Minggu, 03 Januari 2016

makalah (Ilm Klm) pemikiran kalam salaf dan khalaf

MAKALAH ILMU KALAM
SALAF DAN KHALAF SERTA PERBANDINGANNYA

DISUSUN OLEH:
1.    Amelia Agustina ( 1532100083 )
2.    Anggun Violita ( 1532100085)
3.    Citra Sari Risky ( 1532100095 )


DOSEN PEMBIMBING:
SRI HIDAYATI M.PD

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS/JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2015/2016














DAFTAR ISI
BAB I

1

PENDAHULUAN

1


A. Latar Belakang

1


B. Rumusan Masalah

2


C. Tujuan Penulisan

2

BAB II

3

PEMBAHASAN

3

 A. Pemikiran Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah

3


1. Salaf

3


2. Khalaf

4


B. Perbedaan antara Salaf dan Khalaf

5


C. Nilai dari aliran Salaf dan Khalaf

6

BAB III

8

PENUTUP

8

A. Kesimpulan
8

DAFTAR PUSTAKA

 10




BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh aspek kehidupan manusia. Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci Alquran, akan tetapi Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global. Oleh karenanya interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami perbedaan oleh umat Islam karena versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam yang berbeda-beda.
Perbedaan penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara umum kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional. Mutakalimin yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang mengandung arti lain selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya, mereka terikat pada dogma yang jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni, dan mereka lebih mengutamakan akal.[1]
Dari sekian beragam jenis mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum yang berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) [2], dan di dalamnya terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah ideologi (aqidah), mereka dikenal dengan istilah khalaf dan salaf.[3]  Terkait dengan masalah tersebut, dan karena materi mata kuliah yang diberikan untuk menguraikan dalam bentuk makalah, maka makalah ini diberikan judul: AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF DAN KHALAF).
B.     Rumusan Masalah
Terkait dengan judul makalah ini, maka pembahasan materi makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf dan Khalaf)?
2.      Bagaimana perbedaan antara Salaf dan Khalaf?
3.      Apa nilai dari aliran Salaf dan Khalaf?
C.    Tujuan  Penulisan
Berdasarkan dengan perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuan dpenulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf dan khalaf).
2.      Perbedaan antara salaf dan khalaf.
3.      Nilai dari aliran salaf dan khalaf.



 


























BAB II
PEMBAHASAN



A.    Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya lahir dan batin,[4] dalam hal ini ada dua versi yaitu:
1.      Salaf
Banyak definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai salaf, seperti menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang terdiri atas muhaditsin dan yang lainnya, sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf adalah tidak berpaham tasybih (anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil dalam menafsirkan ayat mutasyabihat, sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta mengagungkan-Nya.[5]
Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.[6]  Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.[7]
Konsepsi aqidah salaf menetapkan semua sifat Allah menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama Allah sesuai dengan yang disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil atau interpretasi serta ta’thil atau menganggap tidak ada makna dari sebagian atau semua sifat Allah, serta tidak ada tasybih atau penyerupaan dengan makhluk.[8]
2.      Khalaf
Kata khalaf umumnya digunakan untuk merujuk kepada para ulama pada abad III Hijriah dengan karakteristik yang berlawanan dengan kaum salaf, di antaranya adalah tentang interpretasi terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian Tuhan.[9] Aliran khalaf terdiri dari dua versi, yaitu sebagai berikut:[10]
a.           Aliran yang lebih mengutamakan akal, karena menurut aliran ini tanpa wahyu pun            manusia mampu mengenal Tuhan, serta mampu menetapkan hukum dengan bantuan akal,    paham ini identik dipegang oleh aliran Mu’tazilah.
b.         Aliran yang menempatkan akal sebagai mitra dari wahyu, menurut mereka akal dan          wahyu             saling mendukung kecuali dalam beberapa hal tertentu, karena dalam hal tertentu   akal tidak cukup untuk memahami wahyu karena keterbatasannya, paham ini identik           dipegang oleh Asy’ariyah.
Dalam istilah tauhid, aliran Asy’ariyah dianggap sebagai golongan moderat dari aliran salaf dan Mu’tazilah, dan karena hal ini aliran Asy’ariyah mempunyai banyak pengikut, disebabkan karena banyaknya pengikut, maka aliran Asy’ariyah mayoritas disebut dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.[11] Tasy Kubra Zadah menerangkan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah muncul karena keberanian dari Abu Hasan al-Asy’ari pada tahun 300 Hijriah.[12][9] Menurut Harun Nasution, yang disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.[13]
B. PERBANDINGAN ANTARA SALAF DAN KHALAF

1.    SALAF (IBN HAMBAL DAN IBN TAIMIYAH)
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam. [14][1] Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme). [15][2] Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampak penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[16][3] Ibn Taimiyyah adalah seorang ulama besar penganut Imam Hambali yang ketat.
Karakteristik ulama salaf atau salafiyah menurut Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:[17][4]
1.    Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2.    Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan As-Sunah.
3.    Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang Dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4.    Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lainnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Adapula tokoh-tokoh yang dikategorikan oleh Ibrahim Madzkur yaitu:
1.    Abdullah bin Abbas (68 H)
2.    Abdullah bin Umar (74 H)
3.    Umar bin Abd Al-Aziz (101 H)
4.    Az-Zuhri (124 H)
5.    Ja’far  Ash-Shadiq (148 H)
6.    Para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal)
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara sporadis.[18][5] Di Indonesaia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhui oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dibawah ini adalah ulama salaf dan pemikirannya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam sebagai berikut:
a)      Imam Ahmad Bin Hambali
·      Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780M, dan meninggal 241 H/855M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan dari Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’bah bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar ketika malam hari.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-dunia, Abu Bakar As-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang disebutkan adalah putra Ibn Hanbal.[19][6]
·      Pemikiran Teori Ibn Hanbal
1.      Tentang ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat al-qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. [20][7]
2.      Tentang status Al-Qur’an
            Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status al-qur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalah faham Mu’tazilah, yakni al-quran tidak bersifat qadim tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim di samping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
            Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status al-qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak: [21][8]
Ishaq               : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibn Hanbal      : Sabda Tuhan
Ishaq               : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal      : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
                     Ishaq   Apa arti ayat: Maha Mendengar (Sam’i) dan Maha Melihat (Basir)? (Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang faham anthropomorphisme.)
Ibn Hanbal      : Tuhan menyifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu).
Ishaq               : Apa artinya?
Ibn Hanbal      : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan pada diri-Nya.
            Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status al-qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa al-qur’an tidak dociptakan. Hal ini sejalan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rosul-Nya.
b.      Ibn Taimiyah
       Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Robiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syekh, Khatib dan Hakim di kotanya.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah baghdad dihancurkan pasuka Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
       Pemikiran teologi Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, seperti dikatakan Ibrahim Madkur adalah sebagai berikut: [22][9]
a.       Sangat berpegang teguh pada nas (teks al-qur’an dan al-hadis)
b.      Tidak memberi ruang gerak yang bebas kepada akal.
c.       Berpendapat bahwa al-qur’an mengandung semua ilmu agama.
d.      Di dalam islam yang diteladeni hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.

Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalam pasti qadim pula.
Pandangan ibn taimiyah tentang sifat-sifat allah sebagai berikut:
 a.       Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1.      Sifat salbiyah
2.      Sifat ma’ani
3.      Sifat khabariyah
4.      Sifat dhafiah
b.      Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya sebutkan. Seperti;
Al-awal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-qayyum, as-sami, dan al-basir.
c.       Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1.    Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz (min ghair tahrif)
2.    Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghair ta’thil)
3.    Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
4.    Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghair takyi at-takyif)
5.    Tidak merupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat dan hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan dan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibn Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu:
1.   Allah pencipta segala sesuatu
2.   Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertnggung jawab atas perbuatannya.
3.   Allah meridhoi perbuatan baik dan tidak menridhoi perbuatan buruk. [23][10]
Dikatakn oleh Watt bahwa pemikiran ibn taimiyah mencapai klimaks dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terketak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhannya yang mutlak. Oleh sebab itu, masalah Tuhan katanya tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi.
2.     KHALAF: AHLUSSUNAH (AL- ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
Kata khalaf bisa digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.[24][11]
Adapun ungkapan Ahlisunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu secara umum dan secara khusus. [25][12] sunni dalam pengertian secara umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah –sebagai juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan sunni.[26][13] Sunni dalam pengertian secara khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[27][14]
Ahlussunah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.[28][15] Harun nasution menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al- Hasan Al- Asy’ari sekitar tahun 300 H. [29][16]
a.       Al-Asy’ary
 Riwayat Singkat Hidup tentang Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.[30][17] Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.[31][18]
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang faham ahlisunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum beliau wafat, beliau berpesan kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik anaknya sampai dia faham dan berguna bagi penduduk sekitarnya.[32][19]
         Doktrin-doktrin Teologi Al-Asya’ari
a.       Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
b.      Kebebasan dalam Berkehendak (free will)
c.       Akal dan Wahyu dan Kreteria Baik dan Buruk
d.      Qadimnya Al-Qur’an
e.       Melihat Allah
f.       Keadilan Kedudukan Orang Berdosa
b.      Al-Maturidi
·      Riwayat Singkat Hidup tentang Al-Maturidi
Abu manshur al-maturidi dilahirkan di maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand, wilayah trmsoxiana di asia tengah, daerah yang sekarang disebut uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperrkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.[33][20]
Karir pendidikan Al-mat#uridi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang tidak dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam dalam bentuk karya tulis. Diantaranya adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Ushul Fi Ushul Ad-Din dan lain sebagainya.
       Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a.       Akal dan Wahyu
b.      Perbuatan Manusia
c.       Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d.      Sifat Tuhan
e.       Melihat Tuhan
f.       Kalam Tuhan
g.      Perbuatan Manusia
h.      Pengutusan Rasul
i.        Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
























BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.         Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah           secara murni, sedangkan versi khalaf menempatkan akal dan wahyu sebagai mitra, karena            akal dipergunakan untuk menjelaskan wahyu meski dalam hal tertentu akal tidak dapat          secara menyeluruh menjelaskan wahyu, akan tetapi tidak semua wahyu tidak bisa   dijelaskan.
2.         Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah            secara murni dan tidak mau menginterpretasikan ayat-ayat Alquran atau Hadis yang mutasyabihat, sedangkan versi khalaf membolehkan untuk menafsirkan ayat atau Hadis     tersebut.
3.         Nilai yang dapat diambil adalah tidak dapat juga untuk menilai sesuatu sebagai bid’ah,      dan memang seharusnya untuk mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat     disimpulkan pada hakikatnya antara aliran khalaf dan salaf adalah perbedaan ijtihad,        bukan permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti perbedaan pemahaman dalam permasalahan             hukum Islam.

B.     Saran
            Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang yang berminat menuntut subtansi Islam lebih mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan pedoman dalam segala hal yang diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan, sehingga motivasi berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan atas kekurangan yang ditemukan dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya dengan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan untuk membaca makalah sederhana yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua orang. 
                                                           









DAFTAR PUSTAKA



·         Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
·         Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
·         Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978.
·         Qaradhawi, Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.
·         Qathani, Said, dan Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003.
·         Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.




BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup ke seluruh aspek kehidupan manusia. Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci Alquran, akan tetapi Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global. Oleh karenanya interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami perbedaan oleh umat Islam karena versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam yang berbeda-beda.
Perbedaan penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara umum kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional. Mutakalimin yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang mengandung arti lain selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya, mereka terikat pada dogma yang jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni, dan mereka lebih mengutamakan akal.[34]
Dari sekian beragam jenis mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum yang berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) [35], dan di dalamnya terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah ideologi (aqidah), mereka dikenal dengan istilah khalaf dan salaf.[36]  Terkait dengan masalah tersebut, dan karena materi mata kuliah yang diberikan untuk menguraikan dalam bentuk makalah, maka makalah ini diberikan judul: AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH (SALAF DAN KHALAF).
B.     Rumusan Masalah
Terkait dengan judul makalah ini, maka pembahasan materi makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf dan Khalaf)?
2.      Bagaimana perbedaan antara Salaf dan Khalaf?
3.      Apa nilai dari aliran Salaf dan Khalaf?
C.    Tujuan  Penulisan
Berdasarkan dengan perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Pemikiran ahl al-sunnah wa al-jama’ah (salaf dan khalaf).
2.      Perbedaan antara salaf dan khalaf.
3.      Nilai dari aliran salaf dan khalaf.



 

















BAB II
PEMBAHASAN



A.    Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka menisbatkan dirinya kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya lahir dan batin,[37] dalam hal ini ada dua versi yaitu:
1.      Salaf
Banyak definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai salaf, seperti menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang terdiri atas muhaditsin dan yang lainnya, sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf adalah tidak berpaham tasybih (anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil dalam menafsirkan ayat mutasyabihat, sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan sahabat dan tabi’in yang diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk mensucikan serta mengagungkan-Nya.[38]
Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.[39]  Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.[40]
Konsepsi aqidah salaf menetapkan semua sifat Allah menurut Alquran dan Hadis, termasuk nama-nama Allah sesuai dengan yang disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa ada ta’wil atau interpretasi serta ta’thil atau menganggap tidak ada makna dari sebagian atau semua sifat Allah, serta tidak ada tasybih atau penyerupaan dengan makhluk.[41]
2.      Khalaf
Kata khalaf umumnya digunakan untuk merujuk kepada para ulama pada abad III Hijriah dengan karakteristik yang berlawanan dengan kaum salaf, di antaranya adalah tentang interpretasi terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian Tuhan.[42] Aliran khalaf terdiri dari dua versi, yaitu sebagai berikut:[43]
a.                     Aliran yang lebih mengutamakan akal, karena menurut aliran ini tanpa wahyu pun             manusia mampu mengenal Tuhan, serta mampu menetapkan hukum dengan bantuan akal,    paham ini identik dipegang oleh aliran Mu’tazilah.
b.                  Aliran yang menempatkan akal sebagai mitra dari wahyu, menurut mereka akal dan           wahyu             saling mendukung kecuali dalam beberapa hal tertentu, karena dalam hal tertentu   akal tidak cukup untuk memahami wahyu karena keterbatasannya, paham ini identik           dipegang oleh Asy’ariyah.
Dalam istilah tauhid, aliran Asy’ariyah dianggap sebagai golongan moderat dari aliran salaf dan Mu’tazilah, dan karena hal ini aliran Asy’ariyah mempunyai banyak pengikut, disebabkan karena banyaknya pengikut, maka aliran Asy’ariyah mayoritas disebut dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.[44] Tasy Kubra Zadah menerangkan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah muncul karena keberanian dari Abu Hasan al-Asy’ari pada tahun 300 Hijriah.[45][9] Menurut Harun Nasution, yang disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.[46]
B. PERBANDINGAN ANTARA SALAF DAN KHALAF

1.    SALAF (IBN HAMBAL DAN IBN TAIMIYAH)
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam. [47][1] Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme). [48][2] Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampak penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[49][3] Ibn Taimiyyah adalah seorang ulama besar penganut Imam Hambali yang ketat.
Karakteristik ulama salaf atau salafiyah menurut Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut:[50][4]
1.    Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2.    Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan As-Sunah.
3.    Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang Dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4.    Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lainnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Adapula tokoh-tokoh yang dikategorikan oleh Ibrahim Madzkur yaitu:
1.    Abdullah bin Abbas (68 H)
2.    Abdullah bin Umar (74 H)
3.    Umar bin Abd Al-Aziz (101 H)
4.    Az-Zuhri (124 H)
5.    Ja’far  Ash-Shadiq (148 H)
6.    Para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal)
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara sporadis.[51][5] Di Indonesaia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhui oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dibawah ini adalah ulama salaf dan pemikirannya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam sebagai berikut:
a)      Imam Ahmad Bin Hambali
·      Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780M, dan meninggal 241 H/855M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan dari Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’bah bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar ketika malam hari.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-dunia, Abu Bakar As-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang disebutkan adalah putra Ibn Hanbal.[52][6]
·      Pemikiran Teori Ibn Hanbal
1.      Tentang ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat al-qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. [53][7]
2.      Tentang status Al-Qur’an
            Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status al-qur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalah faham Mu’tazilah, yakni al-quran tidak bersifat qadim tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim di samping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
            Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status al-qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak: [54][8]
Ishaq               : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibn Hanbal      : Sabda Tuhan
Ishaq               : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal      : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
                     Ishaq   Apa arti ayat: Maha Mendengar (Sam’i) dan Maha Melihat (Basir)? (Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang faham anthropomorphisme.)
Ibn Hanbal      : Tuhan menyifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu).
Ishaq               : Apa artinya?
Ibn Hanbal      : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan pada diri-Nya.
            Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status al-qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa al-qur’an tidak dociptakan. Hal ini sejalan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rosul-Nya.
b.      Ibn Taimiyah
       Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Robiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syekh, Khatib dan Hakim di kotanya.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah baghdad dihancurkan pasuka Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
       Pemikiran teologi Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, seperti dikatakan Ibrahim Madkur adalah sebagai berikut: [55][9]
a.       Sangat berpegang teguh pada nas (teks al-qur’an dan al-hadis)
b.      Tidak memberi ruang gerak yang bebas kepada akal.
c.       Berpendapat bahwa al-qur’an mengandung semua ilmu agama.
d.      Di dalam islam yang diteladeni hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.

Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalam pasti qadim pula.
Pandangan ibn taimiyah tentang sifat-sifat allah sebagai berikut:
 a.       Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1.      Sifat salbiyah
2.      Sifat ma’ani
3.      Sifat khabariyah
4.      Sifat dhafiah
b.      Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya sebutkan. Seperti;
Al-awal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-qayyum, as-sami, dan al-basir.
c.       Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1.    Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz (min ghair tahrif)
2.    Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghair ta’thil)
3.    Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
4.    Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghair takyi at-takyif)
5.    Tidak merupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat dan hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan dan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibn Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu:
1.   Allah pencipta segala sesuatu
2.   Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertnggung jawab atas perbuatannya.
3.   Allah meridhoi perbuatan baik dan tidak menridhoi perbuatan buruk. [56][10]
Dikatakn oleh Watt bahwa pemikiran ibn taimiyah mencapai klimaks dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terketak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhannya yang mutlak. Oleh sebab itu, masalah Tuhan katanya tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi.
2.     KHALAF: AHLUSSUNAH (AL- ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
Kata khalaf bisa digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya tentang penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.[57][11]
Adapun ungkapan Ahlisunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu secara umum dan secara khusus. [58][12] sunni dalam pengertian secara umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah –sebagai juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan sunni.[59][13] Sunni dalam pengertian secara khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[60][14]
Ahlussunah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.[61][15] Harun nasution menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al- Hasan Al- Asy’ari sekitar tahun 300 H. [62][16]
a.       Al-Asy’ary
 Riwayat Singkat Hidup tentang Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.[63][17] Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.[64][18]
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang faham ahlisunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum beliau wafat, beliau berpesan kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik anaknya sampai dia faham dan berguna bagi penduduk sekitarnya.[65][19]
         Doktrin-doktrin Teologi Al-Asya’ari
a.       Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
b.      Kebebasan dalam Berkehendak (free will)
c.       Akal dan Wahyu dan Kreteria Baik dan Buruk
d.      Qadimnya Al-Qur’an
e.       Melihat Allah
f.       Keadilan Kedudukan Orang Berdosa
b.      Al-Maturidi
·      Riwayat Singkat Hidup tentang Al-Maturidi
Abu manshur al-maturidi dilahirkan di maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand, wilayah trmsoxiana di asia tengah, daerah yang sekarang disebut uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperrkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.[66][20]
Karir pendidikan Al-mat#uridi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang tidak dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam dalam bentuk karya tulis. Diantaranya adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Ushul Fi Ushul Ad-Din dan lain sebagainya.
       Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a.       Akal dan Wahyu
b.      Perbuatan Manusia
c.       Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d.      Sifat Tuhan
e.       Melihat Tuhan
f.       Kalam Tuhan
g.      Perbuatan Manusia
h.      Pengutusan Rasul
i.        Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)







BAB III
PENUTUP



A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.         Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah           secara murni, sedangkan versi khalaf menempatkan akal dan wahyu sebagai mitra, karena            akal dipergunakan untuk menjelaskan wahyu meski dalam hal tertentu akal tidak dapat          secara menyeluruh menjelaskan wahyu, akan tetapi tidak semua wahyu tidak bisa   dijelaskan.
2.                  Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah            secara murni dan tidak mau menginterpretasikan ayat-ayat Alquran atau Hadis yang mutasyabihat, sedangkan versi khalaf membolehkan untuk menafsirkan ayat atau Hadis     tersebut.
3.                  Nilai yang dapat diambil adalah tidak dapat juga untuk menilai sesuatu sebagai bid’ah,      dan memang seharusnya untuk mempertahankan aqidah secara murni, sehingga dapat     disimpulkan pada hakikatnya antara aliran khalaf dan salaf adalah perbedaan ijtihad,        bukan permasalahan aqidah seperti permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar seperti perbedaan pemahaman dalam permasalahan             hukum Islam.

B.     Saran
            Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang yang berminat menuntut subtansi Islam lebih mendalam, dan dengan harapan dapat menjadikan pedoman dalam segala hal yang diperlukan. Makalah ini tentu banyak memiliki kekurangan, sehingga motivasi berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan, dan atas kekurangan yang ditemukan dalam makalah ini penulis ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya dengan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap kesediaan untuk membaca makalah sederhana yang mudah-mudahan memberi manfaat kepada semua orang. 
DAFTAR PUSTAKA



·         Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
·         Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
·         Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978.
·         Qaradhawi, Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.
·         Qathani, Said, dan Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003.
·         Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
































[1]Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Cetakan II, Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 32.

[2]Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987, h. 94.

[3]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, h. 7.


[4]Said al-Qathani dan Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003, h. 13.

[5]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 109.

6Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, h. 26.




[7]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006,  h. 9.
[8]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 29.
[9]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, h. 119.
[10]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 36.

[11]Ibid., h. 36-37.

[12]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978, h. 64.

[13]Ibid., h. 65.

[14][1] Thablawy Mahmud Saad, At-Tashawwuffi Turasts Ibn Taimiyah. Al-Hai Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-kitab, Mesir. 1984. Hal. 11-38.
[15][2] Asy-Syahrastaniy, Al-Milal wa An-Nihal. Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.. hal.92-93
[16][3] Abubakar Aceh, Salaf: Islam Dalam Masa Murni. Ramadhani. Solo. 1986, hal.25.
[17][4] Ibrahim Madkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah: Manhaj wa Tathbiquh, jilid II. Dar Al-Maarif. Mesir. 1947. Hal, 30.
[18][5] Harun Nasution dalam kuliah-kuliahnya dalam Mata Kuliyah “ Pemikiran dalam Islam,” di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1996: baca juga Hafidz Dasuki, Ensiklopedia Islam. Jilid. V. Cet. I. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 1993, hal. 160.
[19][6] Dasuki, op. Cit . hal. 84
[20][7] Ibid., hal 84
[21][8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 62-63
[22][9] Madkur.op. cit., hlm.31
[23][10] Zahrah, op. Cit., hal 183
[24][11] Abubakar Aceh, Salaf: islam dalam masa murni, Ramadhani, Solo, 1986, hlm. 25.
[25][12] Jalal Muhammad Musa, nas’ah al-asya’irah wa Tathawwuruha, Dar Al-Kitab Al-Lubhani, Beirut, 1975, hlm. 15.
[26][13] Ibid
[27][14] Ibid
[28][15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 64
[29][16] Ibid
[30][17] Muhammad Imarah, Tayyarat Al-Fikr Al-Islami, Dar Asy-Syuruq, Beirut, 1911, hal. 163
[31][18] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilm li Al-Malayin, 1984, hal. 497
[32][19] Ibid., hal 491
[33][20] H. AR. Gibb, et al., The Encyclopedia Of Islam, vol. V, E.J. Brill, Leiden, 1960, hlm. 414

[34]Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Cetakan II, Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 32.

[35]Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987, h. 94.

[36]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, h. 7.


[37]Said al-Qathani dan Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003, h. 13.

[38]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 109.

6Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, h. 26.




[40]Yusuf al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006,  h. 9.
[41]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 29.
[42]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam…, h. 119.
[43]Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, h. 36.

[44]Ibid., h. 36-37.

[45]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan II, Jakarta: UI Press, 1978, h. 64.

[46]Ibid., h. 65.

[47][1] Thablawy Mahmud Saad, At-Tashawwuffi Turasts Ibn Taimiyah. Al-Hai Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-kitab, Mesir. 1984. Hal. 11-38.
[48][2] Asy-Syahrastaniy, Al-Milal wa An-Nihal. Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.. hal.92-93
[49][3] Abubakar Aceh, Salaf: Islam Dalam Masa Murni. Ramadhani. Solo. 1986, hal.25.
[50][4] Ibrahim Madkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah: Manhaj wa Tathbiquh, jilid II. Dar Al-Maarif. Mesir. 1947. Hal, 30.
[51][5] Harun Nasution dalam kuliah-kuliahnya dalam Mata Kuliyah “ Pemikiran dalam Islam,” di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1996: baca juga Hafidz Dasuki, Ensiklopedia Islam. Jilid. V. Cet. I. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 1993, hal. 160.
[52][6] Dasuki, op. Cit . hal. 84
[53][7] Ibid., hal 84
[54][8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 62-63
[55][9] Madkur.op. cit., hlm.31
[56][10] Zahrah, op. Cit., hal 183
[57][11] Abubakar Aceh, Salaf: islam dalam masa murni, Ramadhani, Solo, 1986, hlm. 25.
[58][12] Jalal Muhammad Musa, nas’ah al-asya’irah wa Tathawwuruha, Dar Al-Kitab Al-Lubhani, Beirut, 1975, hlm. 15.
[59][13] Ibid
[60][14] Ibid
[61][15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 64
[62][16] Ibid
[63][17] Muhammad Imarah, Tayyarat Al-Fikr Al-Islami, Dar Asy-Syuruq, Beirut, 1911, hal. 163
[64][18] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilm li Al-Malayin, 1984, hal. 497
[65][19] Ibid., hal 491
[66][20] H. AR. Gibb, et al., The Encyclopedia Of Islam, vol. V, E.J. Brill, Leiden, 1960, hlm. 414

Tidak ada komentar:

Posting Komentar