SEJARAH
PERKEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Disusun
Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Islam
Dosen Pengampu: Syarnubi, M.Pd.I
Disusun Oleh Kelompok 9:
AL FARIZI
(1532100080)
ABY
SYARIFUNNAHAR (1532100071)
DHEA AMELIA (1532100104)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN
FATAH PALEMBANG
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
TAHUN
AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah azza wajal, shalawat seiring salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw. Keluarga,
sahabat dan seluruh umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas ajarannya
hingga hari kiamat.
Penulis sangat bersyukur karena berkat rahmat dan karuniaNyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Sejarah Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam”.
Penyusunan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negri
Raden Fatah Palembang. Dalam penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari
masih banyak kekurangan dan kesalahan sehingga penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
filasafat pendidikan islam yang telah memberikan materi perkuliahan serta
arahannya.Mudah-mudahan Allah SWT membalas atas semua bantuan yang telah
diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap makalah ini berguna bagi
kita semua amin. Atas perhatian kami ucapkan terima kasih.
Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Palembang, 17 Mei
2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Awalnya filsafat disebut
sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab filsafat seakan-akan
mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau segala hal, baik yang
berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala problematika dan
kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan
masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan
perannya.
Mulai dari
masalah-masalah yang berhubungan dengan alam semesta hingga masalah manusia
dengan segala problematika dan kehidupanya.
Diantara permasalahan yang tidak dapat dijawab oleh filsafat adalah permasalahan yang ada dilingkungan pendidikan.
Diantara permasalahan yang tidak dapat dijawab oleh filsafat adalah permasalahan yang ada dilingkungan pendidikan.
Padahal menurut John Dewey, seorang filosof Amerika, filsafat merupakan
teori umum dan landasan pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan
pengalaman yang terdapat dalam pengalaman pendidikan.
Apa yang dikatakan John
Dewey memang benar. Dan karena itu filsafat dan pedidikan memiliki hubungan
hakiki dan timbal balik, berdirilah filsafat pendidikan yang berusaha menjawab
dan memecahkan persoalal-persoalan pendidikan yang bersifat filosifis dan
memerukan jawaban secara filosofis.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas sebuah judul
makalah tentang “Sejarah Perkembangan
Filsafat Pendidikan Islam” agar kita mengetahui bagaimana sejarah perkembangan
filsafat pendidikan yang mudah-mudahan dapat menambah wawasan tentang sejarah
perkembangan filsafat pendidikan islam dan bermanfaat bagi kami juga kita
semua. Aamiin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam
1. Awal Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam
Sejarah perkembangan Filsafat
Pendidikan Islam di mulai ketika terbentuknya filsafat yang mengajarkan tentang
usaha usaha mencari asas asas fundamental pendidikan Islam. Berfikir logis dan
rasional yang mengarahkan seseorang menjadi pribadi yang berpegangan pada
pendidikan Islam
Sebagai seorang muslim kita harus
tahu kapan sejarah perkembangan Filsafat Pendidikan Islam dimulai,dengan
mengunakan dasar dasar Pendidikan Islam yaitu melalui alquran ,sunnah,perkataan sahabat serta pemikiran para
tokoh filsafat Islam.Dengan demikian kita mampu mengetahui awal dimulainya
sejarah pendidikan Islam serta perkembangannya.[1]
Falsafat pendidikan islam
diperkirakan berkembang sejalan dengan latar belakang sejarah perkembangan
aagama islam. Seperti diketahui penyebaran agama islam berawal dari makkah kota
kelahiran Rasul SAW. Namun islam baru membangun dirinya sebagai peradapan yang
lengkap di periode madinah.
Sebagai ibukota, madinah berperan
sebagai pusa peradaban baru yang didasarkan pada konsep ajaran agama islam.
Disinilah rasulullah dan para sahabat membuktikan manusia zamannya bahwa islam
sebagai agama yang mampu dan berhasil menata negara atas dasar ajran agama
islam, dalam bentuk komuntas yang disebut dengan ummah.[2]
Disini terlihat missi keagaamaan
yang dijalankan rasulullah dan para sahabat bukan hanya terbatas pada masalah
agama semata. Misi beliau yang berintikan ajaran tauhid, yang secara mendasar
diintensifkan selama periode makkah. Ternyata secara luwes tetapi konsisten
mampu dikembangkanmenjadi paket yang berisi muatan peradaban manusia dengan
seluruh aspeknya.
Adapun pemikiran-pemikiran yang
ditimbulkan oleh pengaruh kondisi dan situasi tersebut dalam berbagai bidang,
sesuai dengan kepentingan masanya. Dalam kaitannya dengan munculnya
pemikiran-pemikiran barudalam masalah keislaman ini, barangkali pemikiran
pemikiran falsafah pendidkan islam juga telah muncul sejak awal-awal perkembangan
islam.
Periode ini meliputi masa kehidupan
nabi Muhammad SAW. Da masa pemerintahan khulafa’ al-rasyiddin. madinah periode
awal perkembanangan islam ini dibedakan dari periode berikutnya dengan
pertimbangan bahwa masa kekuasaan nabi dan para penggantinya. Kekuasaan islam
berpusat diarab. Dan menggingat masa antara kehidupan Nabi SAW. Dan masa penggantinya
realtif 29 tahun. Jarak yang sesingkat itu diperkirakan kndisi semasa Nabi SAW,
dengan para penggantinya tidak jauh beda.[3]
Pemikiran menggenai filsafat pendidikan
pada periode awal ini, merupakan perwujudan dari kandugan aya-ayat Al-Qur’an
dan hadits, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi islam. Dengan
kata lain, kata Hasan langgunlung, bahwa pmikiran pendidikan islam dilihat dari
segi Al-Qur’an dan hadist, tidaklah muncul sebagai peikiran yang terputus,
terlepas hubungannya dengan masyarakat seperi yang digambarkan oleh islam.[4]
Pemikiran itu berbeda dengan kerangka paradigma umum bagi masyarakat yang
dikehendaki oleh islam. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan ang kita
lihat dalam Al-Qur’an dan Hadist mendaatkan ilmiahnya.
Diperiode kehidupan Rasul SAW, ini
tampaknya dmulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadist secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
berbentuk pelaksanaan ajaran Al-Qur’an yang diteladani oleh masyarakat dari
prilaku hidup Nabi Muhammad SAW.
Pemikiran filsafat pendidikan islam
pada periode awal ini terfokus pada upaya pengalikasi nilai-nilai akhlak mulia
dalam kehidupan, dengan menjadikan perikehidupan Rasullah SAW. Sebagai rujukan
teladang langsung. Dengan kata lain, orientasi pemikiran filsafat pendidikan
islam ketika itu adalah bagaimana memenuhi tuntutan hidup perilaku yang islami.
Di sini terlihat pemikiran filsafat pendidikan islam belum tercemar oleh unsur
luar.[5]
Di zaman pemerintahan khulafa’
al-Rasyidin pun, terutama semasa pemerintahan Umar Ibn Khattab, wilayah
kekuasaan Islam sudah luas ke luar tanah Arab. Untuk itu diperlukan perangkat
tertentu dalam pemerintahan seperti administrasi pemerintahan, sistem keuangan
maupun pasukan khusus maupun yang menyangkut hubungan antar wilayah dengan
pusat pemerintahan. Tetapi sejauh yang dapat diketahui, perubahan-perubahan
yang terjadi belum terlalu banyak, karena perluasan wilayah masih terbatas pada
kegiatan dakwah dan bukan dengan tujuan menjajah.[6]
2. Pemikiran tokoh pendidikan islam Masa klasik
1) Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya
adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran,
Wilayah Siria, pada hari senin 10 Rabiul Awwal 661 H. bertepatan dengan 22
Januari 1263 M dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulqaidah, 728 H.
bertepatan dengan 26 September 1328 M.[7]
Ayahnya bernama Syihab a-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H.)
adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung
Damaskus. Di samping sebagai khatib dan imam besar di masjid tersebut juga
sebagai guru dalam bidang tafsir dan hadits. Bahkan direktur Madrasah
Dar-al-Hadits as-Sukkariyah, yang bermazhab Hambali. Di sinilah pertamakalinya
IbnTaymiyah dididik.
Kakeknya, Saikh Majd ad-Din
al-Barakat ‘Abd al-Salam Ibn ‘Abd Allah (590-652 H.), dipandang sebagai
Mujtahid Mutlak dan alim terkenal yang ahli tafsir (mufassir), ahli hadits
(muhaddits) dan ushul fiqh (ushuli), ahli fiqh (faqih), ahli nahwu (nahwyy),
dan pengarang (mushannif). Sedangkan pamannya dari jalur bapak yang bernama
al-KhatibFakhr al-Din dikenal sebagai cendekiawan muslim populer dan pengarang
yang produktif pada masanya. Demikian pula Syaraf ad-Din Abd Allah Ibn Abd
al-Halim, adik laki-laki Ibn Taimiyah, ternyata juga dikenal sebagai ilmuwan
muslim yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (faraid), ilmu-ilmu hadits
(ulum al-hadits) dan ilmu pasti (ar-Riyadiyah).
Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil
dikenal sebagai anak yang cerdas, tinggi kemauan dalam studi, tekun dan cermat
dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan
pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan
siap berjuang untuk jalan kebenaran
Pendidikannya diperoleh dari
sejumlah guru terkenal, di antara adalah Syam ad-Din Abd ar-Rahman Ibn Muhammad
ibn Ahmad al-Maqdisi (597-682 H.) seorang ahli hukum Islam (faqih) ternama dan
hakim agung pertama dari kalangan mazhab Syafii di Siria, setelah Sultan
Baybars (1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan. Muhammad Ibn
‘Abd al-Qawi Ibn Badran al-Maqdisi al-Mardawi (603-699 H), seorang muhaddits,
faqih, nahwyy dan mufti serta pengarang terpandang pada masanya, juga merupakan
salah seorang guru Ibn Taimiyah. Demikian pula al-Manja Ibn Utsman Ibn As’ad
al-Tanawukhi, seorang ahli fiqh dan ushul al-fiqh serta ahli tafsir dan ilmu
tata bahasa; dan Muhammad Ibn Ismail Ibn Sa’ad al-Syaibani (687-704 H), seorang
muhaddits, tata bahasa, sastra, sejarah dan kebudayaan. Masih banyak lagi
gurunya yang tidak dapat disebutkan di sini.
a) Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah
1) Falsafah Pendidikan
Dasar atau asas yang digunakan
sebagai acuan falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat
sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Hal ini dibangun atas dua
hal, (1) al-Tauhid (mengesakan Allah), (2) tabiat insaniyah (kemanusiaan)
2) Tujuan Pendidikan
a. Tujuan Pendidikan Individual
Diarahkan pada terbentuknya pribadi
muslim yang baik, yaitu seseorang yang berfikir, merasa dan bekerja pada
berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan perintah al-Quran
dan al-Sunnah.
b. Tujuan Sosial
Pendidikan harus diarahkan pada
terciptanta masyarakat yang bak sejalan dengan ketentuan al-Quran dan
al-Sunnah.
2) Ibnu Maskawaih
Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al-
Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun
941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421 Hijriah atau 16 Februari
1030 Masehi.[8]
Belum bisa dipastikan apakah
Miskawaih itu putra (Ibn) Muskawaih atau Miskawaih itu dia sendiri.
Dalam Ensiklopedi Islam dikatakan,
Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli sejarah dan filsafat. Disamping itu, ia juga
seorang moralis, penyair serta ahli kimia.Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad
bin Muhammad bin Yakub bin Maskawaih. Ia dilahirkan pada 330 Hijrah (941 M)] di
Kota Ray (Teheran sekarang), dan wafat tahun 421 H/ 1030 M.[9]
Miskawaih merupakan penganut
Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir
Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M). Ketika Sultan Ahmad
‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia menduduki jabatan yang
penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara
negara.
Yakut berkata bahwa ia pada mulanya
beragama majusi kemudian memeluk Islam. Tetapi barangkali hal ini benar bagi
ayahnya karena miskawaih sendiri seperti yang tercermin pada namanya ialah
putera seorang muslim yang bernama Muhammad. Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli
fisika filsafat dan sejarah, beliau juga merupakan seorang bendahara dan teman
dari Adud al- Daullah.[10]
Miskawaih merupakan seorang yang
mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai dengan ilmu alat lainnya
berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang terdahulu dipelajari adalah
mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika teori pengetahuan dan ilmu
metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir yang menguasai secara
sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.[11]
Miskawaih pada awalnya belajar
sejarah terutama Tarikh al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al-
Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu
al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih
menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin
ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia
populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi,
hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya.[12]
Adapun pemikiran Ibnu Miskawih
tentang pendidikan islam sebagai berikut :
1) Tujuan
Corak pemikiran pendidikan Ibnu
Maskawaih lebih bertedensi etis dan moral. Hal ini terlihat dari pendapatnya
mengenai tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut:
·
Tercapainya akhlak mulia
·
Kebaikan, kebahagian, dan
kesempurnaan
Menurutnya tujuan pendidikan itu
identik dengan tujuan hidup manusia maka dengan pendidikan manusia dapat
mencapai tujuannya yaitu kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan.[13]
2) Materi
Menurut Ibnu Maskawaih yang dikutip
oleh Mahmud mengatakan bahwa materi pendidikan lebih menekankan pada materi
yang bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia, dan menjadikan manusia sesuai
dengan esensiasinya.
Mengenai urutan yang harus
diajarkan kepada perserta didik, yang pertama adalah mengenai
kewajiban-kewajiban syariat sehingga peserta didik terbiasa melaksanakannya,
yang kedua materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas
terpuji telah tertanam dalam diri anak, yang ketiga yaitu meningkatkan setahap
demi setahap pada materi ilmu lainnya sehingga peserta didik mencapai tingkat
kesempurnaan.
3) Pendidik dan Peserta
Pendidik yang dalam hal ini guru,
instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan
kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau
mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian
yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik yang
menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.[14]
Kedua aspek pendidikan (pendidik
dan anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih.
Menurutnya, orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya
dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidiknya. Karena peran yang
demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya
hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta
kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih
harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri.
Ibnu Miskawaih juga menyatakan
bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi
cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat
pudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat meudar. Ketiga, cinta
yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan keempat cinta yang
melekat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk
cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya
karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya.
Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat
melekatnya dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua
jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.
Adapun yang dimaksud guru biasa
oleh Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena
jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai
persyaratan antara lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah hidupnya
jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin
atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.[15]
3) Pendidikan Ibn Sina
Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali
al-Husayn ibn Abdullah. Ia lahir pada tahun 370 H/ 980 M, di Afshana, suatu
daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama
Abdullah dari Belkh. Ibunya bernama Astarah, berasal dari Afshana.
Pengetahuan yang pertama kali ia
pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari
ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat
ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal al-qur’an dan menguasai
berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Karya Ibnu Sina dalam bidang
kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan
An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika
Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.
Adapun konsep pemikiran Ibnu Sina
tentang pendidikan islam sebgai berikut;
a. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan
pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang
ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual
dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus
diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat
secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya
sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
b. Kurikulum
Konsep Ibnu Sina tentang
kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk
usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata
pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.
kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup
pelajaran membaca dan menghafal al-qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir
dan pelajaran olah raga. kurikiulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu
Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran
tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan
perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik.
c. Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu
Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan
materi pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada
anak didik.Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan
dengan sifat dari materi pelajaran tersebut.
Metode pengajaran yang ditawarkan
ibn sina antara lain: Metode talqin, metode demonstrasi, metode diskusi, metode
pembiasaan, metode magang, dan metode penugasan.
d. Konsep Guru.
Konsep guru yang idtawarkan Ibnu
Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina
mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui
cara mendidik akh;ak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh
dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan
santun, dan suci murni.
e. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak
berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada
sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa
hukumanm dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari
sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak
suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan
kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan
tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang
pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat
diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[16]
4) Al-Ghazali
Imam Al Ghazali nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i
lahir 450 H atau 1058 M di Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran).[17] Dia
adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel
di dunia Barat abad Pertengahan.
Beliau berasal dari keluarga yang
miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi
orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli
filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan
kemajuan manusia.[18]
Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada
14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah atau tahun 1111 Masehi di Thus.
Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.[19]
a) Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan
Dalam pandangan Al-Ghazali yang
dikutip oleh Mahmud dalam bukunya pemikiran pendidikan islam mengatakan bahwa
sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati adalah esensi dari
manusia.Menurutnya subtansi manusia bukanlah terletak pada unsure-unsur yang
ada pada fisiknya melainkan berada pada hatinya sehingga pendidikan diarahkan
pada pembentukan akhlak yang mulia.[20] Tugas
guru tidah hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan,
meningkatkan dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jadi
peranan guru disini tidak hanya mentransfer ilmu melainkan mendidik.
b) Tujuan Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al Ghazali, puncak
kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh
manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia,
dengan membina ruhnya.
Secara ringkas, tujuan pendidikan
Islam menurut Al Ghazali dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu :
·
Tujuan mempelajari ilmu
adalah membentuk insan kamil ( manusia sempurna) dengan tedensi mendekatkan
diri kepada Allah.
·
Tujuan pendidikan Islam
adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
·
Tujuan utama pendidikan
Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah.
3. Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Masa Modern
Tokoh pembaharuan pendidikan Islam
bercorak modernis. Sejalan dengan pembahruan pendidikan Islam penuh dilakukan
pada 3 wilayah kerajaan besar yaitu kerajaan Usmani, Mesir, India.
1.
Wilayah Turki
Pembaharuan pendidikan didunia
Islam dimulai dikerajaan Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H/17 M yang
dilatar belakangi oleh kekalahan-kekalahan kerajaan Usmani dalam peperangan
dengan Eropa menyebabkan timbulnya usaha sekularisasi Turki yang berkembang
kemudian dan membentuk turki modern. Adapun tokoh yang mencoba
melakukan upaya tersebut ialah :
a. Sultan Ahmad III.
Adanya kekalahan yang dialami
kerajaan Turki Usmani menyebabkan Sultan Ahmad III prihatin dan melakukan
intropeksi, dengan melakukan pengiriman duta ke Eropa untuk mengamati
perkembangan barat. Dengan mendirikan sekolah teknik militer, mendirikan
percetakan untuk mempermudah Access buku pengetahuan. Upaya ini dilakukan
sampai beliau wafat dan kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud II.
b.
Sultan Mahmud II.
Sultan Mahmud II merupakan
kelanjutan dari Sultan Ahmad III. Pembaharuan yang dilakukan dengan memperbaiki
system pendidikan madrasah dengan memasukkan ilmu pengetahuan umum. Kemudian
mendirikan model disekolah barat.
2.
Wilayah Mesir
Tokoh yang
melakukan upaya pembaharuan khususnya pendidikan adalah Muhammad Ali Pasya dan
Muhammad Abduh.
a.
M. Ali Pasya.
Ia mendirikan kementrian pendidikan
dan lembaga pendidikan, membuka sekolah teknik , kedokteran, pertambangan,
mengirin siswa untuk belajar ke negri barat. Gerakan pembaharuan
memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi barat kepada umat Islam.[21]
b. M. Abduh.
Melakukan pembaharuan pendidikan di
Al-Azhar dengan memasukkan ilmu modern. Mendirikan komite perbaikan
administrasi Al-Azhar tahun 1895, melaksanakan pembaharuan administratif yang
bermanfaat yang diantaranya adalah kurikulum, metode mengajar dan pendidikan
wanita.
Kurikulum merupakan hal yang perlu
diperhatikan, karena kurikulum yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan,
maka itu tidak akan terwujud dengan baik. Dan dalam lembaga pendidikan di Mesir
Ia mendapatkan didalam kurikulumnya terdapat dualisme.[22]
Metode mengajar pun perlu diperhatikan untuk meningkatkan daya penangkapan para
siswanya, yaitu dengan metode yang praktis. Dan selain hal tersebut ia
mamandang wanita telah dirampas haknya oleh laki-laki. Menurutnya wanita harus
mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki.
c. Rasyid Ridha
merupakan murid dari Muhammad
Abduh yang lahir pada 1865 Suria. Ia banyak belajar dengan
Muhammad Abduh ketika Muhammad Abduh sedang dalam buangan di Beirut. Ia mulai
mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan ketika masih berada di Suria dan
mendapat tantangan dari Pihak Turki Utsmani, lalu ia memutuskan pindah ke Mesir
dan berada di dekat gurunya Muhammad Abduh pada tahun 1898. Beberapa bulan
setelah itu, ia menerbitkan majalah Al-Manar, yang juga terkenal.
d. Ismail Raji’ Al-Faruqi
Lahir didaerah palestina pada
tanggal 1 januari 1921 dan hijrah ke Mesir untuk mengenyam pendidikan
diuniversitas Al-Azhar. Perjalanan gerakan pendidikannya dimulai setelah
kelulusannya dari universitas Al-Azhar. Al-Faruqi membentuk sebuah gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan. Yakni upaya pengintegrasian antara disiplin ilmu
modern dengan khazanah pengetahuan agama.
3.
Wilayah India.
Pembaharuan pendidikan Islam di
India bertujuan menghilangkan diskriminasi pendidikan Islam tradisionalis
dengan pendidikan sekuler. Adapun tokoh- tokoh pembaharuan di
India sebagaimana berikut:
a. Sayyid Akhmad Khan (1817 – 1898 M).
Ia berpendapat bahwa
peninggkatankedudukan umat Islam di India dapat diwujudkan dengan
bekerjasama dengan Inggris. Kemudian mendirikan lembaga pendidikan, sekolah
Inggris mudarabbah 1864. kemudian mendirkan pula Scientific Society, mendirikan
lembaga pendidikan yang didalamnya ilmu pengetahuan umum.
b. Muhammad Iqbal.
berasal dari keluarga golongan
menengah di Punjab dan kahir di Sialkot tahun 1867. Untuk meneruskan studi ia
kemudian pergi ke Lahore dan belajar disana sampai memperoleh gelar kesarjaan
MA. Di tahu 1905 ia pergi ke negara Inggris dan belajar filsafat di Universitas
Cambridge. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich Jerman, dan memperoleh gelar
Ph.D dalam bidang tasawwuf. ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam
selama 500 tahun dikarenakan kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam telah
sampai pada keadaan statis. Untuk memperbaharui Islam di segala bidang
(termasuk pendidikan), maka diperlukan sebuah institusi penegak Hukum Islam
yang menanungi seluruh umat Islam dalam sebuah naungan negara yang dinamakan
Khilafah Islamiyah.
B. Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 750-1350 M
Pada masa klasik, pakar pendidikan
Islam menggunakan kata al-maddah untuk pengertian kurikulum. Karena
pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang
harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.[23]
1. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah
a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika membatasi
mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang
bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas,
baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang
terdapat pada seluruh kurikulum. Kecuali, kesukaran menbedakan di
antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu
yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.
b. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Menurut rahman, pendidikan jenis
ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang
tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-quran dan agama.
Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu
agama dan jurusan ilmu pengetahuan.[24]
2. Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah
Berdirinya madrasah, pada satu sisi,
merupakan sumbangan islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain
membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hemegoni negara terlalu
kuat terhadap madrasah ini.
Pada zaman keemasan Islam,
aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan
dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu
pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi,
kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, mate-matika, logika,
jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan dengan
perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah adalah dianggap
sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini di bawah
patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk
seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab empat. Nuruddin Mahmud
bin Zanki misalnya, beliau telah mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab
Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan Halab. Beliau juga membangun sebuah madrasah
untuk mazhab ini di kota Mesir.
Di satu sisi,
berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya. Akan
tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan
setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah. Akibatnya
kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi.
Legitiumasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah,
ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah. Hal ini
menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa
belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang di
lembaga-lembaga non formal.
Satu pertanyaan yang dapat kita
kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan terhadap
lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut Fazlur Rahman, ada pandangan
yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat,
maka orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sendirinya
diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di akhirat.
Sedangkan menurut Azyumardi, karena
memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak
kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari tanah waqaf yang
diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong
para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama
karena di anggap mendatangkan pahala. Di pihak lain, para penguasa politik
pemrakarsa pendirian madrasah, —apakah karena didorong oleh motivasi politik
atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi” Sunni—, sering mendikte
madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi itu sendiri”.
C. Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer
1. Azumardi Azra
Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung,
Sumatera Barat, pada tanggal 4 Maret 1955. Terlahir sebagai anak ketiga
dari keluarga yang sangat agamis. Sejak kecil, Azra dididik kedua orang tuanya
untuk mencintai ilmu pengetahuan. Meskipun secara finansial kondisi keuangan
keluarga Azra termasuk pas-pasan, keluarga ini tetap mementingkan pendidikan
anak-anaknya hingga kejenjang yang lebih tinggi. Berkat kerja keras sang ayah
dan gaji yang diperoleh oleh sang ibunda, Ramlah, yang berprofesi sebagai guru
agama pada waktu itu, sejak kecil Azra mendapat kesempatan mengenyam
pendidikan. Melalui ayahnya pula ia belajar mencintai ilmu. Kedua orang tuanya
menyadari betul bahwa mereka tidak dapat mewariskan dan membekali harta benda
kepada anak-anaknnya, selain dorongan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Pendidikan awal
Azra dimulai dari Sekolah Dasar yang berada didekat rumahnya. Sejak kecil, Azra
telah dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai, bahkan ia sudah dapat menbaca
sebelum memasuki sekolah dasar.
SMPnya dilanjukan
di Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Padang. Disekolah menengah ini,
bakat Azra sebagai seorang yang cerdas sudah kelihatan, yakni dibidang ilmu
hitung atau matematika. Bakat kemahirannya inilah pada saat itu dia mendapat
sebutan dari teman-temannya “Pak Karniyus” nama guru Aljabar dan Ilmu Ukur di
sekolahnya. Kalau Pak Karniyus tidak hadir maka Azra yang menggantikan mengajar
di depan kelas. Sedangkan dibidang ilmu keagaamam, Azra banyak mendapatkan dan
bersentuhan dengan nilai-nilai Islam modernis dan tradisional yang didapat di
luar sekolah.[25]
Azyumari Azra ialah doctor dan guru
besar sejarah, namun pemikirannnya tentang pendidikan Islam tidak diragukan.
Ketika menjadi rector universitas Islam paling bergengsi di Indonesia,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, selama dua periode
dengan perkembangan yang mencengangkan, pemikiran pendidikannya hampir tidak
pernah dipertanyakan orang. Azyumari Azra, Putra Lubuk Alung, Padang Pariaman,
Sumatra Barat ini merupakan tokoh intelektual dan tokoh pembaharuan pendidikan
Islam Indonesia. Sebagai seorang pemikir dan actor pendidikan sekaligus, dia
bahkan dianggap sebagai salah satu penopang gerbong bagi lahirnya kaum
intelektual muslim di Indonesia.[26]
Adapun Konsep Pemikiran Pendidikan
Islam Menurut Azumardi Azra sebagai berikut;
1. Tujuan Pendidikan Islam
Azyumardi Azra mengerucutkan tujuan
pendidikan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Menurut
Azra, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam
Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di
akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang
bertakwa ini menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil
maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga
sebagai tujuan umum atau akhir pendidikan Islam.[27]
Adapun tujuan
khusus, menurut Azra lebih praxis sifatnya, sehingga konsep
pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealis ajaran-ajaran Islam dalam bidang
pendidikan. Sehingga dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam
tahap-tahap penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus dapat
pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai. Dari tahapan-tahapan inilah
kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci.[28]
Dengan demikian dapat disimpulkan,
bahwa tujuan pendidikan secara esensial adalah terwujudnya peserta didik yang
memahami ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, terwujudnya insan kamil, yakni manusia yang kembali
kepada fitrahnya dan kepada tujuan kehidupannya sebagaimana ia berikrar
sebagai manusia yang datang dari Allah dan kembali kepada Allah.
2. K.H. Ahmad Dahlan
Beliau dilahirkan di kauman
(Yogyakarta) tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Nama
kecilnya Muhammad Darwis. Ayahnya bernama. K.H. Abu Bakar, seorang imam dan
khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah. Beliau
berasal dari keluarga yang didaktis dan alim dalam ilmu agama. Sejak kecil
beliau diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai
dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kmitab-kitab agama.
Menejelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa
ulama’ besar pada waktu itu. Diantaranya , K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih),
K.H.Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis) ,Syekh Amin dan Sayyid Bakri
(Qiraat Al-Qur’an). Dalam usia relatif muda, beliau telah mampu menguasai
beberapa disiplin ilmu keislaman.
Setelah beliau lulus pendidikan
dasar di madrasah dalam bidang nahwu, fiqih dan tafsir di Yogyakarta, beliau
pergi ke makkah pada tahun 1890 untuk menuntut ilmu di sana selama satu tahun.
Salah satu gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903, beliau
kembali ke makkah dan menetap di sana selama dua tahun. Sepulang dari makkah
beliau berganti nama Haji Ahmad Dahlan. Kemudian beliau menikah dengan siti
Waalidah putri Kyai Penghulu Haji Fadhil.[29]
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan
pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi
Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur
yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta.
Adapun Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
Tentang Pendidikan Islam Beliau mengatakan, uapaya strategis untuk
menyelamatkan umat islam dari berpikir statis menuju pemikiran yang dinamis
adalah melalui pendidikan.umat islam dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki
daya analisis yang tajan dalam membaca dinamika kehidupan yang akan datang.
Adapun kunci bagi kemajuan umat islam adalah kemabali pada Al-Qur’an dan
hadits, mengarahkan umat islam pada pemahaman ajaran islam yang komprehensif,
dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Pendidikan islam hendaknya menjadi
media dan mampu mengembangkanal-ruh dan al-akal.hal ini disebabkan di alam ini
ada dua dimensi yaitu dimensi pisika dan metapisika. Manusia adalah integrasi
dari dua dimensi yaitu dimensi ruh dan jasad. Maka aktivitas pendidikan harus
mampu mengembangkan dimensi tersebut. Dan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan
secara langsung sesuai prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Hadits.Ahmad Dahlan
melihat bahwa problem epistemologi pendidikan islam tradisional disebabkan
karena ideologi ilmiahnya terbatas pada dimensi religius yang membatasi pada
pengkajian kitab-kitab klasik, khususnya dalam madzhab syafi’i. Sikap
ilmiah yang demikian mengakibatkan umat islam tidak mampu menganalisa ilmu
pengetahuan secara kritis sehingga kurag mampu berkompetisi secara preoduktif
dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian.
Menurut ahmad Dahlan pendidikan
islam hendaknya diarahkan untuk membnetuk manusia muslim yang berbudi pakerti
luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta
bersedia berjuang demi kemajuan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan ini,
hendaknya pendidikan islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan,
baik umum maupun agama, untuk mempertajam intelektualitas dan memperkokoh
spiritualitas peserta didik. Upaya ini akan terwujud jika proses pendidikan
bersifat integral dan epistemologi islam hendaknya dijadikn landasan
metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan. Menurut
Ahmad Dahlan, Materi pendidikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan hadits,
membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar. Sistem pemdidikan yang
diapakai beliau adalah klasikal, beliau ingin menggabungkan sistem pendidkan
belanda dengan sistem pendiidkan tradisional secara integral.
Materi Al-Qur’an dan hadits yaitu
ibadah, persmaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya,
musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan hadits menurut akal, kerjasama
anatara agama-kebudayaan keamajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan,,nafsu
dan kehendak, demokratisasi, dan liberalisasi, kebebasan berpikir, dinamika
kehidupan dan peranannya, dan akhlak.
Komitmen ahmad dahlan terhadap
pendidikan agama adalah sanagat kuat, untuk itu beliau masuk orgnasisasi Budi
Oetomo pada tahun 1909, untuk mendapatkan peluang mengajarkan pendidikan agama
kepada para anggotanya. Komitmen terhadap pendidikan selanjutnya menjadi salah
satu ciri khas organisasi yang didirikannya pada tahun 1912 yaitu Muhammadiyah.
Pandangan ahmad dahlan dalam
pendidikan juga dapat dilihat dalam kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh
Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan muhammadiyah melanjutkan model sekolah
yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Disamping itu ,
Muhammadiyah mendirikan sekolah yang agamis yaitu madrasah diniyah di
minangkabau untuk memperbaiki pengajian Al-Qur’an yang tradisional. Pada
tanggal 8 Desember 1921, Muhammadiyah mendirikan pondok Muhammadiyah
sebagai sekolah pendidikan guru agama. Dalam sekolah tersebut pelajaran umum
diberikan oleh dua orang guru dari sekolah pendidikan guru (kweekschool),
sedangkan ahmad dahlan dan beberapa orang lainnya memberikan pelajaran agama
yang lebih mendalam.
3. K.H. A. Wahid Hasyim
Wahid Hasyim yang akrab di sapa
dengan Gus Wahid lahir pada hari jumat legi, tanggal 5 Rabiul Awal 1333 H
bertepatan dengan 1 juni 1914 di Desa Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Oleh
ayahnya Hadratus Syeh K.H. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari,
terambil dari nama neneknya. Karena di anggap nama tersebut tidak cocok dan
berat maka namanya di ganti Abdul Wahid, pengambilan dari nama seorang
datuknya. Namun ibunya kerap kali memanggil dengan nama Mudin. Sedangkan
para santri dan masyarakat sekitar sering memanggil dengan sebutan Gus Wahid,
sebuah panggilan yang kerap ditujukan untuk menyebut putra seorang Kyai di Jawa.
Wahid Hasyim berasal dari keluarga
yang taat beragama, keluarga pesantrern yang berpegang erat pada tradisi.
Ia lahir, tumbuh dan dewasa dalam lingkungan pesantren. Ibunya bernama Nafiqah
putri K.H. Ilyas pemimpin pesantren Sewulan di madiun. Garis keturunan ayah dan
ibunya bertemu pada Lembu Peteng ( Brawijaya VI ), yaitu dari pihak ayah
melalui Joko Tingkir ( Sultan Pajang 1569-1587 ) dan dari pihak ibu
melalui Kiai Ageng Tarub I. Sejak usia 5 tahun ia belajar membaca Al Quran pada
ayahnya setiap selesai sholat magrib dan dhuhur, sedang pada pagi hari ia
belajar di Madrasah Slafiyah di dekat rumahnya. Dalam usia 7 tahun ia mulai
mempelajari kitab Fath Al-Qarib ( kemenangan bagi yang dekat )
dan al-Minhaj al-Qawim ( jalan yang lurus ). Sejak kecil minat membacanya
sangat tinggi, berbagai macam kitab di telaahnya. Ia sangat menggemari
buku-buku kesusastraan Arab, khususnya buku Diwan asy-Syu’ara’ (
Kumpulan penyair dengan syair-syairnya ).[30]
Adapun Pemikiran Pendidikan K.H. A.
Wahid Hasyim sebagai berikut;
1) Prinsip-prinsip pendidikan.
Pemikiran pendidikan Islam Wahid
Hasyim dapat di cermati pada beberapa karya beliau yang di muat di media yang
setidaknya terdapat 7 judul, seperti Abdullah Oebayd sebagai pendidik. Dalam
buku ini K.H.A. Wahid Hasyim membeberkan beberapa prinsip dalam pendidikan
yaitu :
1) Percaya kepada diri sendiri atau prinsip kemandirian.
2) Kesabaran.
3) Pendidikan adalah proses bukan serta merta.
4) Keberanian.
5) Prinsip tanggung jawab dalam menjalankan tugas.
2) Orientasi Pendidikan Islam.
Sebagai seorang santri pendidik
agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas
sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid
Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat
dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya
kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya
gangguan fisik ketika berkreatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan
dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan
dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus
memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga
mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Mendudukkan para santri dalam
posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok
lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat
santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya
dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok
pesantren asuhannya ayahnya.
Pertama-tama ia mencoba menerapkan
model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia
kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia
pesantren. Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih
pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren
yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.
Dalam mengadakan perubahan terhadap
sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin
gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah
sebagai berikut:
a) Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
b) Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
c) Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh
tujuan dapat dicapai.
Menurut beliau, tujuan pendidikan
adalah untuk menggiatkan santri yang berahlakul karimah, takwa kepada Allah dan
memiliki ketrampilan untuk hidup. Artinya dengan ilmu yang dimiliki ia mampu
hidup layak di tengah masyarakat, mandiri, tidak jadi beban bagi orang lain.
Santri yang tidak mempunyai ketrampilan hidup ia akan menghadapi berbagai
problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa tujuan pendidikan Wahid Hasyim bersifat Teosentris (
Ketuhanan ) sekaligus Antroposentris ( kemanusiaan ). Artinya bahwa
pendidikan itu harus memenuhi antara kebutuhanduniawi dan ukhrowi,
moralitas dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuankognisi ( iman
), afeksi ( ilmu ) dan psikomotor ( amal, ahlak yang mulia
).[31]
3) Materi Pendidikan Islam.
Materi yang di rancang oleh Wahid
Hasyim dalam pendidikan terbagi menjadi tiga : Pertama, ilmu-ilmu
agama Islam seperti fiqih, tafsir, hadist dan ilmu agama lainnya. Kedua,
ilmu non agama seperti ilmu jiwa, matematika, dan Ketiga,kemampuan bahasa,
yaitu Bahasa Inggris, Belanda dan Bahasa Indonesia.
4) Metode Pendidikan.
Adapun metode pendidikan yang
dianut oleh K.H.A. Wahid Hasyim yaitu banyak mencontoh model pengajaran ayahnya
Hasyim Asy’ari berupa penanaman kepercayaan diri yang tinggi terhadap muridnya.
Ini sebagai bukti bahwa pola pemikiran Wahid Hasyim dengan ayahnya yaitu Hasyim
Asy’ari banyak sekali persamaannya, atau dengan kata lain bahwa sistem
dan tehnik yang diterapkan Wahid Hasyim merupakan kelanjutan dari sistem dan
tehnik Hasyim Asy’ari. Adapun contohnya seperti :
1) Tanggung jawab murid
·
Tidak menunda-nunda
kesempatan dalam belajar atau tidak malas.
·
Berhati-hati, menghindari
hal-hal yang kurang bermanfaat.
·
Memuliakan dan
memperhatikan hak guru , mengikuti jejak guru.
·
Duduk dengan rapi bila
berhadapan dengan guru.
·
Berbicara dengan sopan dan
santun dengan guru.
·
Bila terdapat sesuatu yang
kurang bisa dipahami hendaknya bertanya.
·
Pelajari pelajaran yang
telah diberikan oleh guru secara istiqomah.
·
Pancangkan cita-cita yang
tinggi.
·
Tanamkan rasa antusias
dalam belajar.[32]
2) Tanggung jawab guru
·
Bersikap tenang dan selalu
berhati-hati dalam bertindak.
·
Mengamalkan sunnah Nabi.
·
Tidak menggunakan ilmunya
untuk meraih gemerlap dunia.
·
Berahlakul karimah dan
selalu menabur salam.
·
Menghindarkan diri dari
tempat-tempat yang kotor dan maksiat.
·
Memberi nasehat dan menegur
dengan baik jika ada anak yang bandel.
·
Mendahulukan materimateri
yang penting dan sesuai dengan profesi yang dimiliki.
4. Zainuddin Labay El-Yunus
Syekh ZaInuddin Labay el-Yunisy
lahir di Bukit Surungan padangpanjang, Pada tanggal 12 Rajab 1308/1890 M. Ia
meninggal pada tahun 1924 dalam usia 34 tahun. Pada usia 8 tahun ia sekolah di
Government Padangpanjang sampai kelas IV, karena tidak puas dengan metode
mengajar pada waktu itu. Secara autodidak, ia banyak membaca buku, baiak agama maupun
umum. Kemudian ia berguru kepada H. Abdullah Ahmad, H. Abdullah Abbas, H. Abdul
Karim Amrullah. Dalam perjalanan intelektualnya beliau lebih banyak belajar
secara autodidak.
Adapun Pemikirannya tentang
pendidikan islam sebagai berikut:
Untuk mewujudkan cita-citanya pada
tanggal 10 oktober 1915, beliau mendidrikan Diniyah School di Padang panjang
yang sarat dengan ide pembaharuan. Ia melakukan perombakan terhadap sistem
pendidikan, menyusun kurikulum dan daftar pelajaran yang lebih sistematis serta
mengubah sistem pendidikan surau menjadi sistem pendidikan klasikal. Sebagai
pengantarnya adalah bahasa arab, materi pendidikan yang diberikan meliputi
pendidikan agama dan umum yang buku-bukunya diambil dari Mesir dan Belanda.
Lembaga pendidikan diniyah school
memperkenalkan sitem pendidikan modern yaitu sistem klasikal dan kurikulum yang
teratur. Materi pendidikan yang ditawarkan adalah ilmu agama dan ilmu umum.
Ilmu umum yang diajarkan adalah bahasa asing, ilmu bumi, sejarah dan
matematika. Murid-murid di diniyah school pada umunya diseleksi dengan cermat
dan memenuhi syarat-syarat yang ada, yaitu murid dalam satu kelas memeliki
rata-rata umurt dan kesanggupan yang sama.[33]
Dalam mengajarkan ilmu agama
Zainuddin lebih banyak mengambil metode Mesir, sedangkan dalam mengajarkan ilmu
umum beliau banyak mengambil gagasan pembaruan dari Musthofa Kemal Pasya,
Muhammad Abduh, Dan Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari
kitab yang digunakan di lembaga ini. Di samping kitab yang dikarangnya sendiri
ia juga menggunakan kitab arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama
dan ilmu umum dengan menggunakan literatur Barat.[34]
Sebelum pembelajaran Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu lainnya, susunan pelajaran diniyah school dimulai dengan mengajarkan
pengetahuan bahasa arab,hal ini karena bahas arab adalah alat utama yang perlu
dikuasai peserta didik agar mudah meahami ilmu yang lain. Metodeyang
ditertapkan Zainuddin untuk mnemperkenalkan bahasa arab dimulai dengan tulisan
arab dan menyusun kalimat dalam bahasa arab melayu, baru kemudian bahasa arab
sesungguhnya. Untuk kelas rendahj, dia menyusun sendiri buku pelajaran muridnya
dalam bahasa arab melayu. Kemudian untuk kelas menengah, bahasa arab yang
digunakan adalah bahasa arab sederhana, sementara untuk kelas tinggi ia
menggunakan buku terbitan Kairo dan beirut.[35]
5. K. H. Hasyim Asy’ari
Beliau lahir di desa Nggedang
Jombang Jawa Timur, pada tanggal 25 Juli 1871. Nama lengkapnya adalah
Muhammad Hasyim Asy’ari ibn Abd Wahid Ibn Abd Halim yang mempunyai gelar
pangeran Bona ibn Abd al-Rahman yang dikenal dengan jaka tingkir sultan
hadiwijaya ibn Abdullah ibn abd Aziz ibn abd al-Fattah ibn Maulana Ishaq dari
sunan giri.[36]
Guru pertama beliau adalah ayahnya
sendiri yang mendidikny membaca Al-Qur’an dan literatur islam lainnya. Jenjang
pendidikan yang ditempuh beliau adalah di berbagai pesantern. Pada awalnya,
beliau menjadi santri di pesantren Wonokojo Probolinggo, lalu pindah di
langitan, Tuban. Dari langitan pindah ke bangkalan yang diasuh oleh kyai
kholil. Dan terakhir sebelum ke Makkah beliau sempat nyantri di pesantren
siwalan panji, sidoarjo. Pada pesantren terakhir inilahbeliau diambil menantu
oleh Kyai Ya’qub pengasuh pesantren tersebut. Sepulang dari Makkah untuk
mengamalkan dan mengembangkan ilmunya beliau membuka Pesantren Tebuireng pada
tanggal 26 Rabi’ul Awwal tahun 1899 M. Pada tahun 1919 beliau mendirikan
madrasah Salafiyah sebagai tangga untuk measuki tingkat menengah pesantren
Tebuireng.
Pada tahun 1929 beliau menunjuk K.H.
Ilyas menjadi kepala Madrasah Salafiyah, maka di bawah pimpinan K.H. Ilyas
dimasukkan pengaetahun umum ke dalam madrasah yaitu :
1) Membaca dan menulis huruf latin
2) Mempelajari bahasa indonesia
3) Mempelajari ilmu bumi dan sejarah indonesia
4) Mempelajari ilmu hitung[37]
Adapun pemikirannya tentang pendidikan
islam sebagai berikut:
Diantara karaya K.H. Hasyim Asy’ari
yang sangat monumental yaitu kitab adab al-alim wa al- muta’alim fima yahtaj
ilah al-muta’allim fi ahuwal ta’allum wa ma yataqaff al-muta’allim fi
maqamat ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1451 H. Kitab tersebu
terdiri dari 8 bab, yaitu keutamaan ilmu serta keutamaan mengajar, etika yang
harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru,
etika murid terhadap pelajaran, etika yang harus dipedomani oleh guru, etika
guru ketika akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya dan etika
terhadap buku. Dari 8 bab dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu
a. Signifikansi pendidikan
Berkaitan dengan pendidikan , di
dalam kitab tersebut beliau banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan keutamaan ilmu dan orang yang berilmu. Dan dalam pembahasan bab
pertama dilengkapi dengan berbagai hadits Nabi dan pendapat berbagai ulama’.
Diantara isinya yaitu tentang tujuan ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya, mkasudnya
agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal di kehidupan
akhherat, syariat mewajibkan menuntut ilmu dan memperoleh pahala yang besar,
ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas identitas pemiliknya.,bertauhid itu
harus mempunyai iman. Maka barang siapa beriman maka ia harus bertauhid.
Keimanan mewajibkan adanya syariat, sehingga orang yang tidak menjalankan
syariat maka berarti ia tidak beriman dan bertauhid. Sementara orang yang
bersyariat harus beradab. Dengan demikian beradab berarti ia juga
bertauhid, beriman dan bersyariat.
Dua hal yang harus diperhatikan
dalam menuntut ilmu, yaitu pertama bagai murid hendaknya berniat suci, jangan
sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi, jangan melecehkan dan
menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmunya meleuruskan niat,
tidak mengharapkan materi semata-mata. Dalam penjelasannya tidak ada definisi
khusus tentang belajar. Tetapi yang menjadi titik tekan pengertian belajar
adalah ibadah mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilia islam, bukan hannya sekedar menghilangkan kebodohan.[38]
b. Tugas dan tanggung jawab murid
·
Etika yang harus
diperhatikan dalam belajar
·
Etika seorang murid
terhadap guru
·
Etika murid terhadap
pelajaran
c. Tugas dan tanggung jawab guru
·
Etika seorang guru
·
Etika guru dalam mengajar
·
Etika terhadap buku, alat
pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
6. Prof. Dr. Mahmud Yunus
Mahmud Yunus lahir di Batusangkar,
Sumatra Barat pada tanggal 10 Pebruari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari
1982. Beliau termasuk tokoh pendidikan islam indonesia yang gigih
memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha
memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Adapun usaha dan pemikiran
pendidikannya sebagai berikut;
Usaha yang dilakukan Mahmud Yunus di
bidang pendidikan setelah kembali ke indonesia yaitu memperbarui madrasah yang
pernah dipimpinnya di sungayang yang bernama al-Jami’ah al-Islamiyah, dengan
mendirikan sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan ilmu umum yaitu
Normal Islam. Madrasah ini yang pertama kali memiliki Laboratorium ilmu fisika
dan kimia di Sumatra Barat. Pembaruan di diutamakan pada metode mengajar bahasa
arab.
Mahmud Yunus memilki komitmen dan
perhatian yang besar terhadap upaya membangun, meningkatkan dan mengembangkan
pendidikan agama islam, Diantara gagasan dan pemikirannya adalah :
·
Dari segi tujuan pendidikan
islam, hendaknya lulusan pendidikan islam mutunya lebih baik dan mampu bersaing
dengan lulusan sekolah yang sudah maju.
·
Dari segi kurikulum,beliau
menawarkan pengajaran bahasa arab yang integrated antara satu cabang dengan
cabang lainnya dalam ilmu bahasa arab.
·
Dalam bidang kelembagaan,
perlu mengubah sistem yang bercorak individual kepada sistem pengajaran
klasikal.
·
Dari segi metode
pengajaran, hendaknya cara mengajarkan agama sesuai dengan tingkat usia dan
jenjang pendidikan dengan menggunakan metode yang bervariasi.[39]
7. Ki Hajar Dewantara
Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 1889
di Yogyakarta dan wafat pada tanggal 26 April 1959. Ayahnya Suryaningrat, putra
Paku alam III. Beliau adalah bapak pendidikan Nasional indonesia. Prinsip
pendidikan yang sangat demokratis dari belaiu adalah ing ngarso sing
tulodo (di depan memberi contoh), ing madya mangun karso ( di tengah
membangkitkan kreativitas), dan tut wuri handayani (di belakang memberikan
pengawasan).
Adapun Gagasan dan pemikiran
pendidikannya sebagai berikut;
a) Tentang Visi, misi, dan tujuan pendidikan, pendidikan sebagai
alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemjuan manusia secara
universal, sehingga mampu berdiri kokoh dan bersaing dengan bangsa lain.
b) Kurikulum (mata pelajaran ), untuk anak usia TK, hendaknya
diajarkan, permainan, olahraga, menyanyi, menari, cerita berwujud dongeng, dan
pelajaran mengenal tempat di sekelilingnya. Untuk Taman Muda (masa wiraga
wirama), hendaknya diajarkan : olahraga, pencak, menari, menyanyi, bahasa dan
cerita kesusasteraan, dan pengetahuan tentang kodrat alam. Untuk taman dewasa
(masa wirama) hendaknya diajarkan olahraga, menari, kesenian, bahasa dan
kesusateraan daerah dan indonesia, bahasa asing, koperasi, majalah dan
lain-lain.
c) Pendidikan budi pekerti, yang ditekankan pada pembentukan
karakter, perilaku dan kepribadian yang baik.
d) Pendidikan agama didasarkan pada toleransi, kebebasn menyatakan
keagamaan.
e) Wawasan global internasional, hendaknya diajarkan bahasa asing
yaitu bahasa inggris. Bahasa arab, dan bahasa jerman agar mampu berhubungan
dengan dunia internasional.
f) Sistem pondok, memiliki banyak keuntungan yaitu hemat biaya,
membangun kebersamaan, kesederhanaan hidup, keberanian berkorban, dan
pemanfaatn waktu sebanyak-banyaknya.
Tabel pemikiran para tokoh dan perkembangan
pendidikan islam.
NO
|
TOKOH
MASA KLASIK
|
PEMIKIRANNYA
|
1.
|
Ibn Taimiyah
|
Ilmu
Yang Bermanfaat Sebagai Asas Bagi Kehidupan Yang Cerdas Dan Unggul.
|
2.
|
Ibn
Miskawih
|
Mewujudkan
ahklak yang mulia
|
3.
|
Ibn sina
|
Perkembangan
fisik, intelektual, dan budi pekerti
|
4.
|
Al-Ghazali
|
Pengajaran
aklahk, memuliakan manusia dll.
|
NO
|
TOKOH MASA MODERN
|
PEMIKIRANNYA
|
1.
|
Azumardi
Azra
|
Mewujudkan
insal kamil atau manusia paripurna
|
2.
|
K.H Ahmad
Dahlan
|
Kurikulum
(moral, individual, msyarakat)
Membentuk
mansusia muslim
|
3
|
K.H Hasyim
Asyari
|
Pengajaran
akhlak serta pengamalannya
|
4.
|
K.H. Wahid
Hasyim
|
Prinsip-prinsip
pendidikan (prinsip kemandirian, kesabaran, dsb)
|
5.
|
Ki Hajar
Dewantara
|
Pendidikan
sebagai alat perjuangan
Kurikulum,
(olahraga, permainan, mengaji, menari dsb)
|
6.
|
Prof. Dr.
Muhammad Yunus
|
Memperbaiki
madrasah
Membangun
dan mengembangkan pendidikan agama islam.
|
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejarah perkembangan filsafat pendidikan islam, periode ini
meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW. Dan masa pemerintahan Khulafa’
al-Rasyidin. Periode awal perkembangan Islam ini dibedakan dari periode
berikutnya dengan pertimbangan bahwa selama masa kekuasaan Nabi dan para
penggantinya (khulafa’ al-Rasyidin), kekuasaan Islam masih berpusat di wilayah
Arab. Dan mengingat nasa antara kehidupan Nabi SAW. Dan masa penggantinya
relatif hanya sekitar 29 tahun (Nabi wafat tahun 632 M. Dan Ali RA. Wafat tahun
661 M). Jarak yang sesingkat itu khalalifat penggantinya tidak jauh berbeda.
Masa klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa
al-Rasyidin hingga awal masa imperialis barat. Rentang waktu tersebut meliputi
awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam
secara politis hingga ke awal abad XIX. Beberapa pertimbangan yang
dijadikan dasar pembagian.
Prof. Dr. Harun Nasution, bahwa masa modern dimulai sejak tahun
1800 M. Menjelang periode modern ini, setelah Bani Abbas dan Bani Ummayah
secara politik dapat dilumpuhkan, kekuasaan islam masih dapat dipertahankan.
Tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Turki Utsmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika),
Kerajaan Safawi (Persia) dan kerajaan Mughol (India) masih memegang hegemoni
kekuasaan Islam. Namun menjelang abad ke-17 dan awal abad ke-18
kerajaan-kerajaan Islam tersebut, satu persatu dapat dikuasai bangsa-bangsa
Eropa (Barat).
DAFTAR PUSTAKA
http://ahbirrulwalidain.blogspot.co.id/2015/11/sejarah-perkembangan-filsafat.html
Jalaludin dan Said, Usman, Fisafat
Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Persada 1996
Akhyar,
Thawil, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,
Temanggung: DIMAS, 1993
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2011
De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New
York: Dover Publication
Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung,
Pustaka Setia,, 2011.
Kholiq, abdul
dkk, Pemikiran Pendidikan Islam,
Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999
Anwar,
Chairul, Reformasi Pemikiran
Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, Bandar lampung Fakta Pers, 2007
Sarbanun, Ahbanun Filsafat Pendidikan Islam, Bandar
Lampung, Pustaka Pers, 2013
Swito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media 2005
Nizar,
Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2007
Nata, Abudin,
Sejarah Pendidikan Islam, Rajawali
Pers, Jakarta, 2012
Arif, Muhammad,
Pendidikan Islam Transformatif ,
Cet. I; Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008
Napsiyah, Siti, Pemikir Pendidikan Islam, Jakarta :
PT. Pena Citasatria, 2007
Ramayulis
dan Nizar,Samsul, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2009
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Jakarta : PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994
Qomar, Mujamir, Manajemen Pendidikan Islam, Malang : Erlangga. 2007
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta
: Ciputat Pres. 2002
Noer,
Deliar, Gerakan Modern, Tim Pembina
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan amal Usaha, Yogyakarta
: Tiara Wacana, 1990
Yunus, Muhammad,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta
: Hidakrya Agung, 1990
Asy’ari, Hasyim,
Adab Ta’lim wa Muta’allim,
Jombang : Turats al Ilamy, 1415
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, 1992
Nata,
Abudin, Tokoh-tokoh Pembaharu
Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2005
[1] http://ahbirrulwalidain.blogspot.co.id/2015/11/sejarah-perkembangan-filsafat.html.
diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 20:00 WIB
[2] http://ahbirrulwalidain. Op.
Cit...,
[3] Jalaludin dan
Usman Said, Fisafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
Persada 1996). Hal. 116
[4] Jalaludin dan Usman Said, Ibid...,
[5] Jalaludin dan Usman Said, Op.
Cit..., Hal. 118
[6] http://avicena-sumbersari.blogspot.co.id/2012/03/sejarah-perkembangan-filsafat.html. Di akses 12 Mei 2016. Pukul 08:25 WIB
[7] http://indexilmu.blogspot.co.id/2009/05/pemikiran-tokoh-pendidikan-islam-klasik.html.
diakses tanggal 28 Mei 2016, jam 09:00 WIB
[8]
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung: DIMAS, 1993). Hal . 47
[9] Mahmud, Pemikiran
Pendidikan Islam, ( Bandung, Pustaka Setia, 2011), Hal. 277.
[10] De Boer, The
History Of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication). hlm.128
[11] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung: DIMAS, 1993), Hal. 47
[12] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), Hal.
127-128.
[13] Mahmud, Pemikiran
Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka Setia,, 2011). Hal. 23
[14] Abdul
Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan
Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka
Pelajar Offset, 1999), Hal. 16
[15] Ibid..., Hal. 19-20
[16] http://dakir.wordpress.com/2009/07/30/konsep-pendidikan-ibnu-sina.
diakses tanggal 29 Mei 2016, jam 09:15 WIB
[17] Chairul Anwar, Reformasi
Pemikiran Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, (Bandar lampung Fakta Pers,
2007). Hal. 5
[18] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung,
Pustaka Setia, 2011). Hal. 244
[19]
Achmad Sarbanun, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandar Lampung, Pustaka Pers, 2013), Hal.
95
[23]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Rajawali Pers, Jakarta, 2012). Hal.
113
[24] Ibid...,
Hal.119
[25]
Mahmud Arif, Pendidikan Islam
Transformatif (Cet. I; Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta,
2008), Hal. 48
[26] Siti Napsiyah
Ariefuzzaman, Pemikir Pendidikan
Islam, (Jakarta : PT. Pena Citasatria, 2007), Hal 45.
[27] Azyumardi
Azra, Op. Cit, hal 8
[28] Azyumardi Azra, Loc. Cit. Hal. 9
[29]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009). Hal. 327
[30] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam ( Jakarta : PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), Hal. 163
[31] Mujamil Qomar,
Manajemen Pendidikan Islam ( Malang : Erlangga. 2007 ), Hal. 73.
[33] Deliar Noer, Gerakan
Modern, Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah,
Pemikiran dan amal Usaha, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), Hal. 62
[35] Ibid...,
[39]
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,
2005), Hal. 57-70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar