matematika, tetapi tidak diyakini sistem utama pemacu
matematika menggambarkan secara kuat penguasaan pemikiran matematika. Heyting
menegaskan logika bergantung pada matematika
bukan yang lain.
3.
Sir Michael
Anthony Eardley Dummet (1925-2011)
Sir Michael Anthony Eardley Dummett
lahir pada tanggal 27 Juni 1925 di kota London,
Inggris,
adalah seorang filsuf
Inggris yang sangat berpengaruh dalam filsafat bahasa,
metafisika,
logika,
filosofi matematika,
dan sejarah filsafat analitik.
Brouwer dan Heyting mengatakan bahwa
bahasa merupakan media tidak sempurna untuk membicarakan pembinaan mental
matematika, dan logika berkaitan bentuk yang berlaku dalam penyebaran media ini
dan menjadi tumpuan langsung pada bahasa dan logika. Sebaliknya, pendekatan
utama Dummet adalah bahwa matematika dan logika adalah bahasa dari awal.
15
Filsafat Dummett lebih mementingakn
pada logika intuisionik daripada
matematika itu sendiri. Pendapatnya sama dengan Brouwer tetapi tidak sama
seperti Heyting. Dummett tidak memiliki orientasi memilih. Dummett
mengeksplorasi matematika klasik dengan menggunakan pemikiran yang tidak
memperakui pada satu jalan peraturan penguraian pernyataan alternatifnya. Ia
mengusulkan beberapa pertimbangan mengenai logika
adalah benar yang pada akhirnya harus tergantung pada arti pertanyaan. Ia juga
mengambil pandangan yang diperoleh secara luas, yang kemudian disebut sebagai terminologi logika[26].
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aliran-aliran
filsafat terdiri dari Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Intusionisme.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang
mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan
Empirisme merupakan doktrin filsafat
yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta
pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Positif adalah segala gejala yang tampak
seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif.
Intuisionisme (berasal
dari bahasa Latin:
intuitio yang berarti pemandangan) adalah suatu aliran filsafat
yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia,
yaitu intuisi.
17
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro. 2013. filsafat umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hakim,
Atang Abdul., Beni Ahmad Saebani. 2008. filsafat
umum “dari metodologi sampai teofilosofi”, Bandung: CV Pustaka Setia
Tafsir,
Ahmad. 2013. filsafat umum “akal dan hati sejak thales sampai capra”, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
18
[1] Ahmad tafsir, filsafat umum “akal dan hati sejak thales
sampai capra”, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013). hlm. 127
[2] Asmoro Achmadi, filsafat umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013). hlm. 115
[3] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad
Saebani,filsafat umum “dari metodologi
sampai teofilosofi”, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008). hlm. 247
2
3
[5] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad
Saebani,filsafat umum..., hlm 258
[8] http://mahrusali611.blogspot.co.id/2013/04/kelebihan-dan-kelemahan-aliran.html,
25 desember 2015, jam 19.48
6
[9] Ahmad tafsir, filsafat umum..., hlm. 173-174
[11] http://novanda-ratih-fib13.web.unair.ac.id/artikel_detail-96431-Pengantar%20Filsafat-EMPIRISME.html,
25 desember 2015, 19.20
[12] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad
Saebani,filsafat umum..., hlm. 267&27
[13] Asmoro Achmadi, filsafat umum..., hlm. 117-118
8
[14] http://mahrusali611.blogspot.co.id/2013/04/kelebihan-dan-kelemahan-aliran.html,
25 desember 2015, 19.48
[15] Asmoro Achmadi, filsafat umum..., hlm. 120
[16] http://www.kompasiana.com/classic/positivisme_54ff239ba33311284650f96e,
25 desember 2015, 19.34
9
[17] Asmoro Achmadi, filsafat umum..., hlm. 120-121
[18] http://blogkilas.blogspot.co.id/2013/12/pengertian-positivisme.html,
7 Desember 2015, 02.22.
10
[19] http://blogkilas.blogspot.co.id/2013/12/pengertian-positivisme.html,
7 Desember 2015, 02.22.
[20] http://www.academia.edu/10030381/MAKALAH_POSITIVISME_FILSAFAT_ILMU_,
7 Desember 2015, 02.46.
11
[21] http://www.kompasiana.com/mauidhotulkhasanah/kelebihan-dan-kekurangan-aliran-aliran-filsafat_54f7c28da33311c27b8b4c97,
25 desember 2015, jam 19. 50
12
[22]
https://id.wikipedia.org/wiki/Intuisionisme,
6 Desember 2015, 22.19.
[23] http://www.kompasiana.com/rahmatul.ummah/intuisionisme-sebagai-sumber-pengetahuan_56219817187b613d048b4568,
7 Desember 2015, 01.42.
13
[25] https://id.wikipedia.org/wiki/Intuisionisme,
6 Desember 2015, 22.19.
14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar