MAKALAH
SEJARAWAN ABAD
10-11 H
Disusun Sebagai TugasKelompok
Mata Kuliah HISTORIOGRAFI
ISLAM
Dosen Pengampu: Nyayu
Soraya, M.Pd.I
Disusun
Oleh Kelompok 12:
Ajeng Ratika (1532100078)
Berenda Permata Sari (1532100093)
Citra Sari Risky (1532100095)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2015/2016
A.
Pendahuluan
Bangsa Arab sebagai sebuah bangsa yang terkenal dengan kemampuan luar
biasa dalam menggubah sya’ir, dan sya’ir-sya’ir mereka diperlombakan, kemudian
pemenang dari perlombaan tersebut akan mendapat penghormatan dengan
digantungnya karya yang telah dihasilkan pada dinding ka’bah. Melalui tradisi
sastra inilah diketahui beberapa peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi.
Dan nilai-nilai yang yang menyertai peristiwa penting itu juga mereka abadikan
melalui kisah, dongeng, nasab, nyayian, sya’ia, dan sebagainya.
Demikian juga dengan para sejarawannya, mereka berusaha merekam setiap
peristiwa yang penting, dan mereka senantiasa eksis dengan masalah-masalah yang
mereka kemukakan tetap menarik terutama dalam menanggulangi problem nyata yang
kita hadapi. Ide-ide para sejarawan dan pemikir muslim, seperti pemikir muslim
pada abad 10-11 H, yaitu : ibn iyas, al-‘aini, ibn aljauzi, abu al-mahasin,
serta para sejarawan lainnya. Pemikiran mereka dengan konpleksitasnya telah
berusia berabad-abad, namun tetap saja eksis untuk dikaji dan diteliti.
Mereka yang membaca karya sejarah dari masa ini pasti akan menemukan
sebagian besar sejarah Arab awal bersumber dari periwayatan. Para sejarawan
lebih banyak mencatat data-data yang terekam oleh hafalan lewat periwatan
individu-individu para penghafal-lah yang menjadi mediasi antara suatu
informasi dengan sejarawan. Setelah tradisi tulisan berkembang dan ilmu sejarah
telah mapan, maka riwayat yang semula dinilai sebagai bagian dari agama tidak
dianggap memadai untuk sebagai bagian dari agama tidak lagi memadai untuk
menyampaikan fakta sejarah karena tidak mampu menampilkan seluruh sisi fakta
secara utuh akibat keterbatasan kemampuan hafalan manusia. Dari situ para
sejarawan muslim mulai berubah dari sekedar sabagai informan yang semata-mata
berorentasi pada penguasaan informasi-informasi dan penjagaan rangkaian periwatan
sejarawan abad 10-11 H, yang termuat dalam Historiografi Islam.
Maka dalam makalah ini, kami akan fokus membahas para sejarawan abad
10-11 H dan Muqoddimah sebagai sebuah makalah sejarah monumental yang
menjadi bagian dari Historiografi Islam itu sendiri yang telah dilahirkan dari
sejarawan muslim abad-abad pertengahan.
B.
Pembahasan
1.
Ibn
Iyas
Ibn Iyas. Lengkapnya
adalah Muhammad bin Iyas Zainuddin Al-Nashiri Al-Jarkasi Al-Hanafi, penulis
Tarikh Mishr atau lebih populer dengan nama Bada’i Az-Zhur fi Waqa’i Ad-Duhur
yang dipublikasikan Bulaq Kairo sebanyak 3 juz (1311-1312 H). Lahir di Kairo
pada tahun 852 H/1448 M dan wafat menjelang usia 80 tahun pada 928 H. Ibn Iyas
berasal dari Ghauri. Ia menulis sejarah dan menyusun syair serta aneka puisi.
Ibn Iyas rajin mengamati; mencatat berbagai peristiwa sosial dan sangat peduli
terhadap faktor-faktor kelemahan Dinasti Mamalik.[1]
Salah satu karya Ibn
Iyas yang masih ada ialah karya komprehensifnya tentang sejarah Mesir Bada’i
Az-Zuhur fi Waqa’i Ad-Duhur. Karya ini secara ringkas mengupas sejarah Mesir
hinggga akhir kekuasaan Dinasti Al-Ayyubi. Sedangkan bahasan tentang Dinasti
Mamalik hingga kekuasaan Sultan Qayatabayaditulis dengan terburu-buru. Dimulai
dari uraian sejarah masa Qayatabaya, Ibn Iyas mengelaborasi berbagai peristiwa,
mencatat biografi para pejabat secara detal, dan merekam data para tokoh yang
wafat setiap sebulan.[2]
Pada uraian sejarah
yang lebih belakangan, ia dikenal cermat menganilisis berbagai peristiwa,
menyelidiki fakta-fakta, dan menilai pihak lain. Sikap kritis membuatnya tidak
puas apabila sekedar menguraikan peristiwa-peristiwa, fakta-fakta, dan
data-data kematian seperti dilakukan oleh para sejarawan terdahulu. Lebih dari
itu, ia berusaha menyodorkan interprestasi dan filosofi di balik peristiwa yang
terjadi. Apalagi yang berkenaan dengan masalah pertahanan dan hal-hal yang
kerap diabaikan pemerintahan Sultan Al-Ghauri, termasuk sistem administrasi
keuangan yang kacau. Terkadang Ibn Iyas terlampau keras dalam mengkritisi
Sultan Al-Ghauri terkait krisis keuangan akut yang menimpa negara. Hal ini
banyak didorong kedekatannya dengan kalangan pejabat dan penguasa. Pemerintahan
Turki Usmani di Mesir memang kerap menuai pedas karena sering mengabaikan
masalah-masalah warga Mesir meskipun tetap memiliki wibawa dan pamor.[3]
Karya ini menjadi
sangat penting karena merupakan satu-satunya sumber Arab yang mengupassejarah
awal abad ke-10 h (abad ke-16 M). Namun karya ini pekat kata-kata,
ungkapan-ungkapan, dan kalimat-kalimat yang tidak terdapat pada bahasa Arab
formal (fusha). Hal ini boleh jadi akibat penyebaran bahasa Turki di antara
masyarakat tertentu dan penyerapan kata-kata asing dalam istilah kemiliteran,
maritim, dan lembaga-lembaga pemerintahan.
2.
Al-Aini
Al-‘Aini lahir pada
tahun 1360, sekitar empat tahun sebelum kelahiran Al-Maqrizi, di ‘Ainatab,
sebuah desa kecil antara Halaba dan Antiokia. Ia termasuk salah satu sejarawan
Muslim kenamaan di masanya. Datang ke Kairo sekitar akhir abad ke-8 H lalu
dipilih sebagai petugas cukai pasar oleh dinasti Mamluk, menggantikan
Al-Maqrizi, untuk wilayah Kairo dan daerah pesisir pantai pada tahun 1399 M. Ia
berkali-kali ditunjuk untuk enduduki jabatan tersebut sejak tahun 1399 M hingga
1442 M, meskipun pada saat yang sama memegang berbagai jabatan penting lainnya.
Ditambah lagi pada tahun 1425 M Sultan Barsibaya (1422-1438) mengangkatnya
sebagai Qadhi Al-Qudhat madzhab Hanafi.[4]
Al-‘Aini memangku
jabatan Qadhi Al-Qudhat dan petugas cukai selama 12 tahun berturut-turut.
Selama itu ia pernah juga menjadi penjara Kairo. Menurut Al-Sakhawi dan para
sejarawan yang semasa dengan Al-‘Aini, proses gonta-ganti kedudukan dan jabatan
semacam ini tidak mempunyai presedenn dalam sejarah administrasi pemerintahan
Islam di Mesir. Penguasaan bahasa Turki yang dimiliki Al-‘Aini sangat menopang
tugas-tugasnya dalam berbagai pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir, apalagi di
masa Barsibaya yang minim sekali menguasai bahasa Arab. Al-‘Aini sering
mengahbiskan waktu berjam-jam bersama Barsibaya untuk menjelaskan
persoalan-persoalan pelik fiqih dan syariat atau membacakan karya sejarahnya
‘Iqd Al-Juman fi Tarikh Ahl Az-Zaman yang langusng diterjemahkan dalam bahasa
Turki.
Karyanya yang lain
sebagian berbahasa turki adalah uraian panjang tentang hadis nabi berjudul:
Umdah Al-Qari fi Syarh Al-Bukhari. Karya ini banyak mengutip isi karya Ibn
Hajar Al-‘Asqalani. Fath Al-Bari.[5]
Para pemerhati Al-‘Aini dan kehidupannya tentu akan menemukan sosoknya sebagai
figur yang memiliki kemuliaan, pengetahuan luas dan hubungan kuat dengan
kalangan sastrawan, ulama dan penguasa dinasti Mamalik saat itu. Namun
demikian, Al-‘Aini ternyata kurang memiliki hubungan mendalam dengan para
ilmuwan masa itu. Barangkali kedekatannya dengan kalangan penguasa menjadi
sebab kerenggangan hubungannya dengan Al-Maqrizi atau Ibn Hajar Al-Asqalani.
Padahal, sebagaimana disebut di atas, Al-‘Aini menggantikan kedudukan
Al-Maqrizi sebagai petugas cukaik dan terlibat polemik dengan Ibn Hajar
menyangkut Karyanya Fath Al-Bari. Al-‘Aini wafat tahun 1451 m dalam usia 91
tahun. Yakni dua tahun setelah dicopot dari jabatan qadhi berdasarkan ketetapan
Sultan Jaqmaq yang memerintah Mesir antara tahun 1438 hingga 1453 M setelah
menyingkirkan Yusuf Bersibaya yang berkuasa hanya 94 hari.[6]
3.
Ibn
Al-Jauzi dan sistematika sejarah.
Ia adalah Abdurrahman
bin Ali bin Muhamad, penulis Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa Al-Umam yang
dicetak di Heyderabad India (1357 H). Selain sebagai sejarawan, ia juga dikenal
sebagai ahli fiqih dan hadis. Lahir pada tahun 510 H/1116 M di Baghdad dan
menetap di sana hingga akhir hayatnya tahun 958 H/1200 M. Sebelum itu sempat
berkelana ke berbagai wilayah guna menuntut ilmu.[7]
Ia dikenal fanatik
terhadap madzhab Imam Ahmad bin Hanbal hingga sering terlibat perdebatan dan
diskusi hangat dengan para pengikut Imam Abu Hanifah, Ahlus sunnah, dan
kalangan Syi’ah. Karya-karyanya terbilang banyak mencakup bidang fiqh, hadis,
dan sejarah. Magnum opus sejarahnya adalah Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa
Al-Umam yang diringkas dalam judul Shudur Al-Uqud fi Tarikh Al-‘Uhud. Namun kontribusi
terbesarnya adalah dalam penyusunan biografi para u;ama besar dalam bidang
fiqh, hadis, dan tasawuf karena beliau manaruh perhatian besar terhadap ketiga
hal tersebut. Metode penulisan sejarah Ibn Al-Jauzi mengikuti metode Al-Thabari
karena ia mencatat berbagai peristiwa, kelahiran dan kematian para tokoh
terkemuka berdasarkan kronologi tahun (hauliyat).[8]
4.
Abu
Al-Mahasin
Nama lengkapnya
Abu-l-Mahasin Jamaluddin Yusuf Taghribirdi bin Abdullah Ad-Dzahiri Al-Juwaini.
Lahir pada Januari 1411 M di kediaman Amir Manjak Al-Yusufi, dekat Madrasah
Sultan Hasan di wilayah Al-Qal’ah Al-Hali. Ibunya sahaya keturunan Turki Sultan
Barquq. Sedang ayahnya, Taghribirdi sahaya keturunan Yunani berparas tampan
yang dibeli Sultan Barquq dan dididik kemiliteran. Seyelah bebas ia bergabung
dengan kelompok Al-Khashikiyah, organisasi para sahaya kerajaan. Taghribirdi
menjadi bawahan mantan majikannya dan terlibat dalam berbagai tugas penting
dinasti Mamalik sampai wafatnya Sultan Barquq tahun 1394 M.[9]
Abu-l-Mahasin
pernah bercerita mengenai masa kecilnya. Ia dibawa menghadap Sultan Syaikh saat
dirinya berumur lima tahun. Oleh beberapa orang ia diajari untuk meminta
“sekerat roti” kepada sultan yang dalam tradisi Dinasti Mamluk berarti
“sebidang tanah”. Abu-l-Mahasin menuturkan: “Setelah saya duduk danberbicara
dengan sultan, saya segera meminta sekerat roti sebagaimana telah dipesankan
sebelumnya. Tanpa saya ketahui, orang-orang yang sedang berkumpul bersama
sultan segera mengerumuniku. Lalu sultan memberiku sepotong roti. Saya segera
mengambil dan membuangnya ke tanah sambil berkata, “Saya tidak mau roti ini.
Saya ingin roti yang ada petaninya, domba, burung bangau, dan perapian.” Sultan
pun tertawa terbahak-bahak dan kaget mendengar permintaanku. Ia memerintahkan
seorang pengawal untuk memberiku 300 dinar dan berjanji akan mengabulkan permintaanku
dan tambahan uang.” Abu-l-Mahasin lebih menyukai pelajaran sejarah daripada
materi yang lainnya. Karena itu, ia dekat dengan Al-Maqrizi dan juga Al-‘Aini
untuk mendalami sejarah. Ia berusaha semaksimal mungkin mengikuti metodologi
dan corak penulisan kedua tokoh ini. Semua itu ditopang oleh kecerdasan otak
dan kemahirannya berbahasa Turki. Minatnya terhadap sejarah sebagian besar
didorong oleh posisi Al-‘Aini dalam pemerintahan Sultan Barsibaya. Tokoh ini
begitu dihormati berkat kepakarannya di bidang sejarah. Seperti idolanya
tersebut, melalui bidang sejarah ia juga berambisi mendapatkan posisi serupa
pada penguasa berikutnya. Maka, menyusul kematian Al-Maqrizi pada tahun 1442 M
dan Al-‘Aini di tahun 1451 M, terbukalah peluang itu bagi Abu-l-Mahasin. Saat
itu tidak ada tokoh lain yang menandingi kapasitasnya di bidang sejarah.
Abu-l-Mahasin sangat gembira mendapat kesempatan ini.
Meskipun tongkat
kepakaran bidang sejarah di Mesir telah bealih kepada Abu-l-Mahasin, tapi ia
tidak otomatis menjadi orang dekat sultan-sultan Dinasti Mamalik yang
membacakan sejarah di hadapan mereka sebagaimana dilakukan Al-‘Aini memangku
berbagai jabatan pada masa yang berbeda-beda. Meski seabagian besar hidupnya
dihabiskan di lingkungan istana, tapi Abu-l-Mahasin masih dapat menulis karya
sejarah dan biografi serta berlatih aneka ketrampilan militer, seperti melempar
tombak, memanah, menunggang kuda, dan bermain polo. Selain itu, ia piawai
bermain musik, menulis puisi bahasa Arab maupun Turki; bahkan sempat
melaksanakan ibadah haji pada tahun 1422 dan 1445 M. Ketika melaksanakan haji
untuk kali kedua, Abu-l-Mahasin ditugasi sebagai Basya Al-Mahmal (pemegang kiswah Ka’bah saat hendak dicuci-penerj),
suatu jabatan di bawah Amir Al-Mahmal,
mewakili daerah Mesir. Sedangkan jabatan Amir
Al-Mahmal dipegang oleh dua orang yang masing-masing disebut Basya Al-Maimanah (di sisi kanan-penerj)
dan Basya Al-Maisarah (di sebelah
kiri-penerj). Ratu Qaytabaya pernah menjadi Basya
Al-Maisarah ketika menunaikan haji.
Menurut Ibn Al-Shirafi
dan beberapa penulis biografinya jumlah karya Abu-iMahasin sekitar 12 buah,
tapi hanya tujuh yang masih ada. Yang paling populer ialah karya besar mengenai
sejarah Mesir sejak masa ekspansi Islam hingga tahun 1467 M. Berjudul An-Nujum
Az-Zahirah fi Muluk Mishr wa Al-Qahirah (7 jilid) Konon, Abu-l-Mahasin
sempat meringkas karya ini dalam satu buku berjudul Al-Anwar Az-Zhahirah min Al-Kawakib At-Thahirah. (hal 146-147)
Abu Mahasin juga
memiliki karya-karya lain yang banyak disebutkan dalam An-Nujun Az-Zahirah, seperti Hawadist
Ad-Duhur fi Mada Al-Ayyam wa As-Syuhur, suplemen dari As-Suluk Lima’rifah Ad-Duwul wa Al-Muluk karya Al-Maqrizi.
Karya-karya Abu-l-Mahasin mengikuti corak penulisan Al-Maqrizi dengan sedikit
perbedaan pada cara penguraian. Lain dari Al-Maqrizi, ia memberikan ulasan
panjang lebar terhadap catatan-catatan peristiwa dan biografi para tokoh. Dalam
pengantar Al-Hawadits disebutkan bahwa hal ini ia lakukan agar lebih memberikan
manfaat kepada para pembacanya.
Karya
lainnya ialah Nuzhah Ar-Ra’i fi At-Tarikh
dan Al-Bahr Az-Zakhiri fi ‘ilm
Al-Awa’il wa Al-Awakhir. Kemudian karya-karya lain yang tidak berkaitan
dengan sejarah, seperti Nuzhah Al-Albab
fi Ikhtilaf Al-Asma wa Al-Alqab, Hilyah As-Shifh fi Al-Asma wa Al-Shina’ah,
Al-Bisyarah fi Takmilah Al-Isyarah, Al-Intishar li Lisan Al-Tatar (kamus
bahasa Turki), ditambah buku-buku matematika dan musik, serta As-Sakr Al-Fadhih wa Al-‘Itr Al-Fa’ih yang
mengupas masalah tasawuf dan sekarang tersimpan di perpustakaan Iskandariyah
nomor katalog 367.[10]
5.
Al-Suyuthi
Al-Suyuthi adalah
pemilik sejarah panjang berbagai disiplin pengetahuan di masanya. Ia hampir
tidak meninggalkan satu pun bidang pengetahuan tanpa menuangkann karya ilmiah.
Hal ini di tmbah keterlibatannya dalam bermacam-macam aktivitas masa tersebut.[11]
Jalaluddin Abdurrahman
bin Muhamad Al-Suyuthi lahir di Kairo tahun 1445 M dari keluarga keturunan
seorang pemuka tarekat dan tasawuf, Syeikh Hamamuddin Al-Khudhairiyah. Nama Al-Khudhairi
diambil dari nama desa Al-Khudhairiyah dekat Baghdad. Hal ini diakui oleh
Al-Suyuthi sendiri meskipun semasa hidupnya terdapat dua nama Al-Khudhairiyah
masing-masing di Asyuth dan Kairo. Barangkali penegasan Al-Suyuthi ini untuk
mengembalikan jejak nenek moyangnya dari sebuah wilayah yang jauh dan terkenal.
Apalagi dalam salah satu karyanya disebutkan bahwa dirinya adalah seorang
keturunan Anshar dan moyangnya berasal dari kalangan bangsawan.
Ayahnya
mendidik Al-Suyuthi dengan menghapal Al-Qur’an, bahkan menemaninya belajar
hadis kepada Ibn Hajar Al ‘Asqalani. Maka, Al-Suyuthi kecil tumbuh dengan baik
karena mendapat perhatian yang utuh dari orang tua dan para gurunya. Ia mampu
menyelesaikan studinya di Masjid Al-Syaikhuni setelah kematian ayahnya. Berkat kecerdasannya,
ia mampu menghapalkan Al-Qur’an sebelum
genap berusia 8 tahun.
Setelah
menghapalkan Al-Qur’an, ia melanjutkan pertualangan intelektualnya dengan
mendalami fiqih madzhab Syafi’i kepada ‘Alamuddin Al-Bulqaini dan diteruskan
dengan putra Al-Bulqaini. Ia mendalami ilmu-imu keagamaan dan bahasa Arab
dengan Syeikh Syarafuddin Al-Minawi dan Muhyiddin Al-Kafiyaji (w. 889 H).
Selanjutnya mendalami kitab Shahih
Muslim, As-Syifa fi Ta’rif Huquq Al-Musthafa, dan sebagainya bersama Syeikh
Syamsuddin Muhamad Musa. Kemudian mempelajari hadis dan bahasa Arab sekitar
empat tahun bersama Taqiyuddin Al-Syumani Al-Hanafi (w. 872 H).
Untuk
menambah khazanah pengetahuannya, sebagaimana biasa dilakukan kalangan muhadditsin untuk mencari riwayat dan
sanad superior maka Al-Suythi
mengembara ke Syiria, Yaman, India, Maroko, dan wilayah Islam lainnya. Ia pun berkali-kali mengunjungi
Hijaz baik untuk menunaikan ibadah haji maupun menimba pengetahuan. Namun, ia
belum merasa puas bila hanya mendapatkan pengetahuan lewat buku-buku yang
ditelaahnya. Karena itu, ia sering pula berguru secara langsung dengan ulama
yang ada saat itu.
Saat
itu Al-Suyuthi telah menggapai posisi intelektual yang tinggi, melahirkan
karya-karya yang beragam, dan memiliki wawasan yang luas sampai-sampai dijuluki
dengan kutu buku (ibn al-kutub)
seperti dikatakan oleh penulis Sadzarat
Ad-Dzahab. Ia mewarisi sebuah perpustakaan yang menyimpan berbagai koleksi
selain kerap mengunjungi perpustakaan Al-Mahmudiyah, perpustakaan tersebar di
Kairo pada masa Dinasti Mamluk dengan koleksi berbagai buku bermutu. Maka,
dalam usia yang masih muda, 17 tahun Al-Suyuthi telah menekuni dunia pendidikan
dan tulis-menulis. Hal ini diakui pula oleh para saingannya yang melihat
Al-Suyuthi mampu menulis berbagai buku dalam bermacam-macam disiplin
pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan, tidak ada disiplin ilmu yang tidak dijamah
oleh karya-karya Al-Suyuthi.[12]
Al-Suyuthi memiliki
perhatian dan minat besar terhadap ilmu hadis bahkan menempati posisi tinggi
dalam disiplin ini. Ia termasuk tokoh terkemuka tentang seluk-beluk di sekitar
masalah hadis dan mengajarkan disiplin ini di berbagai tempat sehingga dianggap
sebagai muhaddits terbesar setelah
Ibn Hajar Al ‘Asqalani. Sekiranya ia hanya menulis Jam’u Al-Jawami’, maka hal itu sudah memadai untuk mendudukkannya
sebagai pendekar hadis karena buku ini, dari segala seginya, merupakan karya
paling baik.
Al-Suyuthi adalah
sebuah fenomena intelektualitas, pemikiran, dan sastra yang berbeda di antara
tokoh-tokoh abad ke-9 dan 10 H dilihat dari khazanah wawasan, pengetahuan,
pemikiran, dan karya-karyanya yang berbobot. Kebesaran Al-Suyuthi tidak sekadar
bualan tanpa bukti, karena dalam usia 23 tahun telah menulis At-Tahbir fi ‘Ulum At-Tafsir. Dalam
pengantar bukunya Husn Al-Muhadharah
ia menghitung karya-karyanya yang mencapai 300 buku dalam disiplin ilmu tafsir,
hadis, qira’ah, fiqih, biografi, nahwu, sastra, dan sebagainya. Carl Brockelman
mencatat karya Al-Suyuthi sebanyak 415 buku dan Ibn Iyas mencatat sekitar 600
buku.
Al-Suyuthi termasuk
penulis Mesir yang paling produktif di masa Dinasti Mamluk. Ia memang berasal
dari keluarga keturunan persia yang sejak lama menetap di Asyuth dan menduduki
berbagai jabatan tinggi. Sejka usia 17 tahunn ia telah memulai menulis dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya-karyanya mencapai sekitar 561 buah yang
terdiri dari buku-buku penting atau risalah-risalah pendek. Saat ini
karya-karya tersebut dianggap sebagai buku yang sangat penting karena mencakup
berbagai macam materi dan didasarkan pada berbagai sumber yang telah hilang.[13]
6.
Muhammad
bin Thulun
Saat ini telah tersedia
data tentang Muhamad bin Thulun Al-Dimasyqi, sejarawan dan penulis yang sezaman
dengan Ibn Iyas, ditambah otobiografi yang ditulis Ibn Thulun sendiri dalam Al-Fulk Al-Masyhun fi Ahwal Muhammad bin
thulun yang telah dipublikasikanoleh Maktabah Al-Quds & Badir Damaskus
(1348 H). Penulisan otobiografi ini menandakan Ibn Thulun mengikuti jejak para
pendahulu mapun tokoh semasanya, semisal Al-Suyuthi, yang hanya menulis
ringkasan riwayat hidup sehingga kurang memberikan banyak informasi bagi para
pembaca. Singkatnya, Ibn Thulun lahir tahun 1475 M di Damaskus Syiria. Ibunya,
Azdan Ar-Rumiyah, wafat ketika iamasih kecil. Ia menimba pengetahuan dari para
ulama Damaskus seperti pamannya, Qadhi Jamaluddin Yusuf Al-Hanafi, mufti
pengadilan Damaskus; sejarawan Muhyiddin An-Na’imi, dan muhaddits Jamaluddin Ibn Al-Mubarrad. Lalu Ibn Thulun meneruskan
pertualangan intelektualnya ke Makkah tahun 1514 M bersama Al-Hafidz ‘Izuddin
bin fahd dan memperoleh sertifikasi tertulis dari Al-Suyuthi di Kairo.[14]
Dalam
otobiografinya disebutkan bahwa guru-gurunya mencapai 500-an orang. Sedangkan
disiplin ilmu yang ia tekuni lebih dari 72 bidang pengetahuan yang mencakup
hadis, teologi, usul fiqih, tata bahasa, logika, kedokteran, arsitektur,
linguistik, ilmu waris, astronomi, sejarah, tafsir, tasawuf, dan sebagainya.
Masing0masing guru bahkan ada yang memberikan satu, dua, bahkan tiga
sertifikasi kepada Ibn Thulun. Karena itu, Ibn Thulun dapat disejajarkan dengan
Al-Suyuthi dalam hal jumlah guru, khazanah intelektual, dan wawasan keilmuan.
Timurr Basya bahkan pernah menyebutnya sebagai Al-Suyuthi dari Syam.
Karya-karya
Ibn Thulun tercantum dalam otobiografi dan juga catatan-catatan lain yang
tersusun secara alfabetis. Salah satunya ialah bukunsejarah yang tidak
diketahui judulnya, terdiri dari beberapa lembar saja, dan kini disimpan
orientalis Richard Hartmann di perputakaan Universitas Tubigen. Kemungkinan
besar buku berjudul Ajb Ad-Dahr fi Tadzyil min Malik Mishr atau Nuzhah
An-Nazhir fi Ma’rifah Al-Awakhir atau Mufakahah Al-Khullan fi Hawadits
Az-Zaman. Yang pasti, karya iniah yang menempatkan Ibn thulun dalam jajaran
sejarawan yang turut menorehan karya sejarah mengenai Mesir pada abad
pertengahan. Di samping orisinalitas data-data tentang penaklukan Mesir oleh
Dinasti Utsmani, latar belakang, proses, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi
di damaskus Syiria selama proses penaklukan.
Karya-karya sejarah ibn
Thulun lainnya ialah Al-‘Uqud Al-Lu’lu’iyyah fi ad-Daulah At-Thuluniyyah dan
hurr Al-‘Uyun fi Tarikh Ibn Thulun yang berupa ringkasan disertai tambahan
biografi Al-Balawi, sejarawan Mesir yang wafat pada abad ke-11 M. Buku terakhir
ini dikomersilkan Ibn Thulun di toko-toko buku Damaskus seharga sembilan qurusy. Ia mendedikasikannya kepada
peletak dasar Dinasti Thuluniyyah yang dianggap sebagai nenek moyangnya. Prof.
Muhamad Kurdi telah menerbitkan buku ini berlandaskan satu-satunya manuskrip
yang disimpan di perpustakaan Az-Zhahiriyyah Damaskus. Publikasi ini telah mengisi
missing link sejarah Mesir terutama
di awal abad pertengahan. Di samping itu semua, Ibn Thulun juga terlibat dalam
berbagai aktivitas seperti mengajar, menjadi imam, khatib, dan supervisor
pendidikan di beberapa institusi pendidikan di Damaskus. Ia terus menjalankan
seluruh aktivitas tersebut dengan penuh ketekunan tanpa memperdulikan
pasang-surut politik yang berlangsung di Damaskus semenjak penaklukan Dinasti
Utsmani. Ia wafat tahun 1545 M tanpa meninggalkan keturunan.[15]
7.
Hasan
At-thuluni: antara ilmu teknik dan sejarah
Hasan bin Husain
Al-Thuluni lahir pada tahun 1432 M dari klan yang telah ada sejak masa Dinasti
Ayubiyyah. Mayoritas keluarganya menekuni bidang ilmu teknik dan arsitektur.
Sebagian besar dari mereka adalah “pakar teknik” dan “pakar arsitektur”.
Al-Thuluni sendiri adalah seorang arsitek besar di era Dinasti Ayubiyyah dan
Mamalik di Mesir. Diaah penanggung jawab pembangunan gedung-gedung pemerintahan
di Kairo.[16]
Hasan bin Al-Thulun
mengikuti jejak para nenek moyangnya. Ia seorang arsitek yang memiliki minat
terhadap fiqih., sejarah, sastra, musik, dan olahraga berburu. Diantara hasil
sentuhan tangannya adalah Masjid Jami Ar-Raudhah, dikenal juga dengan nama
Amsjid Al-Muqsi di tepi sungai Nil. Masjid ini selesai dibangun tahun 1490 M.
Pada masa Qayatibaya
berkuasa, Al-Thuluni hidup makmur, berpengaruh, dan merupakan orang kepercayaan
sultan. Ia menetap di Ar-Raudhah, masjid kesultanan yang setiap tanggal 14
mengadakan jamuan besar dihadiri oleh para qari, sastrawan, dan khatib dari
seluruh Kairo. Ibn Al-Thuluni menunaikan ibadah haji tahun 1492 M. Pada saat
itu ia didampingi oleh Al-Sakhawi yang mengenalnya sebagai arsitek terbaik di
masa itu. Sultan Muhamad bin Qayitabaya menempatkan Al-Thuluni sebagai arsitek
pembangunan benteng utama. Sultan pun mengakuinya sebagai arsitek yang jujur
dan profesional karena mampu membangun benteng dengan sebaik mungkin.
Di
antara karya sejarah Ibn Al-Thulun ialah An-Nuzhah As-Saniyyah fi Dzikr
Al-Khulafa wa Al-Muluk Al-Mishriyyah. Karya ini adalah ringkasan karena
uraiannya dimulai dari masa kehadiran Islam hingga masa pemerintahan Sultan
Thuman Baya, penguasa terakhir Mamalik di Mesir. Yang tepat, Al-Thuluni
memiliki karya sejarah kedua berbentuk catatan harian yang hingga saat ini
tidak diketahui keberadaannya kecuali informasi Ibn Iyas dalam biografi Ibn
Al-Thulun yang menyebutkan ia “menulis buku sejarah untuk mencatat berbagai
peristiwa”. Kemungkinan besar catatan ini tertimbun dalam koleksi manuskrip
ensiklopedis pada berbagai perpustakaan dunia. Selain itu Ibn Al-Thulun juga
memiliki karya lain Syarh Muqaddimah Abi Laits dan Syarh Al-Jurmiyah.[17]
8.
Al-Jazri
Al-Hambali atau Abdul Qadir Al-Anshari
Seorang sejarawan abad
ke-16 M yang selama hidupnya banyak bertugas pada kantor administrasi haji di
Kairo dan beberapa kali menyertai jamaah haji Mesir ke tanah Suci. Pada tahun
1554 M ia menulis buku berjudul Ad-Durar Al-Fara’id Al-Munazzhamah fi Akhbar
Al-Hajj wa Thariq Makkah Al-Mu’azzhamah. Sebenarnya buku ini lebih tepat
disebut catatan harian penulisnya sekalipun memuat berbagai informasi berharga
mengenai haji, lokus-lokusnya, sarana transportasi, dan akamodasi yang terdapat
pada masa itu. Ia juga mencatat para khalifah, kolega, penguasa, dan
tokoh-tokoh dari berbagai belahan dunia yang menunaikan ibadah haji. Al-Jazri
juga menjelaskan tata-cara manasik haji menurut madzhab Imam Ahmad bin Hambal
dan mencatat berbagai peristiwa selama pelaksanaan haji. Catatan ini disusun
berdasarkan kronologi tahun. Naskah karya ini tersimpan di perpustakaan Darul
Kutub Al-Mishriyyah meskipun tidak lengkap. Dua karyanya yang lain tidak
dicatat Brockelmann: pertama, naskah Ad-Dar Al-Qaumiyyah li Al-Watsa’id,
koleksi Al-Maktabah Al-Timuriyah di Kairo yang mencatat kondisi umum Mesir masa
itu. Kedua, sebuah naskah penting karena berupa tulisan tangan Al-Jazri
Al-Hambali sendiri dengan nomor koleksi 2844/sejarah di perpustakaan Al-Azhar.[18]
9.
Al-Sakhawi:
sejarawan yang hobi kritik
Nama Al-Sakhawi,
Abu-l-Khair Muhamad bin Abdurrahman bin Muhamad Al-Sakhawi, dinisbatkan pada
daerah Sakha Al-Haliyah distrik Kufr Syeikh bagian barat. Lahir tahun 1427 M di
daerah Bahauddin, dekat pintu gerbang lama kota Kairo. Moyangnya, Muhamad
adalah orang tua yang papa, tapi saleh dan berprofesi sebagai pedagang gandum
di pasar Ghazal Akiro. Ia sering menghadiri kegiatan keagamaan yang diadakan
para ulama untuk menimba pengetahuan di sela-sela kesibukannya. Demikian halnya
dengan ayah Al-Sakhawi, Abdurrahman yang yang sibuk berdagang tapi kerap
mengikuti kegiatan keagamaan. Tidak mengherankan jika ayahnya memiliki hubungan
erat dengan sebagian para ulama karena mereka mengetahui perilaku dan kesalehan
ayah Al-Sakhawi. Karena itu, mayoritas guru Al-Sakhawi berasal dari kalangan
utama yang sekaligus para sahabat ayahnya seperti Ibn Hajar Al-‘Asqalani.
Al-Sakhawi mencatat biografi para gurunya dalam Ad-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl
Al-Qarn At-Tasi’.
Cukup lama Al-Sakhawi
menimba pengetahuan kepada Ibn Hajar dan sejumlah ulama lainnya. Dari Ibn Hajar
ia mempelajari hadis, sejarah, dan biografi. Ibn Hajar berjuang agar ia dipernolehkan
mengajar hadis. Pengetahuan dari Ibn Hajar menjadi bekal yang berharga ketika
ia menulis Ad-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl Al-Qarn At-Tasi’, sebuah karya komprehensif
yang merekam biografi para tokoh terkemuka secara luas dan lengkap. Orang-orang
juga mengenal Al-Sakhawi dengan nama Ibn Al-Barid. Gelaran ini disandang juga
oleh moyang dan ayahnya tanpa diketahui bagaimana asal-usulnya. Barangkali,
julukan ini disandang Al-Sakhawi akrena ia suka membangga-banggakan diri atau
karena ia kerap mengkritik tokoh lain dan karya-karya mereka.[19]
Di masa pemerintahan
Sultan Khasyqadam, Al-Sakhawi juga memiliki hubungan erat dengan Amir Yasybak
bin Mahdi Kasyif Al-Wajh Al-Qabli. Yasibak adalah penguasa wilayah Dawadariyah
Al-Kubra di masa Sultan Qayitabaya. Dia juga tokoh sentral dalam Dinasti Mamluk
era Qayitabaya. Selain sebagai amir ia juga menduduki lima jabatan penting lain
yang terkait dengan masalah perwakafan, kekayaan, pendidikan, dan perpajakan.
Karena itu, ia memilih Al-Sakhawi sebagai pendamping ulama nresmi kesultanan
untuk mengajar hadis bagi Sultan Khasyqadam. Al-Sakhawi sering menceritakan
kedekatannya dengan penguasa ini. Katanya, Sultan Khasyqadam pernah
memerintahkan Yasybak agar meminta Al-Sakhawi menginap selama seminggu di
istana karena sultan ingin bercengkrama dengannya. Ia menolak keinginan sultan
tersebut sehingga Yasybak mengatakan bahwa sultan yang akan datang menemui
dirinya. Namun Al-Sakhawi tetap menolaknya.
Karya-karyanya
Al-Sakhawi disebutkan secara panjang lebar dalam otobiografinya. Karya
sejarahnya yng lain adalah At-Tibr Al-Masbuk fi Dzail As-Suluk yang merekam
peristiwa-peristiwa pada penghujung abad ke-9 H. Selain menulis sendiri,
tampaknya Al-Sakhawi memiliki kecenderungan untuk melengkapi atau meringkas
karya-karya para ulama terdahulu semisal Dzail Tarikh Duwal Al-Islam komplemen
karya Al-Dzahabi, Ad-Dzail Al-Mutanahi komplemen jarya Ibn Hajar tentang
biografi para qadhi Mesir, dan Ad-Dzail ‘ala thabaqat Al-Qurra komplemen karya
Al-Jaziri. Adapun karyanya yang berupa ringkasan antara lain Al-Muntaqa min
Tarikh Makkah dan Talkhis Tarikh Al-Yaman karya Al-Fasi.
Al-Sakhawi juga
memiliki karya sejarah cukup penting, yakni Al-I’lan bi At-Taubikh liman Dzamma
At-Tarikh. Sebuah karya yang secara utuh memaparkan prinsip-prinsip historiografi
dalam perspektif para sejarawan serta mengenai asal-usul “ilmu sejarah” dan
manfaatnya bagi mereka yang memegang kekuasaan. Sedangkan karya biogarfinya
adalah Ad-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl Al-Qarn Al-Tasi’, Al-Jawahir wa Ad-Durar
mengenai biogarfi Ibn Hajar, Al-Qaul Al-Munabbi tentang biografi Ibn ‘Arabi dan
lain-lain, terlebih lagi di idang hadis. (hal 82)
Selain itu, ada baiknya
apabila disinggung sedikit mengenai buku Ad-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl Al-Qarn
At-Tasi’ (12 juz) yang merupakan buku biografi cukup lengkap, termasuk biografi
tokoh-tokoh Muslim perempuan. Tidak diragukan lagi, terlepas dari berbagai
kritik terhadap penulisnya yang banyak merendahkan tokoh-tokoh lain hingga
mereka yang semasa dengan dirinya, ini adalah karya besar Al-Sakhawi. Di antara
kritik tersebut dilontarkan Ibn Iyas yang mengatakan: “Al-Sakhawi telah menulis
karya sejarah yang dipenuhi kekeliruan dan perampasan hak manusia” (Ibn Iyas,
Bada’i Az-Zuhur, II/hlm.322). demikian pula kritik dari Al-Suyuthi yang
menyatakan: “Tidakkah Anda lihat seseorang yang menulis biografi para tokoh
tapi tega mengkhianati mereka dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan dan
menjatuhkan kehormatannya. Ini semua tidak lebih dari tuduhan kosong untuk
memuaskan kecenderungan dan egoisme pribadinya. Hal ini ibarat menyantap darah
daging saudara sesama Muslim tanpa membedakan antara yang mulia atau yang
hina...” (Al-Suyuthi, Al-Kawi ‘ala Al-Sakhawi). Kritik pedas ini sempat memicu
konflik berkepanjangan anatara Al-Suyuthi dengan Al-Sakhawi bahkan sampai
keduanya wafat. Al-Sakhawi wafat pada tahun 1494 M dan Al-Suyuthi wafat sembilan
tahun kemudian.[20]
10. Muhamad bin Abi
As-Surur Al-Bakri al-Shiddiqi
Al-Bakri
Al-Shiddiqi yang hidup pada abad ke-17 M dan wagat pada 1087 H. Ia menulis tiga
buah karya sejarah sebagai berikut :
a.
Ar-Raudhah
Al-Ma’nusah fi Akhbar Mishr Al-Mahrusah mengenai sejarah para penguasa Mesir
dan panglima perang dimasa ustman hingga tahun 1054 M.
b.
Uyun Al-Akhbar
fi Nuzhah Al-Abshar tentang sejarah singkat Mesir dan negara-negara vassal-nya
hingga masa akhir Dinasti Mamalik Al-Jarakisah.
c.
Al-Minah
Ar-Rahmaniyyah fi Ad-Daulah Al-Ustmaniyyah yang mencatat sejarah para penguasa
Ustmani hingga catatan tahun 1029 H.[21]
11.
Ibn
Al-Shirafi: saudagar yang menjadi sejarawan.
Ada dua tokoh yang
menggeluti sejarah Mesir, meninggalkan banyak karya berharga, dan hidup semasa
dengan Abu-l-Mahasin (Ibn Taghribirdi). Masing-masing adalah Ibn Al-Shirafi dan
Al-Sakhawi. Kedua orang ini mencatat biografi Abu-i-Mahasin secara panjang
lebar yang juga mengungkapkan persaingan, intrik, kecemburuan yang terjadi di
antara para sejarawan abad itu. Dari ketiga orang ini Ibn Al-Shirafilah yang
paling senior meskipun paling sedikit memiliki karya dan popularitas. Nama
lengkap Al-Shirafi adalah Nuruddin ‘Ali bin Dawud Al-Shirafi Al-Khatib Al-Jauhari
Al-Israili Al-Hanafi. Di antara tokoh-tokoh semasanya lebih dikenal dengan nama
Ibn Al-Shirafi atau Ibn Dawud. Ia lahir di Kairo tahun 1416 M, sekitar 12 tahun
sebelum kelahiran Al-Sakhawi dan wafat bulan Juni tahun 1494 M. Ayahnya Dawud
(w. 1449 M), adalah bendahara di lembaga keuangan dinasti Mamluk pada masa
seorang sultan yang hingga saat ini belum diketahui namanya.
Sepeninggalan ayahnya,
ia terjun berdagang di samping tetap menekuni dunia ilmiah, memberi khutbah di
masjid Sultan Barquq, dan berbagai aktivitas ringan lainnya. Ia berdagang di
pasar Al-Jawahiriyyin hingga akhirnya terkenal denagn julukan Al-Jauhari.
Selain itu, ia berbisns rumah sewaan dan penginapan di k\Kairo. Namun, usaha
ini gagal dan ia jatuh bangkrut hingga diangkat sebagai wakil Qadhi oleh Qadhi
Al-Qudhat (Grand Qadhi-penerj). Muhibuddin bin As-Syannah Al-Hanafi. Dari sini
Ibn Al-Shirafi mulai menjadi penyalin buku-buku. Ia banyak menyalin buku-buku
sejarah karya Ibn Hajar, Abu-i-Mahasin, Al-Sakhawi dan lain-lainnya. Dengan demikian,
ia mulai menekuni sejarah setelah berusia lanjut. Semenjak itu hubungannya
dengan Al-Sakhawi dan Abu-l-Mahasin menjadi renggang. Al-sakhawi sibuk dengan
profesinya sendiri dan Abu-l-Mahasin tidak mau meminjamkan koleksi buku-buku
kepada Ibn Al-Shirafi karena khawatir akan disalin. Namun, hambatan ini tidak
menyurutkan tekad Ibn Al-Shirafi lalu berhenti dari dunia tulis-menulis. Ia
justru mampu menulis sebuah karya Nuzhah
An-Nufus wa AlAbdan fi Tawarikh Az-Zaman. Buku ini membahas sejarah dari
masa kekuasaan Sultan Barquq tahun 1382 M hingga tahun 1446 M, tahun kedelapan
kekuasaan Sultan Jaqmaq. Kemudian Anba
Al-Hashr fi Abna Al-‘Ashr (juz ke-9 yang masih tersisa); Sirah Al-Asyraf Qayitabaya yang mungkin
tersimpan di museum Inggris; dan Al-Jauhariyyah,
sebuah buku sirah Nabi yang telah ditelaah dan diberi catatan kritis oleh
Abu-l-Mahasin.
Sementara itu
Al-Sakhawi cendurung merendahkan kemampuan Ibn Al-Shirafi dan
karya-karyanya.Al-Sakhawi sepertinya ingin membalas perlakuan Ibn Al-Shirafi
ketika sama-sama menimba ilmu kepada Ibn Hajar. Al-Sakhawi mengatakan: “Dia
menetapkan diri untuk menulis sejarah dan memang berhasil, karena karyanya
memang tidak jauh berbeda dari karya orang awam. Bagaimana mungkin dia dapat
menjadi fiqih dan qadhi, sedangkan perilakunya kurang begitu baik. Yang jelas,
dia adalah keburukan zaman yang terkenal karema memang dilebih-lebihkan.
Kebodohannya begitu nyata...” (Ad-Dhau Al-Lami’, Juz V, hlm. 218-19). Ibn Iyas
juga mengkritik serupa tapi dengan ungkapan yang kebih bijak. Dia menyatakan:
“Ibn Al-Shirafi menulis sejarah berdasarkan spekulasi, tidak dari suatu sumber
atau riwayat. Karena itu, karya sejarahnya sarat dengan kekeliruan sebagaimana
dalam karya-karyanya yang lain. Namun demikian dia tetap memiliki kelebihan”.
Memang Ibn Al-Shirafi
banyak menuai kritik dari tokoh-tokoh semasanya seperti Al-Sakhawi yang telah
mencatat biografinya. Penulis sendiri, setelah menelaah beberapa karya Ibn
Al-Shirafi, menemukan berbagai uraian yang berupa kutipan atau sekedar
ringkasan yang diambil dari karya-karyanya orang lain semisal Abu-l-Mahasin,
Al-Sakhawi dan Ibn Iyas. Naumn, terlepas dari kritik yang dikatakannya,
Al-Sakhawi telah berjasa karena mencatat biografi ibn Al-Shirafi yang tidak
terdapat dalam karya lain atau karya Ibn Al-Shirafi sendiri. Penulis telah berusaha mencari biografinya
dalam buku-buku sejarah dan biografi tidak mendapatkannya. Data yang ada hanya
menyebutkan bahwa Ibn Shirafi termasuk sekretaris dinasti Fatimiyyah masa
pemerintahan Khalifah Al-Amir dan Al-Hafizh. Ia termasuk tokoh dinasti
fatimiyyah sejak tahun 478 H, bahkan pernah bekerja di lembaga kearsipan
dinasti ini eslama 40 tahun. Hal ini diketahui dari catatan-catatan yang
ditulisnya sejak tahun 494 h hingga tahun 536 H.
Di antara karya
sejarahnya yang paling populer ialah Qanun Diwan Ar-Rasa’il yang telah diberi
komentar dan dipublikasikan oleh Prof. Ali Bahjat (Kairo: 1905 M). Karyanya
yang lain berjudul Al-Isyarah ila Man Nala Al-Wizarah. Buku ini dipersembahkan
kepada Menteri Utama ibn Badr Al-Jamali dengan maksud menjadi semacam petunjuk
teknis dalam memilih orang-orang yang akan duduk di lembaga kearsipan, baik
pegawai biasa atau pimpinan. Karya ini juga mencakup catatan tentang perubahan
perhitungan tahun pembayaran pajak dari sistem kalender Qibthi ke sistem
kalender Arab sehingga masa pemungutan pajak sesuai dengan masa panen. Lainnya
mengenai berita pentasbihan khalifah setiap awal tahun, awal bulan Ramadhan,
dan setaip hari Jumat. Demikian pula tentang perayaan Idul Fitri, Idul Adha,
panen, kriteria dan tugas-tugas kepala lembaga kearsipan, staf-staf lembaga
kearsipan, prosedur surat menyurat kepada para penguasa yang berbeda bahasa
maupun agama, para konseptor surat, buku-buku arsip, macam-macam stempel atau
tanda tangan, dan para penjaga arsip.[22]
12.
Al-Muqri
dan sejarah andalusia (Spanyol)
Ia adalah Abbu-i-Abbas
Ahmad bin Muhamad Al-Tilmasani Al-Maliki, penulis Nafh At-Thib min Ghusn Al-Andalus Ar-Rathib yang dipublikasikan
Bulaq sebanyak empat jilid (1279 H). Ia termasuk sastrawan sekaligus sejarawan
spesialis biografi tokoh-tokoh di Spanyol. Lahir di Tilmisan tahun 1000 h
(1591/1592 M) dan wafat di Kairo tahun 1041 H/1632 M. Al-Muqri berasal dari keturunan intelektual
di daerah Mugrah Aljazair. Paman sekaligus gurunya adalah ulama terkemuka.
Sebagian besar hidupnya didedikasikan dalam dunia keilmuwan. Ia pernah menjadi mufti dan imam di universitas qayrawan
maroko. Selanjutnya pergi ke hijaz untuk melaksanakan ibadah haji, singgahdi
Kairo, dan akhirnya menetap di sana mengajar hadis di Mesir serta Syam. Meski
menetap cukup lama di wilayah Timur, ia terus mengumpulkan data-data untuk
menulis sejarah Spanyol selama menetao di Maroko dan Muqrah.
Berdasarkan penelitian
Ahmad bin Syahin dari universitas Jaqmaqiyah, Al-Muqri menulis sejarah
Andalusia dan biografi wazir Ibn Al-Khatib berjudul Nafh At-Thib min Gushn Al-Andalus Ar-Rathib. Ini adalah karya besar
yang mencakup catatan-catatan dan berbagai kutipan mengenai sastra, puisi, dan
sejarah Andalusia yang diambil dari data-data yang telah hilang. Faktor inilah
yang menjadikan karya ini cukup penting karena dianggap sebagai sumber orisinil
tentang sejarah Andalusia sejak masa ekspansi Islam hingga saat terakhir
kekuasaannya. Bahkan ini merupakan satu-satunya karya berbahasa Arab yang
memaparkan sejarah Andalusia pada masa-masa akhir kekuasaan Islam.
Karya ini terdiri dari
dua bagian di mana bagian pertama
membahas sejarah Andalusia dan perkembangan sastranya dan bagian kedua
tentang biografi ibn Al-Khatib. Bagian pertama mengupas letak geografis
Andalusia, ekspansi kaum Muslim, era para gubernur, era Dinasti Umayyah dan
Muluk At-Thawa’if, sejarah kota Qardoba dan pengaruhnya, biografi pengembara
Andalusia ke wilayah timur, pengembara wilayah Timur yang datang ke Andalusia,
sejarah perkembangan sastra, dan segala hal yang berkaitan dengan karakter
warga Andalusia, termasuk sejarah penaklukan Andalusia oleh orang-orang Nasrani
dan terusirnya bangsa Arab dari sana.[23]
Adapun bagian kedua
mencakup biografi nenek moyang Ibn Al-Khatib, biografi Ibn Al-Khatib, biografi
para guru Al-Khatib, arsip surat-surat yang dikirim atau diterima Al-Khatib
pada kantor Administrasi kota Fez dan granada, pengaruh Al-Khatib terhadap
perkembangan puisi, dan catatan karya-karyanya. Selanjutnya, Nafh Al-Thib berturut-turut
dipublikasikan di Kairo (1302; 1304; 1354 H/1936 M). Pada tahun 1840 M
diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Pascual de Grayangas dengan judul History of the Muhammadan Dynasties in Spain.
13.
Ibn
Zanbal: sejarawan yang membagikan sedekah setelah pemakaman Sultan Thuman Baya
Ibn Iyas dan data-data
yang penulis miliki hanya menyebutkan bahwa Ibn Zanbal pernah bekerja di
institusi militer dinasti Usmani. Ia menyertai Sultan salim I pada perang yang
mengakhiri kekuasaan. Dinasti Mamalik di Mesir dan Syam, serta turut menghadiri
pemakaman jenazah Thuman Baya atas mandat penguasa Usmani. Hingga tahun 1544 M
ia masih aktif di dinas kemiliteran Dinasti Usmani dan menetap di desa Abi Qair
Al-Haliyah dekat Iskandariah hingga wafat setelah tahun 1552 M.
Di antara karya Ibn
Zanbal adalah Tarikh Akhdzu Mishr min
Al-Jarakisah. Sebuah karya komprehensif tentang penaklukan Mesir dan Syam
oleh tentara Turki Usmani. Uraiannya dimuai dari keberangkatan Sultan Qanswah
Al-Ghauri Al-Mamluki dari Kairo menuju Halaba, Syiria untuk menghadapi invasi Usmani
di daerah Maraj Dabiq hingga kembalinya Sultan Salim I ke Istambul setelah
mengalahkan tentara Mamluk. Karya ini terbilang penting sejak ditulis dan
disalin menjadi beberapa naskah populer. Sedangkan tentang jenis hiburan yang
terdapat di kafe-kafe Kairo pada abad ke-16 hingga 17 M dan biografi Al-Suhaili
(bukan penulis Ar-Raudh Al-Ahf yang
wafatnya tahun 1185 M) dicatat dalam karyanya yang berjudul Ad-Durrah Al-Yatimah fi Tarikh Mishr
Al-Qadimah. Marcel, seorang orientalis yang tergabung dalam Misi Prancis
banyak mengutip buku ini dalam karyanya mengenai sejarah Mesir masa Islam,
bahkan, hingga saat ini karya tersebut masih menjadi referensi primer. Berbagai
naskah karya ini tersimpan di berbagai perpustakaan dalam bermacam-macam
bentuk. Salah satunya adalah naskah populer yang dipublikasikan dalam kondisi
yang memprihatinkan. Barangkali hal ini perlu diperhatikan oleh para pemerhati
sejarah Mesir sehingga dapat dipublikasikan secara lebih baik.
Selain karya di atas
Ibn Zanbal juga memiliki karya sejarah lain dalam bahasa Turki yang mencatat
biografi para penguasa Usmani di Mesir semasa hidupnya. Termasuk buku geografi Tuhfah Al-Muluk wa Ar-Ragha’ib lima fi
Al-Barr wa Al-Bhar min Al-‘Ajaib wa Al-Ghara’ib dan Al-Maqalah fi Halli Al-Musykilah mengenai kaligrafi dan ramalan.
Seluruh karya tersebut masih berbentuk manuskrip dan belum mendapat perhatian
serius dari para peminat sejarah.[24]
14.
Al-Ishak
Al-Manufi atau Muhamad bin ‘Abdul Mu’thi bin Abi Al-Fath
Al-Ishak Al-Manufi,
seorang sejarawan abad ke-17 M. Dalam biografi yang ditulis Al-Muhibbi
disebutkan bahwa ia adalah qadhi terkemuka, ilmuwan, dan sejarawan yang
disiplin, cerdas, dan menulis beberapa karya sejarah. Ia menimba ilmu dengan
beberapa ulama di negaranya dan kerap datang ke Mesir untuk belajar kepada
ulama-ulama terkemuka. Ia wafat di kota Manuf pada usia sekitar 60 tahun dan
meninggalkan sebuah karya sejarah yang berjudul Latha’if Akhbar Al-Awwal fiman Tasharrafa fi Mishr min Arbab Ad-Duwal.
Sistematika buku ini terdiri dari pendahuluan, sepuluh bab pembahasan, dan
penutup. Isinya sekitar sejarah para penguasa yang pernah memerintah Mesir
semenjak penaklukan bangsa Arab hingga paruh pertama abad ke-17 M. Buku ini
dirampungkan pada tahun 1033 H dan beberapa kali diterbitkan di Kairo (1276 H,
1296 H, dan 1300 H).
15.
‘Abdul
Masith bin khalil: pengelana yang menjadi sejarawan.
‘Abdul Basith bin
Khalil Al-Hanafi adalah keturunan Dinasti Mamluk yang menetap di Kairo sejak
awal abad ke015 M. Ayahnya, Amir Al-Muhaddats Khalil bin Syahin, hidup semasa
dengan Al-Maqrizi dan termasuk salah seorang sejarawan terkemuka. Sedangkan
ibunya merupakan kakak istri Sultan Al-Asyraf Barsibaya. ‘Abdul Basith lahir
tahun 1440 m di Malathiyah, sebuah daerah di Asia Kecil. Ia selalu
berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain mengikuti kepindahan orang
tuanya ketika sebagai pejabat atau orang buangan. Ia pernah menetap di Halaba
Suriah, Al-Khalil dan Quds Palestina,
Damaskus, Baghdad, Kairo, Makkah, dan Tharabulus Libanon. Karena itu, ia
memperoleh dari ayahnya yang mengajari bahasa Turki dan bermacam-macam buku
dalam berbagai disiplin ilmu.
Tidak mengherankan jika
‘Abdul Basith gemar menambah pengetahuan sebagaimana ayahnya. Ia menggembara ke
berbagai wilayah Islam untuk mempelajari ilmu tata bahasa, kedokteran, dan teologi
hingga menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan baik. Sepeninggalan dengan ayahnya
di tahun 1468 M, ia menetap di Kairo dan tinggal di khanaqah As-Syaikhuniyah menekuni tasawuf. Di tempat ini ia
berjumpa dan berguru dengan Al-Suyuthi dan Yunus Al-Rumi serta para ulama Kairo
lainnya. Al-Sakhawi sendiri menggap ‘Abdul Basith sebagai muridnya dalam ilmu
sejarah.
Selanjutnya ‘Abdul
Basith mulai menekuni dunia tulis-menulis dan mengarang berbagai buku. Tidak
ada informasi lain mengenai profesinya selain sebagai seorang penulis di masa
Dinasti Mamluk. Di antara karya-karyanya adalah Nuzhah Al-Asathin fiman Walla Mishr min Salathin dan Nail Al-Amal yang merupakan komplementer
penting karya Al-Dzahabi. Lalu Ar-Raudh
Al-Basim fi Hawadits Al-Ghamr wa At-Tarajim yang merupakan suplemen An-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Mishr wa
Al-Qahirah karya Abu-l-Mahasin bin Taghribirdi, dan Tarikh Al-Anbiya’ Al-Akabir wa Bayan Ulil ‘Azm Minhum. Selain itu,
juga menulis Al-Washalah fi Mas’alah
Al-Qiblah, Al-Hikmah wa As-Sirr fi
Kaun Ad-Dhau, Al-Qaul Al-Ma’nus, Syarh Al-Qanusah fi At-Tibb, dan ‘umdah
At-Thalibin wa Raghbah Ar-Raghibin fi Al-Fiqh. Selain karya yang terakhir,
seluruh karya tersebut masih berbentuk manuskrip yang tersebar di berbagai
perpustakaan, baik di Barat maupun Timur.
‘Abdul Basith juga
menulis beberapa syair yang dimuat dalam karya-karya tokoh semasanya, terutama
dalam karya Ibn Iyas yang menyebutnya sebagai guru. Karya-karya Abdul Basith
mesti banyak memuat syair-syair ang ditulis dalam berbagai kesempatan. Sebuah syair
berjudul Wafa An-Nil, misalnya,
ditulis pada tahun 1493 M seusai musim kemarau panjang. Lalu syair yang ditulis
untuk mengenang wafatnya Jalaluddin Al-Suyuthi tahun 1505 M. Dari kedua syair
di atas terlihat bahwa ‘Abdul Basith, seperti halnya Ibn Iyas dan Ibn
Taghribirdi, berinteraksi dengan sastrawan kalangan istana dinasti Mamalik.
‘Abdul Basith, dalam
banyak hal, mirip dengan Ibn Iyas. Kedua orang ini adalah bawahan seorang amir
Dinasti Mamluk. Keduanya sama-sama penyair sekaligus sejarawan. Perbedaannya,
selain menulis sejarah ‘Abdul Basith juga menulis disiplin ilmu lainnya. ‘Abdul
Basith dikenal sebagai tooh yang kerap menyendiri. Kata Al-Sakhawi: “Sosok yang
tenang dan lebih suka menyendiri”. Menurut Ibn Iyas: “Dia berbadan tinggi dan
kurus, suka memelihara jambul di kepalanya seperti dilakukan para sufi, dan
berhidung mancung. Dia juga terkenal di kalangan pejabat dan penguasa,
menguasai bahasa Turki, dan merupakan tokoh pamungkas kaum salaf dan panutan
kaum khalaf”. Ia meninggal pada tahun 1514 M setelah menderita sakit paru-paru
yang memaksanya untuk tidak beranjak dari tempat tidur lebih dari satu tahun.
‘Abdul Basith termasuk tokoh abad ke-10 M dan juga abad ke-9 M karena wafat
tidak lama setelah berakhirnya abad ke-9.[25]
C. Kesimpulan
Berbicara mengenai para
sejarawan-sejarawan Muslim ini, berarti membahas pertumbuhan, perkembangan, pasang-surut
(ilmu) sejarah pada komunitas ini sekaligus kontribusi mereka di bidang
tersebut. Khususnya sejarawan pada abad 10-11 H ini membahas mulai dari tanggal
lahir, tempat lahir, karya-karya yang dihasil oleh para tokoh-tokoh pada abad
tersebut hingga wafatnya para tokoh Muslim pada abad tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghani Abdullah, Yusri. 2004. Historiografi
Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jafri, 1995. dari saqifah sampai imamah: awal dan
sejarah perkembangan Islam Syi’ah. Bandung: Pustaka Hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar