MAKALAH
Ilmu Pendidikan Islam
HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM DAN MANUSIA
Dosen Pengampu: Nurlaila
, S.Ag.M.Pd. I
Disusun
Oleh Kelompok I :
·
Ali
Mursyid :
(1532100081)
·
Berenda
Permata Sari :
(1532100093)
·
Dhona
Arba :
(1532100105)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
RADEN FATAH PALEMBANG
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN
AJARAN 2015/2016
HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM DAN MANUSIA
A. PENDAHULUAN
Dalam konteks globalisasi, pendidikan Islam memainkan peranan penting
keseimbangan. Dan pendidikan senantiasa disesuaikan dengan fitrah kemanusiaan
yang hakiki yakni menyangkut aspek material dan spiritual, aspek keilmuan
sekaligus moral; aspek duniawi sekaligus ukhrawi.
Kebutuhan dasar
ini sejatinya terpenuhi dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoal
hidup, sehingga proses pendidikan yang dilaksanakan secara sistematis dan
konsisten berdasarkan nilai-nilai islami dapat meningkatakan kualitas manusia,
selaku hamba Allah di muka bumi. Makalah ini akan menuntun para calon pendidik
untuk dapat memahami hakekat pendidikan Islam dan pendidikan. Makalah ini akan membahas
hakikat pendidikan Islam dan manusia.
B.
PENGERTIAN
PENDIDIKAN ISLAM
Proses pendidikan
tidak terlepas dari faktor psikologis, fisik manusia dan pengaruh faktor
lingkungan. Proses pendidikan harus berpegang pada petunjuk-petunjuk para ahli
psikologi, terutama psikologi pendidikan, perkembangan dan psikologi agama.
Dengan demikian proses pendidikan akan berlangsung secara sistematis dan
terorganisir dengan baik.
Rangkaian kata
“pendidikan Islam” bisa dipahami dalam
arti berbeda-beda, antara lain: 1. Pendidikan (menurut) Islam, 2. Pendidikan
(dalam) Islam, 3. Pendidikan (agama) Islam[1].
Istilah pertama, pendidikan (menurut) Islam, berdasarkan sudut pandang bahwa
Islam adalah ajaran tentang nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang ideal,
yang bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah.
Istilah kedua,
pendidikan (dalam) Islam, berdasar atas perspektif bahwa islam adalah ajaran-ajaran,
sistem budaya dan peradapan yang tumbuh dan berkembang sepanjang perjalanan
sejarah umat Islam, sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai masa sekarang.
Sedangkan istilah
ketiga, pendidikan (agama) Islam, muncul dari pandangan bahwa Islam adalah nama
bagi agama yang menjadi panutan dan pandangan hidup umat Islam.[2]
Definisi pendidikan
dikemukakan para ahli dalam rumusan yang berbeda-beda menurut sudut pandang
masing-masing. Apabila kita tinjau dari rumusan bahasa sebagaimana tercantum dalam kamus besar bahasa
Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tingkah
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.[3]
Pendidikan diartikan
sebagai usaha yang dijalankan seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi
dewasa atau mencapai tingkat hidup atau pengalaman hidup atau penghidupan yang
tinggi dalam arti mental. Ilmu pendidikan membahas masalah-masalah yang
bersifat ilmu, bersifat teori, maupun yang bersifat praktis.[4]
Untuk lebih jelasnya
kita tinjau beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendidikan Islam:
a. Arifin mengemukakan: “pendidikan Islam
adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam
telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya”.
b. Marimba mendefinisikan: “pendidikan
Islam Bimbingan Jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.
c. Samsul Nizar mengemukakan: “pendidikan
Islam adalah proses penstransferan nilai yang dilakukan oleh pendidik yang
meliputi proses perubahan sikap dan tingkah laku dengan tetap berpedoman pada
ajaran Islam”.
d. Muhaimin mendefinisikan pendidikan
Agama dalam tiga macam pengertian, yaitu:
i.
Pendidikan
munurut Islam atau pendidikan islami, yakni pendidikan yang dipahami dan
dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam
al-Qur’an dan as-sunnah.
ii.
Pendidikan
keislaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau
ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi pandangan dan sikap hidup
manusia.
iii.
Pendidikan dala
islam, atau proses dan prektik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan
berkembang dalam sejarah umat Islam.[5]
Jadi, pendidikan Islam
adalah suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku berdasar nilai islamiyah
yang bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah untuk mencapai tingat hidup yang
tinggi.
Pendidikan Islam
selalu muncul “polemik” yang tidak berkesudahan mengenai istilah-istilah bahasa
Arab yang paling pas untuk diterjemahkan menjadi pendidikan Islam. Adapun
istilah-istilah yang dikemukakan oleh pemikir
Muslim, antara lain: al-tarbiyah,
al-ta’lim, dan al- ta’dib.
1. Al-Tarbiyah
Menrut Ibnu Manzhur
dalam lisan al-‘Arab[6],
juz 9, kata al-tarbiyah merupakan
masdar dari kata rabba yang berarti
mengasuh, mendidik, dan memelihara.
Istilaha
tarbiyah berakar pada kata pertama, raba yarbu yang berarti bertambah dan
tumbuh. Kedua, kata rabiya yarba yang
berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata
rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin,
dan memelihara. Kata al-rabb, juga
berasal dari kata tarbiyah dan berarti mengantarkan sesuatu kepada
kesempurnaannya secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara
berangsur-angsur.[7]
Hal tersebut sejalan dengan firman Allah, Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “ Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra: 24).
Dengan
demikian tarbiyah, yaitu pendidikan yang membentuk dan mengembangkan akhlak
secara bertahap/berangsur angsur.
2.
Al-Ta’lim
Al-Ta’lim,
yaitu pendidikan yang menitikberatkan pada pengajaran, penyampaian informasi,
dan pengembangan ilmu. Kata Al-Ta’lim
merupakan masdar dari kata ‘allama yang
berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian,
pengetahuan, dan keterampilan. Firman Allah swt, Artinya: Dan Allah mengajarkan
kepada Adam segala nama, kemudian Allah berkata kepada Malaikat:
“Beritahukanlah kepada-ku nama-nama semua itu, jika Allah swt.” (QS.
Al-Baqarah: 31)
3.
Al-Ta’dib
Ta’dip
berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud
bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai derajat tingkatannya
dan menempatkan seseorang sesuai dengan kapasitas dan potensi jasmani, rohani,
serta intelektualnya[8].
Dengan
demikian, uraian di atas, istilah al-tarbiyah,
al-ta’lim, al-ta’dip mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mengisi
satu sama lain. Dalam pertumbuhan dan perkembangan intelektual peserta didik.
C.
HAKEKAT MANUSIA
Pengetahuan
tentang hakekat dan kedudukan manusia merupakan bagian amat esensial, karena
dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang hakekat manusia, kedudukan
dan peranannya di alam semesta ini.
Salah
satu spesies makhluk hidup di bumi ini adalah manusia. Keberadaannya pertama kali di bumi ini tidak
diketahui secara pasti. Sejarah panjangnya merupakan rangkaian peristiwa yang
terputus-putus.
Teori
evolusi mengatakan bahwa alam ini, termasuk yang berada di dalamnya berkembang
secara evolusionis (berubah atau berkembang secara perlahan) dari mahkluk yang
sangat sederhana yang berkembang sedemikian rupa menjadi makhluk yang lebih
kompleks perjalanannya yang sangat penting itu menceritakan perkembangan tahap
demi tahap sampai menjadi manusia seperti sekarang ini[9].
Pandangan
yang lain, seperti pandangan ahli Agama[10],
mengatakan bahwa manusia pertama tidak diciptakan di tempat ini (di bumi), dan
bukan merupakan bagian panjang dari sejarah alam seperti di perkirakan dalam
pandangan evolusionisme tadi. Manusia pertama yang kemudian disebut dengan Adam
itu di ciptakan didalam surga (suatu tempat yang menjadi idaman para penganut
agama dan keberadaannya di luar alam ini, serta berbeda dengan alam ini karena ia bersifat immateri).
Hakikat Manusia menurut islam adalah makhluk ciptaan Allah, ia
tidaklah muncul dengan sendirinya atau berada oleh dirinya sendiri.[11]
كُلُّ مَولُودٍ يُولَدُ
عَلى الفِطرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَو يُنَصِّرَانِهِ اَو يُمَجِّسَانِهِ
(البخرى
و مسلم)
Artinya: Tiap orang dilahirkan membawa fitrah, ayah dan ibunyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau majusi. (Hadis riwayat bukhari dan
muslim)
Manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan, dan kemampuan itulah
yang disebut pembawaan. Fitrah yang di sebutkan di dalam hadis itu
adalah potensi. Potensi adalah kemampuan jadi fitrah yang dimaksud di
sini adalah pembawaan.
Dan manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal,
dan rohani sebagai potensi pokok.[12]
Di
dalam Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan,
sebagai Khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhuk yang di dalam dirinya
ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap
dirinya ataupun alam semesta, serta karunia
keagungan terhadap alam semesta, langit, dan kejahatan.
Manusia dikarunia
Allah swt fisik, psikis dan potensi-potensi yang membuktikan bahwa manusia
ditempatkan Allah pada posisi yang strategis yaitu : sebagai khalifah Allah,
berarti manusia dapat perperan sebagai obyek dan subyek pendidikan.
Sebagai hamba Allah
seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi
kepada nya berdasarkan firman Allah yang artinya : “Dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku (QS. Az-Zariat: 56)[13].
Para ahli dalam
berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakikat manusia. Sastraprateja,
mengatakan[14]
bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakekat manusia sendiri adalah
sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakekat manusia hanya
dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam sejarah manusia. Lebih lanjut ia
menambahkan ada sekurang-kurangnya enam anthropological
constants yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu:
a.
Relasi manusia
dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
b.
Ketertiban
dengan sesama
c.
Keterikatan
dengan struktur sosial dan institusional
d.
Ketergantungan
masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
e.
Hubungan timbal
balik antara teori dan praktek
f.
Kesadaran
regilius dan para pemeluk agama.
Murthada
Mutahhari melukiskan gambaran al-Qur’an tentang manusia sebagai berikut [15]:
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan tuhan, sebagai
khalifah nya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawi
yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpecaya, rasa
tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan
terhadap alam semesta, langit, dan bumi.
Ditinjau
dari segi kata (istilah) yang di gunakan Al-Qur’an memperkenalkan tiga kata
(istilah) yang biasa digunakan untuk merujuk pengertian manusia.
1. Al-Insan
Al-Insan
terbentuk
dari kata nasiya yang berarti lupa. Kata Al-Insan dinyatakan
dalam Al-Qur’an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat.
Kata al-insan
juga menunjukan pada proses kejadian manusia, baik dalam proses penciptaan Adam
maupun Proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan
berproses. Penggunaan kata al-insan pada ayat di atas mengandung dua
dimensi, yaitu dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya) dan dimensi spiritual
(ditiupkan-Nya ruh kepada Manusia).
Kedua dimensi tersebut memberikan suatu
penegasan, bahwa kata al-insan mengandung makna akan keunikan manusia.
Sebab disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, ia juga memiliki
sifat-sifat keterbatasan seperti tergesa-gesa dan resah.
2. Al-basyar
Al-Basyar
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dalam 26 surat. Secara
epistimologi, al-basyar merupakan bentuk jamak dari kata al-basyarot yang berarti kulit kepala. Pemaknaan manusia
ini memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis, serta memiliki
sifat-sifat ada di dalamnya, seperti
makan, minum, hiburan, dan lain sebagainya. Kata al-basyar ditunjukan
kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini berarti Nabi dan Rasul pun
memiliki dimensi al-basyar.
3.
An-nas
Kata an-nas dinyatakan
Dalam Al-Quran sebanyak 240 kali dalam 53 surat. Kata an-nas menunjukkan
pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh
manusia secara umum tanpa melihat statusnya beriman atau kafir.
Kata an-nas
juga dipakai dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia itu
labil. Meskipun telah dianugrahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa
digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun hanya segelintir manusia yang mau
mempergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya[16].
Jadi,
hakekat manusia adalah mahkluk yang diciptakan oleh Allah sebagai khalifah
dimuka bumi ini yang dikarunia Allah swt
fisik, psikis, dan potensi-potensi.
Kesatuan wujud manusia antara psikis
dan fisik serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa
manusia sebagai ahsan al-taqwin dan menempatkan manusia pada posisi yang
strategis yaitu:[17]
Ø Manusia
sebagai Hamba Allah
Manusia adalah
makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Meskipun
dengan pemikiran dan kondisi yang cukup sederhana, manusia dahulu telah
mengakui bahwa di luar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan menguasa seluruh
kehidupannya. Namun mereka tidak mengetakui hakikat zat yang berkuasa. Mereka
mengaplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk upacara ritual.
Pengetahuan
manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut informasi Al-Qur’an
disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan ruh manusia. Kepercayaan
dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak dapat di pisahkan dari
kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak zaman azali
bahwa Allah SWT adalah Tuhannya[18].
Ø Manusia
sebagai khalifah fil ardhi
Bila ditinjau,
kata khalifah berasal dari fi’il maddhi (خلف)
yang berarti mengganti dan melanjutkan.
Untuk lebih menegaskan fungsi ke khalifah manusia di alam ini, dapat di
lihat misalnya ayat-ayat yang artinya di bawah ini:
Dan
Dialah yang menjadikan kamu penguasa penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat (QS.al-an’am,6:165).
Namun menurut
Quraysihab mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan
manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan
ditaklukkan, atau antara tuhan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam
ketundukan kepada Allah SWT karena kalaupun manusia mampu mengelola, namun hal
tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat tuhan
menundukkannya untuk manusia[19].
Pendidikan
tidak lepas dari manusia dan selalu berpusat pada manusia dan kehidupannya,
baik sebagai subjek maupun sebagai objek. Tiada pendidikan tanpa manusia dan
manusia tanpa pendidikan. Hubungan manusia dengan pendidik ini bersifat
simbolis, manusia mengembangkan pendidik dan pendidikan pengembangan manusia dan
kehidupan, maka dalam proses mempersiapakan generasi penerus estafet
kekhalifhan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilaiyah, pendidikan yang ditawarkan
harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya, dengan acuaan
nilai-nilai ilaiyah.
D.
KESIMPULAN
1. Pendidikan Islam adalah suatu proses
perubahan sikap dan tingkah laku berdasar nilai islamiyah yang bersumber dari
al-Qur’an dan as-sunnah untuk mencapai tingat hidup yang tinggi .
2. Hakekat
manusia adalah makhluk paling sempurna diantara makhluk lainnya yang diciptakan
oleh Allah sebagai khalifah dimuka bumi ini yang dikarunianya fisik, psikis,
dan potensi-potensi.
E. DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 2013.
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Kadir, Abdul. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenadamedia
Group.
Ramayulis. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia.
Rusmaini. 2014. Ilmu Pedidikan. Palembang: Grafi Telindo
Press.
Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu
Pengetahuan Dalam Perspektif Islam. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Tantowi, Ahmad. 2008. Pendidikan Islam di Era Transformasi Global.
Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra.
Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu
Pengetahuan Dalam Perspektif Islam. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
[1]
Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di
Era Transformasi Global, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2008), hlm. 7.
[2]
Ibid., hlm. 8.
[3]
Rusmaini, Ilmu Pedidikan,
(Palembang: Grafi Telindo Press, 2014), hlm. 1.
[4]
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Edisi Revisi, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 2.
[8]
Ibid., hlm. 6.
[9]
Abdul Kadir, Dasar-Dasar
Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm. 7.
[10]
Ibid., hlm. 7.
[11] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pengetahuan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012),
hlm.34.
[12] Ibid., hlm. 37.
[14] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm. 1.
[15]
Ibid., hlm. 2.
[19] Ibid., hlm. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar