Masa Keemasan Sains dalam Sejarah Islam
Makalah
Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Islam dan Ilmu Pengetahuan
Dosen
Pembimbing:
Aristophan Firdaus, M.S.I
Aristophan Firdaus, M.S.I
Disusun
Oleh Kelompok 4:
Anggun
Violita (
1532100085)
Delsie Iin Syafutri (1532100096)
Dewi
Nurjannah (1532100101)
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Raden Fatah Palembang
Tahun 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sains merupakan kebutuhan pokok bagi
setiap individu untuk menghadapi zaman yang sarat dengan persaingan ini, tak
terkecuali kaum muslimin. Karena dengan sains, seseorang bisa dihormati dan
diakui keberadaannya oleh masyarakat. Selain itu, sains juga menjadi salah satu
indikator kemajuan suatu bangsa, karena pada dasarnya semua bidang kehidupan
memerlukan sains.
Dari sinilah, untuk menyesuaikan
diri dengan perkembangan zaman, kita kaum muslimin harus berusaha mempelajari
dan menguasai sains. Tapi, disisi lain, kita juga tidak diperbolehkan untuk
melanggar ajaran Islam yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Karena pada
hakikatnya, semua yang ada di alam semesta ini akan kembali kepadaNya, bahkan
sebenarnya sains dan berbagai ilmu lainnya telah terkandung di dalam kalamNya,
al-Qur’an.
Hal-hal itu kita lakukan dengan
tujuan agar Islam bisa menjaga persaingan dengan negara-negara Barat, yang
notabennya adalah penguasa sains masa kini. Disamping itu, dengan mentaati
ajaran Allah, maka kita akan selalu mendapatkan perlindungan dan ridhaNya.
B.
Rumusan Masalah
1. Jelaskan
Definisi Sains dalam Islam?
2. Bagaimana
Sains dalam Perkembangannya menurut Islam?
3. Jelaskan
Masa Keemasan Sains?
4. Siapa
Tokoh – Tokoh Ilmuan Pada Masa Keemasan Sains?
C.
Batasan Masalah
1. Hanya
Membahas Definisi Sains dalam Islam
2. Hanya
Membahas Sains dalam Perkembangannya menurut Islam?
3. Hanya
Membahas Masa Keemasan Sains?
4. Hanya
Membahas Tokoh- Tokoh Ilmuan Pada Masa
Keemasan Sains?
PEMBAHASAN
A. Definisi Sains
dalam Islam
Kata sains berasal dari kata science
yang berarti pengetahuan. Kata sains berasal dari bahasa latin yaitu iscire yang
berarti tahu atau mengetahui. Sedangkan dalam bahasa arab disebut dengan al`ilm
yang berarti tahu, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan
ilmu atau ilmu pengetahuan.[1]
Secara
umumnya, sains boleh didefinisikan sebagai ilmu yang dihasilkan melalui cerapan
(yaitu analisis dengan menggunakan panca indera) serta pemahaman yang
lahir dari padanya. Ia juga boleh diartikan sebagai uraian secara sistematik
tentang fenomena terjadinya alam semesta Uraian
secara sistematik melibatkan penggunaan intelek di samping kaedah yang dapat
diukur (quantitative).
Islam memberi kebebasan kepada para saintis untuk
mengkaji, namun ia menyedari keterbatasan intelek yang dimiliki manusia. Justru, sains Islam menjadikan wahyu sebagai sumber
rujukan yang tertinggi. Dalam erti kata yang lain, dalam Islam, wahyu mengatasi
akal kerana wahyu datang daripada kuasa tanpa batas sedangkan akal terbatas.
Sains tidak boleh mengatasi wahyu.
Justru, sains dalam Islam ialah sains yang
berkonsepkan tauhid. Sains dalam Islam tunduk kepada prinsip-prinsip yang
ditetapkan Allah melalui rasulnya. Sains dalam Islam tunduk kepada al-Quran.
Berbagai
kritik gloshani terhadap
sains berimplikasi pada ketidakuniversalan sains. Dalam hal ini, Alparslan
Acikgenc mengemukakan bahwa universalitas sains ( sebagaimana yang diungkapkan
sardar di atas ) bukan universalitas dalam pengertian yang absolut.
Menurut Al-Attas, Islamisasi ilmu
adalah pembebasan manusia yang diawali dengan pembebasan dari tradisi-tradisi
yang berunsur magis, mitologis,animistis, tradisi kultur-nasional yang
bertantangan dengan islam juga pembebasan dari kontrol seluler atas pikiran dan
bahasanya.
Golshani merinci empat ciri sains
dalam islam :
1.
Memandang tuhan sebagai pencipta dan pemeihara alam semesta.
2.
Tidak membatasi alam semesta pada ranah materi saja.
3.
Menisbatkan tujuan pada alam semesta.
Untuk
membedakan mana sains islam dan mana yang bukan sains islam, munawar ahmad
Anees, mengemukakan ada sepuluh hal yang tidak bisa disebut sebagai sains islam
:
1.
Sains barat yang di labeli islam. Hal ini karena sains islam adalah
produk dari epistemologi dan metodelogi word-view islam yang tidak dapat
direduksi dengan word-view barat yang sempit.
2.
Reduktif paradikma tauhid menggabungkan semua pengetahuan dalam sebuah
kesatuan organik.
3.
Anakronistik (menyalahi zaman) . sains islam dilengkapi dengan
kesadaran masa depan yang dimediasi melalui sarana dan tujuan sains.
4.
Terlalu didominasi metodelogi
tertentu. Sains islam memungkinkan berbagai metode dengan norma-norma universal
islam.
5.
Terfragmentasi (terpisah-pisah). Sains islam mempromosikan penguasaan
berbagai bidang berbeda dengan speksialisasi disiplin sempit.
6.
Ketidakadilan. Epistemologi dan metodelogi sains islam mendukung
keadilan distributif dalam konteks masyarakat.
7.
Sempit. Hal ini karena nilai-nilai abadi sains islam adalah gambar
cermin dari nilai-nilai islam.
8.
Ada yang tidak relevan secara sosial. Sains merupakan pekerjaan
saintifik yang –secara subjektif objektif- keluar dari konteks sosial.
9.
Bacollism. Bucaillisme merupakan kesalahan berfikir logis.
10. Kesektean. Karena sains islam tidak memberi
dukungan epistemis pada okultisme, astrologi, mistisisme dan sejenisnya. [3]
B. Sains dalam
Perkembangannya Menurut Al Qur’an
Sejarah sains sejak ribuan tahun
yang silam sulit diungkapkan karena terbatasnya informasi yang menunjang. Salah
satu sumber yang dapat dipedomani adalah Al Qur’an (Q.S Al Baqarah [2]:31-32) :
“ Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu
jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab:
"Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. “(Q.S Al Baqarah [2] : 31-32)
Ternyata sesuai dengan ayat ini
manusia mempunyai pengetahuan lebih luas daripada malaikat dan adam, dan mereka
benar – benar sudah mengetahui bentuk segala sesuatu yang hidup dan yang mati
dan interaksinya pada waktu hidupnya nabi pertama itu sampai keturunan trakhir,
yaitu kita yang hidup saat ini. Suatu kewajiaban kita sebagai umat Adam untuk
terus menggali sains untuk dapat digunakan sebagai sarana meningkatkan kualitas
kehidupan manusia.
Dunia tanpa batas saat ini
mengisyaratkan umat islam harus peka terhadap isu – isu aktual dan factual yang
berlangsung saat ini. Kemajuan sains yang begitu cepat perlu disearaskan dengan
pemahaman agama dan disesuaikan dengan nilai sosial dan budaya yang ada.
Pada hakikatnya perkembangan sains
tidak bertentangan dengan agama islam karena islam adalah agama rasional yang
lebih menonjolkan akal dan dapat diamalkan tanpa mengubah budaya setempat.
Surat Al Alaq 1-5 merupakan dasar
sains dalam islam, Allah memerintahkan kita membaca, meneliti, mengkaji, dan
membahas dengan kemampuan intelektual. Surat ini merangsang daya kreativitas
untuk berinovasi, mengembangkan keimanan dengan rasio dan logika yang dimiliki
manusia. Penggunaan sains tergantung pada pribadi masing – masing, bila
penggunaannya tidak sesuai dengan tujuannya kan mendatangkan mudharat. Namun,
jika sains ini bermanfaat maka hal ini
akan direstui Allah.[4]
Penelaahan sains dalam Al Qur’an
harus dilanjutkan oleh umat. Hal itu karena semua fenomena yang ada dialam
semesta ini diterangkan dalam Al Qur’an seperti yang dinyatakan ayat berikut :
“(Dan ingatlah) akan
hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka
dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas
seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.”
Tidak ada yang luput
dari pembahasan Al Qur’an: dari masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan
datang. Seharusnya Al Qur’an yang kita jadikan
bacaan wajib sebagai umat islam, lebih dari kita membaca Koran atau
menoton televisi. Setidaknya ada perimbangan antara memahami Al Qur’an dan
memahami situasi sosial di sekitar kita yang diperoleh melalui media atau
berita. [5]
C. Masa Keemasan
Sains dalam Sejarah Islam
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir,
kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiyah yang
berlangsung sekitar 250 tahun sejak akhir abad ke-7 sampai awal abad 10 M.
Periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang seluruhnya masih
dibuktikan sampai saat ini.
Periode ini merupakan periode
keemasan umat Islam, yang ditandai dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu,
seperti filsafat, pemikiran ilmu kalam, hukum, tasawuf, teknologi,
pemerintahan, arsitektur, dan berbagai kemajuan lainnya. Sejalan dengan
berkembangnya pemerintahan Islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan
Islam ke belahan dunia Barat dan Timur, dari daratan Spanyol (Eropa Barat)
sampai perbatasan Cina (di Asia Timur), maka terbentanglah peradaban Islam dari
Granada di Spanyol sampai ke New Delhi di India, yang dirintis sejak masa
Khulafa al-Rasyidin, Khalifah Umayyah, dan Khalifah Abbasiyah.
Perluasan wilayah ini menyebabkan
munculnya masalah-masalah baru yang belum terjadi sebelumnya, sehingga
permasalahan yang dihadapi umat Islam pun makin banyak dan kompleks. Keadaan
demikian memunculkan tantangan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum
masalah-masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka kemudian dibukukan dalam
kitab-kitab fiqh (hukum). Karena itu masa ini merupakan masa perkembangan dan
pembukuan kitab fiqh, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. Periode ini
merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam berbagai penulisan dan
pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fiqh
(hukum Islam) dari berbagai madzhab.[6]
Pada zaman itu
umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan,
sehingga ilmu pengetahuan baik aqli (rasional) ataupun yang naqli mengalami
kemajuan dengan pesatnya. Pada zaman pemerintahan daulah abbasiyah, proses
pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penterjemahan berbagai buku
karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti buku-buku karya bangsa-bangsa yunani,
romawi, dan Persia, serta sumber dari berbagai naskah yang ada dikawasan timur tengah dan afrika, seperti
Mesopotamia dan mesir.
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah ja`far al Mansur, setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H/ 762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli diberbagai daerah untuk tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama seperti fiqh, tafsir, tauhid atau ilmu-ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah.[7]
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah ja`far al Mansur, setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H/ 762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli diberbagai daerah untuk tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama seperti fiqh, tafsir, tauhid atau ilmu-ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah.[7]
Faktor-Faktor Keberhasilan Bani Abbasiyah mencapai puncak
keemasannya karena terdapat beberapa faktor diantaranya adalah :
1.
Islam
makin meluas tidak di Damaskus tetapi di Baghdad.
2.
Adanya
perkembangan ilmu pengetahuan.
3.
Dalam
penyelenggaraan negara pada masa Bani Abbasiyah ada jabatan wazir.
4.
Ilmu
pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia dan berharga.Para
khalifah membuka kesempatan pengembagan pengetahuan seluas-luasnya.
5.
Rakyat
bebas berpikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang.
6.
Daulah
Abbasiyah,berbakat usaha yang
sungguh-sungguh membangun ekonominya.Mereka memiliki pembendaharaan yang
berlimpah-limpah disebabkan penghematan dalam pengeluaran.
7.
Para
khalifah banyak mendukung perkembangan ilmu pengetahuan sehingga banyak
buku-buku yang dikarang dalam berbagai ilmu pengatahuan,serta buku-buku
pengetahuan berbahasa asing diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
8.
Adanya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan ilmu pengetahuan, asimilasi itu berlangsung efektif dan
bangsa-bangsa tersebut memberi saham pengetahuan yang bermanfaat.[8]
D. Tokoh Ilmuan
Muslim Pada Masa Keemasan Sains
Di antara penguasa Abbasiyah yang termasuk tokoh ilmuwan muslim adalah Abu
Ja’far Al-Manshur, Harun Ar-Rasyid, dan Al-Makmun. Peranan mereka selain
melakukan kegiatan penerjemah, juga mendukung dan memfalitasi kegiatan
penerjemah yang dilakukan ilmuwan-ilmuwan yang lain.
1. Bidang Kedokteran.
Ilmu kedokteran mulai berkembang pada akhir masa Abbasiyah I, yaitu masa
Khalifah Al-Watsiq, sedangkan puncaknya terjadi pada masa Abbasiyah II, III,
dan IV. Pada buku-buku karya Ar-Arazi banyak dijumpai di museum-museum Eropa
dan banyak digunakan sebagai buku rujukan untuk dunia kedokteran.
Tokoh-tokohnya adalah :
a. Abu Zakaria Ar-Arazi seorang dokter yang paling termasyur di zamannya
beliau seorang kepala Rumah Sakit di Baghdad.
b. Ibnu Sina adalah seorang ilmuwan muslim yang dikenal dengan julukan
“Raja diraja Dokter” dan “Raja Obat” serta dianggap sebagai perintis tentang
penyakit syaraf dan berbagai macam penyakit. Selain di bidang kedokteran, Ibnu
Sina juga terkenal sebagai saintis ulung dan sebagai filosof. Karya-karya Ibnu
Sina sangat terkenal di Barat terutama di berbagai perguruan tinggi di Prancis,
salah satu karyanya yaitu Al-Qanun fi
At-Tibb dan Asy-Syifa.
c. Ibnu Saha adalah saeorang direktur Rumah Sakit
Yudisapur
2. Bidang Filsafat
a. Al-Kindi banyak menjelaskan pikiran-pikiran filsafat Aristoteles. Maka
tidak heran jika ada yang memberinya gelar sebagai penggerak filosof Arab.
b. Al-Farabbi lebih dikenal sebagai seorang filosof daripada ilmuwan.
c. Ibnu Sina selain seorang tokoh di bidang kedokteran dia juga sorang
filosof.
3. Bidang Matematika
a. Al-Khawarizmi adalah tokoh utama dalam kajian matematika Arab, penyusun
tabel astronomi, dan penemu Aljabar pada masa Khalifah Al-Makmun.
b. Abu Kamil Sujak telah mengetahui perkembangan aljabar di eropa.
Tulisan-tulisannya tentang geometri telah memberikan pengaruh dan konstribusi
besar terhadap geometri barat. Terutama uraian-uraian aljabar terhadap
geometri.
4. Bidang Astronomi.
a. Musa Ibrahim Al-Farazi di tugaskan oleh Khalifah Al-Manshur untuk
menerjemahkan berbagai risalah astronomi dan India yaitu Brahmasoutrasidanta
dan hasil risalahnya berjudul Al-Magest yang
mengalami dua kali penyempurnaan. Para astronom Muslim berhasil menciptakan
teropong bintang dengan peralatan lengkap di kota Yundhisyapur, Iran.
b. Al-Farghani adalah seorang tokoh yang turut ambil bagian dalam pengukuran
derajat garis lintang bumi dan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil ia ditugaskan
untuk mengawasi pembangunan Nilometer di Fustat, Mesir.
c. Al-Battani yaitu seorang tokoh astronom Arab terbesar penerus Al-Farghani,
ia berhasil menemukan garis lengkung dan kemiringan ekliptik, panjangnya tahun
tropis, lamanya satu musim, dan tepatnya orbit matahari serta orbit utama
planet.
5. Bidang Bahasa dan Sastra.
a. Ibnu Muqaffa sebelum masuk Islam bergelar Abu Amir, ia adalah orang
pertama yang menerjemahkan karya-karya sastra dari luar ke dalam bahasa Arab.
b. Imam Sibawayhi adalah seorang ahli gramatika pada masa Khalifah Harun
Ar-Rasyid, ia juga dikenal sebagai imam ahli nahwu.
c. Abu Nawas adalah penyair Arab termashur di zaman Harun Ar-Rasyid.
Syair-syairnya dihimpun dalam Diwan Abu
Nawas.
6. Bidang Sejarah dan Geografi.
a. Al-Mas’ud adalah seorang sejarawan yang dijuluki sebagai pemimpin para sejarawan, ia juga seorang ahli
geografi.
7. Bidang Tafsir Al-Qur’an.
Pada masa sebelumnya para ulama enggan menafsirkan Al-Qur’an karena takut
salah. Di masa Abbasiyah, mereka bersedia menafsirkan Al-Qur’an karena tuntutan
generasi penerus. Dalam ilmu tafsir, terdapat dua pola yaitu tradisional dan
rasional.
a. Tafsir bil Ma’sur.
Yaitu Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi. Adapun para
Mufassirinnya adalah:
1) Ibnu Jarir At-Tabari.
2) Ibnu Atiyah Al-Andalusy(Abu Muhammad Abdul Haq bi
Atiyah).
3) As-Sudi yang berdasarkan tafsirnya pada Ibnu Abbas dan
Ibnu Mas’ud.
4) Muqatil bin Sulaiman, tafsirnya sangat terpengaruh
kitab Taurat.
5) Muhammad bin Ishaq, tafsirnya banyak mengutip cerita
israilah.
b. Tafsir Bir Ra’yi
yaitu AL –Qur’an yang di tafsirkan berdasarkan pada akal pikiran
(rasional).
1) Abu Bakar Asam
2) Abu Muslim Muhammad bin Bihr Isfahani.
3) Ibnu Jaru Al-Asadi.
4) Abu Yunus Abdussalam (Penafsiran Al-Qur’an yang sangat luas
sehingga ia menafsirkan Surah Al-Fatihah saja sampai 7 jilid)
8.
Ilmu Hadis.
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan kitabnya
terbagi kepada 7 kategori, yaitu berdasarkan gaya bahasa, gramatika bahasa,
kisah-kisah, ilmu hukum, ilmu kalam, tasawuf, dan kata-kata asing dalam
Al-Qur’an.
Untuk menentukan keabsahan dan keontetikan suatu hadist para ulama
meneliti dan mengkaji dengan sungguh-sungguh hadist dari segi sanad, rawi, dan
matan(sifat dan bentuk hadist). Pada masa Dinasti Abasisiyah muncul para ahli
hadis yang termashur.
a) Imam Bukhari, karyanya adalah kitab Jami’ Sahih Al-Bukhari.
b) Imam Muslim, kitab karangan Sahih Muslim.
c) Ibnu Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.
d) Abu Dawud, karyanya Sunan Abu Dawud.
e) Imam Tirmizi, karyanya Sunan At-Tirmizi.
f) Imam Nasa’I, karyanya Sunan An-Nasa’i.
10. Ilmu Tasawuf.
Ilmu tasawuf adalah ilmu syariat yang inti ajarannya menjauhkan diri dari
kesenangan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Diantara ulama ahli tasawuf
adalah:
a) Al-Qusyairi, karyanya Risalatul Qusyairiyah.
b) Syihabuddin, karyanya Awariful Ma’arif.
c) Imam Gazali, karyanya Ihya Ulumuddin.
11. Ilmu Kalam.
Perkembangan ilmu kalam terjadi seiring dengan genjarnya serangan
orang-orang non-muslim yang ingin menjatuhkan Islam melalui olah fikir
filsafat. Dan ulama yang terkenal di bidang ini adalah Hasan Al-Asyari, Washil
bin Atha, dan Imam Syafi’i.
12. Ilmu Fikih.
Ilmu fikih dimasa Abbasiyah mengalami perkembangan yang cukup baik,
ulama-ulama yang muncul pada saat itu dikenal dengan sebutan dengan “Imam
Mazhab”. Karena kekuatan dan kemampuan mereka dalam menyimpulkan hukum-hukum
dari berbagai masalah yang ada.
Mazhab-mazhab fikih yang banyak diikuti oleh kaum muslimin di dunia yang
muncul pada masa Abbasiyah adalah:
a) Imam Abu Hanifah, karyanya Fiqhu Akbar, Al-Alim
Wal Musta’an, dan Al-Masad.
b) Imam Malik, karyanya Kitab Al-Muwatta’, dan
Al-Usul As-Sagir.
c) Imam Syafi’I, karyanya Al-Umm, Al-Isyarah, dan
Usul Fiqih.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Sains secara umum adalah ilmu pengetahuan sedangkan sains
islam diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang membahasa masalah tauhid. Sejarah
perkembangan sains dalam islam sulit untuk diungkap. Dalam perkembangannya
sains dalam islam mengalami masa keemasan yaitu pada masa dinasti abbasyah.
Pada zamannya sains berkembang pesat sehingga pada masa abbasyah banyak
melahirkan ilmuwan muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Alim, Akhmad.2014.Sains dan Teknologi Islami. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya
Handrianto, Budi. 2012. Islamisasi
Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat Modern .Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Basri Jumin, Hasan.
2012. Sains dan Teknologi dalam Islam. Jakarta
: Rajawali Pers
Abdulah Sani, Ridwan. 2014 . Sains berbasis Alqur’an . Jakarta
: Pt Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar