Jumat, 01 Januari 2016

makalah (Flsft) aliran filsafat rasionalisme, empirisme, positivime, dan intuisionisme

MAKALAH
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT: RASIONALISME, EMPIRISME, POSITIVISME, INTUISIONISME

Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Umum


Disusun Oleh Kelompok 8:

Ajeng Ratika (1532100078)
Askur Hadi (1532100088)
Desi Ambarwati (1532100098)

Dosen Pengampu: Syarnubi, M.Pd.I



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015/2016

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah azza wajal, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw. Keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas ajarannya hingga hari kiamat.
Penulis sangat bersyukur karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Aliran-Aliran Filsafat: Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Intuisionisme”

Penyusunan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat Umum Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Dalam penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah filsafat umum yang telah memberikan materi perkuliahan serta arahannya, mudah-mudahan Allah SWT. Membalas atas semua bantuan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap makalah ini berguna bagi kita semua amin. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palembang, 3 Desember  2015

Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN

            Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah. Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya.
 Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia untuk itulah setiap manusia harus dapat berfikir filosofis dalam menghadapi segala realitas kehidupan ini yang menjadikan filsafat harus dipelajari.Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus humanis), bukan asal bertindak sebagai mana yang biasa dilakukan manusia (actus homoni). Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah tertentu, khusus, dan istimewa.



1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
A.    RASIONALISME........................................................................................2
B.     EMPIRISME................................................................................................6
C.     POSITIVISME.............................................................................................9
D.    INTUISIONISME......................................................................................12
BAB III...................................................................................................................17
PUNUTUP.............................................................................................................17
A.    Kesimpulan............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18




















ii
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiri, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.[1]
Rasionalisme dipelopori oleh Rane Descrates (1596-1650) yang disebut sebagai bapak filsafat moderen. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctively). Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti, karena ilmu pasti dapat dijadikan model cara mengenal secara dinamis.[2]
Para tokoh aliran rasionalisme, diantaranya adalah Descrates (1596-1650 M), Spinoza (1632-1677 M), dan Leibniz (1646-1716 M). Aliran rasionalisme ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan.[3]
Menurut Plato, pengetahuan yang hakiki adalah pengetahuan rasio karena menyangkut dunia idea yang sifatnya tetap. Ajarannya ini terkait dengan dua dunia yang diajarkannya, yaitu dunia idea dan dunia materi. Baginya, dunia materi adalah pencerminan dari dunia idea. “Segala sesuatu yang termasuk dalam “dunia material” terbuat dari materi yang yang dapat terkikis oleh waktu, namun segala sesuatu dibuat sesuai dengan “cetakan” atau “bentuk” yang tak kenal waktu, yang kekal dan abadi” (Jostein Gaarder, 2010: 145).
Sebagai contoh, jika kita melihat sebuah kursi maka kursi yang terlihat oleh mata kita itu bukanlah hakikat dari kursi itu sendiri. Tetapi kursi yang terlihat itu adalah pencerminan dari konsep kursi yang telah ada dalam dunia idea dalam akal budi kita. Karena meskipun kursi tersebut sangat beragam dan berbeda bentuk serta materi pembuatnya atau telah tiada dari hadapan kita, kita tetap akan tahu bahwa itu adalah kursi yang biasanya digunakan untuk duduk[4].
  1. Descartes (1596-1650)
Menurut Descartes, kepastian itu tidak bergantung pada objek yang dipelajari karena hal yang dialami bisa berubah sewaktu-waktu. Begitulah terjadi bahwa metode Descartes mengembangkan aturan universal dari pikiran manusia dan tidak mewahyukan corak dari dunia yang dipelajari. Bagi Descartes, hal itu dianggap mungkin karena roh kita mempunyai idea innata, ide yang sudah ada waktu kita lahir. Berdasar idea innata dan aturan dari pikiran yang logis, kita mencapai pengetahuan yang pasti. Aturan yang logis itu ialah jangan menerima hal yang tidak eviden, mulai dari yang sederhana sampai yang lebih sukar dan menjadi yakin bahwa ada aturan dan corak juga kalau corak itu tidak dilihat. Kesatuan dan universalitas ilmu pengetahuan ialah kesatuan dan universalitas dari roh manusia. Formalisme dari logika abstrak tidak berguna bagi ilmu. Ilmu pengetahuan berdasar intuisi dari subjek pengetahuan yang hanya mengaku benar hal yang menampakkan dirinya dalam ide yang nyata dan jelas les idees claires et distincts. Jelas artinya sifat objek yang dengan terang menampakkan dirinya, idea distincts ialah ide yang diuraikan sampai unsur yang terkahir.
Untuk menjajaki sesuatu dianggap benar itu, Descartes mengandalkan metode keraguan. Metode keraguan itu bukanlah tujuannya. Tujuan metode ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan. Sebaliknya, metode ini bergerak dari keraguan menuju kepastian. Keraguan Descartes hanya ditujukan untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat diragukan dari sesuatu yang tidak dapat diragukan. Ia sendiri tidak pernah meragukan bahwa ia mampu menemukan keyakinan yang berada di balik keraguan itu, dan menggunakannya untuk membuktikan suatu kepastian di balik sesuatu. [5]
  1. De Spinoza (1632-1677)
Spinoza maupun Leibniz mengikuti pemikiran Rane Descrates. Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga dilakukan sebelumnya oleh Rane Descrates, yakni dengan pendekatan deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian (penyimpulan) berdasarkan definisi, aksioma, atau proposisi itu. De Spinoza memiliki cara berpikir yang sama dengan Rane Descrates, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistersinya berbarengan.[6]


  1. Leibniz (1646-1716)
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme dan keseluryhannya bergantung kepada sebab,sementara substansi menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan, Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat hanya ada satu substansi, sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu sendiri[7].
. Kelebihan dan kelemahan aliran filsafat rasionalisme :
1.    Kelebihan rasionalisme adalah mampu menyusun sistem – sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya logika, yang sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi kosistensi logis.
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman – pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia.
2.    Kelemahan
Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka. Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam , sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut.
Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas , dan bebas berpendapat bahwa pengalaman atau pengamatan bukan suatu jaminan untuk mendapat kebenaran. Beberapa realitas dapat dicapai validitasnya tanpa bantuan pengalaman empirisme. Di antaranya adalah dengan deduksi dan intuisi adalah suatu metode pemikiran tanpa dibuktikan dengan metode empirisme, namun mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.
Konsekuensi rasional adalah seba-akibat, akiba kebenaran adalah sebab – sebab yang menyatakannya benar, sedangkan kebenaran beberapa realitas dapat dikenali dengan adanya sebab – sebab dan akibat tersebut[8].

  1. Empirisme
Emmpirisme merupakan doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani emperia yang berarti coba-coba atau pengalaman. Untuk memahami isi doktrin ini perlu dipahami lebih dahulu pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan.
Teori tentang makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada Abad Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil ast in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman).
Pada abad ke-20 kaum empirisis cenderung menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar atau tidak,bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah contoh penggunaan empirisme secara pragmatis ini ialah pada Charles Sanders Peurce dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat dipahami kemudian konsep tentang pemgaruh itu, itulah konsep tentang objek tersebut”.[9]
Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan. Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab", dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori[10].
Dalam kehidupan kehidupan sehari-hari, banyak sekali contoh yang berkaitan dengan empirisme. Salah satu contoh nya seperti “Bagaimana kita mengetahui api itu panas?” Maka, seseorang empirisme akan berpandangan bahwa api itu panas karena memang dia mengalaminya sendiri dengan menyentuh api tersebut dan memperoleh pengalaman yang kita sebut “panas”. Dengan kata lain, dengan menggunakan alat inderawi, kita akan memperoleh pengalaman yang menjadi pengetahuan kita kelak.
Dalam kehidupan pribadi, misalnya kita melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu dan ternyata apa yang kita lakukan tadi gagal atau tidak berhasil. Hal ini akan menjadi pelajaran bagi kita agar, saat kita akan mencoba melakukan hal itu kembali, kita tidak akan gagal karena sebelumnya kita sudah mengalami nya dan kita tidak akan jatuh dalam kesalahan yang sama. Pengalaman menjadi bermanfaat saat pengalaman itu berisi pembelajaran bagi seseorang. Contoh sederhananya, ketika kita belajar memasak, mungkin saat kita baru pertama kali mencoba masakan yang telah kita masak, masakan nya terasa terlalu asin, atau bahkan tidak ada rasa sama sekali, nah dari situ kita bisa belajar bagaimana menciptakan masakan yang enak sesuai dengan pengalaman yang telah didapat[11]
  1. Francis Bacon
Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya bahwa kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Menurut Bacon, ilmu yang benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian diperkuat oleh sentuhan indrawi
  1. David Hume
Menurut para penulis sejarah filsafat, empirisme berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang paling radikal, terutama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat) yang menjadi objek kritiknya. Ia menerima substansi, sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama (misalnya: putih, licin, berat, dan sebagainya). Akan tetapi, atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap (misalnya: sehelai kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi). Sebagai seorang empiris, Hume tampak lebih konsekuen dari pada Berkeley.[12]
  1. John Locke
Dalam penelitiannya ia memakai istilah sensation dan reflection. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan dengan dunia luar, tetapi manusia tidak dapat mengerti dan meraihnya. Sedangkan reflection adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada manusia, yang sifatnya lebih baik daripada sensation. Mengapa demikian? Karena jiwa manusia di saat dilahirkan putih bersih (tabula rasa) yaitu jiwa itu kosong bagaikan kertas putih yang belum tertulis. Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang dibawa sejak lahir, melainkan pengalamanlah yang membentuk jiwa seseorang.[13]
Kelebihan dan kelemahan empirisme yaitu :
1.    Kelebihan empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
2.    Sedangkan kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek salah.
b.    Indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
c.    Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membihongi indera. Ini jleas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
d.   Indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia[14].
  1. Positivisme
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan[15].
Contoh positivisme sederhana yaitu seperti tugas yang harusnya selesai dalam 3 hari, dan tugas itu sangatlah banyak, saya akan berusaha menyelesaikan semaksimal kemampuan saya tanpa membuat saya stress. Jika memang tak terselesaikan, apa mau dikata, karena memang daya saya segitu saja adanya. Saya tidak ingin merusak pikiran dan mental. Mudah-mudahan saja bisa saya selesaikan tepat waktu[16].
August Comte (1798-1857)
Menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif.
Tahap teologis, yaitu pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama).
Tahap metafisis, yaitu pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis.
Tahap ilmiah/positif, yaitu pada tahap ini manusia telah mulai mengetahui dan sadar, bahwa upaya pengenalan teologis dan metafisis tidak ada gunanya[17].
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik[18].
Secara umum, positivisme memiliki beberapa ciri-ciri yaitu :
1.      Bebas Nilai
Artinya menegaskan antara fakta dan nilai kepada peneliti untuk mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral.
2.       Fenomenalisme
Artinya pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah.
3.      Nominalisme
Artinya positivisme berfokus pada yang individual-partikular karena itu kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semata penanaman dan bukan kenyataan itu sendiri.

4.      Reduksionisme
Artinya positivisme meruduksi semesta menajdi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
5.      Naturalisme
Artinya positivisme dapat menjelaskan semua gejala alam secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin.
Positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte dinamakan sebagi positivisme sosial. Hal ini dikarenakan faham yang menyakini kemajuan sosial hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu-ilmu positif[19].
Fungsi filsafat  positivisme yaitu :
1. Perkembangan yang diberi konotasi sebagai kemajuan memberikan makna bahwa  positivisme telah mempertebal optimisme. Berkat pandangan positivisme orang tidak sekedar menghimpun fakta, tapi ia berupaya meramal masa depan, yang antara lain turut mendorong perkembangan teknologi.
2. fungsi filsafat positivisme ini berperan sebagai pendorong timbulnya perkembangan dan kemajuan yang dirasakan sebagai kebutuhan.
3. Dengan adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi rasional ilmiah, maka berfungsi pula kemampuannya untuk menerangkan kenyataan[20]
Kelebihan dan kelemahan positivisme yaitu :
Kelebihan positivisme : 1) Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut. 2) Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi. 3) Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
Kelemahan positivisme : 1) Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan. 2) Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid[21].
  1. Intuisionisme
Intuisionisme (berasal dari bahasa Latin: intuitio yang berarti pemandangan) adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson. Intuisionisme selalu berdebat dengan paham rasionalisme
Intuisionisme adalah sistem etika yang tidak mengukur baik atau buruk sesuatu perbuatan berdasarkan hasilnya tetapi berdasarkan niat dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dalam bahasa Inggris Intuisionisme berasal kata Intuiton yang berarti manusia memliki gerak hati atau disebut hati nurani. Gerak hati mampu membuat manusia melihat suatu perkara benar atau salah, jahat atau baik. Intuisionisme juga merupakan suatu proses melihat dan memahami secara spontan dan intelek. Organ fiskal yang berkaitan dengan gerak hati atau intuisi tidak diketahui secara jelas. Namun, setengah ahli filsafat menyebutkan jantung dan otak kanan sebagai organ fiskal yang menggerakan intuisi.
Gerak hati yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu pengalaman emosional dan spiritual. Menurut Immanuel Kant, akal tidak pernah mampu mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara yang dilihat terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek[22].
Intuisi disebut juga sebagai ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun ia juga tidak terjadi kepada semua orang melainkan hanya jika seseorang itu sudah berfikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami tekanan, lalu dia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka saat itulah intuisi berkemungkinan akan muncul. Bahkan intuisi sering disebut separo rasional atau kemampuan yang berbeda pada tahap yang lebih tinggi dari rasional dan hanya berfungsi jika rasio telah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu[23].
Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi.
Intuisionisme dipelopori dan dipopulerkan oleh Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya, dalam beberapa hal. intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suau jenis pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi (trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari indera dan akal[24].
Tokoh- Tokoh Intuisionisme
1.      Luitzen Egbartus Jan Brouwer (1881-1966)
Brouwer lahir pada tanggal 27 februari 1881 di kota Overschie, Belanda.Selama berkuliah di Univeristy of Amsterdam, Brouwer belajar tentang matematika dan fisika.
Dalam berfilsafat, Brouwer banyak terpengaruh oleh gurunya. Diederik Korteweg dan Gerrit Mannoury. Karya pertama Brouwer adalah "Perubahan Pada Ruang Empat Dimensi" dibawah bimbingan Korteweg[25].
Menurut Brouwer, dasar dari Intuisionisme adalah pikiran. Namun, pemikiran-pemikiran yang dicetuskannya banyak dipengaruhi oleh pandangan Immanuel Kant. Matematika didefinisaikan oleh Brouwer sebagai aktivitas berfikir secara bebas, namun matematika adalah suatu aktivitas yang ditemukan dari intusi pada saat tertentu. Pandangan intuisionisme adalah tidak ada realisme terhadap objek dan tidak ada bahasa yang menghubungi sehingga boleh dikatakan tiak ada penentu kebenaran matematika di luar aktivitas berpikir. Proposisi hanya berlaku ketika subjek dapat dibuktikan kebenarannya. Kesimpulannya, Brouwer mengungkapkan bahwa tiada kebenaran tanpa dilakukan pembuktian.

2.      Arend Heyting (1898-1980)
Arend Heyting lahir pada 9 Mei 1898 di kota Amsterdam, Belanda. Arend Heyting dalah murid Brouwer yang berpengaruh besar terhadap perkembangan intuisionisme filsafat matematika. Heyting membangunkan sebuah formula logika intuisionisme yang sangat tepat. Sistem ini dinamakan "Predikat Kalkulus Heyting". Heyting menegaskan bahwa metafisika adalah pokok dalam kebenaran realisme logika klasik. Bahasa matematika klasik adalah pengertian faktor-faktor objektif sebagai syarat-syarat kebenaran yang terbaik.
Heyting menemukan bukti dalam pandangan Brouwer tentang kelaziman alat mental serta pemacu bahasa dan logika. Dalam bukunya berjudul Intuitionism tahun 1956, Heyting mengungkankan bahwa pendapat Bouwer yaitu bahasa adalah media tidak sempurna untuk membincangkan matematika. Sistem utamanya adalah dirinya sendiri sebagai peraturan pemacu matematika, tetapi tidak diyakini sistem utama pemacu matematika menggambarkan secara kuat penguasaan pemikiran matematika. Heyting menegaskan logika bergantung pada matematika bukan yang lain.
3.      Sir Michael Anthony Eardley Dummet (1925-2011)
Sir Michael Anthony Eardley Dummett lahir pada tanggal 27 Juni 1925 di kota London, Inggris, adalah seorang filsuf Inggris yang sangat berpengaruh dalam filsafat bahasa, metafisika, logika, filosofi matematika, dan sejarah filsafat analitik.
Brouwer dan Heyting mengatakan bahwa bahasa merupakan media tidak sempurna untuk membicarakan pembinaan mental matematika, dan logika berkaitan bentuk yang berlaku dalam penyebaran media ini dan menjadi tumpuan langsung pada bahasa dan logika. Sebaliknya, pendekatan utama Dummet adalah bahwa matematika dan logika adalah bahasa dari awal.

15
Filsafat Dummett lebih mementingakn pada logika intuisionik daripada matematika itu sendiri. Pendapatnya sama dengan Brouwer tetapi tidak sama seperti Heyting. Dummett tidak memiliki orientasi memilih. Dummett mengeksplorasi matematika klasik dengan menggunakan pemikiran yang tidak memperakui pada satu jalan peraturan penguraian pernyataan alternatifnya. Ia mengusulkan beberapa pertimbangan mengenai logika adalah benar yang pada akhirnya harus tergantung pada arti pertanyaan. Ia juga mengambil pandangan yang diperoleh secara luas, yang kemudian disebut sebagai terminologi logika[26].












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Aliran-aliran filsafat terdiri dari Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Intusionisme.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan
Empirisme merupakan doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Positif adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif.
Intuisionisme (berasal dari bahasa Latin: intuitio yang berarti pemandangan) adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.











17
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2013.  filsafat umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hakim, Atang Abdul., Beni Ahmad Saebani. 2008. filsafat umum “dari metodologi sampai teofilosofi”, Bandung: CV Pustaka Setia
Tafsir, Ahmad. 2013.  filsafat umum “akal dan hati sejak thales sampai capra”, Bandung: PT Remaja Rosdakarya











18




[1] Ahmad tafsir, filsafat umum “akal dan hati sejak thales sampai capra”, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013). hlm. 127
[2] Asmoro Achmadi, filsafat umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013). hlm. 115
[3] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani,filsafat umum “dari metodologi sampai teofilosofi”, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008). hlm. 247
2
[5] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani,filsafat umum..., hlm 258
[6] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani,filsafat umum..., hlm. 259-260

4
[7] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani,filsafat umum..., hlm. 260


5
[9] Ahmad tafsir, filsafat umum..., hlm. 173-174
[10] Ahmad tafsir, filsafat umum..., hlm. 175

6
[12] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani,filsafat umum..., hlm. 267&27
[13] Asmoro Achmadi, filsafat umum..., hlm. 117-118
8
[15] Asmoro Achmadi, filsafat umum..., hlm. 120
[17] Asmoro Achmadi, filsafat umum..., hlm. 120-121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar