Rabu, 20 Juli 2016

Kel. 9 Sejarah Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam



SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam


Dosen Pengampu: Syarnubi, M.Pd.I
 Disusun Oleh Kelompok 9:

AL FARIZI (1532100080)
ABY SYARIFUNNAHAR (1532100071)
DHEA AMELIA (1532100104)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah azza wajal, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw. Keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas ajarannya hingga hari kiamat.
Penulis sangat bersyukur karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Sejarah Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam”.
Penyusunan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negri Raden Fatah Palembang. Dalam penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah filasafat pendidikan islam yang telah memberikan materi perkuliahan serta arahannya.Mudah-mudahan Allah SWT membalas atas semua bantuan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap makalah ini berguna bagi kita semua amin. Atas perhatian kami ucapkan terima kasih.
Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palembang, 17 Mei 2016

Penulis

DAFTAR ISI




BAB I

PENDAHULUAN

Awalnya filsafat disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau segala hal, baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan perannya.
Mulai dari masalah-masalah yang berhubungan dengan alam semesta hingga masalah manusia dengan segala problematika dan kehidupanya.
Diantara permasalahan yang tidak dapat dijawab oleh filsafat adalah permasalahan yang ada dilingkungan pendidikan.
Padahal menurut John Dewey, seorang filosof Amerika, filsafat merupakan teori umum dan landasan pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang terdapat dalam pengalaman pendidikan.
Apa yang dikatakan John Dewey memang benar. Dan karena itu filsafat dan pedidikan memiliki hubungan hakiki dan timbal balik, berdirilah filsafat pendidikan yang berusaha menjawab dan memecahkan persoalal-persoalan pendidikan yang bersifat filosifis dan memerukan jawaban secara filosofis.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas sebuah judul makalah tentang “Sejarah Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam” agar kita mengetahui bagaimana sejarah perkembangan filsafat pendidikan yang mudah-mudahan dapat menambah wawasan tentang sejarah perkembangan filsafat pendidikan islam dan bermanfaat bagi kami juga kita semua. Aamiin.






BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam

1.      Awal Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam

Sejarah perkembangan Filsafat Pendidikan Islam di mulai ketika terbentuknya filsafat yang mengajarkan tentang usaha usaha mencari asas asas fundamental pendidikan Islam. Berfikir logis dan rasional yang mengarahkan seseorang menjadi pribadi yang berpegangan pada pendidikan Islam
Sebagai seorang muslim kita harus tahu kapan sejarah perkembangan Filsafat Pendidikan Islam dimulai,dengan mengunakan dasar dasar Pendidikan Islam yaitu melalui alquran ,sunnah,perkataan sahabat serta pemikiran para tokoh filsafat Islam.Dengan demikian kita mampu mengetahui awal dimulainya sejarah pendidikan Islam serta perkembangannya.[1]
Falsafat pendidikan islam diperkirakan berkembang sejalan dengan latar belakang sejarah perkembangan aagama islam. Seperti diketahui penyebaran agama islam berawal dari makkah kota kelahiran Rasul SAW. Namun islam baru membangun dirinya sebagai peradapan yang lengkap di periode madinah.
Sebagai ibukota, madinah berperan sebagai pusa peradaban baru yang didasarkan pada konsep ajaran agama islam. Disinilah rasulullah dan para sahabat membuktikan manusia zamannya bahwa islam sebagai agama yang mampu dan berhasil menata negara atas dasar ajran agama islam, dalam bentuk komuntas yang disebut dengan ummah.[2]
Disini terlihat missi keagaamaan yang dijalankan rasulullah dan para sahabat bukan hanya terbatas pada masalah agama semata. Misi beliau yang berintikan ajaran tauhid, yang secara mendasar diintensifkan selama periode makkah. Ternyata secara luwes tetapi konsisten mampu dikembangkanmenjadi paket yang berisi muatan peradaban manusia dengan seluruh aspeknya.
Adapun pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan oleh pengaruh kondisi dan situasi tersebut dalam berbagai bidang, sesuai dengan kepentingan masanya. Dalam kaitannya dengan munculnya pemikiran-pemikiran barudalam masalah keislaman ini, barangkali pemikiran pemikiran falsafah pendidkan islam juga telah muncul sejak awal-awal perkembangan islam.
Periode ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW. Da masa pemerintahan khulafa’ al-rasyiddin. madinah periode awal perkembanangan islam ini dibedakan dari periode berikutnya dengan pertimbangan bahwa masa kekuasaan nabi dan para penggantinya. Kekuasaan islam berpusat diarab. Dan menggingat masa antara kehidupan Nabi SAW. Dan masa penggantinya realtif 29 tahun. Jarak yang sesingkat itu diperkirakan kndisi semasa Nabi SAW, dengan para penggantinya tidak jauh beda.[3]            
Pemikiran menggenai filsafat pendidikan pada periode awal ini, merupakan perwujudan dari kandugan aya-ayat Al-Qur’an dan hadits, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi islam. Dengan kata lain, kata Hasan langgunlung, bahwa pmikiran pendidikan islam dilihat dari segi Al-Qur’an dan hadist, tidaklah muncul sebagai peikiran yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperi yang digambarkan oleh islam.[4] Pemikiran itu berbeda dengan kerangka paradigma umum bagi masyarakat yang dikehendaki oleh islam. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan ang kita lihat dalam Al-Qur’an dan Hadist mendaatkan ilmiahnya.
Diperiode kehidupan Rasul SAW, ini tampaknya dmulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran Al-Qur’an yang diteladani oleh masyarakat dari prilaku hidup Nabi Muhammad SAW.    
Pemikiran filsafat pendidikan islam pada periode awal ini terfokus pada upaya pengalikasi nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan, dengan menjadikan perikehidupan Rasullah SAW. Sebagai rujukan teladang langsung. Dengan kata lain, orientasi pemikiran filsafat pendidikan islam ketika itu adalah bagaimana memenuhi tuntutan hidup perilaku yang islami. Di sini terlihat pemikiran filsafat pendidikan islam belum tercemar oleh unsur luar.[5]
Di zaman pemerintahan khulafa’ al-Rasyidin pun, terutama semasa pemerintahan Umar Ibn Khattab, wilayah kekuasaan Islam sudah luas ke luar tanah Arab. Untuk itu diperlukan perangkat tertentu dalam pemerintahan seperti administrasi pemerintahan, sistem keuangan maupun pasukan khusus maupun yang menyangkut hubungan antar wilayah dengan pusat pemerintahan. Tetapi sejauh yang dapat diketahui, perubahan-perubahan yang terjadi belum terlalu banyak, karena perluasan wilayah masih terbatas pada kegiatan dakwah dan bukan dengan tujuan menjajah.[6]

2.      Pemikiran tokoh pendidikan islam Masa klasik  

1)      Ibn Taimiyah

Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran, Wilayah Siria, pada hari senin 10 Rabiul Awwal 661 H. bertepatan dengan 22 Januari 1263 M dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulqaidah, 728 H. bertepatan dengan 26 September 1328 M.[7] Ayahnya bernama Syihab a-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H.) adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung Damaskus. Di samping sebagai khatib dan imam besar di masjid tersebut juga sebagai guru dalam bidang tafsir dan hadits. Bahkan direktur Madrasah Dar-al-Hadits as-Sukkariyah, yang bermazhab Hambali. Di sinilah pertamakalinya IbnTaymiyah dididik.
Kakeknya, Saikh Majd ad-Din al-Barakat ‘Abd al-Salam Ibn ‘Abd Allah (590-652 H.), dipandang sebagai Mujtahid Mutlak dan alim terkenal yang ahli tafsir (mufassir), ahli hadits (muhaddits) dan ushul fiqh (ushuli), ahli fiqh (faqih), ahli nahwu (nahwyy), dan pengarang (mushannif). Sedangkan pamannya dari jalur bapak yang bernama al-KhatibFakhr al-Din dikenal sebagai cendekiawan muslim populer dan pengarang yang produktif pada masanya. Demikian pula Syaraf ad-Din Abd Allah Ibn Abd al-Halim, adik laki-laki Ibn Taimiyah, ternyata juga dikenal sebagai ilmuwan muslim yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (faraid), ilmu-ilmu hadits (ulum al-hadits) dan ilmu pasti (ar-Riyadiyah).
Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, tinggi kemauan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran
Pendidikannya diperoleh dari sejumlah guru terkenal, di antara adalah Syam ad-Din Abd ar-Rahman Ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisi (597-682 H.) seorang ahli hukum Islam (faqih) ternama dan hakim agung pertama dari kalangan mazhab Syafii di Siria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan. Muhammad Ibn ‘Abd al-Qawi Ibn Badran al-Maqdisi al-Mardawi (603-699 H), seorang muhaddits, faqih, nahwyy dan mufti serta pengarang terpandang pada masanya, juga merupakan salah seorang guru Ibn Taimiyah. Demikian pula al-Manja Ibn Utsman Ibn As’ad al-Tanawukhi, seorang ahli fiqh dan ushul al-fiqh serta ahli tafsir dan ilmu tata bahasa; dan Muhammad Ibn Ismail Ibn Sa’ad al-Syaibani (687-704 H), seorang muhaddits, tata bahasa, sastra, sejarah dan kebudayaan. Masih banyak lagi gurunya yang tidak dapat disebutkan di sini.
a)      Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah
1)      Falsafah Pendidikan
Dasar atau asas yang digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Hal ini dibangun atas dua hal, (1) al-Tauhid (mengesakan Allah), (2) tabiat insaniyah (kemanusiaan)
2)      Tujuan Pendidikan
a.       Tujuan Pendidikan Individual
Diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seseorang yang berfikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan perintah al-Quran dan al-Sunnah.
b.      Tujuan Sosial
Pendidikan harus diarahkan pada terciptanta masyarakat yang bak sejalan dengan ketentuan al-Quran dan al-Sunnah.

2)      Ibnu Maskawaih

Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.[8] 
Belum bisa dipastikan apakah Miskawaih itu putra (Ibn) Muskawaih atau Miskawaih itu dia sendiri.
Dalam Ensiklopedi Islam dikatakan, Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli sejarah dan filsafat. Disamping itu, ia juga seorang moralis, penyair serta ahli kimia.Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yakub bin Maskawaih. Ia dilahirkan pada 330 Hijrah (941 M)] di Kota Ray (Teheran sekarang), dan wafat tahun 421 H/ 1030 M.[9]
Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M). Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia menduduki jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
Yakut berkata bahwa ia pada mulanya beragama majusi kemudian memeluk Islam. Tetapi barangkali hal ini benar bagi ayahnya karena miskawaih sendiri seperti yang tercermin pada namanya ialah putera seorang muslim yang bernama Muhammad. Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli fisika filsafat dan sejarah, beliau juga merupakan seorang bendahara dan teman dari Adud al- Daullah.[10]
Miskawaih merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir yang menguasai secara sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.[11]
Miskawaih pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh al Thabari kepada Abu Bakr Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya.[12]
Adapun pemikiran Ibnu Miskawih tentang pendidikan islam sebagai berikut :
1)      Tujuan
Corak pemikiran pendidikan Ibnu Maskawaih lebih bertedensi etis dan moral. Hal ini terlihat dari pendapatnya mengenai tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut:
·         Tercapainya akhlak mulia
·         Kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan
Menurutnya tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia maka dengan pendidikan manusia dapat mencapai tujuannya yaitu kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan.[13]
2)      Materi
Menurut Ibnu Maskawaih yang dikutip oleh Mahmud mengatakan bahwa materi pendidikan lebih menekankan pada materi yang bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia, dan menjadikan manusia sesuai dengan esensiasinya.
Mengenai urutan yang harus diajarkan kepada perserta didik, yang pertama adalah mengenai kewajiban-kewajiban syariat sehingga peserta didik terbiasa melaksanakannya, yang kedua materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas terpuji telah tertanam dalam diri anak, yang ketiga yaitu meningkatkan setahap demi setahap pada materi ilmu lainnya sehingga peserta didik mencapai tingkat kesempurnaan.
3)      Pendidik dan Peserta
Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz, atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik yang menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.[14]
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri.
Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat meudar. Ketiga, cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan keempat cinta yang melekat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.[15]

3)      Pendidikan Ibn Sina

Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali al-Husayn ibn Abdullah. Ia lahir pada tahun 370 H/ 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh. Ibunya bernama Astarah, berasal dari Afshana.
Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.
Adapun konsep pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan islam sebgai berikut;
a.       Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
b.      Kurikulum
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum  didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian. kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga. kurikiulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik.
c.       Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik.Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut.
Metode pengajaran yang ditawarkan ibn sina antara lain: Metode talqin, metode demonstrasi, metode diskusi, metode pembiasaan, metode magang, dan metode penugasan.
d.      Konsep Guru.
Konsep guru yang idtawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akh;ak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni.
e.       Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[16]

4)      Al-Ghazali

Imam Al Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i lahir 450 H atau 1058 M di Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran).[17] Dia adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. 
Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia.[18]
Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah atau  tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.[19]
a)      Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan
Dalam pandangan Al-Ghazali yang dikutip oleh Mahmud dalam bukunya pemikiran pendidikan islam mengatakan bahwa sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati adalah esensi dari manusia.Menurutnya subtansi manusia bukanlah terletak pada unsure-unsur yang ada pada fisiknya melainkan berada pada hatinya sehingga pendidikan diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia.[20] Tugas guru tidah hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan, meningkatkan dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jadi peranan guru disini tidak hanya mentransfer ilmu melainkan mendidik.
b)      Tujuan Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya.
Secara ringkas, tujuan pendidikan Islam menurut Al Ghazali dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu :
·         Tujuan mempelajari ilmu adalah membentuk insan kamil ( manusia sempurna) dengan tedensi mendekatkan diri kepada Allah.
·         Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
·         Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlakul Karimah.

3.      Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Masa Modern

Tokoh pembaharuan pendidikan Islam bercorak modernis. Sejalan dengan pembahruan pendidikan Islam penuh dilakukan pada 3 wilayah kerajaan besar yaitu kerajaan Usmani, Mesir, India.
1.      Wilayah Turki
Pembaharuan pendidikan didunia Islam dimulai dikerajaan Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H/17 M yang dilatar belakangi oleh kekalahan-kekalahan kerajaan Usmani dalam peperangan dengan Eropa menyebabkan timbulnya usaha sekularisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk turki modern. Adapun tokoh yang mencoba melakukan upaya tersebut ialah :
a.       Sultan Ahmad III.
Adanya kekalahan yang dialami kerajaan Turki Usmani menyebabkan Sultan Ahmad III prihatin dan melakukan intropeksi, dengan melakukan pengiriman duta ke Eropa untuk mengamati perkembangan barat. Dengan mendirikan sekolah teknik militer, mendirikan percetakan untuk mempermudah Access buku pengetahuan. Upaya ini dilakukan sampai beliau wafat dan kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud II.
b.      Sultan Mahmud II.
Sultan Mahmud II merupakan kelanjutan dari Sultan Ahmad III. Pembaharuan yang dilakukan dengan memperbaiki system pendidikan madrasah dengan memasukkan ilmu pengetahuan umum. Kemudian mendirikan model disekolah barat.
2.      Wilayah Mesir
Tokoh yang melakukan upaya pembaharuan khususnya pendidikan adalah Muhammad Ali Pasya dan Muhammad Abduh.
a.       M. Ali Pasya.
Ia mendirikan kementrian pendidikan dan lembaga pendidikan, membuka sekolah teknik , kedokteran, pertambangan, mengirin siswa untuk belajar ke negri barat. Gerakan pembaharuan memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi barat kepada umat Islam.[21]
b.      M. Abduh.
Melakukan pembaharuan pendidikan di Al-Azhar dengan memasukkan ilmu modern. Mendirikan komite perbaikan administrasi Al-Azhar tahun 1895, melaksanakan pembaharuan administratif yang bermanfaat yang diantaranya adalah kurikulum, metode mengajar dan pendidikan wanita.
Kurikulum merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena kurikulum yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka itu tidak akan terwujud dengan baik. Dan dalam lembaga pendidikan di Mesir Ia mendapatkan didalam kurikulumnya terdapat dualisme.[22] Metode mengajar pun perlu diperhatikan untuk meningkatkan daya penangkapan para siswanya, yaitu dengan metode yang praktis. Dan selain hal tersebut ia mamandang wanita telah dirampas haknya oleh laki-laki. Menurutnya wanita harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki.
c.       Rasyid Ridha
merupakan murid dari Muhammad Abduh yang lahir pada 1865 Suria. Ia banyak belajar dengan Muhammad Abduh ketika Muhammad Abduh sedang dalam buangan di Beirut. Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan ketika masih berada di Suria dan mendapat tantangan dari Pihak Turki Utsmani, lalu ia memutuskan pindah ke Mesir dan berada di dekat gurunya Muhammad Abduh pada tahun 1898. Beberapa bulan setelah itu, ia menerbitkan majalah Al-Manar, yang juga terkenal.
d.      Ismail Raji’ Al-Faruqi
Lahir didaerah palestina pada tanggal 1 januari 1921 dan hijrah ke Mesir untuk mengenyam pendidikan diuniversitas Al-Azhar. Perjalanan gerakan pendidikannya dimulai setelah kelulusannya dari universitas Al-Azhar. Al-Faruqi membentuk sebuah gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Yakni upaya pengintegrasian antara disiplin ilmu modern dengan khazanah pengetahuan agama.
3.      Wilayah India.
Pembaharuan pendidikan Islam di India bertujuan menghilangkan diskriminasi pendidikan Islam tradisionalis dengan pendidikan sekuler. Adapun tokoh- tokoh pembaharuan di India sebagaimana berikut:
a.       Sayyid Akhmad Khan (1817 – 1898 M).
Ia berpendapat bahwa peninggkatankedudukan umat Islam di India dapat diwujudkan dengan bekerjasama dengan Inggris. Kemudian mendirikan lembaga pendidikan, sekolah Inggris mudarabbah 1864. kemudian mendirkan pula Scientific Society, mendirikan lembaga pendidikan yang didalamnya ilmu pengetahuan umum.
b.      Muhammad Iqbal.
berasal dari keluarga golongan menengah di Punjab dan kahir di Sialkot tahun 1867. Untuk meneruskan studi ia kemudian pergi ke Lahore dan belajar disana sampai memperoleh gelar kesarjaan MA. Di tahu 1905 ia pergi ke negara Inggris dan belajar filsafat di Universitas Cambridge. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich Jerman, dan memperoleh gelar Ph.D dalam bidang tasawwuf. ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam selama 500 tahun dikarenakan kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis. Untuk memperbaharui Islam di segala bidang (termasuk pendidikan), maka diperlukan sebuah institusi penegak Hukum Islam yang menanungi seluruh umat Islam dalam sebuah naungan negara yang dinamakan Khilafah Islamiyah.


B.     Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 750-1350 M

Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.[23]
1.      Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah
a.       Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika membatasi mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kecuali, kesukaran menbedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.
b.      Kurikulum Pendidikan Tinggi
Menurut rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-quran dan agama. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu pengetahuan.[24]
2.      Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah
Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sumbangan islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hemegoni negara terlalu kuat terhadap madrasah ini.
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, mate-matika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah adalah dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan Halab. Beliau juga membangun sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Di satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya. Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. Legitiumasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang di lembaga-lembaga non formal.
Satu pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut Fazlur Rahman, ada pandangan  yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sendirinya diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di akhirat.
Sedangkan menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari tanah waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap mendatangkan pahala. Di pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, —apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi” Sunni—, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi itu sendiri”.

C.    Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer

1.      Azumardi Azra

Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada tanggal 4 Maret 1955. Terlahir sebagai anak ketiga dari keluarga yang sangat agamis. Sejak kecil, Azra dididik kedua orang tuanya untuk mencintai ilmu pengetahuan. Meskipun secara finansial kondisi keuangan keluarga Azra termasuk pas-pasan, keluarga ini tetap mementingkan pendidikan anak-anaknya hingga kejenjang yang lebih tinggi. Berkat kerja keras sang ayah dan gaji yang diperoleh oleh sang ibunda, Ramlah, yang berprofesi sebagai guru agama pada waktu itu, sejak kecil Azra mendapat kesempatan mengenyam pendidikan. Melalui ayahnya pula ia belajar mencintai ilmu. Kedua orang tuanya menyadari betul bahwa mereka tidak dapat mewariskan dan membekali harta benda kepada anak-anaknnya, selain dorongan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Pendidikan awal Azra dimulai dari Sekolah Dasar yang berada didekat rumahnya. Sejak kecil, Azra telah dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai, bahkan ia sudah dapat menbaca sebelum memasuki sekolah dasar.
SMPnya dilanjukan di Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Padang. Disekolah menengah ini, bakat Azra sebagai seorang yang cerdas sudah kelihatan, yakni dibidang ilmu hitung atau matematika. Bakat kemahirannya inilah pada saat itu dia mendapat sebutan dari teman-temannya “Pak Karniyus” nama guru Aljabar dan Ilmu Ukur di sekolahnya. Kalau Pak Karniyus tidak hadir maka Azra yang menggantikan mengajar di depan kelas. Sedangkan dibidang ilmu keagaamam, Azra banyak mendapatkan dan bersentuhan dengan nilai-nilai Islam modernis dan tradisional yang didapat di luar sekolah.[25]
Azyumari Azra ialah doctor dan guru besar sejarah, namun pemikirannnya tentang pendidikan Islam tidak diragukan. Ketika menjadi rector universitas Islam paling bergengsi di Indonesia, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, selama dua periode dengan perkembangan yang mencengangkan, pemikiran pendidikannya hampir tidak pernah dipertanyakan orang. Azyumari Azra, Putra Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat ini merupakan tokoh intelektual dan tokoh pembaharuan pendidikan Islam Indonesia. Sebagai seorang pemikir dan actor pendidikan sekaligus, dia bahkan dianggap sebagai salah satu penopang gerbong bagi lahirnya kaum intelektual muslim di Indonesia.[26]
Adapun Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Azumardi Azra sebagai berikut;
1.      Tujuan Pendidikan Islam
Azyumardi Azra mengerucutkan tujuan pendidikan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Menurut Azra, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan umum atau akhir pendidikan Islam.[27]
Adapun tujuan khusus, menurut Azra lebih praxis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealis ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Sehingga dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam tahap-tahap penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai. Dari tahapan-tahapan inilah kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci.[28]
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan pendidikan secara esensial adalah terwujudnya peserta didik yang memahami ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, terwujudnya insan kamil, yakni manusia yang kembali kepada fitrahnya dan kepada tujuan kehidupan­nya sebagaimana ia berikrar sebagai manusia yang datang dari Allah dan kembali kepada Allah.

2.      K.H. Ahmad Dahlan

Beliau dilahirkan di kauman (Yogyakarta) tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Nama kecilnya Muhammad Darwis. Ayahnya bernama. K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah. Beliau berasal dari keluarga yang didaktis dan alim dalam ilmu agama. Sejak kecil beliau diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kmitab-kitab agama. Menejelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama’ besar pada waktu itu. Diantaranya , K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih), K.H.Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis) ,Syekh Amin dan Sayyid Bakri (Qiraat Al-Qur’an). Dalam usia relatif muda, beliau telah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu keislaman.
Setelah beliau lulus pendidikan dasar di madrasah dalam bidang nahwu, fiqih dan tafsir di Yogyakarta, beliau pergi ke makkah pada tahun 1890 untuk menuntut ilmu di sana selama satu tahun. Salah satu gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903, beliau kembali ke makkah dan menetap di sana selama dua tahun. Sepulang dari makkah beliau berganti nama Haji Ahmad Dahlan. Kemudian beliau menikah dengan siti Waalidah putri Kyai Penghulu Haji Fadhil.[29]
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Adapun Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan Islam Beliau mengatakan, uapaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari berpikir statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan.umat islam dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajan dalam membaca dinamika kehidupan yang akan datang. Adapun kunci bagi kemajuan umat islam adalah kemabali pada Al-Qur’an dan hadits, mengarahkan umat islam pada pemahaman ajaran islam yang komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Pendidikan islam hendaknya menjadi media dan mampu mengembangkanal-ruh dan al-akal.hal ini disebabkan di alam ini ada dua dimensi yaitu dimensi pisika dan metapisika. Manusia adalah integrasi dari dua dimensi yaitu dimensi ruh dan jasad. Maka aktivitas pendidikan harus mampu mengembangkan dimensi tersebut. Dan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung sesuai prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Hadits.Ahmad Dahlan melihat bahwa problem epistemologi pendidikan islam tradisional disebabkan karena ideologi ilmiahnya terbatas pada dimensi religius yang membatasi pada pengkajian kitab-kitab  klasik, khususnya dalam madzhab syafi’i. Sikap ilmiah yang demikian mengakibatkan umat islam tidak mampu menganalisa ilmu pengetahuan secara kritis sehingga kurag mampu berkompetisi secara preoduktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian.
Menurut ahmad Dahlan pendidikan islam hendaknya diarahkan untuk membnetuk manusia muslim yang berbudi pakerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang demi kemajuan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan ini, hendaknya pendidikan islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik. Upaya ini akan terwujud jika proses pendidikan bersifat integral dan epistemologi islam hendaknya dijadikn landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan. Menurut Ahmad Dahlan, Materi pendidikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan hadits, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar. Sistem pemdidikan yang diapakai beliau adalah klasikal, beliau ingin menggabungkan sistem pendidkan belanda dengan sistem pendiidkan tradisional secara integral.
Materi Al-Qur’an dan hadits yaitu ibadah, persmaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan hadits menurut akal, kerjasama anatara agama-kebudayaan keamajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan,,nafsu dan kehendak, demokratisasi, dan liberalisasi, kebebasan berpikir, dinamika kehidupan dan peranannya, dan akhlak.
Komitmen ahmad dahlan terhadap pendidikan agama adalah sanagat kuat, untuk itu beliau masuk orgnasisasi Budi Oetomo pada tahun 1909, untuk mendapatkan peluang mengajarkan pendidikan agama kepada para anggotanya. Komitmen terhadap pendidikan selanjutnya menjadi salah satu ciri khas organisasi yang didirikannya pada tahun 1912 yaitu Muhammadiyah.
Pandangan ahmad dahlan dalam pendidikan juga dapat dilihat dalam kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Disamping itu , Muhammadiyah mendirikan sekolah yang agamis yaitu madrasah diniyah di minangkabau untuk memperbaiki pengajian Al-Qur’an yang tradisional. Pada tanggal 8 Desember 1921, Muhammadiyah  mendirikan pondok Muhammadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama. Dalam sekolah tersebut pelajaran umum diberikan oleh dua orang guru dari sekolah pendidikan guru (kweekschool), sedangkan ahmad dahlan dan beberapa orang lainnya memberikan pelajaran agama yang lebih mendalam.

3.      K.H. A. Wahid Hasyim

Wahid Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid lahir pada hari jumat legi, tanggal 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 juni 1914 di Desa Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Oleh ayahnya Hadratus Syeh K.H. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, terambil dari nama neneknya. Karena di anggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya di ganti Abdul Wahid, pengambilan dari nama seorang datuknya. Namun ibunya kerap kali memanggil dengan nama Mudin. Sedangkan para santri dan masyarakat sekitar sering memanggil dengan sebutan Gus Wahid, sebuah panggilan yang kerap ditujukan untuk menyebut putra seorang Kyai di Jawa.
Wahid Hasyim berasal dari keluarga yang taat beragama, keluarga pesantrern yang berpegang erat pada tradisi.  Ia lahir, tumbuh dan dewasa dalam lingkungan pesantren. Ibunya bernama Nafiqah putri K.H. Ilyas pemimpin pesantren Sewulan di madiun. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada Lembu Peteng ( Brawijaya VI ), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir ( Sultan Pajang  1569-1587 ) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I. Sejak usia 5 tahun ia belajar membaca Al Quran pada ayahnya setiap selesai sholat magrib dan dhuhur, sedang pada pagi hari ia belajar di Madrasah Slafiyah di dekat rumahnya. Dalam usia 7 tahun ia mulai mempelajari kitab Fath Al-Qarib ( kemenangan bagi yang dekat ) dan al-Minhaj al-Qawim ( jalan yang lurus ). Sejak kecil minat membacanya sangat tinggi, berbagai macam kitab di telaahnya. Ia sangat menggemari buku-buku kesusastraan Arab, khususnya buku Diwan asy-Syu’ara’ ( Kumpulan penyair dengan syair-syairnya ).[30]
Adapun Pemikiran Pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim sebagai berikut;
1)      Prinsip-prinsip pendidikan.
Pemikiran pendidikan Islam Wahid Hasyim dapat di cermati pada beberapa karya beliau yang di muat di media yang setidaknya terdapat 7 judul, seperti Abdullah Oebayd sebagai pendidik. Dalam buku ini K.H.A. Wahid Hasyim membeberkan beberapa prinsip dalam pendidikan yaitu :
1)      Percaya kepada diri sendiri atau prinsip kemandirian.
2)      Kesabaran.
3)      Pendidikan adalah proses bukan serta merta.
4)      Keberanian.
5)      Prinsip tanggung jawab dalam menjalankan tugas.
2)      Orientasi Pendidikan Islam.
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkreatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam. 
Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.
Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren. Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.
Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
b)      Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
c)      Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.
Menurut beliau, tujuan pendidikan adalah untuk menggiatkan santri yang berahlakul karimah, takwa kepada Allah dan memiliki ketrampilan untuk hidup. Artinya dengan ilmu yang dimiliki ia mampu hidup layak di tengah masyarakat, mandiri, tidak jadi beban bagi orang lain. Santri yang tidak mempunyai ketrampilan hidup ia akan menghadapi berbagai problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Wahid Hasyim bersifat Teosentris ( Ketuhanan ) sekaligus Antroposentris ( kemanusiaan ). Artinya bahwa pendidikan itu harus memenuhi antara kebutuhanduniawi dan ukhrowi, moralitas dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuankognisi ( iman ), afeksi ( ilmu ) dan psikomotor ( amal, ahlak yang mulia ).[31]
3)      Materi Pendidikan Islam.
Materi yang di rancang oleh Wahid Hasyim dalam pendidikan terbagi menjadi tiga : Pertama, ilmu-ilmu agama Islam seperti fiqih, tafsir, hadist dan ilmu agama lainnya. Kedua, ilmu non agama seperti ilmu jiwa, matematika, dan Ketiga,kemampuan bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda dan Bahasa Indonesia.
4)      Metode Pendidikan.
Adapun metode pendidikan yang dianut oleh K.H.A. Wahid Hasyim yaitu banyak mencontoh model pengajaran ayahnya Hasyim Asy’ari berupa penanaman kepercayaan diri yang tinggi terhadap muridnya. Ini sebagai bukti bahwa pola pemikiran Wahid Hasyim dengan ayahnya yaitu Hasyim Asy’ari banyak sekali persamaannya, atau dengan kata lain bahwa  sistem dan tehnik yang diterapkan Wahid Hasyim merupakan kelanjutan dari sistem dan tehnik Hasyim Asy’ari. Adapun contohnya seperti :
1)      Tanggung jawab murid
·         Tidak menunda-nunda kesempatan dalam belajar atau tidak malas.
·         Berhati-hati, menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat.
·         Memuliakan dan memperhatikan hak guru , mengikuti jejak guru.
·         Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru.
·         Berbicara dengan sopan dan santun dengan guru.
·         Bila terdapat sesuatu yang kurang bisa dipahami hendaknya bertanya.
·         Pelajari pelajaran yang telah diberikan oleh guru secara istiqomah.
·         Pancangkan cita-cita yang tinggi.
·         Tanamkan rasa antusias dalam belajar.[32]
2)      Tanggung jawab guru
·         Bersikap tenang dan selalu berhati-hati dalam bertindak.
·         Mengamalkan sunnah Nabi.
·         Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih gemerlap dunia.
·         Berahlakul karimah dan selalu menabur salam.
·         Menghindarkan diri dari tempat-tempat yang kotor dan maksiat.
·         Memberi nasehat dan menegur dengan baik jika ada anak yang bandel.
·         Mendahulukan materimateri yang penting dan sesuai dengan profesi yang dimiliki.

4.      Zainuddin Labay El-Yunus

Syekh ZaInuddin Labay el-Yunisy lahir di Bukit Surungan padangpanjang, Pada tanggal 12 Rajab 1308/1890 M. Ia meninggal pada tahun 1924 dalam usia 34 tahun. Pada usia 8 tahun ia sekolah di Government Padangpanjang sampai kelas IV, karena tidak puas dengan metode mengajar pada waktu itu. Secara autodidak, ia banyak membaca buku, baiak agama maupun umum. Kemudian ia berguru kepada H. Abdullah Ahmad, H. Abdullah Abbas, H. Abdul Karim Amrullah. Dalam perjalanan intelektualnya beliau lebih banyak belajar secara autodidak.
Adapun Pemikirannya tentang pendidikan islam sebagai berikut:
Untuk mewujudkan cita-citanya pada tanggal 10 oktober 1915, beliau mendidrikan Diniyah School di Padang panjang yang sarat dengan ide pembaharuan. Ia melakukan perombakan terhadap sistem pendidikan, menyusun kurikulum dan daftar pelajaran yang lebih sistematis serta mengubah sistem pendidikan surau menjadi sistem pendidikan klasikal. Sebagai pengantarnya adalah bahasa arab, materi pendidikan yang diberikan meliputi pendidikan agama dan umum yang buku-bukunya diambil dari Mesir dan Belanda.
Lembaga pendidikan diniyah school memperkenalkan sitem pendidikan modern yaitu sistem klasikal dan kurikulum yang teratur. Materi pendidikan yang ditawarkan adalah ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu umum yang diajarkan adalah bahasa asing, ilmu bumi, sejarah dan matematika. Murid-murid di diniyah school pada umunya diseleksi dengan cermat dan memenuhi syarat-syarat yang ada, yaitu murid dalam satu kelas memeliki rata-rata umurt dan kesanggupan yang sama.[33]
Dalam mengajarkan ilmu agama Zainuddin lebih banyak mengambil metode Mesir, sedangkan dalam mengajarkan ilmu umum beliau banyak mengambil gagasan pembaruan dari Musthofa Kemal Pasya, Muhammad Abduh, Dan Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari kitab yang digunakan di lembaga ini. Di samping kitab yang dikarangnya sendiri ia juga menggunakan kitab arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama dan ilmu umum dengan menggunakan literatur Barat.[34]
Sebelum pembelajaran Al-Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya, susunan pelajaran diniyah school dimulai dengan mengajarkan pengetahuan bahasa arab,hal ini karena bahas arab adalah alat utama yang perlu dikuasai peserta didik agar mudah meahami ilmu yang lain. Metodeyang ditertapkan Zainuddin untuk mnemperkenalkan bahasa arab dimulai dengan tulisan arab dan menyusun kalimat dalam bahasa arab melayu, baru kemudian bahasa arab sesungguhnya. Untuk kelas rendahj, dia menyusun sendiri buku pelajaran muridnya dalam bahasa arab  melayu. Kemudian untuk kelas menengah, bahasa arab yang digunakan adalah bahasa arab sederhana, sementara untuk kelas tinggi ia menggunakan buku terbitan Kairo dan beirut.[35]

5.      K. H. Hasyim Asy’ari

Beliau lahir di desa Nggedang Jombang Jawa Timur, pada tanggal 25 Juli 1871. Nama lengkapnya  adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn Abd Wahid Ibn Abd Halim yang mempunyai gelar pangeran Bona ibn Abd al-Rahman  yang dikenal dengan jaka tingkir sultan hadiwijaya ibn Abdullah ibn abd Aziz ibn abd al-Fattah ibn Maulana Ishaq dari sunan giri.[36]
Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri yang mendidikny membaca Al-Qur’an dan literatur islam lainnya. Jenjang pendidikan yang ditempuh beliau adalah di berbagai pesantern. Pada awalnya, beliau menjadi santri di pesantren Wonokojo Probolinggo, lalu pindah di langitan, Tuban. Dari langitan pindah ke bangkalan yang diasuh oleh kyai kholil. Dan terakhir sebelum ke Makkah beliau sempat nyantri di pesantren siwalan panji, sidoarjo. Pada pesantren terakhir inilahbeliau diambil menantu oleh Kyai Ya’qub pengasuh pesantren tersebut. Sepulang dari Makkah untuk mengamalkan dan mengembangkan ilmunya beliau membuka Pesantren Tebuireng pada tanggal 26 Rabi’ul Awwal tahun 1899 M. Pada tahun 1919 beliau mendirikan madrasah Salafiyah sebagai tangga untuk measuki tingkat menengah pesantren Tebuireng.
Pada tahun 1929 beliau menunjuk K.H. Ilyas menjadi kepala Madrasah Salafiyah, maka di bawah pimpinan K.H. Ilyas dimasukkan pengaetahun umum ke dalam madrasah yaitu :
1)      Membaca dan menulis huruf latin
2)      Mempelajari bahasa indonesia
3)      Mempelajari ilmu bumi dan sejarah indonesia
4)      Mempelajari ilmu hitung[37]
Adapun pemikirannya tentang pendidikan islam sebagai berikut:
Diantara karaya K.H. Hasyim Asy’ari yang sangat monumental yaitu kitab adab al-alim wa al- muta’alim fima yahtaj ilah al-muta’allim fi ahuwal ta’allum  wa ma yataqaff al-muta’allim fi maqamat ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1451 H. Kitab tersebu terdiri dari 8 bab, yaitu keutamaan ilmu serta keutamaan mengajar, etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran, etika yang harus dipedomani oleh guru, etika guru ketika akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya dan etika terhadap buku. Dari 8 bab dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu
a.       Signifikansi pendidikan
Berkaitan dengan pendidikan , di dalam kitab tersebut beliau banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan keutamaan ilmu dan orang yang berilmu. Dan dalam pembahasan bab pertama dilengkapi dengan berbagai hadits Nabi dan pendapat berbagai ulama’. Diantara isinya yaitu tentang tujuan ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya, mkasudnya agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal di kehidupan akhherat, syariat mewajibkan menuntut ilmu dan memperoleh pahala yang besar, ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas identitas pemiliknya.,bertauhid itu harus mempunyai iman. Maka barang siapa beriman maka ia harus bertauhid. Keimanan mewajibkan adanya syariat, sehingga orang yang tidak menjalankan syariat maka berarti ia tidak beriman dan bertauhid. Sementara orang yang bersyariat harus  beradab. Dengan demikian beradab berarti ia juga bertauhid, beriman dan bersyariat.
Dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu pertama bagai murid hendaknya berniat suci, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi, jangan melecehkan dan menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmunya meleuruskan niat, tidak mengharapkan materi semata-mata. Dalam penjelasannya tidak ada definisi khusus tentang belajar. Tetapi yang menjadi titik tekan pengertian belajar adalah ibadah mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilia islam, bukan hannya sekedar menghilangkan kebodohan.[38]
b.      Tugas dan tanggung jawab murid
·         Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
·         Etika seorang murid terhadap guru
·         Etika murid terhadap pelajaran
c.       Tugas dan tanggung jawab guru
·         Etika seorang guru
·         Etika guru dalam mengajar
·         Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

6.      Prof.  Dr. Mahmud Yunus

Mahmud Yunus lahir di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10 Pebruari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Beliau termasuk tokoh pendidikan islam indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Adapun usaha dan pemikiran pendidikannya sebagai berikut;
Usaha yang dilakukan Mahmud Yunus di bidang pendidikan setelah kembali ke indonesia yaitu memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di sungayang yang bernama al-Jami’ah al-Islamiyah, dengan mendirikan sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan ilmu umum yaitu Normal Islam. Madrasah ini yang pertama kali memiliki Laboratorium ilmu fisika dan kimia di Sumatra Barat. Pembaruan di diutamakan pada metode mengajar bahasa arab.
Mahmud Yunus memilki komitmen dan perhatian yang besar terhadap upaya membangun, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan agama islam, Diantara gagasan dan pemikirannya adalah :
·         Dari segi tujuan pendidikan islam, hendaknya lulusan pendidikan islam mutunya lebih baik dan mampu bersaing dengan lulusan sekolah yang sudah maju.
·         Dari segi kurikulum,beliau menawarkan pengajaran bahasa arab yang integrated antara satu cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa arab.
·         Dalam bidang kelembagaan, perlu mengubah sistem yang bercorak individual kepada sistem pengajaran klasikal.
·         Dari segi metode pengajaran, hendaknya cara mengajarkan agama sesuai dengan tingkat usia dan jenjang pendidikan dengan menggunakan metode yang bervariasi.[39]

7.      Ki Hajar Dewantara

Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta dan wafat pada tanggal 26 April 1959. Ayahnya Suryaningrat, putra Paku alam III. Beliau adalah bapak pendidikan Nasional indonesia. Prinsip pendidikan  yang sangat demokratis dari belaiu adalah ing ngarso sing tulodo (di depan memberi contoh), ing madya  mangun karso ( di tengah membangkitkan kreativitas), dan tut wuri handayani (di belakang memberikan pengawasan).
Adapun Gagasan dan pemikiran pendidikannya sebagai berikut;
a)      Tentang Visi, misi, dan tujuan pendidikan, pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemjuan manusia secara universal, sehingga mampu berdiri kokoh  dan bersaing dengan bangsa lain.
b)      Kurikulum  (mata pelajaran ), untuk anak usia TK, hendaknya diajarkan, permainan, olahraga, menyanyi, menari, cerita berwujud dongeng, dan pelajaran mengenal tempat di sekelilingnya. Untuk Taman Muda (masa wiraga wirama), hendaknya diajarkan : olahraga, pencak, menari, menyanyi, bahasa dan cerita kesusasteraan, dan pengetahuan tentang kodrat alam. Untuk taman dewasa (masa wirama) hendaknya diajarkan olahraga, menari, kesenian, bahasa dan kesusateraan daerah dan indonesia, bahasa asing, koperasi, majalah dan lain-lain.
c)      Pendidikan budi pekerti, yang ditekankan pada pembentukan karakter, perilaku dan kepribadian yang baik.
d)     Pendidikan agama didasarkan pada toleransi, kebebasn menyatakan keagamaan.
e)      Wawasan global internasional, hendaknya diajarkan bahasa asing yaitu bahasa inggris. Bahasa arab, dan bahasa jerman agar mampu berhubungan dengan dunia internasional.
f)       Sistem pondok, memiliki banyak keuntungan yaitu hemat biaya, membangun kebersamaan, kesederhanaan hidup, keberanian berkorban, dan pemanfaatn waktu sebanyak-banyaknya.

Tabel pemikiran para tokoh dan perkembangan pendidikan islam.
NO
TOKOH MASA KLASIK
PEMIKIRANNYA
1.
Ibn Taimiyah
Ilmu Yang Bermanfaat Sebagai Asas Bagi Kehidupan Yang Cerdas Dan Unggul.
2.
Ibn Miskawih
Mewujudkan ahklak yang mulia
3.
Ibn sina
Perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti
4.
Al-Ghazali
Pengajaran aklahk, memuliakan manusia dll.

NO
TOKOH MASA MODERN
PEMIKIRANNYA
1.
Azumardi Azra
Mewujudkan insal kamil atau manusia paripurna
2.
K.H Ahmad Dahlan
Kurikulum (moral, individual, msyarakat)
Membentuk mansusia muslim
3
K.H Hasyim Asyari
Pengajaran akhlak serta pengamalannya
4.
K.H. Wahid Hasyim
Prinsip-prinsip pendidikan (prinsip kemandirian, kesabaran, dsb)
5.
Ki Hajar Dewantara
Pendidikan sebagai alat perjuangan
Kurikulum, (olahraga, permainan, mengaji, menari dsb)
6.
Prof. Dr. Muhammad Yunus
Memperbaiki madrasah
Membangun dan mengembangkan pendidikan agama islam.





BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Sejarah perkembangan filsafat pendidikan islam, periode ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW. Dan masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin. Periode awal perkembangan Islam ini dibedakan dari periode berikutnya dengan pertimbangan bahwa selama masa kekuasaan Nabi dan para penggantinya (khulafa’ al-Rasyidin), kekuasaan Islam masih berpusat di wilayah Arab. Dan mengingat nasa antara kehidupan Nabi SAW. Dan masa penggantinya relatif hanya sekitar 29 tahun (Nabi wafat tahun 632 M. Dan Ali RA. Wafat tahun 661 M). Jarak yang sesingkat itu khalalifat penggantinya tidak jauh berbeda.
Masa klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa al-Rasyidin hingga awal masa imperialis barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga ke awal abad XIX.  Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian.
Prof. Dr. Harun Nasution, bahwa masa modern dimulai sejak tahun 1800 M. Menjelang periode modern ini, setelah Bani Abbas dan Bani Ummayah secara politik dapat dilumpuhkan, kekuasaan islam masih dapat dipertahankan. Tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Turki Utsmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), Kerajaan Safawi (Persia) dan kerajaan Mughol (India) masih memegang hegemoni kekuasaan Islam. Namun menjelang abad ke-17 dan awal abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam tersebut, satu persatu dapat dikuasai bangsa-bangsa Eropa (Barat).



DAFTAR PUSTAKA

http://ahbirrulwalidain.blogspot.co.id/2015/11/sejarah-perkembangan-filsafat.html

Jalaludin dan Said, Usman, Fisafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Persada 1996

Akhyar, Thawil, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung: DIMAS, 1993
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2011
De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York: Dover Publication

Sirajuddin, Filsafat Islam,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia,, 2011.
Kholiq, abdul dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I.  Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999
Anwar, Chairul, Reformasi Pemikiran Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, Bandar lampung Fakta Pers, 2007
            Sarbanun, Ahbanun  Filsafat Pendidikan Islam, Bandar Lampung, Pustaka Pers, 2013
Swito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media 2005
Nizar, Samsul,  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2007
Nata, Abudin, Sejarah Pendidikan Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2012
Arif, Muhammad, Pendidikan Islam Transformatif , Cet. I; Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008
            Napsiyah, Siti, Pemikir Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Pena Citasatria, 2007
Ramayulis dan Nizar,Samsul,  Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2009

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jakarta : PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994
Qomar, Mujamir, Manajemen Pendidikan Islam, Malang : Erlangga. 2007
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pres. 2002
Noer, Deliar, Gerakan Modern, Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan amal Usaha, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990
Yunus, Muhammad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Hidakrya Agung, 1990
Asy’ari, Hasyim,  Adab Ta’lim wa Muta’allim, Jombang : Turats al Ilamy, 1415
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992
Nata, Abudin, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2005



[1] http://ahbirrulwalidain.blogspot.co.id/2015/11/sejarah-perkembangan-filsafat.html. diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 20:00 WIB
[2] http://ahbirrulwalidain. Op. Cit...,
[3] Jalaludin dan Usman Said, Fisafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, Persada 1996). Hal. 116
[4] Jalaludin dan Usman Said, Ibid...,
[5] Jalaludin dan Usman Said, Op. Cit..., Hal. 118
[8] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung: DIMAS, 1993). Hal . 47
[9] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, ( Bandung, Pustaka Setia, 2011), Hal. 277.
[10] De Boer, The History Of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication). hlm.128
[11] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung: DIMAS, 1993), Hal. 47
[12]  Sirajuddin, Filsafat Islam,  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), Hal. 127-128.
[13] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka Setia,, 2011). Hal. 23
[14] Abdul Kholiq, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Cet. I. ( Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 1999), Hal. 16
[15] Ibid..., Hal. 19-20
[16]  http://dakir.wordpress.com/2009/07/30/konsep-pendidikan-ibnu-sina. diakses tanggal 29 Mei 2016, jam 09:15 WIB
[17] Chairul Anwar, Reformasi Pemikiran Epistemologis Pemikiran Al-Ghazali, (Bandar lampung Fakta Pers, 2007). Hal. 5
[18]  Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2011). Hal. 244
[19] Achmad Sarbanun,  Filsafat Pendidikan Islam, (Bandar Lampung, Pustaka Pers, 2013), Hal. 95
[20]  Mahmud, Op.Cit, Hal. 245
[21]  Swito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media 2005) , Hal.172
[22]  Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2007).  Hal. 240
[23] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Rajawali Pers, Jakarta, 2012). Hal. 113
[24] Ibid..., Hal.119
[25] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Cet. I; Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008), Hal. 48
[26] Siti Napsiyah Ariefuzzaman, Pemikir Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Pena Citasatria, 2007), Hal 45.
[27] Azyumardi Azra, Op. Cit, hal 8
[28] Azyumardi Azra, Loc. Cit. Hal. 9
[29] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009). Hal. 327
[30] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), Hal. 163
[31] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (  Malang : Erlangga. 2007 ), Hal.  73.
[32]  Samsul Nizar, filsafat pendidikan Islam ( Jakarta : Ciputat Pres. 2002 ). Hal. 159
[33] Deliar Noer, Gerakan Modern, Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan amal Usaha, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), Hal. 62
[34]  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam(Jakarta : Hidakrya Agung, 1990), Hal.66
[35]  Ibid...,
[36]  Hasyim Asy’ari, Adab Ta’lim wa Muta’allim, (Jombang : Turats al Ilamy, 1415) Hal. 3
[37]  Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), Hal. 202-203
[38]  Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), Hal. 100-168
[39] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2005), Hal. 57-70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar