MAKALAH ILMU KALAM
SALAF DAN KHALAF SERTA
PERBANDINGANNYA
DISUSUN
OLEH:
1.
Amelia Agustina ( 1532100083 )
2.
Anggun Violita ( 1532100085)
3.
Citra Sari Risky ( 1532100095 )
DOSEN PEMBIMBING:
SRI
HIDAYATI M.PD
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS/JURUSAN
TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
TAHUN
AJARAN 2015/2016
DAFTAR ISI
BAB I
|
1
|
||||||||||||||||||
PENDAHULUAN
|
1
|
||||||||||||||||||
A. Latar Belakang
|
1
|
||||||||||||||||||
B. Rumusan Masalah
|
2
|
||||||||||||||||||
C. Tujuan Penulisan
|
2
|
||||||||||||||||||
BAB II
|
3
|
||||||||||||||||||
PEMBAHASAN
|
3
|
||||||||||||||||||
A. Pemikiran
Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah
|
3
|
||||||||||||||||||
1. Salaf
|
3
|
||||||||||||||||||
2. Khalaf
|
4
|
||||||||||||||||||
B. Perbedaan antara Salaf dan Khalaf
|
5
|
||||||||||||||||||
C. Nilai dari aliran Salaf dan Khalaf
|
6
|
||||||||||||||||||
BAB III
|
8
|
||||||||||||||||||
PENUTUP
|
8
|
||||||||||||||||||
A. Kesimpulan
|
8
|
||||||||||||||||||
DAFTAR PUSTAKA
|
10
|
||||||||||||||||||
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam adalah agama
yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh aspek
kehidupan manusia. Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci
Alquran, akan tetapi Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global.
Oleh karenanya interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami perbedaan oleh umat
Islam karena versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam yang
berbeda-beda.
Perbedaan
penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara
umum kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional.
Mutakalimin yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat
yang mengandung arti zhanni (teks
yang mengandung arti lain selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin
yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya, mereka terikat pada dogma yang
jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni,
dan mereka lebih mengutamakan akal.[1]
Dari sekian
beragam jenis mutakalimin, terdapat aliran Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum yang berpegang kepada sunnah dan kaum
mayoritas) [2], dan
di dalamnya terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah ideologi
(aqidah), mereka dikenal dengan istilah khalaf
dan salaf.[3] Terkait dengan masalah tersebut, dan
karena materi mata kuliah yang diberikan untuk menguraikan dalam bentuk
makalah, maka makalah ini diberikan judul: AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF
DAN KHALAF).
B.
Rumusan Masalah
Terkait dengan
judul makalah ini, maka pembahasan materi makalah ini dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf dan Khalaf)?
2. Bagaimana perbedaan antara Salaf dan Khalaf?
3. Apa nilai dari aliran Salaf dan Khalaf?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan dengan
perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuan dpenulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf dan khalaf).
2.
Perbedaan antara salaf dan khalaf.
3.
Nilai dari aliran salaf dan khalaf.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh
kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor
kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka
menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk
kepadanya lahir dan batin,[4]
dalam hal ini ada dua versi yaitu:
1.
Salaf
Banyak definisi yang
diberikan oleh para pakar mengenai salaf,
seperti menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf
artinya ulama terdahulu, karena salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang
terdiri atas muhaditsin dan yang
lainnya, sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf adalah tidak berpaham tasybih
(anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil
dalam menafsirkan ayat mutasyabihat,
sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang
diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah
yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta
mengagungkan-Nya.[5]
Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum
tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan dengan semua pihak,
serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang
terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.[6] Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap
tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut
merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf,
kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat
atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau
dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.[7]
Konsepsi aqidah salaf menetapkan semua sifat Allah
menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama Allah sesuai dengan yang
disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil atau interpretasi serta ta’thil
atau menganggap tidak ada makna dari sebagian atau semua sifat Allah, serta
tidak ada tasybih atau penyerupaan
dengan makhluk.[8]
2.
Khalaf
Kata khalaf umumnya digunakan untuk merujuk kepada para ulama pada abad
III Hijriah dengan karakteristik yang berlawanan dengan kaum salaf, di antaranya adalah tentang
interpretasi terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada
pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian Tuhan.[9]
Aliran khalaf terdiri dari dua versi,
yaitu sebagai berikut:[10]
a. Aliran yang lebih mengutamakan
akal, karena menurut aliran ini tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Tuhan, serta mampu menetapkan hukum
dengan bantuan akal, paham ini identik
dipegang oleh aliran Mu’tazilah.
b. Aliran yang menempatkan akal sebagai mitra
dari wahyu, menurut mereka akal dan wahyu
saling mendukung kecuali dalam
beberapa hal tertentu, karena dalam hal tertentu akal tidak cukup untuk memahami wahyu karena keterbatasannya, paham
ini identik dipegang oleh
Asy’ariyah.
Dalam istilah tauhid, aliran
Asy’ariyah dianggap sebagai golongan moderat dari aliran salaf dan Mu’tazilah, dan karena hal ini aliran Asy’ariyah
mempunyai banyak pengikut, disebabkan karena banyaknya pengikut, maka aliran
Asy’ariyah mayoritas disebut dengan Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah.[11]
Tasy Kubra Zadah menerangkan bahwa Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah muncul karena keberanian dari Abu Hasan al-Asy’ari
pada tahun 300 Hijriah.[12][9]
Menurut Harun Nasution, yang disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.[13]
B.
PERBANDINGAN ANTARA SALAF DAN KHALAF
1.
SALAF (IBN HAMBAL DAN IBN TAIMIYAH)
Menurut Thablawi Mahmud
Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk
generasi sahabat, tabi’, tabi tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para
pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya.
Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam. [14][1] Sedangkan
menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme).
[15][2] Sedangkan
Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai
sahabat, tabi’in, tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampak
penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[16][3] Ibn Taimiyyah
adalah seorang ulama besar penganut Imam Hambali yang ketat.
Karakteristik ulama salaf
atau salafiyah menurut Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:[17][4]
1.
Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2.
Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang
agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan
As-Sunah.
3.
Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang Dzat-Nya) dan
tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4.
Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lainnya, dan tidak
berupaya untuk menakwilkannya.
Adapula
tokoh-tokoh yang dikategorikan oleh Ibrahim Madzkur yaitu:
1.
Abdullah bin Abbas (68 H)
2.
Abdullah bin Umar (74 H)
3.
Umar bin Abd Al-Aziz (101 H)
4.
Az-Zuhri (124 H)
5.
Ja’far Ash-Shadiq (148 H)
6.
Para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal)
Menurut Harun Nasution,
secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu
ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam
Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara
sporadis.[18][5] Di
Indonesaia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh
gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan
lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi
teologinya sudah dipengaruhui oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah
logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama
salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi
(ketuhanan).
Dibawah ini adalah ulama
salaf dan pemikirannya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam sebagai
berikut:
a)
Imam Ahmad Bin Hambali
·
Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad
tahun 164 H/780M, dan meninggal 241 H/855M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah
karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia dikenal dengan nama
Imam Hanbali karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti
Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan dari
Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin
Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah
bin Sya’bah bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam
keluarga nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi
Muhammad SAW.
Ibn Hanbal dikenal sebagai
seorang zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar
ketika malam hari.
Diantara murid-murid Ibn
Hanbal adalah Ibn taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu
Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-dunia, Abu Bakar As-Asram,
Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang
disebutkan adalah putra Ibn Hanbal.[19][6]
·
Pemikiran Teori Ibn Hanbal
1.
Tentang ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat
al-qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual)
daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat
Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. [20][7]
2.
Tentang status Al-Qur’an
Salah
satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn hanbal, yang kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali adalah tentang status al-qur’an, apakah diciptakan (makhluk)
yang karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim?
Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah
kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalah faham Mu’tazilah,
yakni al-quran tidak bersifat qadim tetapi baru dan diciptakan. Faham
adanya qadim di samping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan
menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan
faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah
oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status al-qur’an dapat dilihat
dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak: [21][8]
Ishaq : Apa pendapatmu tentang
Al-Qur’an?
Ibn
Hanbal : Sabda Tuhan
Ishaq : Apakah ia diciptakan?
Ibn
Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tidak
mengatakan lebih dari itu.
Ishaq Apa
arti ayat: Maha Mendengar (Sam’i) dan Maha Melihat (Basir)?
(Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang faham anthropomorphisme.)
Ibn
Hanbal : Tuhan menyifatkan diri-Nya
(dengan kata-kata itu).
Ishaq : Apa artinya?
Ibn
Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah
sebagaimana Ia sifatkan pada diri-Nya.
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog
diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status al-qur’an. Ia hanya
mengatakan bahwa al-qur’an tidak dociptakan. Hal ini sejalan pola pikirnya yang
menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan
Rosul-Nya.
b.
Ibn Taimiyah
Riwayat
Singkat Hidup tentang Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah
adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran
pada hari senin tanggal 10 Robiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara
pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah
menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum
muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin
Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syekh, Khatib dan Hakim di
kotanya.
Masa hidup Ibn Taimiyah
berbarengan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disintegrasi,
dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima
tahun setelah baghdad dihancurkan pasuka Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu,
dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia
harus wafat di dalam penjara.
Pemikiran teologi Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran Ibn
Taimiyah, seperti dikatakan Ibrahim Madkur adalah sebagai berikut: [22][9]
a.
Sangat berpegang teguh pada nas (teks al-qur’an dan al-hadis)
b.
Tidak memberi ruang gerak yang bebas kepada akal.
c.
Berpendapat bahwa al-qur’an mengandung semua ilmu agama.
d.
Di dalam islam yang diteladeni hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan
tabi’ tabi’in)
e.
Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam
Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalam pasti
qadim pula.
Pandangan ibn taimiyah
tentang sifat-sifat allah sebagai berikut:
a. Percaya
sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya
menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1.
Sifat salbiyah
2.
Sifat ma’ani
3.
Sifat khabariyah
4.
Sifat dhafiah
b.
Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya sebutkan.
Seperti;
Al-awal,
al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-qayyum, as-sami, dan
al-basir.
c.
Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1.
Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz (min ghair
tahrif)
2.
Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghair ta’thil)
3.
Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
4.
Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi
dengan indera (min ghair takyi at-takyif)
5.
Tidak merupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat
makhluk-Nya (min ghair tamsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa
tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak
ada.
Berdasarkan
alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat.
Menurutnya, ayat dan hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan
diartikan dan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibn
Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia,
yaitu:
1.
Allah pencipta segala sesuatu
2.
Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara
sempurna, sehingga manusia bertnggung jawab atas perbuatannya.
3.
Allah meridhoi perbuatan baik dan tidak menridhoi perbuatan buruk. [23][10]
Dikatakn
oleh Watt bahwa pemikiran ibn taimiyah mencapai klimaks dalam sosiologi politik
yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terketak pada upayanya
membedakan manusia dengan Tuhannya yang mutlak. Oleh sebab itu, masalah Tuhan
katanya tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode
filsafat maupun teologi.
2.
KHALAF: AHLUSSUNAH (AL- ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
Kata
khalaf bisa digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H
dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf,
diantaranya tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan
makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.[24][11]
Adapun ungkapan Ahlisunnah
(sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian,
yaitu secara umum dan secara khusus. [25][12] sunni dalam
pengertian secara umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah
–sebagai juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan sunni.[26][13] Sunni dalam
pengertian secara khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah
dan merupakan lawan Mu’tazilah.[27][14]
Ahlussunah banyak dipakai
setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran
yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.[28][15] Harun nasution
menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-
Hasan Al- Asy’ari sekitar tahun 300 H. [29][16]
a.
Al-Asy’ary
Riwayat Singkat Hidup tentang Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari
adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.[30][17] Menurut beberapa
riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia
lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota baghdad dan wafat disana pada tahun 324
H/935 M.[31][18]
Menurut Ibn Asakir, ayah
Al-Asy’ari adalah seorang faham ahlisunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika
Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum beliau wafat, beliau berpesan kepada seorang
sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik anaknya sampai
dia faham dan berguna bagi penduduk sekitarnya.[32][19]
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asya’ari
a.
Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
b.
Kebebasan dalam Berkehendak (free will)
c.
Akal dan Wahyu dan Kreteria Baik dan Buruk
d.
Qadimnya Al-Qur’an
e.
Melihat Allah
f.
Keadilan Kedudukan Orang Berdosa
b.
Al-Maturidi
·
Riwayat Singkat Hidup tentang Al-Maturidi
Abu
manshur al-maturidi dilahirkan di maturid, sebuah kota kecil di daerah
samarkand, wilayah trmsoxiana di asia tengah, daerah yang sekarang disebut
uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya
diperrkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.[33][20]
Karir
pendidikan Al-mat#uridi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi
daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi
faham-faham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang tidak
dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam dalam bentuk karya tulis.
Diantaranya adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Ushul Fi Ushul Ad-Din
dan lain sebagainya.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a.
Akal dan Wahyu
b.
Perbuatan Manusia
c.
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d.
Sifat Tuhan
e.
Melihat Tuhan
f.
Kalam Tuhan
g.
Perbuatan Manusia
h.
Pengutusan Rasul
i.
Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan
di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
versi salaf adalah mempertahankan
aqidah secara murni, sedangkan
versi khalaf menempatkan akal dan
wahyu sebagai mitra, karena akal
dipergunakan untuk menjelaskan wahyu meski dalam hal tertentu akal tidak dapat secara menyeluruh menjelaskan wahyu,
akan tetapi tidak semua wahyu tidak bisa dijelaskan.
2. Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
versi salaf adalah mempertahankan
aqidah secara murni dan tidak
mau menginterpretasikan ayat-ayat Alquran atau Hadis yang mutasyabihat,
sedangkan versi khalaf membolehkan
untuk menafsirkan ayat atau Hadis tersebut.
3. Nilai yang dapat diambil adalah tidak
dapat juga untuk menilai sesuatu sebagai bid’ah,
dan memang seharusnya untuk
mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat disimpulkan pada hakikatnya antara aliran khalaf dan salaf adalah
perbedaan ijtihad, bukan
permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti
perbedaan pemahaman dalam permasalahan hukum
Islam.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada semua orang yang berminat menuntut subtansi Islam lebih
mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan pedoman dalam segala hal yang
diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan, sehingga motivasi
berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan atas kekurangan yang ditemukan
dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya dengan tanpa
menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan untuk membaca makalah sederhana
yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua orang.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Anwar, Rosihon, dan Abdul
Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung:
Pustaka Setia, 2003.
·
Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam
bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
·
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978.
·
Qaradhawi, Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif
Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl
fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.
·
Qathani, Said, dan Nashir bin
Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam
Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003.
·
Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara
Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah
agama yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh
aspek kehidupan manusia. Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci
Alquran, akan tetapi Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat
global. Oleh karenanya interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami perbedaan
oleh umat Islam karena versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat
Islam yang berbeda-beda.
Perbedaan
penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara
umum kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional.
Mutakalimin yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat
yang mengandung arti zhanni (teks
yang mengandung arti lain selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin
yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya, mereka terikat pada dogma yang
jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni,
dan mereka lebih mengutamakan akal.[34]
Dari
sekian beragam jenis mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum yang berpegang kepada sunnah dan
kaum mayoritas) [35],
dan di dalamnya terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah
ideologi (aqidah), mereka dikenal dengan istilah khalaf dan salaf.[36]
Terkait dengan masalah tersebut,
dan karena materi mata kuliah yang diberikan untuk menguraikan dalam bentuk
makalah, maka makalah ini diberikan judul: AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF
DAN KHALAF).
B.
Rumusan Masalah
Terkait
dengan judul makalah ini, maka pembahasan materi makalah ini dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf dan Khalaf)?
2. Bagaimana perbedaan antara Salaf dan Khalaf?
3. Apa nilai dari aliran Salaf dan Khalaf?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
dengan perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf dan khalaf).
2. Perbedaan antara salaf dan khalaf.
3. Nilai dari aliran salaf dan khalaf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti
jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka
yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat,
tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti
itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka
untuk merujuk kepadanya lahir dan batin,[37] dalam hal
ini ada dua versi yaitu:
1.
Salaf
Banyak
definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai salaf, seperti menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada
abad ke-4 yang terdiri atas muhaditsin
dan yang lainnya, sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf adalah tidak berpaham tasybih (anthropomorphisme) serta tidak
menggunakan ta’wil dalam menafsirkan
ayat mutasyabihat, sedangkan Mahmud
al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang diketahui sikap
mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai
segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta mengagungkan-Nya.[38]
Konsep
aqidah salaf atau disebut dengan kaum
tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan dengan semua pihak,
serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang
terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.[39] Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap
tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut
merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf,
kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat
atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau
dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.[40]
Konsepsi
aqidah salaf menetapkan semua sifat
Allah menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama Allah sesuai dengan yang
disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil atau interpretasi serta ta’thil
atau menganggap tidak ada makna dari sebagian atau semua sifat Allah, serta
tidak ada tasybih atau penyerupaan
dengan makhluk.[41]
2.
Khalaf
Kata khalaf umumnya digunakan untuk merujuk
kepada para ulama pada abad III Hijriah dengan karakteristik yang berlawanan
dengan kaum salaf, di antaranya
adalah tentang interpretasi terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan
makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian Tuhan.[42]
Aliran khalaf terdiri dari dua versi,
yaitu sebagai berikut:[43]
a.
Aliran
yang lebih mengutamakan akal, karena menurut aliran ini tanpa wahyu pun manusia mampu mengenal Tuhan, serta
mampu menetapkan hukum dengan bantuan akal, paham
ini identik dipegang oleh aliran Mu’tazilah.
b.
Aliran
yang menempatkan akal sebagai mitra dari wahyu, menurut mereka akal dan wahyu saling
mendukung kecuali dalam beberapa hal tertentu, karena dalam hal tertentu akal tidak cukup untuk memahami wahyu karena
keterbatasannya, paham ini identik dipegang
oleh Asy’ariyah.
Dalam
istilah tauhid, aliran Asy’ariyah dianggap sebagai golongan moderat dari aliran
salaf dan Mu’tazilah, dan karena hal
ini aliran Asy’ariyah mempunyai banyak pengikut, disebabkan karena banyaknya
pengikut, maka aliran Asy’ariyah mayoritas disebut dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.[44] Tasy
Kubra Zadah menerangkan bahwa Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah muncul karena keberanian dari Abu Hasan al-Asy’ari
pada tahun 300 Hijriah.[45][9]
Menurut Harun Nasution, yang disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.[46]
B.
PERBANDINGAN ANTARA SALAF DAN KHALAF
1. SALAF (IBN HAMBAL DAN IBN
TAIMIYAH)
Menurut
Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang
dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi tabi’in, para pemuka
abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para
muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada
tiga abad pertama islam. [47][1] Sedangkan
menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme).
[48][2] Sedangkan
Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai
sahabat, tabi’in, tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampak
penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[49][3] Ibn Taimiyyah
adalah seorang ulama besar penganut Imam Hambali yang ketat.
Karakteristik
ulama salaf atau salafiyah menurut Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:[50][4]
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan
persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari
penjelasan dari Al-Kitab dan As-Sunah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut
(tentang Dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna
lainnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Adapula
tokoh-tokoh yang dikategorikan oleh Ibrahim Madzkur yaitu:
1. Abdullah bin Abbas (68 H)
2. Abdullah bin Umar (74 H)
3. Umar bin Abd Al-Aziz (101 H)
4. Az-Zuhri (124 H)
5. Ja’far Ash-Shadiq
(148 H)
6. Para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Ahmad bin Hanbal)
Menurut
Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin
Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh
Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara
sporadis.[51][5] Di
Indonesaia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh
gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan
lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi
teologinya sudah dipengaruhui oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika.
Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf,
mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi
(ketuhanan).
Dibawah
ini adalah ulama salaf dan pemikirannya yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan kalam sebagai berikut:
a) Imam Ahmad Bin Hambali
· Riwayat
Singkat Hidup tentang Ibn Hanbal
Ia
dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780M, dan meninggal 241 H/855M. Ia sering
dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia
dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya
bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur
Asy-Syaibani, bangsawan dari Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin
Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin
Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’bah bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi
Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan
nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ibn
Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan
hanya tidur sebentar ketika malam hari.
Diantara
murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-dunia, Abu
Bakar As-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua
orang yang disebutkan adalah putra Ibn Hanbal.[52][6]
· Pemikiran
Teori Ibn Hanbal
1. Tentang ayat-ayat
mutasyabihat
Dalam
memahami ayat-ayat al-qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi
(tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan
sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. [53][7]
2. Tentang status Al-Qur’an
Salah
satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn hanbal, yang kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali adalah tentang status al-qur’an, apakah diciptakan (makhluk)
yang karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim?
Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah
kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalah faham Mu’tazilah,
yakni al-quran tidak bersifat qadim tetapi baru dan diciptakan. Faham
adanya qadim di samping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan
menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan
faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah
oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status al-qur’an dapat dilihat
dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak: [54][8]
Ishaq : Apa pendapatmu tentang
Al-Qur’an?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan
Ishaq : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih
dari itu.
Ishaq Apa arti ayat: Maha Mendengar (Sam’i) dan
Maha Melihat (Basir)? (Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang faham anthropomorphisme.)
Ibn Hanbal : Tuhan menyifatkan diri-Nya (dengan
kata-kata itu).
Ishaq : Apa artinya?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia
sifatkan pada diri-Nya.
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog
diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status al-qur’an. Ia hanya
mengatakan bahwa al-qur’an tidak dociptakan. Hal ini sejalan pola pikirnya yang
menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan
Rosul-Nya.
b. Ibn Taimiyah
Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Taimiyah
Nama
lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah.
Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Robiul Awwal tahun 661 H dan
meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H.
Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan
Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad
Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syekh, Khatib dan
Hakim di kotanya.
Masa
hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami
disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya
terjadi lima tahun setelah baghdad dihancurkan pasuka Mongol, Hulagu Khan. Oleh
sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan,
bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
Pemikiran teologi Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran
Ibn Taimiyah, seperti dikatakan Ibrahim Madkur adalah sebagai berikut: [55][9]
a. Sangat berpegang
teguh pada nas (teks al-qur’an dan al-hadis)
b. Tidak memberi ruang gerak
yang bebas kepada akal.
c. Berpendapat bahwa
al-qur’an mengandung semua ilmu agama.
d. Di dalam islam yang
diteladeni hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in)
e. Allah memiliki
sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibn
Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah
itu qadim, kalam pasti qadim pula.
Pandangan
ibn taimiyah tentang sifat-sifat allah sebagai berikut:
a.
Percaya
sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya
menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1. Sifat salbiyah
2. Sifat ma’ani
3. Sifat khabariyah
4. Sifat dhafiah
b. Percaya sepenuhnya terhadap
nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya sebutkan. Seperti;
Al-awal, al-akhir,
azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-qayyum, as-sami, dan al-basir.
c. Menerima
sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1. Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki
lafadz (min ghair tahrif)
2. Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghair ta’thil)
3. Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
4. Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran
atau hati, apalagi dengan indera (min ghair takyi at-takyif)
5. Tidak merupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan
sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamsil rabb al-alamin). Hal ini
disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-nya, bahkan yang
menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan
diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat.
Menurutnya, ayat dan hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan
diartikan dan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibn Taimiyah
mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu:
1. Allah pencipta segala sesuatu
2. Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan
serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertnggung jawab atas
perbuatannya.
Dikatakn oleh Watt
bahwa pemikiran ibn taimiyah mencapai klimaks dalam sosiologi politik yang
mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terketak pada upayanya membedakan
manusia dengan Tuhannya yang mutlak. Oleh sebab itu, masalah Tuhan katanya
tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat
maupun teologi.
2. KHALAF: AHLUSSUNAH (AL-
ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
Kata khalaf bisa
digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan
karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf,
diantaranya tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan
makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.[57][11]
Adapun
ungkapan Ahlisunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi
dua pengertian, yaitu secara umum dan secara khusus. [58][12] sunni dalam
pengertian secara umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah
–sebagai juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan sunni.[59][13] Sunni dalam
pengertian secara khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah
dan merupakan lawan Mu’tazilah.[60][14]
Ahlussunah
banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah,
dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.[61][15] Harun nasution
menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-
Hasan Al- Asy’ari sekitar tahun 300 H. [62][16]
a. Al-Asy’ary
Riwayat Singkat
Hidup tentang Al-Asy’ari
Nama
lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin
Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.[63][17] Menurut
beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika
berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota baghdad dan wafat disana pada
tahun 324 H/935 M.[64][18]
Menurut
Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang faham ahlisunnah dan ahli hadis. Ia
wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum beliau wafat, beliau berpesan
kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik
anaknya sampai dia faham dan berguna bagi penduduk sekitarnya.[65][19]
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asya’ari
a. Tuhan dan
Sifat-Sifat-Nya
b. Kebebasan dalam Berkehendak
(free will)
c. Akal dan Wahyu dan
Kreteria Baik dan Buruk
d. Qadimnya Al-Qur’an
e. Melihat Allah
f. Keadilan Kedudukan
Orang Berdosa
b. Al-Maturidi
· Riwayat
Singkat Hidup tentang Al-Maturidi
Abu manshur
al-maturidi dilahirkan di maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand,
wilayah trmsoxiana di asia tengah, daerah yang sekarang disebut uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperrkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.[66][20]
Karir pendidikan
Al-mat#uridi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada
fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham
teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang tidak dipandangnya
tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam dalam bentuk karya tulis.
Diantaranya adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Ushul Fi Ushul Ad-Din
dan lain sebagainya.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a. Akal dan Wahyu
b. Perbuatan Manusia
c. Kekuasaan dan
Kehendak Mutlak Tuhan
d. Sifat Tuhan
e. Melihat Tuhan
f. Kalam Tuhan
g. Perbuatan Manusia
h. Pengutusan Rasul
i. Pelaku Dosa Besar
(Murtakib Al-Kabir)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan
di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemikiran Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf
adalah mempertahankan aqidah secara
murni, sedangkan versi khalaf
menempatkan akal dan wahyu sebagai mitra, karena akal dipergunakan untuk menjelaskan wahyu meski dalam hal
tertentu akal tidak dapat secara
menyeluruh menjelaskan wahyu, akan tetapi tidak semua wahyu tidak bisa dijelaskan.
2. Pemikiran
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf
adalah mempertahankan aqidah secara
murni dan tidak mau menginterpretasikan ayat-ayat Alquran atau Hadis yang mutasyabihat,
sedangkan versi khalaf membolehkan
untuk menafsirkan ayat atau Hadis tersebut.
3. Nilai yang
dapat diambil adalah tidak dapat juga untuk menilai sesuatu sebagai bid’ah, dan
memang seharusnya untuk mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat disimpulkan pada hakikatnya antara aliran khalaf dan salaf adalah perbedaan ijtihad, bukan
permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti
perbedaan pemahaman dalam permasalahan hukum
Islam.
B.
Saran
Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang yang berminat menuntut
subtansi Islam lebih mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan pedoman
dalam segala hal yang diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan,
sehingga motivasi berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan atas
kekurangan yang ditemukan dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf yang
sebesar-besarnya dengan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan
untuk membaca makalah sederhana yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua
orang.
DAFTAR PUSTAKA
·
Anwar,
Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,
Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
·
Dahlan,
Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan
Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta,
1987.
·
Nasution,
Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978.
·
Qaradhawi,
Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent.
Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl
fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.
·
Qathani,
Said, dan Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi
dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003.
·
Syihab,
Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf
dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
[1]Rosihon Anwar dan Abdul
Razak, Ilmu Kalam, Cetakan II,
Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 32.
[2]Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam
bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987, h. 94.
[3]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan
Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, h. 7.
[4]Said al-Qathani dan Nashir
bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan
Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003, h. 13.
[5]Rosihon Anwar dan Abdul
Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung:
Pustaka Setia, 2003, h. 109.
6Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan
Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, h. 26.
[7]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif
Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl
fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar,2006, h. 9.
[8]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 29.
[9]Rosihon Anwar dan Abdul
Rozak, Ilmu Kalam…, h. 119.
[10]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 36.
[11]Ibid., h. 36-37.
[12]Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press,
1978, h. 64.
[13]Ibid., h. 65.
[14][1]
Thablawy Mahmud Saad, At-Tashawwuffi Turasts Ibn Taimiyah. Al-Hai
Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-kitab, Mesir. 1984. Hal. 11-38.
[17][4]
Ibrahim Madkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah: Manhaj wa Tathbiquh, jilid II. Dar
Al-Maarif. Mesir. 1947. Hal, 30.
[18][5] Harun Nasution dalam kuliah-kuliahnya dalam Mata Kuliyah “ Pemikiran
dalam Islam,” di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1996:
baca juga Hafidz Dasuki, Ensiklopedia Islam. Jilid. V. Cet. I. Ichtiar Baru Van
Hoeve. Jakarta. 1993, hal. 160.
[21][8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa
Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 62-63
[25][12] Jalal Muhammad Musa, nas’ah al-asya’irah wa Tathawwuruha, Dar Al-Kitab
Al-Lubhani, Beirut, 1975, hlm. 15.
[28][15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa
Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 64
[34]Rosihon Anwar dan Abdul
Razak, Ilmu Kalam, Cetakan II,
Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 32.
[35]Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam
bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987, h. 94.
[36]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan
Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, h. 7.
[37]Said al-Qathani dan Nashir
bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan
Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003, h. 13.
[38]Rosihon Anwar dan Abdul
Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung:
Pustaka Setia, 2003, h. 109.
6Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan
Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, h. 26.
[40]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif
Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl
fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar,2006, h. 9.
[41]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 29.
[42]Rosihon Anwar dan Abdul
Rozak, Ilmu Kalam…, h. 119.
[43]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 36.
[44]Ibid., h. 36-37.
[45]Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press,
1978, h. 64.
[46]Ibid., h. 65.
[47][1]
Thablawy Mahmud Saad, At-Tashawwuffi Turasts Ibn Taimiyah. Al-Hai
Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-kitab, Mesir. 1984. Hal. 11-38.
[50][4]
Ibrahim Madkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah: Manhaj wa Tathbiquh, jilid II. Dar
Al-Maarif. Mesir. 1947. Hal, 30.
[51][5] Harun Nasution dalam kuliah-kuliahnya dalam Mata Kuliyah “ Pemikiran
dalam Islam,” di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1996:
baca juga Hafidz Dasuki, Ensiklopedia Islam. Jilid. V. Cet. I. Ichtiar Baru Van
Hoeve. Jakarta. 1993, hal. 160.
[54][8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa
Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 62-63
[58][12] Jalal Muhammad Musa, nas’ah al-asya’irah wa Tathawwuruha, Dar Al-Kitab
Al-Lubhani, Beirut, 1975, hlm. 15.
[61][15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa
Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar