Jumat, 01 Januari 2016

makalah (Flsft) periodesasi filsafat

Add caption
MAKALAH

PERIODISASI FILSAFAT (KLASIK, PERTENGAHAN, DAN MODERN)

Sebagai tugas
 mata kuliah filsafat umum

Dosen Pengampu: Syarnubi, M.Pd.I 


Disusun Oleh Kelompok 4:

AJI EFFENDI ( 1532100079 )
AYU LESTARI ( 1532100089 )
DESI RATNA SARI ( 1532100100 )



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015/2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb.
Makalah ini bersumber pada pedoman “Periodisasi Filsafat” tentang Filsafat Umum. Makalah ini disusun dengan harapan dapat monolong para mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan  Filsafat Umum yang merupakan bagian dari mata kuliah dasar dari seluruh fakultas keguruan tinggi agama.
    Makalah kami ini berjudul Periodisasi Filsafat. Karena iu kita bisa tau bagaimana sejarah Filsafat Umum, ini merupakan salah satu wacana dalam mengisi kegiatan agama, utamanya di kalangan dunia Perguruan tinggi Agama. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Syarnubi, M.Pd.I karena memberi kesempatan untuk kami penyajian makalah ini tersebut.
 Tentu banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah kami ini, karna itu kami mintah saran dan kritikan nya dari saudara/i sekalian. Dan semoga makalah ini menjadi hal yang bermanfaat bisa menambah ilmu serta amal saleh.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.


Palembang, November 2015


Penulis




DAFTAR ISI








Filsafat adalah proses berfikir secara radikal, sistematika, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Dengan kata lain berfilsafat berarti berfikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai kea rah akar-akarnya), sistematika (teratur, runtut, logis dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khusus serta tidak persial). Dan yang di kaji dalam filsafat adalah segala sesuatu yang ada secara keseluruhan meliputi objek material dan objek formal. Objek material filsafat ialah segala sesuatu yang menjadi masalah, segala sesuatu yang dimasalahkan oleh filsafat. Objek formal ialah usaha untuk mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai keakarnya) tentang objek material filsafat. Sedangkan fungsi filsafat ialah memenuhi harapan-harapan manusia semaksimal mungkin dengan pemikiran manusia itu sendiri. Untuk manusia yang berfilsafat memiliki cirri seperti berfikir radikal, mencari asa, memburuh kebenaran, mencari kejelasan dan berfikir rasional.
Munculnya pemikiran berfilsafat tidak lepas dari peradaban Yunani. Pasalnya dinegeri itulah filsafat lahir dan berkembang pesat sampai sekarang. Untuk filsuf pertama yang muncul di Yunani adalah Thales. Sedangkan faktor yang mempengaruhi munculnya filsafat ialah mitos bangsa Yunani, kesusastraan Yunani, dan pengaruh ilmu pengetahuan. Untuk membedakan aliran atau memetakan filsafat maka filsafat membagi masa atau zaman menjadi beberapa masa, diantaranya:         

           





Pada zaman Yunani ini terbagi menjadi dua periode, yaitu: periode Yunani Kuno dan Periode Yunani Klasik. Periode Yunani Kuno diisi oleh ahli pikir alam (Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenophanes, dan Democritos). Sedangkan pada periode Yunani Klasik diisi oleh ahli pikir seperti Socrates, Platoo, Aristoteles.[1] 

1.      Yunani Kuno

Periode Yunani Kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian, karena pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam, di mana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati disekitarnya. Mereka membuat pernyataan-pernyataan tentang gejala alam yang bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche) yang bersifat mutlak, yang berada di belakang segala sesuatu yang serba berubah. Tokoh filsuf dalam kategori ini meliputi.[2]
a.      Thales (625 - 545 SM)
Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi dari alam semesta. Menurut pendapatnya, semua yang berasal dari air sebagai materi dasar kosmis.[3]
b.      Anaximandros (640 - 546 SM)
Pemikirannya, dalam memberikan pendapat tentang arche (asas pertama alam semesta), ia tidak menunjuk pada salah satu unsur yang dapat diamati indera, yaitu to apeiron, sebagai sesuatu yang tidak terbatas, abad sifatnya, tidak berubah-ubah, ada pada segala-galanya, dan sesuatu yang paling dalam. Alasannya, apabila tentang arche tersebut ia menunjuk pada salah satu unsur, maka unsure tersebut akan mempunyai sifat yang dapat bergerak sesuai dengan sifatnya, sehingga tidak ada tempat bagi unsur yang berlawanan.[4]
c.       Pythagoras ( ± 572 - 497 SM)
Pemikirannya, substansi dari semua benda adalah bilangan, dan segala gejala alam merupakan pengungkapan inderawi dari perbandingan-perbandingan sistematis. Bilangan merupakan inti sari dan dasar pokok dari sifat-sifat benda (number rules the universe = bilangan memerintahkan jagat raya). Ia juga mengembangkan pokok soal matematik yang termasuk teori bilangan. Umpamanya, dikembangkannya susunan bilangan-bilangan yang mempunyai bentuk geometris.[5]
d.      Xenpophanes (570 - ? SM)
Pendapatnya yang termuat dalam kritik terhadap Homerus dan Herodotus, ia merubah adanya antropomorfisme Tuhan-Tuhan, yaitu Tuhan digambarkan sebagai (seakan-akan) manusia. Karena manusia selalu mempunyai kecenderungan berpikir, maka Tuhan pun seperti manusia yang bersuara, berpakaian, dan lain-lainnya. Ia juga membantah bahwa Tuhan bersifat kekal dan tidak mempunyai permulaan. Ia juga menolak anggapan bahwa Tuhan mempunyai jumlah yang banyak dan menekan atas keesaan Tuhan. Kritik ini ditujukan kepada anggapan-anggapan lama yang berdasar pada mitologi.[6]
e.       Democritos (460 – 370 SM)
Pemikiranya, bahwa realitas bukanlah satu, tetapi terdiri dari beberapa unsur, dan jumlahnya tak terhingga. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian materi yang sangat kecil, sehingga indera kita tidak mampu mengamatinya, dan tidak dapat dibagi lagi. Unsur-unsur tersebut dikatakan sebagai atom yang berasal dari satu dari yang lain karena tiga hal: bentuknya, urutannya, dan posisinya. Atom-atom ini tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan, tidak berubah, dan tidak berkualitas.[7]
Masih banyak lagi filsuf-filsuf pada Zaman ini namun hanya beberapa saja yang kami paparkan.

2.      Yunani Klasik

Pada periode Yunani Klasik ini perkembangan filsafat menunjukkan kepesatan, yaitu ditandainya semakin besar minat orang terhadap filsafat. Aliran yang mengawali periode Yunani Klasik ini adalah Sofisme. Penamaan aliran Sofisme ini berasal dari kata sophos yang artinya cerdik pandai. Keberadaan Sofisme ini dengan keahliannya dalam bidang-bidang bahasa, politik, retorika, dan terutama memaparkan tentang kosmos dan kehidupan manusia di masyarakat sehingga keberadaan Sofisme ini dapat membawa perubahan budaya dan peradaban Athena.
Kaum Sofis juga memusatkan perhatian pemikirannya kepada manusia. Yang paling penting dengan munculnya Sofisme ini adalah mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka menyiapkan kelahiran pemikiran filsafat Yunani Klasik yang dipelopori Socrates, Plato, dan Aristoteles.[8]
a.      Socrates (469 – 399)
Socrates dengan pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah, di mana keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan.[9]
b.      Plato (427 – 347 SM)
Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama: mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides). Mana yang benar antara pengetahuan yang lewat indera dengan pengetahuan yang lewat akal. Pengetahuan yang diperoleh lewat indera disebutnya pengetahuan indera atau pengetahuan pengalaman. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebut pengetahuan akal. Pengetahuan indera atau pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap atau berubah-ubah sedangkan pengetahuan akal bersifat tetap atau tidak berubah-ubah.
Sebagai penyelesaian persoalan yang dihadapi Plato tersebut diatas, ia menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan berubah; dan dunia ide yang bersifat tetap, hanya satu macam dan tidak berubah. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide. Sedangkan dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia realitas, dan dunia inilah yang menjadi “model” dunia pengalaman. Dengan demikian dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas itu adalah dunia ide.[10]
c.       Aristoteles (384 – 322 SM)
Untuk mengetahui makna hakiki setiap sesuatu, Aristoteles mengembangkan suatu teori pengetahuan dengan menempuh jalan atau metode abstraksi. Dengan membagi pengetahuan menjadi dua yaitu pengetahuan indra dan pengetahuan budi. Pengetahuan indra bertujuan mencapai pengenalan pada hal-hal yang kongkrit, yang bermacam-macam dan serba berubah. Sedangkan pengetahuan budi bertujuan mencapai pengetahuan abstrak, umum, dan tetap. Pengetahuan budi inilah yang disebut sebagai ilmu pengetahuan.[11]

            Pada masa ini filsafat lebih bercorak “theosentris”. Artinya para filsuf dalam periode ini menjadikan filsafat sebagai abdi agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan. Suatu karya filsafat dinilai benar sejauh tidak menyimpang dari ajaran agama. Oleh karena itu filsafat barat abad pertengahan ini dapat disebut sebagai “abad gelap”, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
Masa Abad Pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu: masa Patristik dan masa Skolastik. Sedangkan Masa Skolastik terbagi menjadi Skolastik Awal, Skolastik Puncak, dan Skolastik Akhir.[12]

1.      Masa Patristik

Istilah patristic berasal dari kata Latin pater atau bapak, yang artinya para pemimpin gereja. Para pemimpin gereja ini dipilih dari golongan atas dan atau golongan ahli pikir. Dari golongan ahli pikir inilah menimbulkan sikap yang beragam pemikirannya. Mereka ada yang menolak filsafat Yunani dan ada yang menerimanya. Bagi mereka yang menolak, alasannya karena beranggapan bahwa sudah mempunyai sumber kebenaran yaitu firman Tuhan, tidak dibenarkan apabila mencari sumber kebenaran yang lain seperti dari filsafat Yunani. Bagi mereka yang menerimanya sebagai alasannya beranggapan bahwa walaupun telah ada sumber kebenaran yaitu firman Tuhan, tetapi tidak ada jeleknya menggunakan filsafat Yunani hanya diambil methodosnya saja (tata cara berfikir). Juga, walaupun filsafat Yunani sebagai  kebenaran manusia, tetapi manusia juga sebagai ciptaan tuhan. Jadi, mereka menerima filsafat Yunani diperbolehkan selama dalam hal-hal tertentu tidak bertentangan dengan agama.[13]
Akibatnya muncul upaya untuk membela agama Kristen, yaitu para apologis (pembela iman Kristen) dengan kesadarannya membela iman Kristen dari serangan filsafat Yunan.para pembela iman Kristen tersebut adalah Justinus Martir, Klemens, Tertullianus, Augustinus, dan Johanes Scotus Eriugena.
a.      Justinus Martir
Menurut pendapatnya, agma Kristen bukan agama baru karena Kristen lebih tua dari filsafat Yunani, dan Nabi Musa dianggap sebagai awal kedatangan Kristen. Padahal, Musa hidup sebelum Socrates dan Plato. Jadi, agama Kristen lebih bermutu dibanding dengan filsafat Yunani. Demikian pembelaan Justinus Martir.[14]
b.      Klemens ( 150 – 215 M)
Pokok-pokok pikirannya adalah sebagai berikut: pertama, Memberikan batasan-batasan terhadap ajaran Kristen untuk mempertahankan diri dari otoriter filsafat Yunani. Kedua, Memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan menggunakan filsafat Yunani.[15]
c.       Tertullianus ( 160 – 222 M)       
Ia berpendapat, bahwa wahyu Tuhan sudahlah cukup. Tidak ada hubungan antara teologi dengan filsafat, tidak ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani (pusat filsafat), tidak ada hubungan antara gereja akademi, tidak ada hubungan antara Kristen dengan penemuan baru. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dibanding dengan cahaya Kristen. Apa yang dikatan oleh para filosof Yunani tentang kebenaran pada hakikatnya sebagai kutipan dari kitab suci. Akan tetapi karena kebodohan para filosof, kebenaran kitab suci tersebut dihapuskan.
Akan tetapi lama-kelamaan, ia akhirnya menerima juga filsafat Yunani sebagai cara berfikir yang rasional.[16]
d.      Augustinus (354 – 430 M)
Ia telah diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat Kristen yang berpengaruh besar dalam filsafat abad pertengahan sehingga ia dijuluki sebagai guru skolastik yang sejarti. Menurut pendapatnya, daya pemikiran manusia dan batasnya, kepastian yang tidak ada batasnya, yang bersifat kekal abadi. Artinya, akal pikiran manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kekayaan yang lebih tinggi. Ajarannya lebih bersifat sebagai metode daripada suatu sistem sehingga ajarannya mampu meresap sampai masa skolastik.[17]
e.       Johan Scotus Eriugena (815 – 870 M)
Pemikiran filsafatinya berdasarkan keyakinan Kristiani. Oleh karena itu segala penelitian dimulai dari iman, sedang wahyu ilahi dipandang sebagai sumber bahan-bahan filsafatnya. Menurut dia, akal bertugas mengungkapkan arti yang sebenarnya dari bahan-bahan filsafatnya yang digalinya dari wahyu ilahi itu.
Umpamanya: di dalam  Kitab Suci terdapat arti yang bermacam-macam dari suatu simbul. Hal ini bermaksud sepaya akal didorong mencari arti yang benar.

2.      Masa Skolastik

            Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, skolastik adalah aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan. Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik yaitu sebagai berikut: pertama, adalah sifat yang mempunyai corak semata-mata agama. Kedua, adalah filsafat yang mengabdi kepada teologi filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berfikir, sifat ada, kejasmanian, kehormatan, dan baik buruk. Ketiga, adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat. Keempat, adalag filsafat nasrani karena dipengaruhi oleh ajaran gereja.[18]
Faktor skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor diantaranya faktor religius dan faktor ilmu pengetahuan.

a.      Skolastik Awal (800 – 1200 M)

            Pada abad ke-8 Masehi, kekuasaan dari Kerajaan Romawi berada dibawah Karel Agung (742 – 824) dapat memberikan suasana ketenangan dalam bidang politik, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, termasuk kehidupan manusia serta pemikiran filsafat yang semuanya menampakkan mulai adanya kebangkitan. Kebangkitan inilah yang merupakan kecermelangan abad pertengahan, dimana arah pemikiran berbeda sekali dengan sebelumnya.[19]
1.      Anselmus (1033 – 1109 M)
Dapat dikatan ia adalah Skolastikus pertama dalam arti sebenarnya. Gagasan dari tokoh ini adalah bahwa orang harus percaya dahulu supaya mendapatkan pengertian yang benar akan kebenaran. Pandangan ini ternyata menguasai pandangan orang pada abad - abad berikutnya.
2.      Peter Abaelardus (1079 – 1180 M) 
Yang harus dipercaya adalah apa yang telah disetujui atau dapat diterima oleh akal. Tentunya pendapat ini berbeda dengan Anselmus. Abaelardus membenarkan alasan bahwa berfikir itu berada diluar iman (diluar kepercayaan). Karena itu berfikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri.

b.      Skolastik Puncak (1200 – 1300 M)

            Masa ini merupakan kejayaan skolastik dan masa ini juga disebut masa berbunga. Ditandai dengan munculnya Universitas-universitas dan ordo-ordo, yang secara bersama-sama memajukan ilmu pengetahuan. Berikut ini beberapa faktor mengapa masa skolastik mencapai pada puncaknya, yaitu: pertama, adanya pengaruh dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina sejak abad ke-12 sehingga sampai abad ke-13 telah tumbuh menjadi ilmu pengetahuan yang luas. Kedua, Tahun 1200 didirikan Universitas Almamater di Prancis, Uniersitas ini merupakan gabungan daru beberapa sekolah. Hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan-kehidupan kerohanian dimana kebanyakan tokoh-tokohnya memegang peran dibidang filsafat dan teologi, seperti Albertus de Grote dan Thomas Aquinas.[20]
1.      Albertus Magnus (1203 – 1280 M)
Ia mengantarkan ajaran Aristoteles di Eropa Barat, lalu membuka keterangan yang baru bagi pemikiran Kristiani terhadap gagasan-gagasan dasar filsafat Aristoteles. Lebih dari siapapun ia telah memperkenalkan Aristoteles kepada dunia Barat. Terakhir ia diangkat sebagai uskup agung.
2.      Thomas Aquinas (1225 – 1274 M)
Menurut pendapatnya, semua kebenaran asalnya dari Tuhan. Kebenaran diungkapkan dengan jalan yang berbeda-beda, sedangkan iman berjalan diluar jangkauan pemikiran. Ia menghimbau agar orang-orang untuk mengetahui hukum alamiah (pengetahuan) yang terungkap dalam kepercayaan. Tidak ada kontradiksi antara pemikiran dan iman.

c.       Skolastik Akhir (1300 – 1450 M)

Masa ini ditandai dengan adanya rasa jemu terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya sehingga memperlihatkan stagnasi (kemandegan). Sebab orang-orang yang setia kepada pemikiran yang membangun menampakkan gejala pembekuan. Timbulah dua kelompok pemikir yaitu, dari aliran Thomisme.[21]
1.      William Ockham (1285 – 1349 M)
Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual. Konsep-konsep atau kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa kenyataan. Pemikiran yang demikian ini, dapat dilalui hanya lewat intuisi, bukan lewat logika.
2.      Nicolas Cusasus (1401 – 1464 M)
Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat indra, akal, dan intuisi. Dengan indra kita akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang sifatnya tidak sempurnya. Dengan akal kita akan mendapatkan bentuk-bentuk penelitian yang abstrak berdasar pada sajian atau tangkapan indra dengan intuisi, kita akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pemikiran Nicolas ini sebagai upaya mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan yang dibuat kesuatu sintesis yang lebih luas.
           
Bertrand Russell (1979 : 479) menyatakan bahwa dalam sejarah, sebuah masa secara umum dapat dinyatakan sebagai masa “Modern” dapat dilibat dari berbagai sisi adanya perubahan mental yang menunjukkan perbedaan bila dibanding dengan masa pertengahan. Paling tidak pebedaan itu tampak dalam dua hal yang sangat penting, yaitu pertama berkurangnya cengkraman kekuasaan, dan kedua bertambah kuatnya otoritas ilmu pengetahuan. Filsafat modern dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu :[22]

1.      Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme.

Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengtahuan, contohnya orang yang memikirkan sesuatu hal dengan berdasarkan fakta yang ada . Empirisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris, contohnya orang yang benar-benar mengalami secara nyata suatu kejadian tertentu, dan Kritisisme adalah menolak paham yang menyangkut penerapan dan pengetahuan berdasarkan alasan-alasan, contohnya orang yang mengalami sesuatu hal namun berdasarkan pemikiran juga.

2.      Dialektika dan Idealisme.

Dialektika adalah ilmu pengetahuan tentang hukum yang paling umum yang mengatur perkembangan alam, masyarakat, dan pemikiran, contohnya sebagaimana aturan-aturan dimasyarakat ataupun norma-norma. Dan Idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh individu yang bersangkutan dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, dan kebiasaan, contohnya lebih kepada wahyu ataupun aturan dari tuhan.[23]

3.      Fenomenologi dan Eksistensialisme.

Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena, contohnya manusia mengalami berbagai fenomena mulai kelahiran sampai kepada kematian. Dan Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar, contohnya orang yang hanya memikirkan hal-hal sementara saja namun tidak mendalami hal tersebut apakah baik atau buruk.[24]



 

Kesimpulan

Jadi, Periodisasi Filsafat mulai dari zaman Yunani Kuno dan Klasik telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dari pemikiran alam sampai kepada mansia itu sendiri, namun ketika memasuki Abad pertengahan Filsafat mengalami kesulitan untuk berkembang diakibatkan terbelenggu oleh Agama di masa Patristik dan Skolastik singkatnya mengalami stagnasi, namun sekian lama peradaban akhirnya muncul Zaman Modern bahwa dapat dilihat dari berbagai sisi adanya perubahan mental yang memunjukkan perbedaan bila dibanding dengan masa pertengahan.



DAFTAR PUSTAKA


·         Achmadi, Asmoro. 2013. Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
·         Hamidah. 2014. Filsafat Umum. Palembang: Noer Fikri Offset.
·         Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
·         https://id.m.wikipedia.org/wiki/Zaman_modern. Tanggal 23 November 2015 Pukul 02:30 WIB





                [1] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta, PT RajaGrafindi Persada, 2003, hal. 29.
                [2] Ibid., hal. 30-31.
                [3] Ibid.
                [4] Ibid., hal. 32-32.
                [5] Ibid.
                [6] Ibid., hal. 35.
                [7] Ibid., hal. 42.
                [8] Ibid., hal. 46.
                [9] Ibid., hal. 47.
                [10] Ibid., hal 48-49.
                [11] Ibid., hal 51.
                [12] Hamidah, Filsafat Umum,  Palembang, NoerFikri, 2015, hal. 49.
                [13] Ibid.
                [14] Ibid., hal. 50.
                [15] Ibid.
                [16] Ibid., hal. 51.
                [17] Ibid.
                [18] Ibid., hal. 53-54.
                [19] Ibid.
                [20] Ibid., hal. 56-57.
                [21] Ibid., hal. 58-60.
                [22] Atang Abdul Hakim, Filsafat Ilmu, Bandung, CV Pustaka Setia, 2008, hal. 79.
[23] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Zaman_modern. Tanggal 23 November 2015 Pukul 02:30 WIB.
                [24] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar