Kamis, 21 Juli 2016

Kel. 12 Sejarawan Abad 10-11



MAKALAH
SEJARAWAN ABAD 10-11 H
Disusun Sebagai TugasKelompok
Mata Kuliah HISTORIOGRAFI ISLAM
                                                                       
Dosen Pengampu: Nyayu Soraya, M.Pd.I




Disusun Oleh Kelompok 12:

Ajeng Ratika                                   (1532100078)
Berenda Permata Sari                     (1532100093)
Citra Sari Risky                              (1532100095)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN PROGRAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN AJARAN 2015/2016
A.      Pendahuluan
Bangsa Arab sebagai sebuah bangsa yang terkenal dengan kemampuan luar biasa dalam menggubah sya’ir, dan sya’ir-sya’ir mereka diperlombakan, kemudian pemenang dari perlombaan tersebut akan mendapat penghormatan dengan digantungnya karya yang telah dihasilkan pada dinding ka’bah. Melalui tradisi sastra inilah diketahui beberapa peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi. Dan nilai-nilai yang yang menyertai peristiwa penting itu juga mereka abadikan melalui kisah, dongeng, nasab, nyayian, sya’ia, dan sebagainya.
Demikian juga dengan para sejarawannya, mereka berusaha merekam setiap peristiwa yang penting, dan mereka senantiasa eksis dengan masalah-masalah yang mereka kemukakan tetap menarik terutama dalam menanggulangi problem nyata yang kita hadapi. Ide-ide para sejarawan dan pemikir muslim, seperti pemikir muslim pada abad 10-11 H, yaitu : ibn iyas, al-‘aini, ibn aljauzi, abu al-mahasin, serta para sejarawan lainnya. Pemikiran mereka dengan konpleksitasnya telah berusia berabad-abad, namun tetap saja eksis untuk dikaji dan diteliti.
Mereka yang membaca karya sejarah dari masa ini pasti akan menemukan sebagian besar sejarah Arab awal bersumber dari periwayatan. Para sejarawan lebih banyak mencatat data-data yang terekam oleh hafalan lewat periwatan individu-individu para penghafal-lah yang menjadi mediasi antara suatu informasi dengan sejarawan. Setelah tradisi tulisan berkembang dan ilmu sejarah telah mapan, maka riwayat yang semula dinilai sebagai bagian dari agama tidak dianggap memadai untuk sebagai bagian dari agama tidak lagi memadai untuk menyampaikan fakta sejarah karena tidak mampu menampilkan seluruh sisi fakta secara utuh akibat keterbatasan kemampuan hafalan manusia. Dari situ para sejarawan muslim mulai berubah dari sekedar sabagai informan yang semata-mata berorentasi pada penguasaan informasi-informasi dan penjagaan rangkaian periwatan sejarawan abad 10-11 H, yang termuat dalam Historiografi Islam.
Maka dalam makalah ini, kami akan fokus membahas para sejarawan abad 10-11 H dan Muqoddimah sebagai sebuah makalah sejarah monumental yang menjadi bagian dari Historiografi Islam itu sendiri yang telah dilahirkan dari sejarawan muslim abad-abad pertengahan.


B.       Pembahasan
1.        Ibn Iyas
Ibn Iyas. Lengkapnya adalah Muhammad bin Iyas Zainuddin Al-Nashiri Al-Jarkasi Al-Hanafi, penulis Tarikh Mishr atau lebih populer dengan nama Bada’i Az-Zhur fi Waqa’i Ad-Duhur yang dipublikasikan Bulaq Kairo sebanyak 3 juz (1311-1312 H). Lahir di Kairo pada tahun 852 H/1448 M dan wafat menjelang usia 80 tahun pada 928 H. Ibn Iyas berasal dari Ghauri. Ia menulis sejarah dan menyusun syair serta aneka puisi. Ibn Iyas rajin mengamati; mencatat berbagai peristiwa sosial dan sangat peduli terhadap faktor-faktor kelemahan Dinasti Mamalik.[1]
Salah satu karya Ibn Iyas yang masih ada ialah karya komprehensifnya tentang sejarah Mesir Bada’i Az-Zuhur fi Waqa’i Ad-Duhur. Karya ini secara ringkas mengupas sejarah Mesir hinggga akhir kekuasaan Dinasti Al-Ayyubi. Sedangkan bahasan tentang Dinasti Mamalik hingga kekuasaan Sultan Qayatabayaditulis dengan terburu-buru. Dimulai dari uraian sejarah masa Qayatabaya, Ibn Iyas mengelaborasi berbagai peristiwa, mencatat biografi para pejabat secara detal, dan merekam data para tokoh yang wafat setiap sebulan.[2]
Pada uraian sejarah yang lebih belakangan, ia dikenal cermat menganilisis berbagai peristiwa, menyelidiki fakta-fakta, dan menilai pihak lain. Sikap kritis membuatnya tidak puas apabila sekedar menguraikan peristiwa-peristiwa, fakta-fakta, dan data-data kematian seperti dilakukan oleh para sejarawan terdahulu. Lebih dari itu, ia berusaha menyodorkan interprestasi dan filosofi di balik peristiwa yang terjadi. Apalagi yang berkenaan dengan masalah pertahanan dan hal-hal yang kerap diabaikan pemerintahan Sultan Al-Ghauri, termasuk sistem administrasi keuangan yang kacau. Terkadang Ibn Iyas terlampau keras dalam mengkritisi Sultan Al-Ghauri terkait krisis keuangan akut yang menimpa negara. Hal ini banyak didorong kedekatannya dengan kalangan pejabat dan penguasa. Pemerintahan Turki Usmani di Mesir memang kerap menuai pedas karena sering mengabaikan masalah-masalah warga Mesir meskipun tetap memiliki wibawa dan pamor.[3]
Karya ini menjadi sangat penting karena merupakan satu-satunya sumber Arab yang mengupassejarah awal abad ke-10 h (abad ke-16 M). Namun karya ini pekat kata-kata, ungkapan-ungkapan, dan kalimat-kalimat yang tidak terdapat pada bahasa Arab formal (fusha). Hal ini boleh jadi akibat penyebaran bahasa Turki di antara masyarakat tertentu dan penyerapan kata-kata asing dalam istilah kemiliteran, maritim, dan lembaga-lembaga pemerintahan.
2.        Al-Aini
Al-‘Aini lahir pada tahun 1360, sekitar empat tahun sebelum kelahiran Al-Maqrizi, di ‘Ainatab, sebuah desa kecil antara Halaba dan Antiokia. Ia termasuk salah satu sejarawan Muslim kenamaan di masanya. Datang ke Kairo sekitar akhir abad ke-8 H lalu dipilih sebagai petugas cukai pasar oleh dinasti Mamluk, menggantikan Al-Maqrizi, untuk wilayah Kairo dan daerah pesisir pantai pada tahun 1399 M. Ia berkali-kali ditunjuk untuk enduduki jabatan tersebut sejak tahun 1399 M hingga 1442 M, meskipun pada saat yang sama memegang berbagai jabatan penting lainnya. Ditambah lagi pada tahun 1425 M Sultan Barsibaya (1422-1438) mengangkatnya sebagai Qadhi Al-Qudhat madzhab Hanafi.[4]
Al-‘Aini memangku jabatan Qadhi Al-Qudhat dan petugas cukai selama 12 tahun berturut-turut. Selama itu ia pernah juga menjadi penjara Kairo. Menurut Al-Sakhawi dan para sejarawan yang semasa dengan Al-‘Aini, proses gonta-ganti kedudukan dan jabatan semacam ini tidak mempunyai presedenn dalam sejarah administrasi pemerintahan Islam di Mesir. Penguasaan bahasa Turki yang dimiliki Al-‘Aini sangat menopang tugas-tugasnya dalam berbagai pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir, apalagi di masa Barsibaya yang minim sekali menguasai bahasa Arab. Al-‘Aini sering mengahbiskan waktu berjam-jam bersama Barsibaya untuk menjelaskan persoalan-persoalan pelik fiqih dan syariat atau membacakan karya sejarahnya ‘Iqd Al-Juman fi Tarikh Ahl Az-Zaman yang langusng diterjemahkan dalam bahasa Turki.
Karyanya yang lain sebagian berbahasa turki adalah uraian panjang tentang hadis nabi berjudul: Umdah Al-Qari fi Syarh Al-Bukhari. Karya ini banyak mengutip isi karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Fath Al-Bari.[5] Para pemerhati Al-‘Aini dan kehidupannya tentu akan menemukan sosoknya sebagai figur yang memiliki kemuliaan, pengetahuan luas dan hubungan kuat dengan kalangan sastrawan, ulama dan penguasa dinasti Mamalik saat itu. Namun demikian, Al-‘Aini ternyata kurang memiliki hubungan mendalam dengan para ilmuwan masa itu. Barangkali kedekatannya dengan kalangan penguasa menjadi sebab kerenggangan hubungannya dengan Al-Maqrizi atau Ibn Hajar Al-Asqalani. Padahal, sebagaimana disebut di atas, Al-‘Aini menggantikan kedudukan Al-Maqrizi sebagai petugas cukaik dan terlibat polemik dengan Ibn Hajar menyangkut Karyanya Fath Al-Bari. Al-‘Aini wafat tahun 1451 m dalam usia 91 tahun. Yakni dua tahun setelah dicopot dari jabatan qadhi berdasarkan ketetapan Sultan Jaqmaq yang memerintah Mesir antara tahun 1438 hingga 1453 M setelah menyingkirkan Yusuf Bersibaya yang berkuasa hanya 94 hari.[6]
3.        Ibn Al-Jauzi dan sistematika sejarah.
Ia adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhamad, penulis Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa Al-Umam yang dicetak di Heyderabad India (1357 H). Selain sebagai sejarawan, ia juga dikenal sebagai ahli fiqih dan hadis. Lahir pada tahun 510 H/1116 M di Baghdad dan menetap di sana hingga akhir hayatnya tahun 958 H/1200 M. Sebelum itu sempat berkelana ke berbagai wilayah guna menuntut ilmu.[7]
Ia dikenal fanatik terhadap madzhab Imam Ahmad bin Hanbal hingga sering terlibat perdebatan dan diskusi hangat dengan para pengikut Imam Abu Hanifah, Ahlus sunnah, dan kalangan Syi’ah. Karya-karyanya terbilang banyak mencakup bidang fiqh, hadis, dan sejarah. Magnum opus sejarahnya adalah Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa Al-Umam yang diringkas dalam judul Shudur Al-Uqud fi Tarikh Al-‘Uhud. Namun kontribusi terbesarnya adalah dalam penyusunan biografi para u;ama besar dalam bidang fiqh, hadis, dan tasawuf karena beliau manaruh perhatian besar terhadap ketiga hal tersebut. Metode penulisan sejarah Ibn Al-Jauzi mengikuti metode Al-Thabari karena ia mencatat berbagai peristiwa, kelahiran dan kematian para tokoh terkemuka berdasarkan kronologi tahun (hauliyat).[8]
4.        Abu Al-Mahasin
Nama lengkapnya Abu-l-Mahasin Jamaluddin Yusuf Taghribirdi bin Abdullah Ad-Dzahiri Al-Juwaini. Lahir pada Januari 1411 M di kediaman Amir Manjak Al-Yusufi, dekat Madrasah Sultan Hasan di wilayah Al-Qal’ah Al-Hali. Ibunya sahaya keturunan Turki Sultan Barquq. Sedang ayahnya, Taghribirdi sahaya keturunan Yunani berparas tampan yang dibeli Sultan Barquq dan dididik kemiliteran. Seyelah bebas ia bergabung dengan kelompok Al-Khashikiyah, organisasi para sahaya kerajaan. Taghribirdi menjadi bawahan mantan majikannya dan terlibat dalam berbagai tugas penting dinasti Mamalik sampai wafatnya Sultan Barquq tahun 1394 M.[9]
Abu-l-Mahasin pernah bercerita mengenai masa kecilnya. Ia dibawa menghadap Sultan Syaikh saat dirinya berumur lima tahun. Oleh beberapa orang ia diajari untuk meminta “sekerat roti” kepada sultan yang dalam tradisi Dinasti Mamluk berarti “sebidang tanah”. Abu-l-Mahasin menuturkan: “Setelah saya duduk danberbicara dengan sultan, saya segera meminta sekerat roti sebagaimana telah dipesankan sebelumnya. Tanpa saya ketahui, orang-orang yang sedang berkumpul bersama sultan segera mengerumuniku. Lalu sultan memberiku sepotong roti. Saya segera mengambil dan membuangnya ke tanah sambil berkata, “Saya tidak mau roti ini. Saya ingin roti yang ada petaninya, domba, burung bangau, dan perapian.” Sultan pun tertawa terbahak-bahak dan kaget mendengar permintaanku. Ia memerintahkan seorang pengawal untuk memberiku 300 dinar dan berjanji akan mengabulkan permintaanku dan tambahan uang.” Abu-l-Mahasin lebih menyukai pelajaran sejarah daripada materi yang lainnya. Karena itu, ia dekat dengan Al-Maqrizi dan juga Al-‘Aini untuk mendalami sejarah. Ia berusaha semaksimal mungkin mengikuti metodologi dan corak penulisan kedua tokoh ini. Semua itu ditopang oleh kecerdasan otak dan kemahirannya berbahasa Turki. Minatnya terhadap sejarah sebagian besar didorong oleh posisi Al-‘Aini dalam pemerintahan Sultan Barsibaya. Tokoh ini begitu dihormati berkat kepakarannya di bidang sejarah. Seperti idolanya tersebut, melalui bidang sejarah ia juga berambisi mendapatkan posisi serupa pada penguasa berikutnya. Maka, menyusul kematian Al-Maqrizi pada tahun 1442 M dan Al-‘Aini di tahun 1451 M, terbukalah peluang itu bagi Abu-l-Mahasin. Saat itu tidak ada tokoh lain yang menandingi kapasitasnya di bidang sejarah. Abu-l-Mahasin sangat gembira mendapat kesempatan ini.
Meskipun tongkat kepakaran bidang sejarah di Mesir telah bealih kepada Abu-l-Mahasin, tapi ia tidak otomatis menjadi orang dekat sultan-sultan Dinasti Mamalik yang membacakan sejarah di hadapan mereka sebagaimana dilakukan Al-‘Aini memangku berbagai jabatan pada masa yang berbeda-beda. Meski seabagian besar hidupnya dihabiskan di lingkungan istana, tapi Abu-l-Mahasin masih dapat menulis karya sejarah dan biografi serta berlatih aneka ketrampilan militer, seperti melempar tombak, memanah, menunggang kuda, dan bermain polo. Selain itu, ia piawai bermain musik, menulis puisi bahasa Arab maupun Turki; bahkan sempat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1422 dan 1445 M. Ketika melaksanakan haji untuk kali kedua, Abu-l-Mahasin ditugasi sebagai Basya Al-Mahmal (pemegang kiswah Ka’bah saat hendak dicuci-penerj), suatu jabatan di bawah Amir Al-Mahmal, mewakili daerah Mesir. Sedangkan jabatan Amir Al-Mahmal dipegang oleh dua orang yang masing-masing disebut Basya Al-Maimanah (di sisi kanan-penerj) dan Basya Al-Maisarah (di sebelah kiri-penerj). Ratu Qaytabaya pernah menjadi Basya Al-Maisarah ketika menunaikan haji.
Menurut Ibn Al-Shirafi dan beberapa penulis biografinya jumlah karya Abu-iMahasin sekitar 12 buah, tapi hanya tujuh yang masih ada. Yang paling populer ialah karya besar mengenai sejarah Mesir sejak masa ekspansi Islam hingga tahun 1467 M.  Berjudul An-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Mishr wa Al-Qahirah (7 jilid) Konon, Abu-l-Mahasin sempat meringkas karya ini dalam satu buku berjudul Al-Anwar Az-Zhahirah min Al-Kawakib At-Thahirah. (hal 146-147)
Abu Mahasin juga memiliki karya-karya lain yang banyak disebutkan dalam An-Nujun Az-Zahirah, seperti Hawadist Ad-Duhur fi Mada Al-Ayyam wa As-Syuhur, suplemen dari As-Suluk Lima’rifah Ad-Duwul wa Al-Muluk karya Al-Maqrizi. Karya-karya Abu-l-Mahasin mengikuti corak penulisan Al-Maqrizi dengan sedikit perbedaan pada cara penguraian. Lain dari Al-Maqrizi, ia memberikan ulasan panjang lebar terhadap catatan-catatan peristiwa dan biografi para tokoh. Dalam pengantar Al-Hawadits disebutkan bahwa hal ini ia lakukan agar lebih memberikan manfaat kepada para pembacanya.
Karya lainnya ialah Nuzhah Ar-Ra’i fi At-Tarikh dan Al-Bahr Az-Zakhiri fi ‘ilm Al-Awa’il wa Al-Awakhir. Kemudian karya-karya lain yang tidak berkaitan dengan sejarah, seperti Nuzhah Al-Albab fi Ikhtilaf Al-Asma wa Al-Alqab, Hilyah As-Shifh fi Al-Asma wa Al-Shina’ah, Al-Bisyarah fi Takmilah Al-Isyarah, Al-Intishar li Lisan Al-Tatar (kamus bahasa Turki), ditambah buku-buku matematika dan musik, serta As-Sakr Al-Fadhih wa Al-‘Itr Al-Fa’ih yang mengupas masalah tasawuf dan sekarang tersimpan di perpustakaan Iskandariyah nomor katalog 367.[10]
5.        Al-Suyuthi
Al-Suyuthi adalah pemilik sejarah panjang berbagai disiplin pengetahuan di masanya. Ia hampir tidak meninggalkan satu pun bidang pengetahuan tanpa menuangkann karya ilmiah. Hal ini di tmbah keterlibatannya dalam bermacam-macam aktivitas masa tersebut.[11]
Jalaluddin Abdurrahman bin Muhamad Al-Suyuthi lahir di Kairo tahun 1445 M dari keluarga keturunan seorang pemuka tarekat dan tasawuf, Syeikh Hamamuddin Al-Khudhairiyah. Nama Al-Khudhairi diambil dari nama desa Al-Khudhairiyah dekat Baghdad. Hal ini diakui oleh Al-Suyuthi sendiri meskipun semasa hidupnya terdapat dua nama Al-Khudhairiyah masing-masing di Asyuth dan Kairo. Barangkali penegasan Al-Suyuthi ini untuk mengembalikan jejak nenek moyangnya dari sebuah wilayah yang jauh dan terkenal. Apalagi dalam salah satu karyanya disebutkan bahwa dirinya adalah seorang keturunan Anshar dan moyangnya berasal dari kalangan bangsawan.
Ayahnya mendidik Al-Suyuthi dengan menghapal Al-Qur’an, bahkan menemaninya belajar hadis kepada Ibn Hajar Al ‘Asqalani. Maka, Al-Suyuthi kecil tumbuh dengan baik karena mendapat perhatian yang utuh dari orang tua dan para gurunya. Ia mampu menyelesaikan studinya di Masjid Al-Syaikhuni setelah kematian ayahnya. Berkat kecerdasannya, ia mampu menghapalkan  Al-Qur’an sebelum genap berusia 8 tahun.
Setelah menghapalkan Al-Qur’an, ia melanjutkan pertualangan intelektualnya dengan mendalami fiqih madzhab Syafi’i kepada ‘Alamuddin Al-Bulqaini dan diteruskan dengan putra Al-Bulqaini. Ia mendalami ilmu-imu keagamaan dan bahasa Arab dengan Syeikh Syarafuddin Al-Minawi dan Muhyiddin Al-Kafiyaji (w. 889 H). Selanjutnya mendalami kitab Shahih Muslim, As-Syifa fi Ta’rif Huquq Al-Musthafa, dan sebagainya bersama Syeikh Syamsuddin Muhamad Musa. Kemudian mempelajari hadis dan bahasa Arab sekitar empat tahun bersama Taqiyuddin Al-Syumani Al-Hanafi (w. 872 H).
Untuk menambah khazanah pengetahuannya, sebagaimana biasa dilakukan kalangan muhadditsin untuk mencari riwayat dan sanad superior maka Al-Suythi mengembara ke Syiria, Yaman, India, Maroko, dan wilayah  Islam lainnya. Ia pun berkali-kali mengunjungi Hijaz baik untuk menunaikan ibadah haji maupun menimba pengetahuan. Namun, ia belum merasa puas bila hanya mendapatkan pengetahuan lewat buku-buku yang ditelaahnya. Karena itu, ia sering pula berguru secara langsung dengan ulama yang ada saat itu.
Saat itu Al-Suyuthi telah menggapai posisi intelektual yang tinggi, melahirkan karya-karya yang beragam, dan memiliki wawasan yang luas sampai-sampai dijuluki dengan kutu buku (ibn al-kutub) seperti dikatakan oleh penulis Sadzarat Ad-Dzahab. Ia mewarisi sebuah perpustakaan yang menyimpan berbagai koleksi selain kerap mengunjungi perpustakaan Al-Mahmudiyah, perpustakaan tersebar di Kairo pada masa Dinasti Mamluk dengan koleksi berbagai buku bermutu. Maka, dalam usia yang masih muda, 17 tahun Al-Suyuthi telah menekuni dunia pendidikan dan tulis-menulis. Hal ini diakui pula oleh para saingannya yang melihat Al-Suyuthi mampu menulis berbagai buku dalam bermacam-macam disiplin pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan, tidak ada disiplin ilmu yang tidak dijamah oleh karya-karya Al-Suyuthi.[12]
Al-Suyuthi memiliki perhatian dan minat besar terhadap ilmu hadis bahkan menempati posisi tinggi dalam disiplin ini. Ia termasuk tokoh terkemuka tentang seluk-beluk di sekitar masalah hadis dan mengajarkan disiplin ini di berbagai tempat sehingga dianggap sebagai muhaddits terbesar setelah Ibn Hajar Al ‘Asqalani. Sekiranya ia hanya menulis Jam’u Al-Jawami’, maka hal itu sudah memadai untuk mendudukkannya sebagai pendekar hadis karena buku ini, dari segala seginya, merupakan karya paling baik.
Al-Suyuthi adalah sebuah fenomena intelektualitas, pemikiran, dan sastra yang berbeda di antara tokoh-tokoh abad ke-9 dan 10 H dilihat dari khazanah wawasan, pengetahuan, pemikiran, dan karya-karyanya yang berbobot. Kebesaran Al-Suyuthi tidak sekadar bualan tanpa bukti, karena dalam usia 23 tahun telah menulis At-Tahbir fi ‘Ulum At-Tafsir. Dalam pengantar bukunya Husn Al-Muhadharah ia menghitung karya-karyanya yang mencapai 300 buku dalam disiplin ilmu tafsir, hadis, qira’ah, fiqih, biografi, nahwu, sastra, dan sebagainya. Carl Brockelman mencatat karya Al-Suyuthi sebanyak 415 buku dan Ibn Iyas mencatat sekitar 600 buku.
Al-Suyuthi termasuk penulis Mesir yang paling produktif di masa Dinasti Mamluk. Ia memang berasal dari keluarga keturunan persia yang sejak lama menetap di Asyuth dan menduduki berbagai jabatan tinggi. Sejka usia 17 tahunn ia telah memulai menulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya-karyanya mencapai sekitar 561 buah yang terdiri dari buku-buku penting atau risalah-risalah pendek. Saat ini karya-karya tersebut dianggap sebagai buku yang sangat penting karena mencakup berbagai macam materi dan didasarkan pada berbagai sumber yang telah hilang.[13]
6.        Muhammad bin Thulun
Saat ini telah tersedia data tentang Muhamad bin Thulun Al-Dimasyqi, sejarawan dan penulis yang sezaman dengan Ibn Iyas, ditambah otobiografi yang ditulis Ibn Thulun sendiri dalam Al-Fulk Al-Masyhun fi Ahwal Muhammad bin thulun yang telah dipublikasikanoleh Maktabah Al-Quds & Badir Damaskus (1348 H). Penulisan otobiografi ini menandakan Ibn Thulun mengikuti jejak para pendahulu mapun tokoh semasanya, semisal Al-Suyuthi, yang hanya menulis ringkasan riwayat hidup sehingga kurang memberikan banyak informasi bagi para pembaca. Singkatnya, Ibn Thulun lahir tahun 1475 M di Damaskus Syiria. Ibunya, Azdan Ar-Rumiyah, wafat ketika iamasih kecil. Ia menimba pengetahuan dari para ulama Damaskus seperti pamannya, Qadhi Jamaluddin Yusuf Al-Hanafi, mufti pengadilan Damaskus; sejarawan Muhyiddin An-Na’imi, dan muhaddits Jamaluddin Ibn Al-Mubarrad. Lalu Ibn Thulun meneruskan pertualangan intelektualnya ke Makkah tahun 1514 M bersama Al-Hafidz ‘Izuddin bin fahd dan memperoleh sertifikasi tertulis dari Al-Suyuthi di Kairo.[14]
Dalam otobiografinya disebutkan bahwa guru-gurunya mencapai 500-an orang. Sedangkan disiplin ilmu yang ia tekuni lebih dari 72 bidang pengetahuan yang mencakup hadis, teologi, usul fiqih, tata bahasa, logika, kedokteran, arsitektur, linguistik, ilmu waris, astronomi, sejarah, tafsir, tasawuf, dan sebagainya. Masing0masing guru bahkan ada yang memberikan satu, dua, bahkan tiga sertifikasi kepada Ibn Thulun. Karena itu, Ibn Thulun dapat disejajarkan dengan Al-Suyuthi dalam hal jumlah guru, khazanah intelektual, dan wawasan keilmuan. Timurr Basya bahkan pernah menyebutnya sebagai Al-Suyuthi dari Syam.
Karya-karya Ibn Thulun tercantum dalam otobiografi dan juga catatan-catatan lain yang tersusun secara alfabetis. Salah satunya ialah bukunsejarah yang tidak diketahui judulnya, terdiri dari beberapa lembar saja, dan kini disimpan orientalis Richard Hartmann di perputakaan Universitas Tubigen. Kemungkinan besar buku berjudul Ajb Ad-Dahr fi Tadzyil min Malik Mishr atau Nuzhah An-Nazhir fi Ma’rifah Al-Awakhir atau Mufakahah Al-Khullan fi Hawadits Az-Zaman. Yang pasti, karya iniah yang menempatkan Ibn thulun dalam jajaran sejarawan yang turut menorehan karya sejarah mengenai Mesir pada abad pertengahan. Di samping orisinalitas data-data tentang penaklukan Mesir oleh Dinasti Utsmani, latar belakang, proses, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di damaskus Syiria selama proses penaklukan.
Karya-karya sejarah ibn Thulun lainnya ialah Al-‘Uqud Al-Lu’lu’iyyah fi ad-Daulah At-Thuluniyyah dan hurr Al-‘Uyun fi Tarikh Ibn Thulun yang berupa ringkasan disertai tambahan biografi Al-Balawi, sejarawan Mesir yang wafat pada abad ke-11 M. Buku terakhir ini dikomersilkan Ibn Thulun di toko-toko buku Damaskus seharga sembilan qurusy. Ia mendedikasikannya kepada peletak dasar Dinasti Thuluniyyah yang dianggap sebagai nenek moyangnya. Prof. Muhamad Kurdi telah menerbitkan buku ini berlandaskan satu-satunya manuskrip yang disimpan di perpustakaan Az-Zhahiriyyah Damaskus. Publikasi ini telah mengisi missing link sejarah Mesir terutama di awal abad pertengahan. Di samping itu semua, Ibn Thulun juga terlibat dalam berbagai aktivitas seperti mengajar, menjadi imam, khatib, dan supervisor pendidikan di beberapa institusi pendidikan di Damaskus. Ia terus menjalankan seluruh aktivitas tersebut dengan penuh ketekunan tanpa memperdulikan pasang-surut politik yang berlangsung di Damaskus semenjak penaklukan Dinasti Utsmani. Ia wafat tahun 1545 M tanpa meninggalkan keturunan.[15]
7.        Hasan At-thuluni: antara ilmu teknik dan sejarah
Hasan bin Husain Al-Thuluni lahir pada tahun 1432 M dari klan yang telah ada sejak masa Dinasti Ayubiyyah. Mayoritas keluarganya menekuni bidang ilmu teknik dan arsitektur. Sebagian besar dari mereka adalah “pakar teknik” dan “pakar arsitektur”. Al-Thuluni sendiri adalah seorang arsitek besar di era Dinasti Ayubiyyah dan Mamalik di Mesir. Diaah penanggung jawab pembangunan gedung-gedung pemerintahan di Kairo.[16]
Hasan bin Al-Thulun mengikuti jejak para nenek moyangnya. Ia seorang arsitek yang memiliki minat terhadap fiqih., sejarah, sastra, musik, dan olahraga berburu. Diantara hasil sentuhan tangannya adalah Masjid Jami Ar-Raudhah, dikenal juga dengan nama Amsjid Al-Muqsi di tepi sungai Nil. Masjid ini selesai dibangun tahun 1490 M.
Pada masa Qayatibaya berkuasa, Al-Thuluni hidup makmur, berpengaruh, dan merupakan orang kepercayaan sultan. Ia menetap di Ar-Raudhah, masjid kesultanan yang setiap tanggal 14 mengadakan jamuan besar dihadiri oleh para qari, sastrawan, dan khatib dari seluruh Kairo. Ibn Al-Thuluni menunaikan ibadah haji tahun 1492 M. Pada saat itu ia didampingi oleh Al-Sakhawi yang mengenalnya sebagai arsitek terbaik di masa itu. Sultan Muhamad bin Qayitabaya menempatkan Al-Thuluni sebagai arsitek pembangunan benteng utama. Sultan pun mengakuinya sebagai arsitek yang jujur dan profesional karena mampu membangun benteng dengan sebaik mungkin.
Di antara karya sejarah Ibn Al-Thulun ialah An-Nuzhah As-Saniyyah fi Dzikr Al-Khulafa wa Al-Muluk Al-Mishriyyah. Karya ini adalah ringkasan karena uraiannya dimulai dari masa kehadiran Islam hingga masa pemerintahan Sultan Thuman Baya, penguasa terakhir Mamalik di Mesir. Yang tepat, Al-Thuluni memiliki karya sejarah kedua berbentuk catatan harian yang hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya kecuali informasi Ibn Iyas dalam biografi Ibn Al-Thulun yang menyebutkan ia “menulis buku sejarah untuk mencatat berbagai peristiwa”. Kemungkinan besar catatan ini tertimbun dalam koleksi manuskrip ensiklopedis pada berbagai perpustakaan dunia. Selain itu Ibn Al-Thulun juga memiliki karya lain Syarh Muqaddimah Abi Laits dan Syarh Al-Jurmiyah.[17]
8.        Al-Jazri Al-Hambali atau Abdul Qadir Al-Anshari
Seorang sejarawan abad ke-16 M yang selama hidupnya banyak bertugas pada kantor administrasi haji di Kairo dan beberapa kali menyertai jamaah haji Mesir ke tanah Suci. Pada tahun 1554 M ia menulis buku berjudul Ad-Durar Al-Fara’id Al-Munazzhamah fi Akhbar Al-Hajj wa Thariq Makkah Al-Mu’azzhamah. Sebenarnya buku ini lebih tepat disebut catatan harian penulisnya sekalipun memuat berbagai informasi berharga mengenai haji, lokus-lokusnya, sarana transportasi, dan akamodasi yang terdapat pada masa itu. Ia juga mencatat para khalifah, kolega, penguasa, dan tokoh-tokoh dari berbagai belahan dunia yang menunaikan ibadah haji. Al-Jazri juga menjelaskan tata-cara manasik haji menurut madzhab Imam Ahmad bin Hambal dan mencatat berbagai peristiwa selama pelaksanaan haji. Catatan ini disusun berdasarkan kronologi tahun. Naskah karya ini tersimpan di perpustakaan Darul Kutub Al-Mishriyyah meskipun tidak lengkap. Dua karyanya yang lain tidak dicatat Brockelmann: pertama, naskah Ad-Dar Al-Qaumiyyah li Al-Watsa’id, koleksi Al-Maktabah Al-Timuriyah di Kairo yang mencatat kondisi umum Mesir masa itu. Kedua, sebuah naskah penting karena berupa tulisan tangan Al-Jazri Al-Hambali sendiri dengan nomor koleksi 2844/sejarah di perpustakaan Al-Azhar.[18]
9.        Al-Sakhawi: sejarawan yang hobi kritik
Nama Al-Sakhawi, Abu-l-Khair Muhamad bin Abdurrahman bin Muhamad Al-Sakhawi, dinisbatkan pada daerah Sakha Al-Haliyah distrik Kufr Syeikh bagian barat. Lahir tahun 1427 M di daerah Bahauddin, dekat pintu gerbang lama kota Kairo. Moyangnya, Muhamad adalah orang tua yang papa, tapi saleh dan berprofesi sebagai pedagang gandum di pasar Ghazal Akiro. Ia sering menghadiri kegiatan keagamaan yang diadakan para ulama untuk menimba pengetahuan di sela-sela kesibukannya. Demikian halnya dengan ayah Al-Sakhawi, Abdurrahman yang yang sibuk berdagang tapi kerap mengikuti kegiatan keagamaan. Tidak mengherankan jika ayahnya memiliki hubungan erat dengan sebagian para ulama karena mereka mengetahui perilaku dan kesalehan ayah Al-Sakhawi. Karena itu, mayoritas guru Al-Sakhawi berasal dari kalangan utama yang sekaligus para sahabat ayahnya seperti Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Al-Sakhawi mencatat biografi para gurunya dalam Ad-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl Al-Qarn At-Tasi’.
Cukup lama Al-Sakhawi menimba pengetahuan kepada Ibn Hajar dan sejumlah ulama lainnya. Dari Ibn Hajar ia mempelajari hadis, sejarah, dan biografi. Ibn Hajar berjuang agar ia dipernolehkan mengajar hadis. Pengetahuan dari Ibn Hajar menjadi bekal yang berharga ketika ia menulis Ad-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl Al-Qarn At-Tasi’, sebuah karya komprehensif yang merekam biografi para tokoh terkemuka secara luas dan lengkap. Orang-orang juga mengenal Al-Sakhawi dengan nama Ibn Al-Barid. Gelaran ini disandang juga oleh moyang dan ayahnya tanpa diketahui bagaimana asal-usulnya. Barangkali, julukan ini disandang Al-Sakhawi akrena ia suka membangga-banggakan diri atau karena ia kerap mengkritik tokoh lain dan karya-karya mereka.[19]
Di masa pemerintahan Sultan Khasyqadam, Al-Sakhawi juga memiliki hubungan erat dengan Amir Yasybak bin Mahdi Kasyif Al-Wajh Al-Qabli. Yasibak adalah penguasa wilayah Dawadariyah Al-Kubra di masa Sultan Qayitabaya. Dia juga tokoh sentral dalam Dinasti Mamluk era Qayitabaya. Selain sebagai amir ia juga menduduki lima jabatan penting lain yang terkait dengan masalah perwakafan, kekayaan, pendidikan, dan perpajakan. Karena itu, ia memilih Al-Sakhawi sebagai pendamping ulama nresmi kesultanan untuk mengajar hadis bagi Sultan Khasyqadam. Al-Sakhawi sering menceritakan kedekatannya dengan penguasa ini. Katanya, Sultan Khasyqadam pernah memerintahkan Yasybak agar meminta Al-Sakhawi menginap selama seminggu di istana karena sultan ingin bercengkrama dengannya. Ia menolak keinginan sultan tersebut sehingga Yasybak mengatakan bahwa sultan yang akan datang menemui dirinya. Namun Al-Sakhawi tetap menolaknya.
Karya-karyanya Al-Sakhawi disebutkan secara panjang lebar dalam otobiografinya. Karya sejarahnya yng lain adalah At-Tibr Al-Masbuk fi Dzail As-Suluk yang merekam peristiwa-peristiwa pada penghujung abad ke-9 H. Selain menulis sendiri, tampaknya Al-Sakhawi memiliki kecenderungan untuk melengkapi atau meringkas karya-karya para ulama terdahulu semisal Dzail Tarikh Duwal Al-Islam komplemen karya Al-Dzahabi, Ad-Dzail Al-Mutanahi komplemen jarya Ibn Hajar tentang biografi para qadhi Mesir, dan Ad-Dzail ‘ala thabaqat Al-Qurra komplemen karya Al-Jaziri. Adapun karyanya yang berupa ringkasan antara lain Al-Muntaqa min Tarikh Makkah dan Talkhis Tarikh Al-Yaman karya Al-Fasi.
Al-Sakhawi juga memiliki karya sejarah cukup penting, yakni Al-I’lan bi At-Taubikh liman Dzamma At-Tarikh. Sebuah karya yang secara utuh memaparkan prinsip-prinsip historiografi dalam perspektif para sejarawan serta mengenai asal-usul “ilmu sejarah” dan manfaatnya bagi mereka yang memegang kekuasaan. Sedangkan karya biogarfinya adalah Ad-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl Al-Qarn Al-Tasi’, Al-Jawahir wa Ad-Durar mengenai biogarfi Ibn Hajar, Al-Qaul Al-Munabbi tentang biografi Ibn ‘Arabi dan lain-lain, terlebih lagi di idang hadis. (hal 82)
Selain itu, ada baiknya apabila disinggung sedikit mengenai buku Ad-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl Al-Qarn At-Tasi’ (12 juz) yang merupakan buku biografi cukup lengkap, termasuk biografi tokoh-tokoh Muslim perempuan. Tidak diragukan lagi, terlepas dari berbagai kritik terhadap penulisnya yang banyak merendahkan tokoh-tokoh lain hingga mereka yang semasa dengan dirinya, ini adalah karya besar Al-Sakhawi. Di antara kritik tersebut dilontarkan Ibn Iyas yang mengatakan: “Al-Sakhawi telah menulis karya sejarah yang dipenuhi kekeliruan dan perampasan hak manusia” (Ibn Iyas, Bada’i Az-Zuhur, II/hlm.322). demikian pula kritik dari Al-Suyuthi yang menyatakan: “Tidakkah Anda lihat seseorang yang menulis biografi para tokoh tapi tega mengkhianati mereka dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan dan menjatuhkan kehormatannya. Ini semua tidak lebih dari tuduhan kosong untuk memuaskan kecenderungan dan egoisme pribadinya. Hal ini ibarat menyantap darah daging saudara sesama Muslim tanpa membedakan antara yang mulia atau yang hina...” (Al-Suyuthi, Al-Kawi ‘ala Al-Sakhawi). Kritik pedas ini sempat memicu konflik berkepanjangan anatara Al-Suyuthi dengan Al-Sakhawi bahkan sampai keduanya wafat. Al-Sakhawi wafat pada tahun 1494 M dan Al-Suyuthi wafat sembilan tahun kemudian.[20]
10.    Muhamad bin Abi As-Surur Al-Bakri al-Shiddiqi
Al-Bakri Al-Shiddiqi yang hidup pada abad ke-17 M dan wagat pada 1087 H. Ia menulis tiga buah karya sejarah sebagai berikut :
a.    Ar-Raudhah Al-Ma’nusah fi Akhbar Mishr Al-Mahrusah mengenai sejarah para penguasa Mesir dan panglima perang dimasa ustman hingga tahun 1054 M.
b.    Uyun Al-Akhbar fi Nuzhah Al-Abshar tentang sejarah singkat Mesir dan negara-negara vassal-nya hingga masa akhir Dinasti Mamalik Al-Jarakisah.
c.    Al-Minah Ar-Rahmaniyyah fi Ad-Daulah Al-Ustmaniyyah yang mencatat sejarah para penguasa Ustmani hingga catatan tahun 1029 H.[21]
11.    Ibn Al-Shirafi: saudagar yang menjadi sejarawan.
Ada dua tokoh yang menggeluti sejarah Mesir, meninggalkan banyak karya berharga, dan hidup semasa dengan Abu-l-Mahasin (Ibn Taghribirdi). Masing-masing adalah Ibn Al-Shirafi dan Al-Sakhawi. Kedua orang ini mencatat biografi Abu-i-Mahasin secara panjang lebar yang juga mengungkapkan persaingan, intrik, kecemburuan yang terjadi di antara para sejarawan abad itu. Dari ketiga orang ini Ibn Al-Shirafilah yang paling senior meskipun paling sedikit memiliki karya dan popularitas. Nama lengkap Al-Shirafi adalah Nuruddin ‘Ali bin Dawud Al-Shirafi Al-Khatib Al-Jauhari Al-Israili Al-Hanafi. Di antara tokoh-tokoh semasanya lebih dikenal dengan nama Ibn Al-Shirafi atau Ibn Dawud. Ia lahir di Kairo tahun 1416 M, sekitar 12 tahun sebelum kelahiran Al-Sakhawi dan wafat bulan Juni tahun 1494 M. Ayahnya Dawud (w. 1449 M), adalah bendahara di lembaga keuangan dinasti Mamluk pada masa seorang sultan yang hingga saat ini belum diketahui namanya.
Sepeninggalan ayahnya, ia terjun berdagang di samping tetap menekuni dunia ilmiah, memberi khutbah di masjid Sultan Barquq, dan berbagai aktivitas ringan lainnya. Ia berdagang di pasar Al-Jawahiriyyin hingga akhirnya terkenal denagn julukan Al-Jauhari. Selain itu, ia berbisns rumah sewaan dan penginapan di k\Kairo. Namun, usaha ini gagal dan ia jatuh bangkrut hingga diangkat sebagai wakil Qadhi oleh Qadhi Al-Qudhat (Grand Qadhi-penerj). Muhibuddin bin As-Syannah Al-Hanafi. Dari sini Ibn Al-Shirafi mulai menjadi penyalin buku-buku. Ia banyak menyalin buku-buku sejarah karya Ibn Hajar, Abu-i-Mahasin, Al-Sakhawi dan lain-lainnya. Dengan demikian, ia mulai menekuni sejarah setelah berusia lanjut. Semenjak itu hubungannya dengan Al-Sakhawi dan Abu-l-Mahasin menjadi renggang. Al-sakhawi sibuk dengan profesinya sendiri dan Abu-l-Mahasin tidak mau meminjamkan koleksi buku-buku kepada Ibn Al-Shirafi karena khawatir akan disalin. Namun, hambatan ini tidak menyurutkan tekad Ibn Al-Shirafi lalu berhenti dari dunia tulis-menulis. Ia justru mampu menulis sebuah karya Nuzhah An-Nufus wa AlAbdan fi Tawarikh Az-Zaman. Buku ini membahas sejarah dari masa kekuasaan Sultan Barquq tahun 1382 M hingga tahun 1446 M, tahun kedelapan kekuasaan Sultan Jaqmaq. Kemudian Anba Al-Hashr fi Abna Al-‘Ashr (juz ke-9 yang masih tersisa); Sirah Al-Asyraf Qayitabaya yang mungkin tersimpan di museum Inggris; dan Al-Jauhariyyah, sebuah buku sirah Nabi yang telah ditelaah dan diberi catatan kritis oleh Abu-l-Mahasin.
Sementara itu Al-Sakhawi cendurung merendahkan kemampuan Ibn Al-Shirafi dan karya-karyanya.Al-Sakhawi sepertinya ingin membalas perlakuan Ibn Al-Shirafi ketika sama-sama menimba ilmu kepada Ibn Hajar. Al-Sakhawi mengatakan: “Dia menetapkan diri untuk menulis sejarah dan memang berhasil, karena karyanya memang tidak jauh berbeda dari karya orang awam. Bagaimana mungkin dia dapat menjadi fiqih dan qadhi, sedangkan perilakunya kurang begitu baik. Yang jelas, dia adalah keburukan zaman yang terkenal karema memang dilebih-lebihkan. Kebodohannya begitu nyata...” (Ad-Dhau Al-Lami’, Juz V, hlm. 218-19). Ibn Iyas juga mengkritik serupa tapi dengan ungkapan yang kebih bijak. Dia menyatakan: “Ibn Al-Shirafi menulis sejarah berdasarkan spekulasi, tidak dari suatu sumber atau riwayat. Karena itu, karya sejarahnya sarat dengan kekeliruan sebagaimana dalam karya-karyanya yang lain. Namun demikian dia tetap memiliki kelebihan”.
Memang Ibn Al-Shirafi banyak menuai kritik dari tokoh-tokoh semasanya seperti Al-Sakhawi yang telah mencatat biografinya. Penulis sendiri, setelah menelaah beberapa karya Ibn Al-Shirafi, menemukan berbagai uraian yang berupa kutipan atau sekedar ringkasan yang diambil dari karya-karyanya orang lain semisal Abu-l-Mahasin, Al-Sakhawi dan Ibn Iyas. Naumn, terlepas dari kritik yang dikatakannya, Al-Sakhawi telah berjasa karena mencatat biografi ibn Al-Shirafi yang tidak terdapat dalam karya lain atau karya Ibn Al-Shirafi sendiri.  Penulis telah berusaha mencari biografinya dalam buku-buku sejarah dan biografi tidak mendapatkannya. Data yang ada hanya menyebutkan bahwa Ibn Shirafi termasuk sekretaris dinasti Fatimiyyah masa pemerintahan Khalifah Al-Amir dan Al-Hafizh. Ia termasuk tokoh dinasti fatimiyyah sejak tahun 478 H, bahkan pernah bekerja di lembaga kearsipan dinasti ini eslama 40 tahun. Hal ini diketahui dari catatan-catatan yang ditulisnya sejak tahun 494 h hingga tahun 536 H.
Di antara karya sejarahnya yang paling populer ialah Qanun Diwan Ar-Rasa’il yang telah diberi komentar dan dipublikasikan oleh Prof. Ali Bahjat (Kairo: 1905 M). Karyanya yang lain berjudul Al-Isyarah ila Man Nala Al-Wizarah. Buku ini dipersembahkan kepada Menteri Utama ibn Badr Al-Jamali dengan maksud menjadi semacam petunjuk teknis dalam memilih orang-orang yang akan duduk di lembaga kearsipan, baik pegawai biasa atau pimpinan. Karya ini juga mencakup catatan tentang perubahan perhitungan tahun pembayaran pajak dari sistem kalender Qibthi ke sistem kalender Arab sehingga masa pemungutan pajak sesuai dengan masa panen. Lainnya mengenai berita pentasbihan khalifah setiap awal tahun, awal bulan Ramadhan, dan setaip hari Jumat. Demikian pula tentang perayaan Idul Fitri, Idul Adha, panen, kriteria dan tugas-tugas kepala lembaga kearsipan, staf-staf lembaga kearsipan, prosedur surat menyurat kepada para penguasa yang berbeda bahasa maupun agama, para konseptor surat, buku-buku arsip, macam-macam stempel atau tanda tangan, dan para penjaga arsip.[22]
12.    Al-Muqri dan sejarah andalusia (Spanyol)
Ia adalah Abbu-i-Abbas Ahmad bin Muhamad Al-Tilmasani Al-Maliki, penulis Nafh At-Thib min Ghusn Al-Andalus Ar-Rathib yang dipublikasikan Bulaq sebanyak empat jilid (1279 H). Ia termasuk sastrawan sekaligus sejarawan spesialis biografi tokoh-tokoh di Spanyol. Lahir di Tilmisan tahun 1000 h (1591/1592 M) dan wafat di Kairo tahun 1041 H/1632 M.  Al-Muqri berasal dari keturunan intelektual di daerah Mugrah Aljazair. Paman sekaligus gurunya adalah ulama terkemuka. Sebagian besar hidupnya didedikasikan dalam dunia keilmuwan. Ia pernah menjadi mufti dan imam di universitas qayrawan maroko. Selanjutnya pergi ke hijaz untuk melaksanakan ibadah haji, singgahdi Kairo, dan akhirnya menetap di sana mengajar hadis di Mesir serta Syam. Meski menetap cukup lama di wilayah Timur, ia terus mengumpulkan data-data untuk menulis sejarah Spanyol selama menetao di Maroko dan Muqrah.
Berdasarkan penelitian Ahmad bin Syahin dari universitas Jaqmaqiyah, Al-Muqri menulis sejarah Andalusia dan biografi wazir Ibn Al-Khatib berjudul Nafh At-Thib min Gushn Al-Andalus Ar-Rathib. Ini adalah karya besar yang mencakup catatan-catatan dan berbagai kutipan mengenai sastra, puisi, dan sejarah Andalusia yang diambil dari data-data yang telah hilang. Faktor inilah yang menjadikan karya ini cukup penting karena dianggap sebagai sumber orisinil tentang sejarah Andalusia sejak masa ekspansi Islam hingga saat terakhir kekuasaannya. Bahkan ini merupakan satu-satunya karya berbahasa Arab yang memaparkan sejarah Andalusia pada masa-masa akhir kekuasaan Islam.
Karya ini terdiri dari dua bagian di mana bagian pertama  membahas sejarah Andalusia dan perkembangan sastranya dan bagian kedua tentang biografi ibn Al-Khatib. Bagian pertama mengupas letak geografis Andalusia, ekspansi kaum Muslim, era para gubernur, era Dinasti Umayyah dan Muluk At-Thawa’if, sejarah kota Qardoba dan pengaruhnya, biografi pengembara Andalusia ke wilayah timur, pengembara wilayah Timur yang datang ke Andalusia, sejarah perkembangan sastra, dan segala hal yang berkaitan dengan karakter warga Andalusia, termasuk sejarah penaklukan Andalusia oleh orang-orang Nasrani dan terusirnya bangsa Arab dari sana.[23]
Adapun bagian kedua mencakup biografi nenek moyang Ibn Al-Khatib, biografi Ibn Al-Khatib, biografi para guru Al-Khatib, arsip surat-surat yang dikirim atau diterima Al-Khatib pada kantor Administrasi kota Fez dan granada, pengaruh Al-Khatib terhadap perkembangan puisi, dan catatan karya-karyanya. Selanjutnya, Nafh Al-Thib berturut-turut dipublikasikan di Kairo (1302; 1304; 1354 H/1936 M). Pada tahun 1840 M diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Pascual de Grayangas dengan judul History of the Muhammadan Dynasties in Spain.
13.    Ibn Zanbal: sejarawan yang membagikan sedekah setelah pemakaman Sultan Thuman Baya
Ibn Iyas dan data-data yang penulis miliki hanya menyebutkan bahwa Ibn Zanbal pernah bekerja di institusi militer dinasti Usmani. Ia menyertai Sultan salim I pada perang yang mengakhiri kekuasaan. Dinasti Mamalik di Mesir dan Syam, serta turut menghadiri pemakaman jenazah Thuman Baya atas mandat penguasa Usmani. Hingga tahun 1544 M ia masih aktif di dinas kemiliteran Dinasti Usmani dan menetap di desa Abi Qair Al-Haliyah dekat Iskandariah hingga wafat setelah tahun 1552 M.
Di antara karya Ibn Zanbal adalah Tarikh Akhdzu Mishr min Al-Jarakisah. Sebuah karya komprehensif tentang penaklukan Mesir dan Syam oleh tentara Turki Usmani. Uraiannya dimuai dari keberangkatan Sultan Qanswah Al-Ghauri Al-Mamluki dari Kairo menuju Halaba, Syiria untuk menghadapi invasi Usmani di daerah Maraj Dabiq hingga kembalinya Sultan Salim I ke Istambul setelah mengalahkan tentara Mamluk. Karya ini terbilang penting sejak ditulis dan disalin menjadi beberapa naskah populer. Sedangkan tentang jenis hiburan yang terdapat di kafe-kafe Kairo pada abad ke-16 hingga 17 M dan biografi Al-Suhaili (bukan penulis Ar-Raudh Al-Ahf yang wafatnya tahun 1185 M) dicatat dalam karyanya yang berjudul Ad-Durrah Al-Yatimah fi Tarikh Mishr Al-Qadimah. Marcel, seorang orientalis yang tergabung dalam Misi Prancis banyak mengutip buku ini dalam karyanya mengenai sejarah Mesir masa Islam, bahkan, hingga saat ini karya tersebut masih menjadi referensi primer. Berbagai naskah karya ini tersimpan di berbagai perpustakaan dalam bermacam-macam bentuk. Salah satunya adalah naskah populer yang dipublikasikan dalam kondisi yang memprihatinkan. Barangkali hal ini perlu diperhatikan oleh para pemerhati sejarah Mesir sehingga dapat dipublikasikan secara lebih baik.
Selain karya di atas Ibn Zanbal juga memiliki karya sejarah lain dalam bahasa Turki yang mencatat biografi para penguasa Usmani di Mesir semasa hidupnya. Termasuk buku geografi Tuhfah Al-Muluk wa Ar-Ragha’ib lima fi Al-Barr wa Al-Bhar min Al-‘Ajaib wa Al-Ghara’ib dan Al-Maqalah fi Halli Al-Musykilah mengenai kaligrafi dan ramalan. Seluruh karya tersebut masih berbentuk manuskrip dan belum mendapat perhatian serius dari para peminat sejarah.[24]
14.    Al-Ishak Al-Manufi atau Muhamad bin ‘Abdul Mu’thi bin Abi Al-Fath
Al-Ishak Al-Manufi, seorang sejarawan abad ke-17 M. Dalam biografi yang ditulis Al-Muhibbi disebutkan bahwa ia adalah qadhi terkemuka, ilmuwan, dan sejarawan yang disiplin, cerdas, dan menulis beberapa karya sejarah. Ia menimba ilmu dengan beberapa ulama di negaranya dan kerap datang ke Mesir untuk belajar kepada ulama-ulama terkemuka. Ia wafat di kota Manuf pada usia sekitar 60 tahun dan meninggalkan sebuah karya sejarah yang berjudul Latha’if Akhbar Al-Awwal fiman Tasharrafa fi Mishr min Arbab Ad-Duwal. Sistematika buku ini terdiri dari pendahuluan, sepuluh bab pembahasan, dan penutup. Isinya sekitar sejarah para penguasa yang pernah memerintah Mesir semenjak penaklukan bangsa Arab hingga paruh pertama abad ke-17 M. Buku ini dirampungkan pada tahun 1033 H dan beberapa kali diterbitkan di Kairo (1276 H, 1296 H, dan 1300 H).
15.    ‘Abdul Masith bin khalil: pengelana yang menjadi sejarawan.
‘Abdul Basith bin Khalil Al-Hanafi adalah keturunan Dinasti Mamluk yang menetap di Kairo sejak awal abad ke015 M. Ayahnya, Amir Al-Muhaddats Khalil bin Syahin, hidup semasa dengan Al-Maqrizi dan termasuk salah seorang sejarawan terkemuka. Sedangkan ibunya merupakan kakak istri Sultan Al-Asyraf Barsibaya. ‘Abdul Basith lahir tahun 1440 m di Malathiyah, sebuah daerah di Asia Kecil. Ia selalu berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain mengikuti kepindahan orang tuanya ketika sebagai pejabat atau orang buangan. Ia pernah menetap di Halaba Suriah, Al-Khalil dan Quds  Palestina, Damaskus, Baghdad, Kairo, Makkah, dan Tharabulus Libanon. Karena itu, ia memperoleh dari ayahnya yang mengajari bahasa Turki dan bermacam-macam buku dalam berbagai disiplin ilmu.
Tidak mengherankan jika ‘Abdul Basith gemar menambah pengetahuan sebagaimana ayahnya. Ia menggembara ke berbagai wilayah Islam untuk mempelajari ilmu tata bahasa, kedokteran, dan teologi hingga menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan baik. Sepeninggalan dengan ayahnya di tahun 1468 M, ia menetap di Kairo dan tinggal di khanaqah As-Syaikhuniyah menekuni tasawuf. Di tempat ini ia berjumpa dan berguru dengan Al-Suyuthi dan Yunus Al-Rumi serta para ulama Kairo lainnya. Al-Sakhawi sendiri menggap ‘Abdul Basith sebagai muridnya dalam ilmu sejarah.
Selanjutnya ‘Abdul Basith mulai menekuni dunia tulis-menulis dan mengarang berbagai buku. Tidak ada informasi lain mengenai profesinya selain sebagai seorang penulis di masa Dinasti Mamluk. Di antara karya-karyanya adalah Nuzhah Al-Asathin fiman Walla Mishr min Salathin dan Nail Al-Amal yang merupakan komplementer penting karya Al-Dzahabi. Lalu Ar-Raudh Al-Basim fi Hawadits Al-Ghamr wa At-Tarajim yang merupakan suplemen An-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Mishr wa Al-Qahirah karya Abu-l-Mahasin bin Taghribirdi, dan Tarikh Al-Anbiya’ Al-Akabir wa Bayan Ulil ‘Azm Minhum. Selain itu, juga menulis Al-Washalah fi Mas’alah Al-Qiblah, Al-Hikmah wa As-Sirr fi Kaun Ad-Dhau, Al-Qaul Al-Ma’nus, Syarh Al-Qanusah fi At-Tibb, dan ‘umdah At-Thalibin wa Raghbah Ar-Raghibin fi Al-Fiqh. Selain karya yang terakhir, seluruh karya tersebut masih berbentuk manuskrip yang tersebar di berbagai perpustakaan, baik di Barat maupun Timur.
‘Abdul Basith juga menulis beberapa syair yang dimuat dalam karya-karya tokoh semasanya, terutama dalam karya Ibn Iyas yang menyebutnya sebagai guru. Karya-karya Abdul Basith mesti banyak memuat syair-syair ang ditulis dalam berbagai kesempatan. Sebuah syair berjudul Wafa An-Nil, misalnya, ditulis pada tahun 1493 M seusai musim kemarau panjang. Lalu syair yang ditulis untuk mengenang wafatnya Jalaluddin Al-Suyuthi tahun 1505 M. Dari kedua syair di atas terlihat bahwa ‘Abdul Basith, seperti halnya Ibn Iyas dan Ibn Taghribirdi, berinteraksi dengan sastrawan kalangan istana dinasti Mamalik.
‘Abdul Basith, dalam banyak hal, mirip dengan Ibn Iyas. Kedua orang ini adalah bawahan seorang amir Dinasti Mamluk. Keduanya sama-sama penyair sekaligus sejarawan. Perbedaannya, selain menulis sejarah ‘Abdul Basith juga menulis disiplin ilmu lainnya. ‘Abdul Basith dikenal sebagai tooh yang kerap menyendiri. Kata Al-Sakhawi: “Sosok yang tenang dan lebih suka menyendiri”. Menurut Ibn Iyas: “Dia berbadan tinggi dan kurus, suka memelihara jambul di kepalanya seperti dilakukan para sufi, dan berhidung mancung. Dia juga terkenal di kalangan pejabat dan penguasa, menguasai bahasa Turki, dan merupakan tokoh pamungkas kaum salaf dan panutan kaum khalaf”. Ia meninggal pada tahun 1514 M setelah menderita sakit paru-paru yang memaksanya untuk tidak beranjak dari tempat tidur lebih dari satu tahun. ‘Abdul Basith termasuk tokoh abad ke-10 M dan juga abad ke-9 M karena wafat tidak lama setelah berakhirnya abad ke-9.[25]
C.      Kesimpulan
Berbicara mengenai para sejarawan-sejarawan Muslim ini, berarti membahas pertumbuhan, perkembangan, pasang-surut (ilmu) sejarah pada komunitas ini sekaligus kontribusi mereka di bidang tersebut. Khususnya sejarawan pada abad 10-11 H ini membahas mulai dari tanggal lahir, tempat lahir, karya-karya yang dihasil oleh para tokoh-tokoh pada abad tersebut hingga wafatnya para tokoh Muslim pada abad tersebut.












DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghani Abdullah, Yusri. 2004. Historiografi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Jafri, 1995. dari saqifah sampai imamah: awal dan sejarah perkembangan Islam Syi’ah. Bandung: Pustaka Hidayah.


[1]Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 40-41
[2]Ibid.,
[3]Ibid.,
[4]Ibid.,
[5]Ibid., hlm. 121-122
[6]Ibid.,
[7]Jafri, dari saqifah sampai imamah: awal dan sejarah perkembangan Islam Syi’ah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995).
[8]Yusri Abdul Ghani Abdullah, Op. Cit., hlm. 59
[9]Ibid., hlm. 142
[10]Ibid., hlm. 143-148
[11]Ibid., hlm. 85
[12]Ibid.,  
[13]Ibid.,  
[14]Ibid., hlm. 150
[15]Ibid.,  
[16]Ibid., hlm. 60
[17]Ibid.,   
[18]Ibid., hlm. 180
[19]Ibid., hlm. 79-80
[20]Ibid.,   
[21]Ibid., hlm. 178-179
[22]Ibid., hlm. 99-103
[23]Ibid., hlm. 157-158
[24]Ibid.,  
[25]Ibid., hlm 105-107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar