Sabtu, 23 April 2016

kel. 3 (ADM) administrasi program sekolah



MAKALAH
ADMINISTRASI PROGRAM SEKOLAH



Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Administrasi dan Supervisi Pendidikan




Dosen Pengampu : Febro Aini M.PD,I

Disusun Oleh Kelompok 3:

Adi Kurniawan (153210007)
Ajeng Ratika (1532100078)
Desi Ratna Sari (1532100099)


UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah azza wajala, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi akhir zaman yakni Muhammad Saw. Keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang setia dan istiqomah berada di atas ajarannya hingga hari kiamat.
Penulis sangat bersyukur karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Administrasi Program Sekolah”.
Penyusunan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Administrasi dan Supervisi Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Dalam penyusunan makalah ini penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Administrasi dan Supervisi Pendidikan yang telah memberikan materi perkuliahan serta arahannya, mudah-mudahan Allah SWT. Membalas atas semua bantuan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis berharap makalah ini berguna bagi kita semua amin. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palembang, 27 Maret 2016

Penulis
i
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN......................................................................................................3
  1. Manajemen Berbasis Sekolah......................................................................3
1.      Defenisi Manajemen Berbasis Sekolah..................................................3
2.      Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah...............................3
3.      Prinsip- prinsip Manajemen Berbasis Sekolah......................................6
4.      Komite Sekolah......................................................................................7
5.      Pelaksanaan Manajemen  Berbasis Sekolah..........................................8
  1. Administrasi Sekolah dalam Lingkungan Fisik dan Sosio Emosional......11
1.      Pengelolaan Kelas................................................................................12
2.      Tipe kepemimpinan Guru di Kelas......................................................14
3.      Penciptaan Kondisi Sosio-Emosional di kelas.....................................14
4.      Iklim Kelas yang Demokratis...............................................................16
BAB III...................................................................................................................19
PENUTUP..............................................................................................................19
  1. Kesimpulan................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20



ii

BAB I

PENDAHULUAN

Sekolah merupakan instansi pendidikan yang berintregitas antara komponen yang satu dengan yang lain. Salah satu komponen pendukung yang penting dalam instansi pendidikan, dalam hal ini sekolah adalah tenaga administrasi. Peran dari tenaga administrasi sekolah sangatlah penting dalam mendukung kesuksesan dan kelancaran tata administrasi sekolah. Di dalam menangani tata adminsitrasi sekolah dibutuhkan suatu keahlian dan kemampuan yang cukup dalam bidang administrasi. Oleh karena itu sumber daya manusia dalam hal ini tenaga administrasi menjadi komponen yang penting dalam suatu sekolah.
Berkenaan dengan hal itu semua, peran dari tenaga dalam hal ini sumber daya manusia di dalam memperlancar tata administrasi sekolah sangatlah penting, serta tidak bisa dipisahkan antara komponen yang satu dengan yang lain. Disamping itu, dibutuhkan suatu keahlian juga keterampilan didalam menangani urusan tata administrasi sekolah tersebut. Maka dari itu sangat diperlukan tenaga tata administrasi yang terampil, handal, serta faham akan job diskripsinya.
Masih kurang dan rendahnya kompetensi yang dimiliki tenaga tata administrasi sekolah menjadi sebuah fenomena yang perlu dituntaskan dengan segera. Karena peran dari tenaga tata adminstrasi di dalam sebuah sekolah diibaratkan sebagai sebuah nyawa yang bergantung pada bentuk fisiknya. Untuk itu penulis akan mengkaji tentang administrasi sekolah dan administrasi kelas[1].
  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Manajemen Berbasis Sekolah?
2.      Bagaimana Administrasi Sekolah dalam Lingkungan Fisik dan Sosio Emosional?
  1. Batasan Masalah
1.      Hanya membahas Manajemen Berbasis Sekolah.
2.      Hanya membahas Administrasi Sekolah dalam Lingkungan Fisik dan Sosio Emosional.
























2

BAB II

PEMBAHASAN


  1. Manajemen Berbasis Sekolah
1.      Defenisi Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen sekolah sering diasandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Tim Peningkatan Mutu SMP Depdiknas (2006) mendefinisikan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai model pengelolaan Sekolah berdasarkan kekhasan, kebolehan, kemampuan dan kebutuhan sekolah. Dengan demikian  SBM dapat didefinisikan sebagai suatu model desentralisasi dalam bidang pendidikan yang memberikan otonom untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi manajemen partisipatif pada tingkat sekolah sesuai standar nasional pendidikan yangdidasari potensin, prakarsa, dan prioritas agar tumbuh kemandirian sekolah[2].
2.      Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
a.      Tujuan
Manajemen Berbasis Sekolah adalah pendidikan yang dapat di kelola secara baik yaitu mencapai kualitas, prokduktivitas, efektivitas, dan efesiensi dengan memberikan kepercayaan kepada sekolah bahwa mereka paling menguasai dan memiliki kemampuan untuk mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
Disdik Provinsi Jawa Barat (2001) mengiditifikasikan tujuan melaksanakan MBS sebagai berikut:
1.      Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
2.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan secara kooperatif.
3.      Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu pendidikan disekolah.
4.      Meningkatkan kompetensi yang sehat antara sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan[3].
E. Mulyasa (2002) mengatakan MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh antara lain melalui keleluasaan pengelolaan sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh, antara lain, melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih konsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah. Nurkholis (2001) menyebutkan, tujuan utama MBS adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik[4].

                        b. Manfaat
Eman Suparman (2001) mengatakan, dengan menerapkan MBS, beberapa manfaat yang bisa diraih, yaitu:
1.      Sekolah sebagai lembaga pendidikanlebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lain.
2.      Dengan demikian, sekolah dapatmengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.
3.      Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
4.      Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, oran tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
5.      Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat[5].
Menurut E. Mulyasa (2002), manfaat MBS adalah memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada kepala sekolah beserta seperangkat tanggung jawab. Dengan demikian, MBS mendorong profesionalismeguru dan kepala sekolah sebagai pembimbing pendidikan di sekolah. Melalui penyusunan kurikulum efektif, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkatkan dan menjamin layanan pendidikan sesuai tuntutan peserta didik dan masyarakat sekolah. Prestasi peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orang tua, misalnya orang tua dapat mengawasi secara langsung proses belajar mengajar anaknya[6].
3.      Prinsip- prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
1.      Partisipasi ; Partisipasi penting untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dan peningkatan tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi/kontribusi. Partisipasi adalah proses dimana stakeholders terlibat aktif baik dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengevaluasian pendidikan di sekolah.
2.      Transparansin ; manajemen sekolah dilaksanakan secara transparan,  mudah di akses anggota, manajemen memberikam laporan secara kontinu sehingga stakeholders dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah.
3.      Akuntabilitas; Sekolah harus mempertanggung  jawabkan aktifitas penyelenggaraan sekolah yang telah di madatkan stakeholders dengan melakukan menejemen sebaik mungkin.
4.      Prepesionalisme; mencapai kemandirian dengan tingkat prakarsa dan kreativitas yang tinggi prefesonalisme dari semua komponen personial , baik jajaran manajemen, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya maupun komite sekolah.
5.      Memiliki wawasan kedepan berupa visi,misi dan strategi kearah pencapain mutu  pendidikan.
6.      Sharing authority dalam implemetasi manajemen ,tidak one man show tetapi berpijak pada kekuatan kerja tim yang solid[7].




4.      Komite Sekolah
Menurut Djam’an satori (2001), sebagai konsekuensi untuk mengakomodasi aspirasi, harapan dan kebutuhan stakeholder sekolah,  maka perlu dikembangkan adanya wadah untu menampung dan menyalurkannya. Wadah tersebut berfungsi sebagai forum di mana representasi para stakoholder sekolah terwakili secara proporsional. Dalam berbagai dokumen yang ada dan konsensus yang telah muncul dalam berbagai dokumen yang ada dan konsensus yang telah muncul dalam berbagai forum, wadah ini di beri nama Komite Sekolah.
            Dalam pengertian lain, Djam’an satori menyebutkan bahwa komite sekolah merupakan suatu badan yang berfungsi sebagai forum resmi untuk mengakomodasikan dan membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan kelembagaan sekolah. Hal-hal tersebut meliuti:
1.      Penyusunan rencana strategi sekolah, yaitu strategi pengembangan sekolah dalam perspektif 3-4 tahun mendatang.
2.      Penyusunan perencanaan tahunan sekolah, yang merupakan elaborasi dari perencanaan strategi sekolah.
3.      Mengadakan pertamuan untuk menampung dan membahas berbagai kebutuhan, masalah, aspirasi serta ide-ide yang di samoaikan oleh anggota-anggota komite sekolah.
4.      Memikirkan upaya-upaya untuk memajukan sekolah,terutama yang menyangkut kelengkapan fasilitas sekolah, fasiltas pendidikan, pengadaan biaya pendidikan bagi pengembangan keunggulan kompetitif dan komperatif sekolah ssesuai dengan aspirasi stokeholder sekolah[8].
5.      Mendorong sekolah untuk melakukan internal monitoring (school self-assessment)  dan melaporkan hasilnya untuk di bahas dalam komite sekolah
6.      Membahas hasil-hasil tes standar yang dilakukan oleh lembaga/ institusi eksternal dalam upaya menjaga jaminan mutu (quality assurance) serta memelihara kondisi pembelajaran sekolah sesuai dengan tuntutan standar minimum kompetensi siswa (basid minimum competency) seperti yang diatur dalam pp no. 25 tahun 2000.
7.      Membahas laporan tahunan sekolah sehingga memperoleh penerimaan komite sekolah.
8.      Mamantau kinerja sekolah, yang meliputi manajemen sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, mutu belajar-mengajar termasuk kinerja mengajar guru, hasil belajar siswa, disiplin dan tata tertib sekolah, prestasi sekolah, baik dalam aspek intra maupun ekstrakurikuler.
                          Dalam kepmendiknas no. 044/u/2002 tanggal 12 april 2002, disebutkan bahwa komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangkat meningkatkan mutu, pemerataan, dan efesiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan prasekolah, jalur sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah[9].
5.      Pelaksanaan Manajemen  Berbasis Sekolah
Pelaksanaan MBS difokuskan pada dua sasaran kerja yaitu pada manajemen peningkatan mutu sekolah dan pada peningkatan kontribus masyarakat terhadap pendidikan[10].
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efesien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoprasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasarana memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua) yang tinggi.
 Oleh karena itu, agar MBS dapat diimplementasikan secara optimal, baik di era krisis maupun pasca krisis di masa mendatang, perlu adanya penggelompokan sekolah berdasarkan tingkat kemampuan manajemen masing-masing. Pengelolaan ini dimaksudkan untuk mempermudah pihak-pihak terkait dalam memberikan dukungan.
a.      Pengelompokan sekolah
Dalam rangka mengimplementasikan MBS, perlu di lakukan pengelompokan sekolah berdasarkan kemampuan manajemen,dengan mempertimbangkan kondisi lokasi dan kualitas sekolah. dalam hal ini sedikitnya akan ditemui tiga katagori sekolah, yaitu baik, sedang, yang terbesar di lokasi-lokasi maju, sedang, dan ketinggalan.
      Kondisi di atas mengisyaratkan tingkat kemampuan manajemen sekolah untuk mengimpelemantasikan MBS berbeda satu kelompok sekolah dengan kelompok lainnya. Perencanaan impelemantasi MBS harus menuju pada variasi tersebut, dan mempertimbangkan kemampuan setiap sekolah. Perencanaan yang merujuk pada kemampuan sekolah sangat perlu, khususnya untuk menghindari penyeragaman perlakuan (treatment) terhadap sekolah[11].
b.      Pentahapan Implementasi MBS
Sebagai suatu paradigman pendidikan baru selain perlu memperhatikan kondisi sekolah, implementasi MBS juga memerlukan pentahapan yang tepat. Dengan perkataan lain, harus di lakkan secara bertahap. Penerapan MBS secara menyeluruh sebagai realisasi desentralisasi pendidikan memerlukan perubahan-perubahan mendasar terhadap aspek-aspek yang menyangkut keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana, serta partsipasi masyarakat.
Secara garis besar, Fattah (2000) membaginya menjadi tiga tahap, yaitu sosialisasi,piloting dan deseminasi.


a.       Tahap sosialsasi
Tahap ini merupakan tahapan penting mengigat luasnya wilayah nusantara terutama daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media informasi, baik cetak maupun elektronik.dengan begitu masyarakat beradaptasi dengan baik dengan lingkungan yang baru.
b.      Tahap piloting
Pada tahap ini merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep manajemen berbasis sekolah tidak mengandung risiko. Untuk mengukur efektivitas model uji coba memerlukan persyaratan dasar yaitu akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas.
Akseptabilitas,artinya adanya penerimaan dari para tenaga pendidikan, khususnya guru dan kepala sekolah sebagai pelaksanaan dan penanggung jawab penddikan di sekolah.
Akintabilitas, artinya bahwa program MBS harus dapat di pertanggungjawabkan, baik secara konsep, operasional, maupun pendanaannya.
Reflikabilitas, model MBS yang di uji cobakan dapat direflekasi di sekolah lain sehingga perlakan yang di berikan kepada sekolah uji coba dapat di laksanakan di sekolah lain.
Sustainabilitas,yaitu program tersebut dapat dijaga kesinabungannya setelah uji coba dilaksanakan[12].
c.       Tahap deseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model MBS yang telah di uji cobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara efektif dan efisien.


c.       Perangkat Implementasi MBS
Sebagaimana dikemukakan di atas,  sekolah memerlukan pedoman-pedoman sebagai pendukung untuk menjamin terlakasananya pengelolaan MBS yang mengakomodasi kepentingan otonomi sekolah, kebijakan pemerintah, dan partisipasi rakyat. Implementasi MBS memerlukan seperangkat peraturan dan pedoman-pedoman (guidelines) umum yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta laporan pelaksanaan.
Keberhasilan implementasi manajemen berbasis sekolah sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan politik pemerintah (political will) sebagai penaggung jawab pendidikan. Kalau kemauan poltik sudah ada, pelaksanaannya sangat bergantung pada bagaimana kesiapan pelaksanaan dan perumusan kebijakan dapat memperkecil kelemahan yang muncul dan mengeksplorasi manfaat semaksimal mungkin[13].
  1. Administrasi Sekolah dalam Lingkungan Fisik dan Sosio Emosional
Pada umumnya dalam suatu masyarakat, karakteristik sekolah sebagai masyarakat mini (mini society) direpresentasikan atau dicirikan oleh watak para penghuninya, yaitu pengelola sekolah. Dalam anatomi sekolah menurut Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2002:10) masyarakat sekolah dapat dibedakan menjadi tiga level pokok sesuai fungsinya yakni: (1) level kelas (regulator) yang merupakan representasi dari karakter pembelajaran di kelas, yang banyak dipengaruhi oleh aturan main, atau regulasi yang dianut oleh guru.  Misalnya suasana psikologis kelas yang nyaman, pembelajaran yang menarik, motivasi siswa yang tinggi, dan sebagainya; (2) level mediator (profesi) yang merupakan representasi dari karakter-karakter profesional pada pengelola sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga teknis/administratif sekolah. Misalnya karakter kepemimpinan kepala sekolah dan sifat-sifat semacam dedikasi, motivasi, kompetensi, kreativitas, dan kolaborasi dari setiap individu pengelola sekolah; dan (3) level sekolah (manajemen) yang merupakan representai dari karakter kolektif warga sekolah secara keseluruhan, atau iklim sekolah.
Pada level kelas (regulator) pembelajaran efektif ditandai oleh sifatnya yang menekankan pada pemberdayaan siswa secara aktif. Pembelajaran bukan sekedar memoris dan recall, bukan pula sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi l;ebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati, serta dipraktekkan dalam kehidupan oleh siswa (etos)[14].
Pada level mediator (profesi)kepala sekolah memiliki peran utama dan paling kuat dalam menentukan seluruh roda kehidupan sekolah. Ia mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan faktor utama yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap.
Sedangkan pada level sekolah (manajemen) penerapan MBS secara bertahap memberikan otonomi kepada sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, menggerakkan, dan mengontrol program-program peningkatan mutu, tanpa harus menunggu atau dibatasi oleh petunjuk dari birokrasi pendidikan di atasnya.
Tipe ideal sekolah adalah menunjukkan ciri profesional menekankan kemampuan adaptasi terhadap kompleksitasnya dan juga menggambarkan kepuasaan kerja bagi para anggotanya. Sekolah yang berciri profesional berubah dan orientasi birokratik menjadi orientasi profesional, karena diasumsikan bahwa sekolah yang menekankan produksi dalam model birokratik tidak akan dapat memberikan hasil pendidikan yang berkualitas tinggi.

1. Pengelolaan Kelas
Keberhasilan guru melaksanakan kegiatan pembelajaran tidak saja menuntut kemampuan menguasai materi pelajaran, strategi dan metode mengajar, menggunakan media atau alat pembelajaran. Tetapi guru melaksanakan tugas profesionalnya dituntut kemampuan lainnya, yaitu menyediakan atau menciptakan situasi dan kondisi belajar ang kondusif dan menyenangkan yang memungkin kegiatan belajar mengajar bisa berjalan dengan baik sesuai perencanaan danmencapai tujuan sesuai yang dikehendaki[15].
Menurut Hasibuan dan Moerdiono (1986:82): pengaturan berkaitan dengan penyediaan kondisi belajar adalah pengelolaan kelas sedangkan menurut Raka Joni (1984:3) pengelolaan kelas menunjukkan kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar.  Pengelolaan kelas menunjukkan kepada pengaturan orang yaitu terutama adalah siswa sebagai peserta didik maupun pengaturan fasilitas. Fasilitas mencakup pengertian yang luas mulai dari ventilasi udara, penerangan, kebersihan ruang kelas, tempat duduk, papan tulis, ruang kelas, halaman sekolah, sampai dengan perencanaan progam belajar ruang kelas, halaman sekolah sampai dengan perencanaan progam belajar mengajar yang tepat dan pelayanan belajar. Hasibuan, (1986) mengemukakan bila pengaturan kondisi pendudukung belajar dapat dikerjakan secara optimal maka proses belajar berlangsung secara optimal pula. Tetapi bila tidak dapat disediakan secara optimal tentu saja menimbulkan gangguan terhadap belajar mengajar.
Keterampilan pengelolaan kelas bagi guru adalah suatu tuntutan, bahkan dalam sepuluh kompetensi mengajar yang harus dimiliki oleh seorang guru diantaranya adalah pengelolaan kelas. Keterampilan mengelola kelas yang seharusnya dimiliki oleh guru dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) keterampilan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang kondusif dan optimal yang ditampakkan pada kelompok belajar, memberikan petunjuk yang jelas kepada siswa mengenai hal belajar, menegur siswa yang berperilaku menyimpang dan memberi penguatan (reinforecement); dan (2) keterampilan menciptakan kondisi belajar yang berkelanjutan, respon guru tersebut dalam bentuk mengadakan tindakan remedial untuk mengembalikan kondisi belajar yang optimal[16]. (hal 84) Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer..., hlm.
Untuk dapat menciptakan kondisi yang diharapkan akan efektif seorang guru penting memiliki keterampilan pedagogik, juga perlu diketahui secara tepat faktor-faktor mana saja yang dapat menunjang terciptanya kondisi pembelajaran yang menguntungkan.  (85)
Efektivitas pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru, tentu saja menyangkut pengelolaan aspek lingkungan fisik yaitu ruang kelas dan seluruh kelengkapan maupun adiminstrasinya, kemudian aspek sosio emosional para siswa yang berada dalam kelas tersebut yang melakukan kegiatan belajar.(hal 85)
Aspek lain yang termasuk lingkungan fisik yang mendapat perhatian dari guru-guru disekolah yaitu mengenai pengaturan cahaya dan ventilasi.
Masalah kedua yang penting dalam manajemen kelas adalah mengenai pengembangan sosio emosional yang dilakukan oleh guru-guru, yang meliputi: tipe kepemimpinan, sikap guru terhadap siswa yang tidak disiplin, pembinaan hubungan yang baik dengan siswa dan pendekatan sosio-emosional pengelolaan kelas yang diakukan. Pengelolaan kelas adalah mengatur suasana pembelajaran di kelas, mengkondisikan siswa untuk belajar dan memanfaatkan atau menggunakan sarana pengajaran serta dapat mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pelajaran.
2.Tipe kepemimpinan Guru di Kelas
Tipe kepemimpinan seorang (guru) akan mewarnai suasana organisasi/kelas yang dipimpinnya. Menurut Raka Joni (1985) tipe kepemimpinan guru yang lebih berat pada otoriter akan menghasilkan sikap siswa yang submisive atau apatis. Tapi dipihak lain akan menumbuhkan sikap agresif[17].
Dalam pemecahan masalah kepemimpinan ini senantiasa me;ibatkan siswa, menghargai pendapat siswa, kemudian siswa diperlakukan sebagai individu yang bertanggung jawab, berharga dan mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya di kelas.
Tipe kepemimpinan yang dilakukan para guru tidak saja hanya menggunakan tipe kepemipinan demokratis, tetapi juga bila diperlukan digunakan pendekatan otoriter. Tipe inidigunakan apabila siswa sudah tidak bisa diajak musyawarah atau bersifat apatis. Dengan demikian tipe kepemimpinan yang digunakan bervariasi sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan sehingga apa yang dilakukan oleh guru benar-benar mampu membangkitkan motivasi, semangat para siswa dalam melakukan kegiatan belajar.
3.      Penciptaan Kondisi Sosio-Emosional di kelas.
Kelas sebagai tempat berlangsungnya PBM diwarnai oleh berbagai perilaku siswa, ada yang positif dan ada pula yang negatif. Perilaku siswa yang positif dikelas, seperti: menghargai pendapat orang lain, memberikan respon psikologis yang positif, memperhatikan guru yang sedang mengajar. Bentuk perilaku seperti ini diperhatikan dengan memberikan penguatan, seperti: memberikan perhatian.
Sedangkan tingkah laku yang negatif ditemukan dari hasil observasi seperti melanggar peraturan/tata tertib, membadut, ngobrol, memperolok-olok teman, menunjukkan sikap yang sangat responsif (menjawab hal-hal yang tidak perlu), ditemukan siswa yang ngobrol atau mengganggu. Dengan demikian menghadapi hal yang negatif guru menunjukkan sikap yang responsif untuk segera menghentikannya, bersifat sabar, dan tetapi menunjukkan persahabatan dengan murid[18].
Guru menggunakan berbagai pendekatan, pada saat guru ingin membina tingkah laku yang dikehendaki, yaitu tingkah laku yang positif digunakan pendekatan perubahan tingkah laku, yakni dengan cara memberikan penguatan (reinforcement) yang bersifat positif, sedangkan untuk menghilangkan atau menghentikan tingkah laku yang tidak diinginkan digunakan peringatan, jika tidak memadai digunakan sanksi sesuai kaidah-kaidah pendidikan. Dengan peringatan dan sanksi ini dimaksudkan agar murid tidak lagi mengulangi perbuatan yang tidak sesuai denagn peraturan dengan peraturan yang berlaku.
Peringatan dan sanksi yang dilakukan guru-guru terutama untuk menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang (efek jera), yang bersifat mendidik dan bukan sanksi yang bersifat fisik, berupa teguran,sindiran, atau peringatan yang langsung ditujukan kepada siswa yang berperilaku menyimpang dengan harapan siswa tersebut menghentikan dengan segera tingkah laku tersebut.(hal 89)
Dalam melakukan tindakan penyembuhan atau mengatasi tingkah laku siswa yang menyimpang (dimensi kuratif) guru-guru menempuh sejumlah tahapan, antara lain: melakukan identifikasi masalah, menganalisis masalah, yaitu mengetahui sebab-sebai terjadinya masalah tersebut, mengembangkan dan memlih alternaif pemecahan, melaksanakan alternatif yang telah dipilih dan melihat umpan balik dari hasil pelaksanaan alternatif yang dipilih tersebut.(hal 89-90)
Dalam melakukan pengelolaan kelas, guru juga berusaha mengembangkan suasana hangat, gembira, mengembangkan hubungan interpersonal yang harmonis antara guru dan siswa, juga membina hubungan yang baik antara siswa dengan siswa, hru menerima pendapat juga saran[19].
Dalam melaksanakan pengelolaan kelas, guru-guru di sekolah mengembangkan berbagai macam pendekatan, antara lain pendekatan pengubahan tingkah laku pendekatan sosio emosionl dan pendekatan proses kelompok.
Dengan situasi seperti ini siswa dapat belajar dengan lebih baik, demikian juga guru bisa melaksanakan tugas utama di kelas, yaitu mengajar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4.      Iklim Kelas yang Demokratis.
Iklim dapat dipandang pada suatu pihak sebagai karakteristik abadi yang mencirikan suatu kelas tertentu, yang membedakannya dari kelas yang lain, dan mempengaruhi perilaku guru dan siswa.
Model kepemimpinan kelas yang dikembangkan oleh guru yang dapat mengembangkan potensi siswa kearah belajar yang lebih dinamis cenderung bersifat demokratis. Sikap demokratis terlihat dari mengembangkan rasa saling mempercayai, menghargai siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam kegiatan kelas sesuai dengan kemampuannya serta suasana yang harmonis yang dilakukan guru. Rudolf Dreikurs mengemukakan yang menekankan pentingnya suasana kelas yang demokratis, dimana siswa diajar bertanggung jawab, siswa diperlakukan sebagai manusia yang mampu, berharga, adanya saling menghargai dan mempercayai.
Carl Roger juga mengemukakan yang menekankan pentingnya guru bersifat tulus dihadapan siswa, menerima dan menghargai siswa sebagai manusia, dan memiliki pengertian/memahami siswa dari sudut pandang siswa sendiri atau empati.
Dalam melakukan pengelolaan kelas cenderung guru menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan pengubahan tingkah laku, pendekatan proses kelompok dan pendekatan sosio emosional.  Hal ini mengingat masalah yang terajdi dalam kelas cukup kompleks, jadi digunakannya pendekatan-pendekatan tersebut disesuaikan dengan tujuan dan masalah yang muncul dalam pengelolaan kelas.
Pendekatan pengubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang dilakukan adlah menguatkan tingkah laku siswa yang baik dan menghilangkan tingkah laku yang tidakbaik pendekatan penciptaan iklim sosio emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru-siswa dan siswa sedangkan pendekatan proses kelompok di anut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.
Kegiatan pengelolaan kelas oleh guru, mengarah pada tindakan pencegahan sebelum masalah pengelolaan kelas itu muncul. Tindakan ini beruapa penyediaan kondisi fisik yang berupa pengaturan tempat duduk, besar-kecilnya ruangan sesuai dengan jumlah siswa, pengaturan alat, perlengkapan kelas dan pengajaran. Sedangkan yang bersifat kondisi sosio emosional, antara lain: pembinaan hubungan yang baik dan harmonis dengan siswa, pengembangan kepemimpinan guru yang demokratis, mengembangkan sikap yang sabar dalam menghadapi siswa yang menyimpang[20].
Nawawi (1982:115) mengemukakan bahwa sekolah sebagai total sistem atau satu kesatuan organisasi, sangat tergantung pada penyelenggaraan dan pengelolaan kelas, baik di lingkungan kelas masing-masing sebagai unit kerja berdiri sendiri, maupun dalam hubungan kerja antara kelas yang satu dengan kelas yang lain. Kelas sebagai unit kerja yang berdiri sendiri, mempunyai masyarakat sendiri, dan juga mempunyai iklim demokrasi tersendiri pula, karena itu kelas merupakan unit kerja yang otonom[21].


















BAB III

PENUTUP
  1. Kesimpulan
Bahwa administrasi program sekolah merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai sehingga administrasi program sekolah mempunyai mekanismedalam sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Maka dari itu administrasi program sekolah mempunyai tujuan, prinsip-prinsip, komitre, dan pelaksanaan yang dapat mengelola kinerja sekolah dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik.
Sehingga dapat memantau keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran serta kemampuan menguasasi materi pelajaran, strategi dan metode mengajar menggunakan media atau alat pengajaran yang dapat menciptakan situasi dan kondisi belajar yang kondusif dan menyenangkan, agar kegiatan belajar mengajar bisa berjalan dengan baikdan efektif sesuai perencanaan.










19
DAFTAR PUSTAKA

Ø  Daryanto. 2008. Administrasi dan Manajemen Sekolah, Jakarta: PT Rineka Cipta
Ø  Engkoswara dan Komariah, Aan. 2011. Administrasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta
Ø  Sagala, Syaiful. 2009. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta














20


[2] Engkoswara dan Aan komariah, administrasi pendidikan, (Bandung: Alfabeta, cetakan kedua 2011) hlm. 293-294

3
[3] Engkoswara dan Aan komariah, administrasi pendidikan..., hlm. 294-295
[4] Daryanto, administrasi dan manajemen sekolah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013) hlm. 226
4
[5] Daryanto, administrasi dan manajemen sekolah..., hlm. 226-227
5
[6] Daryanto, administrasi dan manajemen sekolah..., hlm. 228
[7] Engkoswara dan Aan komariah, administrasi pendidikan..., hlm. 295
6
[8] Daryanto, administrasi dan manajemen sekolah..., hlm. 231-232
7
[9] Daryanto, administrasi dan manajemen sekolah..., hlm. 232-233
[10] Engkoswara dan Aan komariah, administrasi pendidikan..., hlm. 295

8
[11] Daryanto, administrasi dan manajemen sekolah..., hlm. 218-220

9
[12] Daryanto, administrasi dan manajemen sekolah..., hlm. 221-22

10
[13] Daryanto, administrasi dan manajemen sekolah..., hlm. 223-224
11
[14] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, (Bandung: Alfabeta, 2009) hlm. 80-82
[15] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer..., hlm. 82-83

12
[16] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer..., hlm. 84
13
[17] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer..., hlm. 85-87
14
[18] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer..., hlm. 87-88
15
[19] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer..., hlm. 89-90
                                                                16     
[20] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer..., hlm. 92
17
[21] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer..., hlm. 93

18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar