MAKALAH
TANTANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN
Disusun
sebagai tugas kelompok
Mata kuliah FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pembimbing:
Syarnubi, M.Pd.I
Disusun oleh kelompok 8:
Adi Kurniawan (1532100075)
Askur Hadi (1532100088)
Citra Sari Rizki (1532100103)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
RADEN FATAH PALEMBANG
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat
Allah Swt, karena berkat taufik dan hidayahnya, kami dapat menyelesiakan
makalah ini.
Shalawat serta salam semoga tetap
senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Beserta keluarga
dan sahabatnya, diiringi dengan upaya meneladani akhlaknya yang mulia.
Kami sampaikan bahwa pembuatan makalah
ini untuk memenuhi mata kuliah Filsafat Pendidik Islam tentang Tantangan
Pendidikan Islam, dan kami ucapakan terimakasih kepada bapak Dosen yang sudah
memberikan kesempatan kepada kelompok kami dalam menyusun makalah ini.
Sehubung dengan pembuatan makalah ini
tentu banyak sekali kekurangan-kekurangan untuk itu kami sangat mengharapkan
atas saran, kritik, dan masukan dan sebagainya sangat kami harapkan hal
tersebut agar dapat memperbaiki kesalahan kami untuk lebih baik lagi.
Akhirnya do’a kami panjatkan semoga upaya
kita lakukan ini mendapat ridha Allah Swt, dan menjadi amal ibadah bagi kita
semua. Amin.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Adanya globalisasi maka problematika yang di hadapi
oleh seluruh manusia semakin kompeks dan meluas. Bahkan globalisasi telah
menimbulkan kaburnya batas-batas definitif antar negara sehingga menjadi
terbuka dan transparan, sehingga timbul pergeseran nilai-nilai dalam individu
itu sendiri yang membawa dampak baik positif ataupun negatif. Maka dari
itulah tantangan bagi kita semua terutama dalam dunia pendidikan islam. Dimana
modernisasi dan globalisasi membawa pengaruh yang sangat signifikan, karena di
era yang modern ini, semua dapat dengan mudah di dapatkan dalam segala hal.
Munculnya arus
modernisasi dan globalisasi disebabkan karena perkembangan dari teknologi
yang semakin canggih, kemajuan bidang ekonomi, dan pesatnya sarana
informasi. Kemajuan Zaman yang semakin pesat membawa implikasi dan
pengaruh yang positif sekaligus negatif. Kebudayaan negara- negara Barat yang
cenderung mengedepankan rasionalitas, yang akhirnya cenderung untuk menerima perilaku
dan menerima keyakinannya tidak lewat ajaran agama tetapi lewat pertimbangan
rasionalitas dan hal-hal yang bersifat praktis.
Pada hal ini,
pendidikan yang merupakan media untuk mengubah atau mengkonstruksi manusia
seutuhnya tidak terkecuali pendidikan di Indonesia yang berorientasi pada
pragmatisme, yang mengarahkan kepada kepentingan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas. Ini menunjukkan betapa pentingnya peranan pendidikan dalam
pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan juga pengembangan
watak bangsa.i
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pendidikan Islam ?
2. Apa Saja Tantangan Pendidikan Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam
Adapun
pengertian pendidikan Islam, bisa ditinjau dari sempit dan luas. Pengertian
sempit adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan untuk pentransferan atau
penyaluran ilmu (knowledge), nilai (value) dan ketrampilan (skill) berdasarkan
ajaran Islam dari seorang pendidik terhadap seorang yang didiknya, guna
terbentuk pribadi Muslim yang seutuhnya atau sesungguhnya. Hal ini lebih
bersifat proses pembelajaran, dimana ada pendidik, peserta didik dan ada bahan
(materi) yang disampaikan dengan ditunjang dengan alat-alat yang digunakan.
Sedangkan
pendidikan Islam dalam arti luas, tidak hanya terbatas kepada proses penyaluran
yang mencangkup tiga ranah di atas, akan tetapi mencangkup sejarah, pemikiran
dan lembaga. Dengan demikian, terdapat kajian tentang sejarah pendidikan Islam,
pemikiran pendidikan Islam, lembaga pendidikan Islam, dan
lain-lain.[1]
Pendidikan yang dilaksanakan oleh Rasulullah berhasil membina individu-individu
yang beriman, berakhlak, berpengetahuan dan memilik sensitifitas yang tinggi
terhadap keadaan lingkungan masyarakat. Berdasarkan modal inilah Rasulullah
berhasil merubah sistem kemasyarakatan jahiliyah menjadi sistem kemasyarakatan
yang islami. Ditinjau dari proses social change, perubahan sosial pada zaman
nabi dimulai dari perubahan pada diri manusia yang mencangkup keimanan, akhlak,
pengetahuan, dan perilaku.
Hal
ini menandakan data-data ilmiah yang membuktikan dan menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad Saw merupakan seorang pendidik yang mempunyai peran
penting (krusial) dalam proses transmisi ilmu pengetahuan pada masanya.
Dalam pengertian hal ini berarti bagaimana Nabi Muhammad Saw melakukan proses
pendidikan dan pencerdasan umatnya melalui manhaj pendidikannya yang spesifik. Ditengah
masyarakat Muslim yang baru lahir, pendidikan pada periode Nabi memiliki
peranan penting dan menentukan bagi eksistensi pendidikan pada saat itu dapat
dilihat dari adanya kebutuhan untuk menanamkan, menumbuhkan, dan
mentransformasikan nilai-nilai Islam kepada individu-individu Muslim yang baru
lepas dari lingkaran kultur jahiliyyah.[2]
B. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
dikembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya
pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya
akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara
natural. Nurcholish Madjid mengatakan bahwa dari segi historis , pesantren
tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna
keaslian Indonesia. Pesantren juga dianngap sebagai satu-satunya sistem
pendidikan di Indonesia yang menganut sistem tradisional. Sebagaiman dikatakan
Ulil Abshar Abdalah bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan
Islam di Indonesia yang mewarisi tradisi intelektual tradisional.[3]
C. Landasan Historis Modernisasi Pendidikan Islam
Daya nalar dan kreativitas berpikir siswa tidak mendapat temoat yang wajar
dalam orientasi pendidikan pesantren, dan lembaga pendidikan Islam pada
umumnya. Modernisasi pendidikan yang digagaskan Nurcholish Madjid pada dasarnya
mengacu pada penumbuhan metode berfifkir filosofis, dan membangkitkan kembali
etos keilmuan Islam yang pada masa klasik Islam telah memperlihatkan hasil yang
cukup gemilang. Sebaagai landasan historis, modernisasi pendidikan
berangkat pada penelaahan kembali kejayaan umat Islam pada masa klasik.
1. Metode
Berfikir Filosofis
Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan keilmuan dan keahlian pada masa
klasik tidak terlepas dari sikap kaum muslim yang memandang hidup serba
optimis. Oleh sebab itu, kalangan muslim klasik misalnya, dengan tegas tidak
dapat menerima kisah-kisah Yunani yang serba pesimis, tragis, dan cenderung
kurang harapan pada dunia dan kehidupan.
Kisah–kisah itu yang merupakan karya sastra Yunani dinilai tidak memiliki
pengaruh positif pada kehidupan mereka, karena secara sadar orang-orang muslim
klasik tidak dapat menerima lakon, penuturan yang penuh tahayul, mitologi,
serta kepercayaan palsu lainnya.
Berbeda dengan bangsa Yunani yang sibuk dengan drama dan tragedi, para
sarjana Islam menekuni masalah teknik dan teknologi, karena itu mereka amat
menonjol dalam ilmu-ilmu empiris, seperti kedokteran, astronomi, pertanian,
ilmu bumi, ilmu ukur (handasah), ilmu bangunan, dan lain-lain. Inilah dampak
positif dari sikap penuh harapan kepada hidup yang mengejala waktu itu,
sehingga para sarjana Islam klasik merintis jalan ke arah perbaikan nyata
kehidupan duniawi dengan menerapkan berbagai teori ilmiah.
Berbeda dengan kondisi umat Islam klasik, mayoritas muslim sekarang
terutama Indonesia yang menganut paham Asy’ari dan bermazhab fiqh Syafi’i
justru memusuhi filsafat. Filsafat yang dianggap datang dari Barat mereka klaim
sebagai kerangka keilmuan yang keluar dari paham Islam yang benar.
Lenyapnya tradisi iptek dikalangan muslim pada umumnya bukanlah sebab dari
Islamnya, tetapi terletakpada sikap muslim itu sendiri yang menjadikan Islam
sebagai memusuhi iptek. Ajaran islam dengan jelas menunjukkan adanya hubungan
yang organik anatar ilmu dan iman. Hubungan organik itulah kemudian yang
dibuktikan dalam sejarah Islam klasik, ketika kaum muslim memiliki jiwa
kosmopolitan yang sejatai. Kemudian keadaan jadi berbalik, ilmu pengetahuan
Islam mulai mengalir dan pindah ke Barat dan setelah menguncangkan dunia Barat
selaama dua atau tiga abad , ilmu pengetahuan Islam akhirnya dapat mereka
akomodasi, dengan cara antara lain memisahkan ilmu dari iman (Kristen) karena
memang tidak ada hubungan organik antara keduanya. Pada abad ke-16 ilmu
pengetahuan bangsa-bangsa Barat sudah lebih unggul dari pada ilmu pengetahuan.[4]
D. Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Munculnya berbagai kecenderungan dalam era globalisasi tersebut merupakan
tantangan dan sekaligus menjadi peluang jika mampu dihadapi dan dipecahkan
dengan arif dan bijaksana, yaitudengan cara merumuskan kembali berbagai
komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar dan
sebagainya.
Menghadapi keadaan yang demikian itu dunia pendidikan pada umumnya dan
pendidikan Islam pada khususnya kini berada di persimpangan jalan, yakni antara
jalan untuk mengikuti tarikan eksternal sebagai pengaruh era globalisasi, atau
tarikan internal yang merupakan misi utama pendidikan yaitu membentuk manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang terbina seluruh potensinya secara seimbang.[5]
Era kebangkitan pendidikan Islam itu bertepatan pula dengan munculnya
globalisasi. Masyarakat manusia telah menjadi masyarakt global,
batas-batas wilayah semakin memudar, komunikasi sangat lancar dan informasi
dalam hitungan detik telah dapat berkembang dan tersebar di dunia.
Kejadian apa yang terjadi di sebuah tempat di ujung dunia, maka dalam waktu
hitungan detik telah diketahui dengan sempurna pada ujung dunia lainnya. Gaya
hidup manusia sudah mendunia.
Pendidikan Islam dapat diartikaan sebagai upaya yang dilakukan oleh
pendidik untuk membentuk kepribadian peserta didik sesuai dengan ajaran dan
nilai-nilai Islami (Islamicvalues). Didalam rangka untuk
mengimplementasikan pendidikan Islam tersebut diperlukan
perangkat-perangkatnya, seperti : tujuan, lembaga, kurikulum, pendidik, metode
dan evaluasi.[6] Kegiatan
pendidikan pada hakikatnya adalah diarahkan untuk penyiapan peserta didik dalam
menghadapi lingkungan hidup yang selalu mengalami perubahan. Melalui pendidikan
diharapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat.
Mengingat pentingnya fungsi dan tujuan pendidikan juga telah dinyatakan dalam
UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Maka dari itu, agar tujuan pendidikan dapt dicapai akan
pendidikan hendaknya dikelola secara provesional dengan manajemen yang baik dan
oleh tenaga-tenaga yang mempunyai motivasi kerja tinggi, termasuk didalamnya
adalah lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini, pandangan pokok mengenai proses
pendidikan sepanjang hidup adalah berlangsung dijalur formal, informal, maupun
non-formal, tergantung pada manusia itu menjalani kehidupan. Lembaga pendidikan
Islam masuk dalam kategori lembaga pendidikan formal dan sangat memungkinkan
untuk dapat dijadikan sebagai proses pengembangan kualitas SDM Indonesia. Suatu
lembaga pendidikan pada dasarnya adalah upaya pelembagaan dan formalitas
pendidikan sehingga kegiatan, fungsi, dan proses pendidikan dalam suatu
masyarakat bisa berlangsung secara lebih terencana, sistematis, berjenjang dan
profesional.
1. Pendidikan Islam
Sejak awal kedatangannya ke Indonesia, pada abad ke-6 M, Islam telah
mengambil peran yang amat signifikan dalam kegiatan pendidikan. Peran ini
dilakukan, karena beberapa pertimbangan yaitu :
Pertama, Islam memiliki
karakter sebagai agama dakwah dan pendidikan. Dengan karakter ini, maka Islam dengan
sendirinya berkewajiban mengajak, membimbing, dan membentuk kepribadian umat
manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Kedua, terdapat hubungan
simbiotik fungsional antara ajaran Islam dengan kegiatan pendidikan. Dari satu
sisi Islam memberikan dasar bagi perumusan Visi, misi, tujuan dan berbagai
aspek pendidikan, sedangkan dari sisi lain, Islam membutuhkan pendidikan
sebagai sarana yang strategis untuk menyampaikan nilai dan praktik ajaran Islam
kepada masyarakat. Adanya penduduk Indonesia yang mayoritas beragama
Islam adalah sebagai bukti keberhasilan pendidikan dan dakwah Islamiyah.
Ketiga, Islam melihat bahwa
pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk mengangkat harkat
martabat manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Itulah sebabnya tidak
mengherankan, jika ayat 1-5 surat Al-‘alaq sebagai ayat Al-Qur’an yang pertama
kali diturunkan telah menagndung isyarat tentang pentingnya pendidikan. Ayat
1-5 surat Al-‘alaq tersebut artinya “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu.
Yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang
Maha Mulia. Yang telah mengajarkan manusia dnegan pena. Ia mengajarkan tentang
segala sesuatu yang belum diketahuinya”. Pada ayat tersebut paling kurang
terdapat lima aspek pendidikan:
a) Aspek proses
dan metodologinya, yaitu membaca dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu
mengumpulkan informasi, memahami, mengklasisikasi, atau mengategorisasi,
membandingkan, menganalisis, menyimpulkan dan memverifikasi.
b) Aspek guru yang dalam hal ini, Allah swt.
c) Aspek murid yang dalam hal ini Nabi Muhammad
saw dan umat manusia.
d) Aspek sarana
prasarana yang dalam hal ini diwakili oleh kata qalam (pena).
e) Aspek kurikulum,
yang dalam hal ini segala sesuatu yang belum diketahui. manusia (maa lam ya’lam).
kelima hal tersebut merupakan aspek atau komponen utama alam kegiatan
pendidikan.
Sesuai dengan perkembangan dan tuntunan zaman, pendidikan Islam telah
menampilkan dirinya sebagai pendidikan yang fleksibel, responsif, sesuai dengan
perkembangan zaman, berorientasi ke masa depan, seimbang, berorientasi pada
mutu yang unggul, egaliter, adil, demokratis, dinamis dan seterusnya. Sesuai
dengan sifat dan karakternya yang demikian itu, pendidikan Islam senaniasa
mengalami inovasi dari waktu ke waktu yaitu mulai dari sistem dan lembaganya
yang paling sederhana seperti pendidikan di rumah, surau, langgar, masjid,
majelis ta’lim, pesantren, madrasah, sampai kepada perguruan tinggi yang
modern. Inovasi pendidikan Islam juga terjadi hampir pada seluruh aspeknya,
seperti kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pengajar, sarana prasarana,
manajemen, dan lain sebagainya. Melalui inovasi tersebut, kini pendidikan Islam
yang ada di seluruh dunia (termasuk Indonesia) amat beragam, baik dari segi
jenis, tingkatan, mutu, kelembagaan, dan lain sebgainya. Kemajuan ini terjadi
karena usaha keras dari umat Islam melalui para tokoh pendiri dan
pengelolaannya, serta pemerintah pada setiap negara.[7]
2. Era Globalisasi
Era globalisasi dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang ditandainya oleh
adanya penyatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi,
informasi, dan lain sebagainya.yang terjadi antara satu negara dengan negara
lainnya, tanpa menghilangkan identitasnya masing–masing. Penyatuan ini terjadi
berkat kemajuan teknologi informasi (TI) yang dapat menghubungkan atau
mengkomunikasikan setiap isu yang ada pada suatu negara dengan negara lain.
Bagi umat Islam, era globalisasi dalam arti tukar menukar dan transmisi
ilmu pengetahuan, budaya, peradaban, dan sebagainay sebagaiman tersebut diatas,
sesungguhnya bukanlah hal baru. Di zaman klasik ( abad ke-6 s/d 13 M ), umat
Islam telah membangun hubungan dan komunikasi yang intens dan efektif dengan
berbagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia, seperti India,
Cina, Persia, Romawi, Yunani, dan sebagainya. Hasil dari komunikasi ini
umat Islam telah mencapai kejayaan bukan hanya dalam bidang ilmu agama Islam
saja, melainkan juga dalam bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan dan peradaban,
yang warisannya masih dapat dijumpai hingga saat ini seperti di India, Spanyol,
Persia, Turki, dan sebagainya.
Selanjutnya di zaman pertengahan (abad ke-13 s/d 18 M) umat Islam telah
membangun hubungan dengan Eropa dan Barat. Pada saat itu umat Islam memberikan
kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa penulis Barat
seperti W.C Smith, dan Thomas W. Arnold misalnya mengakui bahwa kemajuan yang
dicapai dunia Eropa dan Barat saat ini karena sumbangan dari kemajuan Islam.
Pada zaman pertengahan itu, umat Islam hanya mementingkan ilmu agama saja,
sementara ilmu pengetahuan seperi matematika, astronomi, sosiologi, kedokteran
dan lainnya tidak dipentingkan, dan dibiarkan untuk diambil oleh barat.
Pada zaman ini Eropa dan Barat mulai bangkit mencapai kemajuan, sementara umat
Islam berada dalam keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Di zaman modern ( abad ke-19 sampai dengan sekarang ) hubungan Islam dengan
dunia Eropa dan Barat terjadi lagi. Pada zaman ini timbul kesadaran dari umat
Islam untuk membangun kembali kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi dan peradaban melalui berbagai lembaga pendidikan, pengkajian, dan
penelitian. Umat Islam mulai mempelajari berbagai kemajuan yang dicapai oleh
Eropa dan Barat, dengan alasan bahwa apa yang dipelajari dari Eropa dan Barat
itu sesungguhnya mengambil kembali apa yang dahulu dimiliki umat Islam.
Namun demikian, hubungan Islam dengan Eropa dan Barat pada zaman
modern ini keadaannya berbeda dengan hubungan Islam pada zaman klasik dan
pertengahan sebagaimana tersebut diatas.
Di zaman klasik dan pertengahan umat Islam dalam keadaan maju atau hampir
menurun, sedangkan Eropa dan Barat dalam keadaan terbelakang dan mulai bangkit.
Keadaan Eropa dan Barat saat ini berada dalam kemajuan, sedangkan keadaan umat
Islam berada dalam ketertinggalan. Tidak hanya itu saja, kedaaan saat ini dunia
telah dipenuhi oleh berbagai faham ideologi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
ajaran Islam, seperti ideologi kapitalisme, materialisme, naturalisme,pragmatisme,
liberalisme bahkan ateisme yang secara keseluruhan hanya berpusat pada kemauan
manusia (anthropo-centris). hal ini berbeda dengan karakteristik keseimbangan
ajaran Islam yang memadukan antara berpusat pada manusia (anthoropo- centris) dan
berpusat pada Tuhan (theo-centris).[8]
E. Tantangan Pendidikan Islam
Tantangan pendidikan Islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan
pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat pada zaman klasik dan pertengahan.
Baik secara internal maupun eksternal tantangan pendidikan Islam di zaman
klasik dan pertengahan cukup berat, namun secara psikologis dan ideologis lebih
mudah diatasi.
Secara internal umat Islam pada masa klasik masih fresh (segar). masa
kehidupan mereka dengan sejarah ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Al-Sunnah
masih dekat, dan semangat militansi dalam berjuang memajukan Islam masih amat
kuat. sedangkan secara eksternal, umat Islam belum menghadapi ancaman yang
serius dari negara-negara lain, mengingat keadaan negara-negara lain (Eropa dan
Barat) masih belum bangkit dan maju seperti sekarang.
Tantangan pendidikan Islam di zaman sekarang selain menghadapi pertarungan
ideologi-ideologi besar dunia sebagaimana tersebut diatas, juga menghadapi
berbagai kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai besar (turbulance)
atau tsunami. Yang menjadi problem dan tantangan pendidikan Islam dewasa ini
antara lain; globalisasi, meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh
informasi yang menguat serta vitalitas agama dalam kehidupan manusia.[9]
Menurut Daniel Bell, di era globalisasi saat ini keadaan dunia ditandai
oleh lima kecenderungan yaitu:
1) Kecenderungan
integrasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya persaingan bebas dalam dunia
pendidikan.
Munculnya konsep
pendidikan yang berbasis pada sistem dan infrastruktur, manajemen berbasis mutu
terpadu (Total Quality Management/TQM), Inter-preneur
University dan lahirnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tidak
lain, karena menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan.
Penyelenggaraan pendidikan saat ini tidak hanya ditujukan untuk mencerdaskan
bangsa, memberdayakan manusia atau mencetak manusia yang saleh, melainkan untuk
menghasilkan manusia-manusia yang Economic minded, dan
penyelenggaraannya untuk mendapatkan keuntungan material.
2) Kecenderungan
fragmentasi politik yang menyebabkan terjadinya peningkatan tuntutan dan
harapan dari masyarakat. Mereka semakin membutuhkan perlakuan yang adil,
demokratis, egaliter, transparan, akuntabel, cepat, tepat, dan profesional.
Mereka ingin dilayani dengan baik dan memuaskan. Kecenderungan ini terlihat
dari adanya pengelolaan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah (school
based management), pemberian peluang kepada komite atau majelis sekolah/madrasah
untuk ikut dalam perumusan kebijakan dan program pendidikan, pelayanan proses
belajar mengajar yang lebih memberikan peluang dan kebebasan kepada peserta
didik, yaitu model belajar mengajar yang partisipatif, aktif, inovatif,
kreaatif, efektif dan menyenangkan.
3) Kecenderungan penggunaan
teknologi canggih (sofisticated technology) khususnya Teknologi
Komunikasi dan Informas (TKI) seperti komputer. Kehadiran TKI ini menyebabkan
terjadinya tuntutan dari masyarakat untuk mendapatkan pelayanan cepat,
transparan, tidak dibatasi waktu dan tempat. Teknologi canggih ini juga telah masuk
ke dalam dunia pendidikan, seperti pelayanan administrasi pendidikan, keuangan,
proses belajar mengajar. Melalui TKI ini para peserta didik atau mahasiswa
dapat melakukan pendaftaran kuliah atau mengikuti kegiatan belajar dari jarak
jauh (distance-learning). Sementara itu, peran dan fungsi tenaga
pendidik juga bergeser menjadi semaacam fasilitator, katalisator, motivator,
dan dinamisator. Peran pendidikan saat ini tidak lagi sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan (agent of knowledge). Keadaan ini pada gilirannya
mengharuskan adanya model pengelolaan pendidikan yang berbasis Teknologi
Komunikasi dan Informasi ( KI).
4) Kecenderungan
interdependency (kesalingtergantungan), yaitu suatu keadaan dimana seseorang
baru dapat memenuhi kebutuhannya apabila dibantu oleh orang lain. Berbagai
siasat dan strategi yang dilakukan negara-negara maju untuk membuat
negara-negara berkembang bergantung kepadanya demikian terjadi secara intensif.
Berbagai kebijakan politik hegemoni seperti yang dilakukan Amerika Serikat
misalnya, tidak terlepas dari upaya menciptakan ketergantungan negara
sekutunya. Ketergantungan ini juga terjadi di dunia pendidikan. adanya badan
akreditasi pendidikan baik pada tingkat nasional maupun internasional, selain
dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan, juga menunjukkan ketergantungan
lembaga pendidikan terhadap pengakuan dari pihak eksternal. Demikian pula
munculnya tuntutan dari masyarakat agar peserta didik memiliki keterampilan dan
pengalaman praktis, menyebabkan dunia pendidikan membutuhkan atau tergantung
pada peralatan praktikum dan magang. Selanjutnya, kebutuhan lulusan pendidikan
terhadap lapangan pekerjaannya, menyebabkan ia bergantung kepada kalangan
pengguna lulusan.
5) Kecenderungan
munculnya penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization in
culture) yang mengakibatkan terjadinya pola pikir (mindset) masyarakat
pengguna pendidikan, yaitu dari semula mereka belajar dalam rangka meningkatkan
kemampuan intelektual, moral, fisik dan psikisnya, berubah menjadi belajar
untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang besar. Tidak hanya itu, kecenderungan
penjajahan baru dalam bidang kebudayaan juga telah menyebabkan munculnya budaya
pop atau budaya urban, yaitu budaya yang serba hedonistik, materialistik,
rasional, ingin serba cepat, praktis, pragmatis dan instan. Kecenderungan
budaya yang demikian itu menyebabkan ajaran agama yang bersifat normatif dan
menjanjikan masa depan yang baik (diakhirat) kurang diminati.
Selain itu beberapa problem utama yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan
Islam pada umumnya, Persoalan-persoalan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dichotomic
Masalah yang besar yang dihadapi dunia pendidikan Islam adalah dikhotomi
dalam beberapa aspek yaitu antara ilmu agama dengan ilmu umum, antara wahyu
dengan akal serta antara wahyu dengan alam. Munculnya problem dikhotomi dengan
segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini
mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Rahman dalam melukiskan watak ilmu
pengetahuan Islam pada zaman pertengahan menyatakan bahwa muncul
persaingan yang tak pernah berhenti antara Hukum dan theologi untuk
mendapat julukan sebagai “ mahkota semua ilmu” . tetapi penutupan pintu
ijtihad (yakni pemikiran orisinal dan bebas) yang berlangsung selama abad
4H/10 M dan 5H/11M telah membawa kepada kemandegan umum baik ilmu hukum maupun
ilmu intelektual.
Masih tentang potret pendidikan Islam di Arab, pandangan dikhotomik ini
berdampak cukup luas terhadap aspek-aspek lain. Tibawi mencatat munculnya
ketidakseimbangan antara jumlah siswa pria dan wanita di semua jenjang, antara
kuantitas dan kualitas pendidikan kejuruan praktis dengan pendidikan Abstrak
Teoritis dalam sistem tersebut, dan akhirnya mungkin lebih serius adalah antara
kuantitas dan kualitas pendidikan di perkotaan ksedengan di pedesaan. Persoalan
besar dari ketidakseimbangan itu adalah anggapan masyarakat yang negatif
(social prejudice) yang masih melekat tentang kehadiran atau keberadaan
pendidikan bagi kaum wanita.
Aspek lain yang cukup menjadi perhatian pada era sekarang adalah isu
lingkungan. Banyak dari negara-negara Muslim kalau tidak biasa dikatakan
semua merupakan negara yang cukup kaya dengan sumber daya alam. Timur Tengah
terkenal sebagai negeri-negeri “petrodollar”, negeri Muslim Afrika yang cukup
kaya raya dengan berbagai mineral atau mereka yang terletak di daerah
Khatulistiwa, sebagai negara tropis yang juga kaya dengan sumber daya alam.
Itu semua merupakan kekuatan besar bagi kemajuan negeri-negeri Muslim
tersebut, bila mereka memiliki kapabilitas untuk menggarap secara optimal namun
tetap memperhatikan aspek lingkungan. Namun yang terjadi, kekayaan ini justru
telah “memanjakan” mereka sehingga kekayaan alam ini
justru banyak dinikmati oleh negara- negara barat yang memiliki kemampuan lebih
dibidang sains dan teknologi. Akibatnya, kemakmuran yang itu menjadi milik kaum
Barat.
2. To Generak Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya
masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian
masalah (problem-solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang
membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakatnya. Syeikh H. Alatas
menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,
mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan
masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah
intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual
adalah tidak adanya kemauan untuk berfikir dan ketidakmampuan untuk melihat
konsekuensinya.
A. Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi faktor penghambat kemajuan dunia pendidikan
Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penyelidikan/penelitian. Syeikh
Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan the spiritus rector dari
modernisme Islam, al-Afghani menganggap rendahnya “the intellectual spirit”(semangat
intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran
Islam di Timur Tengah. Hal tersebut masih diperarah dengan semangat untuk
menyelidiki / meneliti, rasa cinta untuk mencari ilmu, dan penghormatan
terhadap ilmu pengetahuan serta ilmu rasional tidak berkembang luas di
negara-negara berkembang. Dalam masyarakat Muslim dimana lembaga-lembaga
pendidikan tinggi memiliki akar kuat terhadap cara-cara belajar hafalan, isi (content)
dari sains-sains positif yang diadopsi dari Eropa tetap diajarkan dengan model
yang sama (hafalan), ayat al-qur’an dipelajari dengan hati sebab ayat-ayat
tersebut adalah sempurna dan tidak untuk diselidiki apa yang terkandung
didalamnya (not to be inquired into).[10]
F. Sikap dalam menghadapi Globalisasi
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, melahirkan alat transportasi dan
komunikasi yang canggih, yang tidak ada pada masa- masa lalu.
Transportasi darat, laut, dan udara mempercepat hubungan antar manusia
dari suatu tempat ke tempat lain, terutama pesawat terbang. Dalam bidang
informasi, dengan ditemukan telepon, telepon genggam, komputer lewat internet,
faksimile, televisi, teleconference, maka komunikasi hanya dalam hitungan detik
saja lagi. Dalam waktu yang bersamaan suatu peristiwa yang terjadi dibelahan
bumi, ini, maka di belahan bumi lainnya berita ini telah diketahui, bahkan
telah bisa dilihat di gambar dan fotonya secara langsung. Hal ini menyebabkan
dunia saat sekarang ini tanpa batas. Inilah dunia kita sekarang ini, tidak
dapat di hindarkan terjadinya kompetisi dan persaingan budaya antara suatu
kelompok masyarakat yang terkadang di menangkan oleh suatu budaya tertentu. atau
terbentuk budaya baru yang dijadikan sebagai budaya bersama. Maka dari itu,
perlu ada pendidikan kepribadian yang mantap bagi anak-anak Muslim
Indonesiayang memunculkan kepribadian masing-masing yang merekaa itu tidak
larut dan meleburkan diri terhadap budaya negatif yang ditimbulkan oleh
globalisasi.
Sikap kita yaitu mengambil mana yang
positif dan bermanfaat, menjauhi yang negatif yang merusak akhlak. pendidikan
islam harus bisa merancang dengan menyelenggarakan program pendidikan nilai
kepada peserta didiknya sehingga mereka mempunyai sikap dan pandangan hidup
yang jelas dalam menghadapi globalisasi, sehingga tidak larut dan terbawa arus
globalisasi.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tantangan pendidikan Islam di zaman
sekarang selain menghadapi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia juga
menghadapi berbagai kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai besar
(turbulance) atau tsunami. Yang menjadi problem dan tantangan pendidikan
Islam adalah globalisasi, meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh
informasi yang menguat serta vitalitas agama dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Haidar Putra
dan Pasa, Nurgaya. 2013 Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Ismail dkk, 2001. Paradigma
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Haidar Putra.
Nata, Abudidin. 2012. Kapita
Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Rusmaini,
2014. Ilmu Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo Press.
Umiarso dan Nur Zazin,
2011. Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan. Semarang: Rasail Media Group.
Yasmadi, 2002. Modernisasi
Pesantern. Jakarta: Ciputat Press.
[1] Haidar Putra Daulay dan Nurgaya
Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013), hlm. 3
[2]Slamet Untung, menelusuri metode
pendidikan ala Rasulullah , (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm. 3-5
[3] Umiarso dan Nur Zazin, Pesantren
di Tengah Arus Mutu Pendidikan (Semarang: Rasail Media Group, 2011), hlm.
9-10
[5] Abudidin Nata, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 2
[6] Haidar Putra Daulay dan Nurgaya
Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013), hlm. 195-196
[7]Abudidin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada 2012), hlm. 7-10
[10]Ismail, dkk. Paradigma Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 279-284
[11]Haidar Putra Daulay dan Nurgaya
Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013), hlm. 236-237
Tidak ada komentar:
Posting Komentar