Sabtu, 23 April 2016

kel. 4 (IIP) masa keemasan sains




Masa Keemasan Sains dalam Sejarah Islam


Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Islam dan Ilmu Pengetahuan

Dosen Pembimbing:
Aristophan Firdaus, M.S.I


Disusun Oleh Kelompok 4:

Anggun Violita ( 1532100085)
Delsie Iin Syafutri (1532100096)
Dewi Nurjannah (1532100101)


Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Raden Fatah Palembang
Tahun 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sains merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu untuk menghadapi zaman yang sarat dengan persaingan ini, tak terkecuali kaum muslimin. Karena dengan sains, seseorang bisa dihormati dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Selain itu, sains juga menjadi salah satu indikator kemajuan suatu bangsa, karena pada dasarnya semua bidang kehidupan memerlukan sains.
Dari sinilah, untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, kita kaum muslimin harus berusaha mempelajari dan menguasai sains. Tapi, disisi lain, kita juga tidak diperbolehkan untuk melanggar ajaran Islam yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Karena pada hakikatnya, semua yang ada di alam semesta ini akan kembali kepadaNya, bahkan sebenarnya sains dan berbagai ilmu lainnya telah terkandung di dalam kalamNya, al-Qur’an.
Hal-hal itu kita lakukan dengan tujuan agar Islam bisa menjaga persaingan dengan negara-negara Barat, yang notabennya adalah penguasa sains masa kini. Disamping itu, dengan mentaati ajaran Allah, maka kita akan selalu mendapatkan perlindungan dan ridhaNya.







B. Rumusan Masalah
1.      Jelaskan Definisi Sains dalam Islam?
2.      Bagaimana Sains dalam Perkembangannya menurut Islam?
3.      Jelaskan Masa Keemasan Sains?
4.      Siapa Tokoh – Tokoh  Ilmuan Pada Masa Keemasan Sains?
C. Batasan Masalah
1.      Hanya Membahas Definisi Sains dalam Islam
2.      Hanya Membahas Sains dalam Perkembangannya menurut Islam?
3.      Hanya Membahas Masa Keemasan Sains?
4.      Hanya Membahas Tokoh- Tokoh  Ilmuan Pada Masa Keemasan Sains?




PEMBAHASAN
A.  Definisi Sains dalam Islam
Kata sains berasal dari kata science yang berarti pengetahuan. Kata sains berasal dari bahasa latin yaitu iscire  yang berarti tahu atau mengetahui. Sedangkan dalam bahasa arab disebut dengan al`ilm  yang berarti tahu, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan ilmu atau ilmu pengetahuan.[1]
 Secara umumnya, sains boleh didefinisikan sebagai ilmu yang dihasilkan melalui cerapan (yaitu analisis dengan menggunakan panca indera) serta pemahaman  yang lahir dari padanya. Ia juga boleh diartikan sebagai uraian secara sistematik tentang fenomena terjadinya alam semesta Uraian secara sistematik melibatkan penggunaan intelek di samping kaedah yang dapat diukur           (quantitative).
       Islam memberi kebebasan kepada para saintis untuk mengkaji, namun ia menyedari keterbatasan intelek yang dimiliki manusia. Justru, sains Islam menjadikan wahyu sebagai sumber rujukan yang tertinggi. Dalam erti kata yang lain, dalam Islam, wahyu mengatasi akal kerana wahyu datang daripada kuasa tanpa batas sedangkan akal terbatas. Sains tidak boleh mengatasi wahyu.
Justru, sains dalam Islam ialah sains yang berkonsepkan tauhid. Sains dalam Islam tunduk kepada prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah melalui rasulnya. Sains dalam Islam tunduk kepada al-Quran.



Berbagai kritik gloshani terhadap sains berimplikasi pada ketidakuniversalan sains. Dalam hal ini, Alparslan Acikgenc mengemukakan bahwa universalitas sains ( sebagaimana yang diungkapkan sardar di atas ) bukan universalitas dalam pengertian yang absolut.
            Menurut Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah pembebasan manusia yang diawali dengan pembebasan dari tradisi-tradisi yang berunsur magis, mitologis,animistis, tradisi kultur-nasional yang bertantangan dengan islam juga pembebasan dari kontrol seluler atas pikiran dan bahasanya.
            Golshani merinci empat ciri sains dalam islam :
1.        Memandang tuhan sebagai pencipta dan pemeihara alam semesta.
2.        Tidak membatasi alam semesta pada ranah materi saja.
3.        Menisbatkan tujuan pada alam semesta.
4.        Menerima tertib moral bagi alam  semesta.[2]
Untuk membedakan mana sains islam dan mana yang bukan sains islam, munawar ahmad Anees, mengemukakan ada sepuluh hal yang tidak bisa disebut sebagai sains islam :
1.         Sains barat yang di labeli islam. Hal ini karena sains islam adalah produk dari epistemologi dan metodelogi word-view islam yang tidak dapat direduksi dengan word-view barat yang sempit.
2.         Reduktif paradikma tauhid menggabungkan semua pengetahuan dalam sebuah kesatuan organik.
3.         Anakronistik (menyalahi zaman) . sains islam dilengkapi dengan kesadaran masa depan yang dimediasi melalui sarana dan tujuan sains.
4.         Terlalu didominasi  metodelogi tertentu. Sains islam memungkinkan berbagai metode dengan norma-norma universal islam.
5.         Terfragmentasi (terpisah-pisah). Sains islam mempromosikan penguasaan berbagai bidang berbeda dengan speksialisasi disiplin sempit.
6.         Ketidakadilan. Epistemologi dan metodelogi sains islam mendukung keadilan distributif dalam konteks masyarakat.
7.         Sempit. Hal ini karena nilai-nilai abadi sains islam adalah gambar cermin dari nilai-nilai islam.
8.         Ada yang tidak relevan secara sosial. Sains merupakan pekerjaan saintifik yang –secara subjektif objektif- keluar dari konteks sosial.
9.         Bacollism. Bucaillisme merupakan kesalahan berfikir logis.
10.     Kesektean. Karena sains islam tidak memberi dukungan epistemis pada okultisme, astrologi, mistisisme dan sejenisnya. [3]

B.  Sains dalam Perkembangannya Menurut Al Qur’an
Sejarah sains sejak ribuan tahun yang silam sulit diungkapkan karena terbatasnya informasi yang menunjang. Salah satu sumber yang dapat dipedomani adalah Al Qur’an (Q.S Al Baqarah [2]:31-32) :


“ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. “(Q.S Al Baqarah [2] : 31-32)

Ternyata sesuai dengan ayat ini manusia mempunyai pengetahuan lebih luas daripada malaikat dan adam, dan mereka benar – benar sudah mengetahui bentuk segala sesuatu yang hidup dan yang mati dan interaksinya pada waktu hidupnya nabi pertama itu sampai keturunan trakhir, yaitu kita yang hidup saat ini. Suatu kewajiaban kita sebagai umat Adam untuk terus menggali sains untuk dapat digunakan sebagai sarana meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Dunia tanpa batas saat ini mengisyaratkan umat islam harus peka terhadap isu – isu aktual dan factual yang berlangsung saat ini. Kemajuan sains yang begitu cepat perlu disearaskan dengan pemahaman agama dan disesuaikan dengan nilai sosial dan  budaya yang ada.
Pada hakikatnya perkembangan sains tidak bertentangan dengan agama islam karena islam adalah agama rasional yang lebih menonjolkan akal dan dapat diamalkan tanpa mengubah budaya setempat.
Surat Al Alaq 1-5 merupakan dasar sains dalam islam, Allah memerintahkan kita membaca, meneliti, mengkaji, dan membahas dengan kemampuan intelektual. Surat ini merangsang daya kreativitas untuk berinovasi, mengembangkan keimanan dengan rasio dan logika yang dimiliki manusia. Penggunaan sains tergantung pada pribadi masing – masing, bila penggunaannya tidak sesuai dengan tujuannya kan mendatangkan mudharat. Namun, jika  sains ini bermanfaat maka hal ini akan direstui Allah.[4]
Penelaahan sains dalam Al Qur’an harus dilanjutkan oleh umat. Hal itu karena semua fenomena yang ada dialam semesta ini diterangkan dalam Al Qur’an seperti yang dinyatakan ayat berikut :
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Tidak ada yang luput dari pembahasan Al Qur’an: dari masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Seharusnya Al Qur’an yang kita jadikan  bacaan wajib sebagai umat islam, lebih dari kita membaca Koran atau menoton televisi. Setidaknya ada perimbangan antara memahami Al Qur’an dan memahami situasi sosial di sekitar kita yang diperoleh melalui media atau berita. [5]

C.      Masa Keemasan Sains dalam Sejarah Islam
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiyah yang berlangsung sekitar 250 tahun sejak akhir abad ke-7 sampai awal abad 10 M. Periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang seluruhnya masih dibuktikan sampai saat ini.
Periode ini merupakan periode keemasan umat Islam, yang ditandai dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, pemikiran ilmu kalam, hukum, tasawuf, teknologi, pemerintahan, arsitektur, dan berbagai kemajuan lainnya. Sejalan dengan berkembangnya pemerintahan Islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam ke belahan dunia Barat dan Timur, dari daratan Spanyol (Eropa Barat) sampai perbatasan Cina (di Asia Timur), maka terbentanglah peradaban Islam dari Granada di Spanyol sampai ke New Delhi di India, yang dirintis sejak masa Khulafa al-Rasyidin, Khalifah Umayyah, dan Khalifah Abbasiyah.

Perluasan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah-masalah baru yang belum terjadi sebelumnya, sehingga permasalahan yang dihadapi umat Islam pun makin banyak dan kompleks. Keadaan demikian memunculkan tantangan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum masalah-masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka kemudian dibukukan dalam kitab-kitab fiqh (hukum). Karena itu masa ini merupakan masa perkembangan dan pembukuan kitab fiqh, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. Periode ini merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam berbagai penulisan dan pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fiqh (hukum Islam) dari berbagai madzhab.[6]
 Pada zaman itu umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan baik aqli (rasional) ataupun yang naqli mengalami kemajuan dengan pesatnya. Pada zaman pemerintahan daulah abbasiyah, proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penterjemahan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti buku-buku karya bangsa-bangsa yunani, romawi, dan Persia, serta sumber dari berbagai naskah yang    ada dikawasan timur tengah dan afrika, seperti Mesopotamia dan            mesir.
      Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah ja`far al Mansur, setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H/ 762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli diberbagai daerah untuk tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama seperti fiqh, tafsir, tauhid atau ilmu-ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah
.[7]

Faktor-Faktor Keberhasilan Bani Abbasiyah mencapai puncak keemasannya karena terdapat beberapa faktor diantaranya adalah :
1.         Islam makin meluas tidak di Damaskus tetapi di Baghdad.
2.         Adanya perkembangan ilmu pengetahuan.
3.         Dalam penyelenggaraan negara pada masa Bani Abbasiyah ada jabatan wazir.
4.         Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia dan berharga.Para khalifah membuka kesempatan pengembagan pengetahuan seluas-luasnya.
5.         Rakyat bebas berpikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang.
6.         Daulah Abbasiyah,berbakat  usaha yang sungguh-sungguh membangun ekonominya.Mereka memiliki pembendaharaan yang berlimpah-limpah disebabkan penghematan dalam pengeluaran.
7.         Para khalifah banyak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan sehingga banyak buku-buku yang dikarang dalam berbagai ilmu pengatahuan,serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
8.         Adanya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan ilmu pengetahuan, asimilasi itu berlangsung efektif dan bangsa-bangsa tersebut memberi saham pengetahuan yang bermanfaat.[8]






D.  Tokoh Ilmuan Muslim Pada Masa Keemasan Sains
Di antara penguasa Abbasiyah yang termasuk tokoh ilmuwan muslim adalah Abu Ja’far Al-Manshur, Harun Ar-Rasyid, dan Al-Makmun. Peranan mereka selain melakukan kegiatan penerjemah, juga mendukung dan memfalitasi kegiatan penerjemah yang dilakukan ilmuwan-ilmuwan yang lain.
1.   Bidang Kedokteran.
Ilmu kedokteran mulai berkembang pada akhir masa Abbasiyah I, yaitu masa Khalifah Al-Watsiq, sedangkan puncaknya terjadi pada masa Abbasiyah II, III, dan IV. Pada buku-buku karya Ar-Arazi banyak dijumpai di museum-museum Eropa dan banyak digunakan sebagai buku rujukan untuk dunia kedokteran.
Tokoh-tokohnya adalah :
a. Abu Zakaria Ar-Arazi seorang dokter yang paling termasyur di zamannya beliau seorang kepala Rumah Sakit di Baghdad.
b. Ibnu Sina adalah seorang ilmuwan muslim yang dikenal dengan julukan “Raja diraja Dokter” dan “Raja Obat” serta dianggap sebagai perintis tentang penyakit syaraf dan berbagai macam penyakit. Selain di bidang kedokteran, Ibnu Sina juga terkenal sebagai saintis ulung dan sebagai filosof. Karya-karya Ibnu Sina sangat terkenal di Barat terutama di berbagai perguruan tinggi di Prancis, salah satu karyanya yaitu Al-Qanun fi At-Tibb dan Asy-Syifa.
c.   Ibnu Saha adalah saeorang direktur Rumah Sakit Yudisapur 

2.   Bidang Filsafat
a.    Al-Kindi banyak menjelaskan pikiran-pikiran filsafat Aristoteles. Maka tidak heran jika ada yang memberinya gelar sebagai penggerak filosof Arab.
b.    Al-Farabbi lebih dikenal sebagai seorang filosof daripada ilmuwan.
c.    Ibnu Sina selain seorang tokoh di bidang kedokteran dia juga sorang filosof.
3.   Bidang Matematika
a. Al-Khawarizmi adalah tokoh utama dalam kajian matematika Arab, penyusun tabel astronomi, dan penemu Aljabar pada masa Khalifah Al-Makmun.
b. Abu Kamil Sujak telah mengetahui perkembangan aljabar di eropa. Tulisan-tulisannya tentang geometri telah memberikan pengaruh dan konstribusi besar terhadap geometri barat. Terutama uraian-uraian aljabar terhadap geometri.
  
4.   Bidang Astronomi.
a.    Musa Ibrahim Al-Farazi di tugaskan oleh Khalifah Al-Manshur untuk menerjemahkan berbagai risalah astronomi dan India yaitu Brahmasoutrasidanta dan hasil risalahnya berjudul Al-Magest yang mengalami dua kali penyempurnaan. Para astronom Muslim berhasil menciptakan teropong bintang dengan peralatan lengkap di kota Yundhisyapur, Iran.
b.    Al-Farghani adalah seorang tokoh yang turut ambil bagian dalam pengukuran derajat garis lintang bumi dan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil ia ditugaskan untuk mengawasi pembangunan Nilometer di Fustat, Mesir.
c.    Al-Battani yaitu seorang tokoh astronom Arab terbesar penerus Al-Farghani, ia berhasil menemukan garis lengkung dan kemiringan ekliptik, panjangnya tahun tropis, lamanya satu musim, dan tepatnya orbit matahari serta orbit utama planet.




5.   Bidang Bahasa dan Sastra.
a.    Ibnu Muqaffa sebelum masuk Islam bergelar Abu Amir, ia adalah orang pertama yang menerjemahkan karya-karya sastra dari luar ke dalam bahasa Arab.
b.    Imam Sibawayhi adalah seorang ahli gramatika pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, ia juga dikenal sebagai imam ahli nahwu.
c.    Abu Nawas adalah penyair Arab termashur di zaman Harun Ar-Rasyid. Syair-syairnya dihimpun dalam Diwan Abu Nawas.
6.   Bidang Sejarah dan Geografi.
a.    Al-Mas’ud adalah seorang sejarawan yang dijuluki sebagai pemimpin   para sejarawan, ia juga seorang ahli geografi.
7.  Bidang Tafsir Al-Qur’an.
Pada masa sebelumnya para ulama enggan menafsirkan Al-Qur’an karena takut salah. Di masa Abbasiyah, mereka bersedia menafsirkan Al-Qur’an karena tuntutan generasi penerus. Dalam ilmu tafsir, terdapat dua pola yaitu tradisional dan rasional.
a.   Tafsir bil Ma’sur.
Yaitu Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi. Adapun para Mufassirinnya adalah:
1)    Ibnu Jarir At-Tabari.
2)    Ibnu Atiyah Al-Andalusy(Abu Muhammad Abdul Haq bi Atiyah).
3)   As-Sudi yang berdasarkan tafsirnya pada Ibnu Abbas dan Ibnu    Mas’ud.
4)    Muqatil bin Sulaiman, tafsirnya sangat terpengaruh kitab Taurat.
5)    Muhammad bin Ishaq, tafsirnya banyak mengutip cerita israilah.



b.    Tafsir Bir Ra’yi
yaitu AL –Qur’an yang di tafsirkan berdasarkan pada akal pikiran (rasional).
1)   Abu Bakar Asam
2)   Abu Muslim Muhammad bin Bihr Isfahani.
3)   Ibnu Jaru Al-Asadi.
4)   Abu Yunus Abdussalam (Penafsiran Al-Qur’an yang sangat luas sehingga ia menafsirkan Surah Al-Fatihah saja sampai 7 jilid)

8.        Ilmu Hadis.
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan kitabnya terbagi kepada 7 kategori, yaitu berdasarkan gaya bahasa, gramatika bahasa, kisah-kisah, ilmu hukum, ilmu kalam, tasawuf, dan kata-kata asing dalam Al-Qur’an.
Untuk menentukan keabsahan dan keontetikan suatu hadist para ulama meneliti dan mengkaji dengan sungguh-sungguh hadist dari segi sanad, rawi, dan matan(sifat dan bentuk hadist). Pada masa Dinasti Abasisiyah muncul para ahli hadis yang termashur.
a)   Imam Bukhari, karyanya adalah kitab Jami’ Sahih Al-Bukhari.
b)   Imam Muslim, kitab karangan Sahih Muslim.
c)   Ibnu Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.
d)   Abu Dawud, karyanya Sunan Abu Dawud.
e)    Imam Tirmizi, karyanya Sunan At-Tirmizi.
f)    Imam Nasa’I, karyanya Sunan An-Nasa’i.







10.   Ilmu Tasawuf.
Ilmu tasawuf adalah ilmu syariat yang inti ajarannya menjauhkan diri dari kesenangan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Diantara ulama ahli tasawuf adalah:
a)  Al-Qusyairi, karyanya Risalatul Qusyairiyah.
b)  Syihabuddin, karyanya Awariful Ma’arif.
c)  Imam Gazali, karyanya Ihya Ulumuddin.

11.   Ilmu Kalam.
Perkembangan ilmu kalam terjadi seiring dengan genjarnya serangan orang-orang non-muslim yang ingin menjatuhkan Islam melalui olah fikir filsafat. Dan ulama yang terkenal di bidang ini adalah Hasan Al-Asyari, Washil bin Atha, dan Imam Syafi’i.

12.  Ilmu Fikih.
Ilmu fikih dimasa Abbasiyah mengalami perkembangan yang cukup baik, ulama-ulama yang muncul pada saat itu dikenal dengan sebutan dengan “Imam Mazhab”. Karena kekuatan dan kemampuan mereka dalam menyimpulkan hukum-hukum dari berbagai masalah yang ada.
Mazhab-mazhab fikih yang banyak diikuti oleh kaum muslimin di dunia yang muncul pada masa Abbasiyah adalah:
a)    Imam Abu Hanifah, karyanya Fiqhu Akbar, Al-Alim Wal Musta’an, dan Al-Masad.
b)    Imam Malik, karyanya Kitab Al-Muwatta’, dan Al-Usul As-Sagir.
c)    Imam Syafi’I, karyanya Al-Umm, Al-Isyarah, dan Usul Fiqih.
d)    Imam Ahmad Ibnu Hambal, karyanya Al-Musnad, Jami’ As-Sagir, dan Jami’ Al-Kabir.[9]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Sains secara umum adalah ilmu pengetahuan sedangkan sains islam diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang membahasa masalah tauhid. Sejarah perkembangan sains dalam islam sulit untuk diungkap. Dalam perkembangannya sains dalam islam mengalami masa keemasan yaitu pada masa dinasti abbasyah. Pada zamannya sains berkembang pesat sehingga pada masa abbasyah banyak melahirkan ilmuwan muslim.













 
DAFTAR PUSTAKA
Alim, Akhmad.2014.Sains dan Teknologi Islami. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Handrianto, Budi. 2012.  Islamisasi Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat   Modern .Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Basri Jumin, Hasan. 2012. Sains dan Teknologi dalam Islam. Jakarta : Rajawali Pers
Abdulah Sani, Ridwan. 2014 . Sains berbasis Alqur’an . Jakarta : Pt Bumi Aksara


[1] Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat Modern,  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2012) hal. 39
3
[2] Akhmad Alim, Sains dan Teknologi Islami(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2014). hal .117
[3]Ibid. hal .118
[4] Hasan Basri Jumin, Sains dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012) hal. 11-12
[5] Ridwan Abdulah Sani, Sains berbasis Alqur’an (Jakarta : Pt Bumi Aksara.2014) hal. 250-251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar