Sabtu, 23 April 2016

kel. 1 (IPI) hakikat pendidikan dan manusia



MAKALAH

Ilmu Pendidikan Islam
HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM DAN MANUSIA


Dosen Pengampu: Nurlaila , S.Ag.M.Pd. I




Disusun Oleh Kelompok I :


·         Ali Mursyid                    :       (1532100081)
·         Berenda Permata Sari  :       (1532100093)
·         Dhona Arba                   :       (1532100105)



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2015/2016

HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM DAN MANUSIA

A.           PENDAHULUAN

Dalam konteks globalisasi, pendidikan Islam memainkan peranan penting keseimbangan. Dan pendidikan senantiasa disesuaikan dengan fitrah kemanusiaan yang hakiki yakni menyangkut aspek material dan spiritual, aspek keilmuan sekaligus moral; aspek duniawi sekaligus ukhrawi.

 









B.            PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM
Proses pendidikan tidak terlepas dari faktor psikologis, fisik manusia dan pengaruh faktor lingkungan. Proses pendidikan harus berpegang pada petunjuk-petunjuk para ahli psikologi, terutama psikologi pendidikan, perkembangan dan psikologi agama. Dengan demikian proses pendidikan akan berlangsung secara sistematis dan terorganisir dengan baik.
Rangkaian kata “pendidikan Islam”  bisa dipahami dalam arti berbeda-beda, antara lain: 1. Pendidikan (menurut) Islam, 2. Pendidikan (dalam) Islam, 3. Pendidikan (agama) Islam[1]. Istilah pertama, pendidikan (menurut) Islam, berdasarkan sudut pandang bahwa Islam adalah ajaran tentang nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang ideal, yang bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah.
Istilah kedua, pendidikan (dalam) Islam, berdasar atas perspektif bahwa islam adalah ajaran-ajaran, sistem budaya dan peradapan yang tumbuh dan berkembang sepanjang perjalanan sejarah umat Islam, sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai masa sekarang.
Sedangkan istilah ketiga, pendidikan (agama) Islam, muncul dari pandangan bahwa Islam adalah nama bagi agama yang menjadi panutan dan pandangan hidup umat Islam.[2]
Definisi pendidikan dikemukakan para ahli dalam rumusan yang berbeda-beda menurut sudut pandang masing-masing. Apabila kita tinjau dari rumusan bahasa  sebagaimana tercantum dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tingkah seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[3]
Pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau pengalaman hidup atau penghidupan yang tinggi dalam arti mental. Ilmu pendidikan membahas masalah-masalah yang bersifat ilmu, bersifat teori, maupun yang bersifat praktis.[4]
Untuk lebih jelasnya kita tinjau beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendidikan Islam:
a.    Arifin mengemukakan: “pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya”.
b.    Marimba mendefinisikan: “pendidikan Islam Bimbingan Jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.
c.    Samsul Nizar mengemukakan: “pendidikan Islam adalah proses penstransferan nilai yang dilakukan oleh pendidik yang meliputi proses perubahan sikap dan tingkah laku dengan tetap berpedoman pada ajaran Islam”.
d.   Muhaimin mendefinisikan pendidikan Agama dalam tiga macam pengertian, yaitu:
                             i.          Pendidikan munurut Islam atau pendidikan islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-sunnah.
                           ii.          Pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi pandangan dan sikap hidup manusia.
                         iii.          Pendidikan dala islam, atau proses dan prektik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.[5]
Jadi, pendidikan Islam adalah suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku berdasar nilai islamiyah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah untuk mencapai tingat hidup yang tinggi.
Pendidikan Islam selalu muncul “polemik” yang tidak berkesudahan mengenai istilah-istilah bahasa Arab yang paling pas untuk diterjemahkan menjadi pendidikan Islam. Adapun istilah-istilah yang dikemukakan oleh pemikir  Muslim, antara lain: al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al- ta’dib.
1.    Al-Tarbiyah
Menrut Ibnu Manzhur dalam lisan al-‘Arab[6], juz 9, kata al-tarbiyah merupakan masdar dari kata rabba yang berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara.
Istilaha tarbiyah berakar pada kata pertama, raba yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabiya yarba yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata  rabba yarubbu  yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, dan memelihara. Kata al-rabb, juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaannya secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur.[7] Hal tersebut sejalan dengan firman Allah, Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “ Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra: 24).
Dengan demikian tarbiyah, yaitu pendidikan yang membentuk dan mengembangkan akhlak secara bertahap/berangsur angsur.
2.    Al-Ta’lim
Al-Ta’lim, yaitu pendidikan yang menitikberatkan pada pengajaran, penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu. Kata Al-Ta’lim merupakan masdar dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Firman Allah swt, Artinya: Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian Allah berkata kepada Malaikat: “Beritahukanlah kepada-ku nama-nama semua itu, jika Allah swt.” (QS. Al-Baqarah: 31)
3.    Al-Ta’dib
Ta’dip berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai derajat tingkatannya dan menempatkan seseorang sesuai dengan kapasitas dan potensi jasmani, rohani, serta intelektualnya[8].
Dengan demikian, uraian di atas, istilah al-tarbiyah, al-ta’lim, al-ta’dip mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mengisi satu sama lain. Dalam pertumbuhan dan perkembangan intelektual peserta didik.
C.           HAKEKAT MANUSIA
Pengetahuan tentang hakekat dan kedudukan manusia merupakan bagian amat esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang hakekat manusia, kedudukan dan peranannya di alam semesta ini.
Salah satu spesies makhluk hidup di bumi ini adalah manusia.  Keberadaannya pertama kali di bumi ini tidak diketahui secara pasti. Sejarah panjangnya merupakan rangkaian peristiwa yang terputus-putus.
Teori evolusi mengatakan bahwa alam ini, termasuk yang berada di dalamnya berkembang secara evolusionis (berubah atau berkembang secara perlahan) dari mahkluk yang sangat sederhana yang berkembang sedemikian rupa menjadi makhluk yang lebih kompleks perjalanannya yang sangat penting itu menceritakan perkembangan tahap demi tahap sampai menjadi manusia seperti sekarang ini[9].
Pandangan yang lain, seperti pandangan ahli Agama[10], mengatakan bahwa manusia pertama tidak diciptakan di tempat ini (di bumi), dan bukan merupakan bagian panjang dari sejarah alam seperti di perkirakan dalam pandangan evolusionisme tadi. Manusia pertama yang kemudian disebut dengan Adam itu di ciptakan didalam surga (suatu tempat yang menjadi idaman para penganut agama dan keberadaannya di luar alam ini, serta berbeda dengan alam ini  karena ia bersifat immateri).
Hakikat Manusia menurut islam adalah makhluk ciptaan Allah, ia tidaklah muncul dengan sendirinya atau berada oleh dirinya sendiri.[11]
   كُلُّ مَولُودٍ يُولَدُ عَلى الفِطرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَو يُنَصِّرَانِهِ اَو يُمَجِّسَانِهِ
 (البخرى و مسلم)
Artinya: Tiap orang dilahirkan membawa fitrah, ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau majusi. (Hadis riwayat bukhari dan muslim)
Manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan, dan kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang di sebutkan di dalam hadis itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan jadi fitrah yang dimaksud di sini adalah pembawaan.
Dan manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi pokok.[12]
Di dalam Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai Khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhuk yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya ataupun alam semesta, serta karunia  keagungan terhadap alam semesta, langit, dan kejahatan.
Manusia dikarunia Allah swt fisik, psikis dan potensi-potensi yang membuktikan bahwa manusia ditempatkan Allah pada posisi yang strategis yaitu : sebagai khalifah Allah, berarti manusia dapat perperan sebagai obyek dan subyek pendidikan.
Sebagai hamba Allah seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi kepada nya berdasarkan firman Allah yang artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku (QS. Az-Zariat: 56)[13].
Para ahli dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakikat manusia. Sastraprateja, mengatakan[14] bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakekat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakekat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam sejarah manusia. Lebih lanjut ia menambahkan ada sekurang-kurangnya enam anthropological constants yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu:
a.    Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
b.    Ketertiban dengan sesama
c.    Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional
d.   Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
e.    Hubungan timbal balik antara teori dan praktek
f.     Kesadaran regilius dan para pemeluk agama.
Murthada Mutahhari melukiskan gambaran al-Qur’an tentang manusia sebagai berikut [15]: Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan tuhan, sebagai khalifah nya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawi yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpecaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan terhadap alam semesta, langit, dan bumi.
Ditinjau dari segi kata (istilah) yang di gunakan Al-Qur’an memperkenalkan tiga kata (istilah) yang biasa digunakan untuk merujuk pengertian manusia.
1.    Al-Insan
Al-Insan terbentuk dari kata nasiya yang berarti lupa. Kata Al-Insan dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat.
Kata al-insan juga menunjukan pada proses kejadian manusia, baik dalam proses penciptaan Adam maupun Proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses. Penggunaan kata al-insan pada ayat di atas mengandung dua dimensi, yaitu dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya) dan dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh kepada Manusia).
   Kedua dimensi tersebut memberikan suatu penegasan, bahwa kata al-insan mengandung makna akan keunikan manusia. Sebab disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, ia juga memiliki sifat-sifat keterbatasan seperti tergesa-gesa dan resah.

2.    Al-basyar
Al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dalam 26 surat. Secara epistimologi, al-basyar merupakan bentuk jamak dari kata al-basyarot  yang berarti kulit kepala. Pemaknaan manusia ini memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis, serta memiliki sifat-sifat  ada di dalamnya, seperti makan, minum, hiburan, dan lain sebagainya. Kata al-basyar ditunjukan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini berarti Nabi dan Rasul pun memiliki dimensi al-basyar.

3.    An-nas
Kata an-nas dinyatakan Dalam Al-Quran sebanyak 240 kali dalam 53 surat. Kata an-nas menunjukkan pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya beriman atau kafir.
Kata an-nas juga dipakai dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia itu labil. Meskipun telah dianugrahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun hanya segelintir manusia yang mau mempergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya[16].
Jadi, hakekat manusia adalah mahkluk yang diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dimuka bumi ini yang dikarunia Allah swt fisik, psikis, dan potensi-potensi.
            Kesatuan wujud manusia antara psikis dan fisik serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwin dan menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu:[17]
Ø  Manusia sebagai Hamba Allah
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Meskipun dengan pemikiran dan kondisi yang cukup sederhana, manusia dahulu telah mengakui bahwa di luar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan menguasa seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengetakui hakikat zat yang berkuasa. Mereka mengaplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk upacara ritual.
Pengetahuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut informasi Al-Qur’an disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan ruh manusia. Kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak dapat di pisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak zaman azali bahwa Allah SWT adalah Tuhannya[18].

Ø  Manusia sebagai khalifah fil ardhi
Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari fi’il maddhi (خلف) yang berarti mengganti dan melanjutkan.  Untuk lebih menegaskan fungsi ke khalifah manusia di alam ini, dapat di lihat misalnya ayat-ayat yang artinya di bawah ini:
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat (QS.al-an’am,6:165).
Namun menurut Quraysihab mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan ditaklukkan, atau antara tuhan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT karena kalaupun manusia mampu mengelola, namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat tuhan menundukkannya untuk manusia[19].
Pendidikan tidak lepas dari manusia dan selalu berpusat pada manusia dan kehidupannya, baik sebagai subjek maupun sebagai objek. Tiada pendidikan tanpa manusia dan manusia tanpa pendidikan. Hubungan manusia dengan pendidik ini bersifat simbolis, manusia mengembangkan pendidik dan pendidikan pengembangan manusia dan kehidupan, maka dalam proses mempersiapakan generasi penerus estafet kekhalifhan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilaiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya, dengan acuaan nilai-nilai ilaiyah.
D.           KESIMPULAN
1.    Pendidikan Islam adalah suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku berdasar nilai islamiyah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah untuk mencapai tingat hidup yang tinggi .
2.    Hakekat manusia adalah makhluk paling sempurna diantara makhluk lainnya yang diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dimuka bumi ini yang dikarunianya fisik, psikis, dan potensi-potensi.


 

 


E.            DAFTAR PUSTAKA


Hasbullah. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta: Raja
       
           Grafindo Persada.

Kadir, Abdul. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia
           
           Group.

Ramayulis. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Rusmaini. 2014. Ilmu Pedidikan. Palembang: Grafi Telindo Press.

Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam. Bandung:
           Remaja Rosda Karya.
Tantowi, Ahmad. 2008. Pendidikan Islam di Era Transformasi Global. Semarang:
         
           PT Pustaka Rizki Putra.

Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam. Bandung:
           Remaja Rosda Karya.








[1]  Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2008), hlm. 7.
[2]  Ibid., hlm. 8.
[3]  Rusmaini, Ilmu Pedidikan, (Palembang: Grafi Telindo Press, 2014), hlm. 1.
[4]  Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 2.
[5]  Rusmaini, Op. cit., hlm. 6-7.
[6]  Ahmad Tantowi, Op. cit., hlm. 8.
[7]  Rusmaini, Op. cit., hlm. 3.
[8]  Ibid., hlm. 6.
[9]  Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm. 7.
[10]  Ibid., hlm. 7.
[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hlm.34.
[12] Ibid., hlm. 37.
[13]  Rusmaini, Op. Cit., hlm. 9.
[14] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm. 1.
[15]  Ibid., hlm. 2.
[16]  Rusmaini, Op. cit., hlm. 11.
[17]  Ibid., hlm. 15-17.
[18]  Ibid., hlm. 18.
[19]  Ibid., hlm. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar