Add caption |
MAKALAH
PERIODISASI
FILSAFAT (KLASIK, PERTENGAHAN, DAN MODERN)
Sebagai
tugas
mata kuliah filsafat umum
Dosen
Pengampu: Syarnubi, M.Pd.I
Disusun Oleh Kelompok 4:
AJI EFFENDI ( 1532100079 )
AYU LESTARI (
1532100089 )
DESI RATNA SARI
( 1532100100 )
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr. Wb.
Makalah
ini bersumber pada pedoman “Periodisasi Filsafat” tentang Filsafat Umum.
Makalah ini disusun dengan harapan dapat monolong para mahasiswa dalam mengikuti
perkuliahan Filsafat Umum yang merupakan
bagian dari mata kuliah dasar dari seluruh fakultas keguruan tinggi agama.
Makalah kami ini berjudul Periodisasi Filsafat. Karena iu kita bisa tau bagaimana sejarah
Filsafat Umum, ini merupakan salah satu wacana dalam mengisi kegiatan agama,
utamanya di kalangan dunia Perguruan tinggi Agama. Pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Syarnubi, M.Pd.I karena
memberi kesempatan untuk kami penyajian makalah ini tersebut.
Tentu banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah kami ini, karna itu kami mintah saran dan kritikan nya dari saudara/i
sekalian. Dan semoga makalah ini menjadi hal yang bermanfaat bisa menambah ilmu
serta amal saleh.
Wassalamu’alaikum
wr. Wb.
Palembang, November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Filsafat adalah proses berfikir secara radikal,
sistematika, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada.
Dengan kata lain berfilsafat berarti berfikir secara radikal (mendasar, mendalam,
sampai kea rah akar-akarnya), sistematika (teratur, runtut, logis dan tidak
serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak
khusus serta tidak persial). Dan yang di kaji dalam filsafat adalah segala
sesuatu yang ada secara keseluruhan meliputi objek material dan objek formal.
Objek material filsafat ialah segala sesuatu yang menjadi masalah, segala
sesuatu yang dimasalahkan oleh filsafat. Objek formal ialah usaha untuk mencari
keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai keakarnya) tentang objek
material filsafat. Sedangkan fungsi filsafat ialah memenuhi harapan-harapan
manusia semaksimal mungkin dengan pemikiran manusia itu sendiri. Untuk manusia
yang berfilsafat memiliki cirri seperti berfikir radikal, mencari asa, memburuh
kebenaran, mencari kejelasan dan berfikir rasional.
Munculnya pemikiran berfilsafat tidak lepas
dari peradaban Yunani. Pasalnya dinegeri itulah filsafat lahir dan berkembang
pesat sampai sekarang. Untuk filsuf pertama yang muncul di Yunani adalah
Thales. Sedangkan faktor yang mempengaruhi munculnya filsafat ialah mitos
bangsa Yunani, kesusastraan Yunani, dan pengaruh ilmu pengetahuan. Untuk
membedakan aliran atau memetakan filsafat maka filsafat membagi masa atau zaman
menjadi beberapa masa, diantaranya:
Pada zaman Yunani ini terbagi menjadi dua periode,
yaitu: periode Yunani Kuno dan Periode Yunani Klasik. Periode Yunani Kuno diisi
oleh ahli pikir alam (Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenophanes, dan Democritos).
Sedangkan pada periode Yunani Klasik diisi oleh ahli pikir seperti Socrates,
Platoo, Aristoteles.[1]
1.
Yunani Kuno
Periode Yunani Kuno ini lazim disebut periode filsafat
alam. Dikatakan demikian, karena pada periode ini ditandai dengan munculnya
para ahli pikir alam, di mana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang
diamati disekitarnya. Mereka membuat pernyataan-pernyataan tentang gejala alam
yang bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak berdasarkan pada
mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche) yang bersifat mutlak, yang berada di belakang segala sesuatu
yang serba berubah. Tokoh filsuf dalam kategori ini
meliputi.[2]
a.
Thales (625 - 545 SM)
Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi yang
mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi dari alam
semesta. Menurut pendapatnya, semua yang berasal dari air sebagai materi dasar
kosmis.[3]
b.
Anaximandros (640 - 546
SM)
Pemikirannya, dalam memberikan pendapat tentang arche (asas pertama alam semesta), ia
tidak menunjuk pada salah satu unsur yang dapat diamati indera, yaitu to apeiron, sebagai sesuatu yang tidak
terbatas, abad sifatnya, tidak berubah-ubah, ada pada segala-galanya, dan
sesuatu yang paling dalam. Alasannya, apabila tentang arche tersebut ia
menunjuk pada salah satu unsur, maka unsure tersebut akan mempunyai sifat yang
dapat bergerak sesuai dengan sifatnya, sehingga tidak ada tempat bagi unsur
yang berlawanan.[4]
c.
Pythagoras ( ± 572 - 497
SM)
Pemikirannya, substansi dari semua benda adalah bilangan,
dan segala gejala alam merupakan pengungkapan inderawi dari
perbandingan-perbandingan sistematis. Bilangan merupakan inti sari dan dasar
pokok dari sifat-sifat benda (number
rules the universe = bilangan memerintahkan jagat raya). Ia juga mengembangkan
pokok soal matematik yang termasuk teori bilangan. Umpamanya, dikembangkannya
susunan bilangan-bilangan yang mempunyai bentuk geometris.[5]
d.
Xenpophanes (570 - ?
SM)
Pendapatnya yang termuat dalam kritik terhadap Homerus
dan Herodotus, ia merubah adanya antropomorfisme Tuhan-Tuhan, yaitu Tuhan
digambarkan sebagai (seakan-akan)
manusia. Karena manusia selalu mempunyai kecenderungan berpikir, maka Tuhan pun
seperti manusia yang bersuara, berpakaian, dan lain-lainnya. Ia juga membantah
bahwa Tuhan bersifat kekal dan tidak mempunyai permulaan. Ia juga menolak
anggapan bahwa Tuhan mempunyai jumlah yang banyak dan menekan atas keesaan
Tuhan. Kritik ini ditujukan kepada anggapan-anggapan lama yang berdasar pada
mitologi.[6]
e.
Democritos (460 – 370
SM)
Pemikiranya, bahwa realitas bukanlah satu, tetapi
terdiri dari beberapa unsur, dan jumlahnya tak terhingga. Unsur-unsur tersebut
merupakan bagian materi yang sangat kecil, sehingga indera kita tidak mampu
mengamatinya, dan tidak dapat dibagi lagi. Unsur-unsur tersebut dikatakan
sebagai atom yang berasal dari satu dari yang lain karena tiga hal: bentuknya,
urutannya, dan posisinya. Atom-atom ini tidak dijadikan dan tidak dapat
dimusnahkan, tidak berubah, dan tidak berkualitas.[7]
Masih banyak lagi filsuf-filsuf pada Zaman ini namun
hanya beberapa saja yang kami paparkan.
2.
Yunani Klasik
Pada periode Yunani
Klasik ini perkembangan filsafat menunjukkan kepesatan, yaitu ditandainya
semakin besar minat orang terhadap filsafat. Aliran yang mengawali periode
Yunani Klasik ini adalah Sofisme. Penamaan aliran Sofisme ini berasal dari kata
sophos yang artinya cerdik pandai.
Keberadaan Sofisme ini dengan keahliannya dalam bidang-bidang bahasa, politik,
retorika, dan terutama memaparkan tentang kosmos dan kehidupan manusia di
masyarakat sehingga keberadaan Sofisme ini dapat membawa perubahan budaya dan
peradaban Athena.
Kaum Sofis juga
memusatkan perhatian pemikirannya kepada manusia. Yang paling penting dengan
munculnya Sofisme ini adalah mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka
menyiapkan kelahiran pemikiran filsafat Yunani Klasik yang dipelopori Socrates,
Plato, dan Aristoteles.[8]
a.
Socrates (469 – 399)
Socrates dengan
pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan
menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah, di mana keduanya tidak dapat
dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang
dihasilkan.[9]
b.
Plato (427 – 347 SM)
Sebagai titik tolak
pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama: mana yang
benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides). Mana yang
benar antara pengetahuan yang lewat indera dengan pengetahuan yang lewat akal.
Pengetahuan yang diperoleh lewat indera disebutnya pengetahuan indera atau
pengetahuan pengalaman. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh lewat akal disebut
pengetahuan akal. Pengetahuan indera atau pengetahuan pengalaman bersifat tidak
tetap atau berubah-ubah sedangkan pengetahuan akal bersifat tetap atau tidak
berubah-ubah.
Sebagai penyelesaian
persoalan yang dihadapi Plato tersebut diatas, ia menerangkan bahwa manusia itu
sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak
tetap, bermacam-macam dan berubah; dan dunia ide yang bersifat tetap, hanya
satu macam dan tidak berubah. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari
dunia ide. Sedangkan dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia
realitas, dan dunia inilah yang menjadi “model” dunia pengalaman. Dengan
demikian dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas itu adalah dunia ide.[10]
c.
Aristoteles (384 – 322
SM)
Untuk mengetahui makna
hakiki setiap sesuatu, Aristoteles mengembangkan suatu teori pengetahuan dengan
menempuh jalan atau metode abstraksi. Dengan membagi pengetahuan menjadi dua
yaitu pengetahuan indra dan pengetahuan budi. Pengetahuan indra bertujuan
mencapai pengenalan pada hal-hal yang kongkrit, yang bermacam-macam dan serba
berubah. Sedangkan pengetahuan budi bertujuan mencapai pengetahuan abstrak,
umum, dan tetap. Pengetahuan budi inilah yang disebut sebagai ilmu pengetahuan.[11]
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “theosentris”.
Artinya para filsuf dalam periode ini menjadikan filsafat sebagai abdi agama
atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan. Suatu karya filsafat dinilai
benar sejauh tidak menyimpang dari ajaran agama. Oleh karena itu filsafat barat
abad pertengahan ini dapat disebut sebagai “abad gelap”, dengan menerima ajaran
gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
Masa Abad Pertengahan
ini terbagi menjadi dua masa yaitu: masa Patristik dan masa Skolastik.
Sedangkan Masa Skolastik terbagi menjadi Skolastik Awal, Skolastik Puncak, dan
Skolastik Akhir.[12]
1. Masa Patristik
Istilah patristic
berasal dari kata Latin pater atau
bapak, yang artinya para pemimpin gereja. Para pemimpin gereja ini dipilih dari
golongan atas dan atau golongan ahli pikir. Dari golongan ahli pikir inilah
menimbulkan sikap yang beragam pemikirannya. Mereka ada yang menolak filsafat
Yunani dan ada yang menerimanya. Bagi mereka yang menolak, alasannya karena
beranggapan bahwa sudah mempunyai sumber kebenaran yaitu firman Tuhan, tidak
dibenarkan apabila mencari sumber kebenaran yang lain seperti dari filsafat
Yunani. Bagi mereka yang menerimanya sebagai alasannya beranggapan bahwa
walaupun telah ada sumber kebenaran yaitu firman Tuhan, tetapi tidak ada
jeleknya menggunakan filsafat Yunani hanya diambil methodosnya saja (tata cara berfikir). Juga, walaupun filsafat
Yunani sebagai kebenaran manusia, tetapi
manusia juga sebagai ciptaan tuhan. Jadi, mereka menerima filsafat Yunani
diperbolehkan selama dalam hal-hal tertentu tidak bertentangan dengan agama.[13]
Akibatnya muncul upaya
untuk membela agama Kristen, yaitu para apologis (pembela iman Kristen) dengan
kesadarannya membela iman Kristen dari serangan filsafat Yunan.para pembela
iman Kristen tersebut adalah Justinus Martir, Klemens, Tertullianus,
Augustinus, dan Johanes Scotus Eriugena.
a.
Justinus Martir
Menurut pendapatnya,
agma Kristen bukan agama baru karena Kristen lebih tua dari filsafat Yunani,
dan Nabi Musa dianggap sebagai awal kedatangan Kristen. Padahal, Musa hidup
sebelum Socrates dan Plato. Jadi, agama Kristen lebih bermutu dibanding dengan
filsafat Yunani. Demikian pembelaan Justinus Martir.[14]
b.
Klemens ( 150 – 215 M)
Pokok-pokok pikirannya
adalah sebagai berikut: pertama, Memberikan batasan-batasan
terhadap ajaran Kristen untuk mempertahankan diri dari otoriter filsafat
Yunani. Kedua, Memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan menggunakan
filsafat Yunani.[15]
c.
Tertullianus ( 160 –
222 M)
Ia berpendapat, bahwa
wahyu Tuhan sudahlah cukup. Tidak ada hubungan antara teologi dengan filsafat,
tidak ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani (pusat
filsafat), tidak ada hubungan antara gereja akademi, tidak ada hubungan antara
Kristen dengan penemuan baru. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dibanding dengan
cahaya Kristen. Apa yang dikatan oleh para filosof Yunani tentang kebenaran
pada hakikatnya sebagai kutipan dari kitab suci. Akan tetapi karena kebodohan
para filosof, kebenaran kitab suci tersebut dihapuskan.
Akan tetapi
lama-kelamaan, ia akhirnya menerima juga filsafat Yunani sebagai cara berfikir
yang rasional.[16]
d.
Augustinus (354 – 430
M)
Ia telah diakui
keberhasilannya dalam membentuk filsafat Kristen yang berpengaruh besar dalam
filsafat abad pertengahan sehingga ia dijuluki sebagai guru skolastik yang
sejarti. Menurut pendapatnya, daya pemikiran manusia dan batasnya, kepastian
yang tidak ada batasnya, yang bersifat kekal abadi. Artinya, akal pikiran
manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kekayaan yang lebih tinggi. Ajarannya
lebih bersifat sebagai metode daripada suatu sistem sehingga ajarannya mampu
meresap sampai masa skolastik.[17]
e.
Johan Scotus Eriugena
(815 – 870 M)
Pemikiran filsafatinya
berdasarkan keyakinan Kristiani. Oleh karena itu segala penelitian dimulai dari
iman, sedang wahyu ilahi dipandang sebagai sumber bahan-bahan filsafatnya.
Menurut dia, akal bertugas mengungkapkan arti yang sebenarnya dari bahan-bahan
filsafatnya yang digalinya dari wahyu ilahi itu.
Umpamanya: di
dalam Kitab Suci terdapat arti yang
bermacam-macam dari suatu simbul. Hal ini bermaksud sepaya akal didorong
mencari arti yang benar.
2.
Masa Skolastik
Istilah
skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti
sekolah. Jadi, skolastik adalah aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad
pertengahan. Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik yaitu
sebagai berikut: pertama, adalah sifat yang mempunyai corak
semata-mata agama. Kedua, adalah filsafat yang mengabdi kepada
teologi filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai
berfikir, sifat ada, kejasmanian, kehormatan, dan baik buruk. Ketiga,
adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat. Keempat,
adalag filsafat nasrani karena dipengaruhi oleh ajaran gereja.[18]
Faktor skolastik ini dapat berkembang dan
tumbuh karena beberapa faktor diantaranya faktor religius dan faktor ilmu
pengetahuan.
a. Skolastik
Awal (800 – 1200 M)
Pada
abad ke-8 Masehi, kekuasaan dari Kerajaan Romawi berada dibawah Karel Agung
(742 – 824) dapat memberikan suasana ketenangan dalam bidang politik, kebudayaan,
dan ilmu pengetahuan, termasuk kehidupan manusia serta pemikiran filsafat yang
semuanya menampakkan mulai adanya kebangkitan. Kebangkitan inilah yang
merupakan kecermelangan abad pertengahan, dimana arah pemikiran berbeda sekali
dengan sebelumnya.[19]
1.
Anselmus (1033 – 1109 M)
Dapat dikatan ia adalah Skolastikus pertama dalam arti
sebenarnya. Gagasan dari tokoh ini adalah bahwa orang harus percaya dahulu
supaya mendapatkan pengertian yang benar akan kebenaran. Pandangan ini ternyata
menguasai pandangan orang pada abad - abad berikutnya.
2.
Peter Abaelardus (1079 – 1180 M)
Yang harus dipercaya adalah apa yang telah disetujui atau
dapat diterima oleh akal. Tentunya pendapat ini berbeda dengan Anselmus.
Abaelardus membenarkan alasan bahwa berfikir itu berada diluar iman (diluar
kepercayaan). Karena itu berfikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri.
b. Skolastik
Puncak (1200 – 1300 M)
Masa
ini merupakan kejayaan skolastik dan masa ini juga disebut masa berbunga.
Ditandai dengan munculnya Universitas-universitas dan ordo-ordo, yang secara
bersama-sama memajukan ilmu pengetahuan. Berikut ini beberapa faktor mengapa
masa skolastik mencapai pada puncaknya, yaitu: pertama, adanya
pengaruh dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina sejak abad ke-12 sehingga
sampai abad ke-13 telah tumbuh menjadi ilmu pengetahuan yang luas. Kedua,
Tahun 1200 didirikan Universitas Almamater di Prancis, Uniersitas ini merupakan
gabungan daru beberapa sekolah. Hal ini akan berpengaruh terhadap
kehidupan-kehidupan kerohanian dimana kebanyakan tokoh-tokohnya memegang peran
dibidang filsafat dan teologi, seperti Albertus de Grote dan Thomas Aquinas.[20]
1.
Albertus Magnus (1203 – 1280 M)
Ia mengantarkan ajaran Aristoteles di Eropa Barat, lalu
membuka keterangan yang baru bagi pemikiran Kristiani terhadap gagasan-gagasan dasar
filsafat Aristoteles. Lebih dari siapapun ia telah memperkenalkan Aristoteles
kepada dunia Barat. Terakhir ia diangkat sebagai uskup agung.
2.
Thomas Aquinas (1225 – 1274 M)
Menurut pendapatnya, semua kebenaran asalnya dari Tuhan.
Kebenaran diungkapkan dengan jalan yang berbeda-beda, sedangkan iman berjalan
diluar jangkauan pemikiran. Ia menghimbau agar orang-orang untuk mengetahui
hukum alamiah (pengetahuan) yang terungkap dalam kepercayaan. Tidak ada
kontradiksi antara pemikiran dan iman.
c. Skolastik
Akhir (1300 – 1450 M)
Masa ini ditandai dengan adanya rasa jemu
terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya sehingga memperlihatkan
stagnasi (kemandegan). Sebab orang-orang yang setia kepada pemikiran
yang membangun menampakkan gejala pembekuan. Timbulah dua kelompok pemikir
yaitu, dari aliran Thomisme.[21]
1. William Ockham (1285 – 1349 M)
Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya
dapat mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual. Konsep-konsep
atau kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan
tanpa kenyataan. Pemikiran yang demikian ini, dapat dilalui hanya lewat
intuisi, bukan lewat logika.
2. Nicolas Cusasus (1401 – 1464 M)
Menurut pendapatnya, terdapat
tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat indra, akal, dan intuisi. Dengan indra
kita akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang sifatnya
tidak sempurnya. Dengan akal kita akan mendapatkan bentuk-bentuk penelitian
yang abstrak berdasar pada sajian atau tangkapan indra dengan intuisi, kita
akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pemikiran Nicolas ini sebagai
upaya mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan yang dibuat kesuatu
sintesis yang lebih luas.
Bertrand Russell (1979 : 479)
menyatakan bahwa dalam sejarah, sebuah masa secara umum dapat dinyatakan
sebagai masa “Modern” dapat dilibat dari berbagai sisi adanya perubahan mental
yang menunjukkan perbedaan bila dibanding dengan masa pertengahan. Paling tidak
pebedaan itu tampak dalam dua hal yang sangat penting, yaitu pertama
berkurangnya cengkraman kekuasaan, dan kedua bertambah kuatnya otoritas ilmu
pengetahuan. Filsafat modern dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu :[22]
1. Rasionalisme,
Empirisme, dan Kritisisme.
Rasionalisme adalah paham yang
mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengtahuan, contohnya
orang yang memikirkan sesuatu hal dengan berdasarkan fakta yang ada . Empirisme
adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan
ada bukti empiris, contohnya orang yang benar-benar mengalami secara nyata suatu
kejadian tertentu, dan Kritisisme adalah menolak paham yang menyangkut
penerapan dan pengetahuan berdasarkan alasan-alasan, contohnya orang yang
mengalami sesuatu hal namun berdasarkan pemikiran juga.
2. Dialektika
dan Idealisme.
Dialektika adalah ilmu pengetahuan
tentang hukum yang paling umum yang mengatur perkembangan alam, masyarakat, dan
pemikiran, contohnya sebagaimana aturan-aturan dimasyarakat ataupun norma-norma.
Dan Idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh
individu yang bersangkutan dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, dan
kebiasaan, contohnya lebih kepada wahyu ataupun aturan dari tuhan.[23]
3. Fenomenologi
dan Eksistensialisme.
Fenomenologi adalah sebuah studi
dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena,
contohnya manusia mengalami berbagai fenomena mulai kelahiran sampai kepada
kematian. Dan Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat
pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan
secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar, contohnya orang yang
hanya memikirkan hal-hal sementara saja namun tidak mendalami hal tersebut
apakah baik atau buruk.[24]
Kesimpulan
Jadi, Periodisasi Filsafat mulai dari zaman
Yunani Kuno dan Klasik telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dari
pemikiran alam sampai kepada mansia itu sendiri, namun ketika memasuki Abad
pertengahan Filsafat mengalami kesulitan untuk berkembang diakibatkan
terbelenggu oleh Agama di masa Patristik dan Skolastik singkatnya mengalami
stagnasi, namun sekian lama peradaban akhirnya muncul Zaman Modern bahwa dapat
dilihat dari berbagai sisi adanya perubahan mental yang memunjukkan perbedaan
bila dibanding dengan masa pertengahan.
DAFTAR PUSTAKA
·
Achmadi, Asmoro. 2013. Filsafat
Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
·
Hamidah. 2014. Filsafat Umum.
Palembang: Noer Fikri Offset.
·
Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad
Saebani. 2008. Filsafat Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar