MAKALAH
Model dan Perspektif Kajian Dalam Studi Sejarah Islam
(Kompleksitas memahami Islam Sebagai Fenomena
Sejarah, Pola Keragaman Budaya Islam, Model dan Perspektif Studi Sejarah
Islam, dan Model-Model Kajian Sejarah Islam)
Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Historiografi Islam
Dosen Pengampu:
Nyayu Soraya, M.Hum
Disusun Oleh Kelompok 8:
Aji Effendi (1532100079)
Dewi Putri Andesta (1532100102)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2015/2016
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam telah
menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Study keislaman pun semamkin
berkembang. Islam tidak lagi di pahami hanya dalam pengertian historis dan
doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya
terdiri dari dari petunjuk formal. Islam telah menjadi sebuah system budaya,
peradaba, komonitas politik, ekonomi, dan bagian sah dari perkembangan dunia.
Usah mempelajari Islam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat
Islam saja, melainkan juga oleh orang-orang luar kalangan umat Islam. Semua
memiliki tujuannya masing-masing yang berbeda.
Islam yang
tumbuh dan berkembang di tanah air Indonesia ini memiliki karakteristik
tersendiri dibandingkan Islam yang tumbuh dan berkembang di Negara-negara lain
didunia. Seiringberjalannya waktu padasaat sekarang ini maka agama Islam
akhirnya memainkan peranan yang urgen dalam pergerakan roda kehidupan manusia
di Negara ini. Berbagai pemikiran keagamaan tentang Islam yang berkembang
bersamaan dengan perkembangan-perkembangan di lembaga-lembaga telah mewarnai
agama Islam itu sendiri. Berbagai macam model pendekatandalam memahami Islam
juga bermunculan dengan varian-varian tersendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana memahami kompleksitas Islam sebagai fenomena
sejarah?
2. Bagaimana keragaman pola budaya Islam?
3. Apa saja model dan perspektif study sejarah Islam?
4. Apa saja model dan kajian sejarah Islam?
C. BATASAN MASALAH
1. Hanya
membahas cara memahami kompleksitas Islam sebagai fenomena
sejarah?
2. Hanya membahas bagaimana keragaman pola budaya Islam?
3. Hanya membahas apa saja model dan perpspektif study
sejarah islam?
4.
Hanya membahas apa saja
model dan kajian sejarah Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kompleksitas Memahami Islam Sebagai Femomena Sejarah
Agama Islam adalah
agama terbesar kedua di dunia dilihat dari jumlah pemeluknya. Walaupun Agama
Islam berkembang dari tanah arab, mayoritas pemeluk Islam bukanlah arab,
faktanya hanya 20 persen dari 1,2 milyar orang Islam yang asli berasal dari
arab. Masyarakat muslim terbesar terdapat di Indonesia, Pakistan, Bangladesh
dan India.[1]
Islam telah membawa
perubahan yang besar bagi kehidupan dunia dilihat dari sumbangsih para ilmuwan
muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan masa kini. Ilmuwan-ilmuwan muslim
seperti Ibnu Sina, Khawarizmi, Ibn Rusyd dan lain-lain telah memberikan
pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang membawa perubahan besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan.
Selama ini masih banyak
orang-orang Eropa dan Amerika yang berpikiran bahwa Islam itu agama yang aneh, mengerikan,
primitif, apalagi ditambah dengan terjadinya peristiwa peristiwa teror, yang
mengkaitkan Islam dengan terorisme. Untuk menjawab dan menjelaskan tentang
Islam, dibutuhkan informasi dan kajian yang berimbang, yang komprehensif,
menyeluruh tentang Islam yang sebenarnya.[2]
Mengkaji tentang Islam
sebaiknya tidaklah hanya dari satu sisi saja, karena memahami Islam hanya dari
satu sisi tidaklah memberikan gambaran yang sempurna tentang Islam yang
sebenarnya. Mengkaji Islam hanya dari satu sisi, misalnya Fiqh akan memberikan
pandangan yang timpang, karena mempelajari ilmu Fiqh saja akan memberikan kesan
bahwa Islam itu hanya berbicara tentang Halal dan Haram saja sehingga terkesan
sempit, karena setiap akan berbuat sesuatu kita musti bertanya dahulu apakah
perbuatan sudah sesuai dengan agama atau tidak.
Islam sebenarnya
memiliki beragam aspek, ada aspek yang mempelajari teologi yaitu soal
ketuhanan, ada aspek muamalah yang mempelajari hubungan antara sesama manusia,
ada aspek filsafat untuk memahami pentingnya peranan akal dalam memahami agama,
ada aspek hukum yang mempelajari tentang aturan bermasyarakat sesuai syariah,
ada aspek sejarah yang mempelajari peristiwa-peristiwa masa lalu tentang
sejarah Islam. Islam dapat dipahami melalui berbagai sisi salah satunya melalui
sejarah.
Sejarah Islam merupakan
sebuah catatan tentang pengaruh Islam terhadap orang-orang Islam dan
lingkungannya. Memahami sejarah Islam berarti mempelajari pengaruh Islam
terhadap seluruh bangsa-bangsa yang menganut Islam. Islam telah memberikan
pengaruh yang besar di bidang ekonomi, politik, sejarah militer bagi dunia
secara umum dan dunia arab secara khusus.
Islam berkembang dari
tanah arab hingga ke seluruh penjuru dunia. Menulis sejarah tentang Islam
berarti menulis sejarah mulai dari berkembangnya Islam dari tanah Arab hingga kini Islam
berkembang mencapai seluruh penjuru dunia. Menulis sejarah tentang Islam
berarti tidak hanya menulis tentang sejarah orang arab saja, tetapi juga harus
menulis bagaimana perkembangan Islam di luar Arab, karena bukan hanya bangsa
Arab yang memeluk agama Islam, tetapi bermacam-macam suku bangsa telah menganut
Agama Islam. Dan Islam ketika bersentuhan dengan suatu budaya, akan menimbulkan
perpaduan akulturasi antara agama dengan budaya. Hingga menimbulkan suatu
budaya yang dilandasi dengan semangat Islam.
Islam telah membawa
perubahan besar tidak hanya pada bangsa arab sebagai tempat awal berkembangnya
Islam, tetapi juga pada kehidupan seluruh manusia. Perkembangan pengetahuan
pada masa keemasan Islam membuka jalan untuk perkembangan tekhnologi pada masa
sekarang.[3]
2. Pola Keragaman Budaya Perspektif Islam
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia karya Poerwo Darminto, Budaya diartikan dengan “pikiran, akal
budi. Sementara “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan akal budi
manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.[4] Budaya
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jama’ dari buddhi
(budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Secara terminologis,
kebudayaan banyak disinggung oleh para tokoh-tokoh Sosiologi dan Antropologi
Barat sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman mereka.[5] Namun
pada intinya, penulis menarik benang merah dari semua pengertian tesebut, sebagai sebuah kreasi, inovasi, dan aktivitas
manusia yang berdasar pada tata nilai atau subsistem yang diciptakan bersama. Budaya dapat juga
diartikan sebagai keseluruhan warisan sosial yang dipandang sebagai hasil karya
yang tersusun menurut tata tertib teratur; biasanya terdiri dari pada
kebendaan, kemahiran teknik, pikiran dan gagasan, kebiasaan dan nilai-nilai
tertentu, dan sebagainya. Adakalanya budaya itu dibedakan antara budaya materi:
seperti hal-hal yang berhubungan dengan peralatan benda serta teknologi, dan
budaya non materi, seperti: hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai
kebiasaan-kebiasaan, organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga adat dan
lain sebagainya.[6]
Segala bentuk kegiatan
manusia yang mencakup agama, adat, tradisi, dan politik, pendidikan,
pemanfaatan teknologi, merupakan bagian dari muatan budaya yang senantiasa akan
terus berkembang sesuai dengan perkembangan kognisi manusia. Semua itu bermuara
pada kemampuan akal budi manusia sebagai makhluk berbudaya dan berperadaban.
Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantoro, mengertikan kebudayaan sebagai "sesuatu"
yang berkembang secara kontinyu, konvergen, dan konsentris. Jadi Kebudayaan
bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan berkembang seiring
dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik manusia secara kolektif.
Budaya Dalam Pandangan
Islam
Berbicara relasi agama
dan budaya merupakan hal yang sangat menarik. Karena secara aksistensial, agama
dan budaya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan disatukan. Agama
dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak
yang salah mengartikan bahwa agama dan kebuadayaan adalah satu kesatuan yang
utuh. Dalam kaidah, sebenarnya agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan
masing-masing dan tidak dapat disatukan, karena agamalah yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi (high tradition) dari pada kebudayaan (low
tradition). Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan
masyarakat.[7]
Warna-warni ekspresi
keberagamaan Islam di dunia, tidak bisa
dilepaskan dari akulturasi yang subur antara agama dan budaya lokal masyarakat.
hal itu menandakan bahwa betapa kuatnya tradisi lokal masyarakat terhadap
agama, khususnya Islam. pola relasi yang terbangun dari keduanya itu dapat
diindikasikan dengan berkembangnya pola keberagamaan masyarakat. di Islam murni
saja, terdapat Islam Sunni, Islam Syi’ah, dan Islam Mu’tazili, dan Islam
Khawarij (Islam ekstrim).[8] Dari
Islam Sunni ala Indonesia, muncullah Islam Sunni NU, Islam Sunni Muhammadiyah,
Islam Sunni Persis, Islam Sunni Washliyah, dan lainnya. Selanjutnya, lebih
sempit lagi dari Islam Sunni NU, lahirlah Islam Sunni NU Abangan, Islam Sunni
NU Priayi, dan Islam Sunni NU Pribumi, dan kemudian belakangan muncul lagi
Islam Ortodoks, Islam Moderat, dan Islam Liberal.[9] Pola
saling mempengaruhi dan keterhubungan di antara keduanya dalam Ilmu
Antropologinya disebut dengan “dialektika” agama dan budaya.
Menurut Clifford
Geertz, bahwa agama bukanlah hanya spirit, tetapi merupakan hubungan intens
antara agama sebagai sumber nilai dan agama sebagai sumber kognisi. Sebab,
menurut Taylor bahwa kognisi manusia dipenuhi dengan mentalitas agama.[10] Dan itu
akan mengalami perubahan sesuai dengan tingkat kognisi seseorang. Sehingga
agama secara tidak langsung sebagai pola bagi tindakan manusia (pattern of
behavior) dan menjadi pedoman yang mengarahkan tindakan manusia (pattern
for behavior).[11] Dari
teori ini agama sering dipahami sebagai suatu sistem kebudayaan yang tingkat
efektivitasnya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan.
Islam sebagai suatu
agama yang sumber utamanya adalah al-Qur’an dan hadits, tidak secara gamblang
menjelaskan tentang kebudayaan secara terminologis. Hal ini terbukti dari tidak
adanya istilah kebudayaan dalam Al-Qur'an yang berbahasa Arab. Kebudayaan dalam
bahasa Arab sering disebut dengan istilah "ats-Tsaqofah", yang
berarti “kebudayaan”, sama dengan istilah "at-Ta'lim". Istilah
lain yang sepadan dengan "ats-Tsaqofah" dan "at-Ta’lim"
adalah "at-Ta'dib" atau "at-Tahdzib", yang mengandung
arti peradaban atau pendidikan. Ada juga istilah lain yang sepadan artinya
dengan istilah-istilah di atas, yaitu "Al-Hadlara", at-Tamaddun"
dan "Al-Madaniyah", yang semuanya berarti peradaban. Adab
berarti sopan, kesopanan, baik budi bahasa, telah maju tingkat kehidupan lahir
batinnya. Peradaban berarti kemajuan dan kebudayaan lahir batin. Melihat
kandungan arti yang tercakup dalam istilah budaya, kebudayaan, dan peradaban di
atas, maka istilah-istilah ta'lim, ta'dib, tahdzib, hadlara,
tsaqafah dan tamaddun atau madaniyah, adalah mengandung arti
“kebudayaan” dan “peradaban atau budaya dan adab”. Kedua istilah ini dipakai dalam bahasa
Indonesia dalam pengertian yang sama dan juga berbeda, atau satu sama lain ada
persamaan dan perbedaannya.[12]
Islam sebagai agama dan
kepercayaan yang datang terakhir, dengan mudah dapat membumi dan mengakar dalam
jiwa mayoritas umat manusia di dunia. Prestasi demikian tidak dapat dicapai
tanpa adanya dialektika antara Islam sebagai agama langit (samawi) dengan
budaya manusia di dunia (budaya lokal), dari berbagai aspek kehidupan manusia.
Pola dialektika Islam dengan budaya adalah pola rekonstruktif-dialektis dan
elaboratif. Budaya yang berkembangan di tanah Arab pra-Islam seperti pernikahan
(nikah), haji, perdagangan, seni (syi’ir-syi’ir Jahily), dan lainya
dielaborasi oleh Islam dan dipertahankan dengan cara merekonstruksinya dan
memasukkan nilai-nilai Islami. Di Indonesia sendiri, banyak didapatkan
budaya-budaya yang berkembang sebelumnya, seperti wayang, nyadran (nyekar;
istilah sekarang), tumpengan, gamilan,
tumpengan, arsitektur, dan lain
sebagainya, tetap bertahan bahkan sampai sekrang. Jadi, Islam sebagai sebuah
agama yang memiliki unsur-unsur budaya tersendiri, tidak serta merta menghapus
terhadap budaya yang berkembang dan mengakar sebelumnya, tetapi mengakomodir
dan mengelaborasi semua itu dengan nilai-nilai Islami.
Sebagai suatu ajaran
rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya manusia. Cita-cita yang dikembangkan
Islam di dalam kehidupan manusia pada khususnya, dan alam pada umumnya, adalah
kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara manusia sebagai makhluk berbudaya,[13]
memiliki kecenderungan positif dan negatif.[14] Kedua
ayat itu secara tegas menjelaskan bahwa budaya manusia cenderung negatif dan
positif, tetapi Islam dengan tegas mengantisipasi budaya-budaya dan perabadan
yang menyimpang dari ajaran dasar dan mengganggu terhadap ketentraman hidup
manusia.
Dalam melakukan dan
menata kebudayaan atau peradaban dengan akal sehatnya, manusia selalu dikontrol atau diawasi oleh
Allah. Kontrol itu bukan cuma dilakukan oleh Allah, tetapi juga oleh Rasul
Allah dan orang-orang beriman, seperti dalam QS: Al-Taubah (9): 105. Kemudian Islam juga
memberikan semangat untuk terus melakukan pengembangan di dalam kebudayaan
dalam hal apapun demi mengangkat martabat, kemajuan, dan perkembangan hidup
manusia di dunia, sebagaimana dinyatakan di dalam QS: Al- Hasyr (59):
18. QS: Ali Imran(3): 190-191.
Tentunya perkembangan itu mengarah kepada hal-hal yang
positif-progresif,[15] demi
terealisasinya misi “khalifah fil ardli” sebagai representasi dari “liya’budun” QS: Al- Dzariyat (51): 56. Sehingga
secara tegas Nabi Muhammad Saw,
menyampaikan misi risalahnya di dunia sebagai penyempurna budaya-budaya
yang sebelumnya dirasa melenceng dari Islam,[16]
tentunya dengan cara-cara yang baik (hikmah),[17]
persuasif (mau’idzah hasanah), dan dialogis (wa jaadilhum billati
hiya ahsan).[18]
Dengan demikian, posisi
Islam sebagai suatu agama yang merupakan bagian dari budaya, secara fungsional
bersifat elastis. Yaitu menata, memperbaiki, dan mengontrol budaya-budaya yang
secara prinsipil melenceng dari nilai-nilai keislaman dan tentunya merugikan
kepada yang lain, tanpa sikap apologis
bahkan phobia terhadap budaya-budaya yang sudah berkembang sebelumnyasebagaimana
dijelaskan oleh Allah di dalam QS: Al-Maidah (5): 48 dan Al-Kahfi
(18): 29.
C.
Model Dan Perspektif Study Sejarah Islam
1. insider dan outsider
Insider adalah
para pengkaji agama yang berasal dari
agamanya sendiri. Sedadngkan outsider adalah para pengkaji agama yang bukan
agama yang bersangkutan. Munvul masalah apakah dari kalangan insider maupuj
outsider dalam penilaian benar-benar objektif dandapat dipertanggungjawabkan,
karena latar belakang dan jerat historis yang melekat pada insider ataupun
outsider. Banyak kalangan yang menaruh pandangan negative pada pendapat outsider.
2. perspektif insider dan outsider
Sarjana-sarjana
Barat tampakya amat tertarik dengan dinamika umat muslim di dunia ini. Fenomena
ini sudah muncul sejak lama ketika sarjan Barat merasa perlu melakukan
sikappertahan diri atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka
memandang perlu melakukan pengkajian Islam dipahami oleh umatnya. Mereka sadar
bahwa selama ini banyak sarjana Barat yang salah karena mereka menggunakan pardigma
dan teori meraka dalam mengkaji Islam, sehingga pembahasannya menjadi tidak lagi
objektif berdasarkan realitas Islam yang dipahami dan diamalkan oleh umatnyna.
Tokoh outsider yang mengkaji Islam terutama dari aspek esoteric atau sufisme
adalah Louis Massignon. Ia menulis salah seorang tokoh sufi besar yaitu al
Halajj. Pengkaji kajian esoteric Islam yang berikutnya adalah William C.
Chittik. Chittik adalahguru besar bidang agama-agam di State University of Knowledge. Ia membuat kajian tentang Ibnu
al-Arrabi dan kajian lainnya seperti kajian tentang Jalaluddin Rumi.
Kajian keislaman dalam perspektif outsider ini juga telah melahirkan
beberapa hasil penelitian. Beberapa buku pengenalan umum tentang Islam sebagai
agama peradaban oleh penulis menunjukkan pentingnya pendekatan multidisipliner,
meskipun pencarian suatu karya yang ideal dalam kapasitas ini masih terus
berlangsungdan tujuannya mungkin akan terus bergema.
D. Model Dan
Kajian Sejarah Islam
Dengan perkembengan di lembaga-lembaga pendidikan telah mewarnai
agama Islam itu sendiri. Berbagai macam model pendeketan dalam memahami Islam
itu sendiri. Berbagai macam model pendekatan dlam memahami Islam juga
bermunculan dengan varian-varian tersendiri. Mulai modelkajian Islam yang
dilakukan oleh lembaga pesantren, sekolah, bahkan perguruan tinggi. Hasilnya
pun cukup variatif, mulai dari model Islam yang tekstualis sampai kepada model
yang memahami Islam yang kontekstualis. Abudinata juga mencoba memahami
model-model perilaku keagamaan dalam agama Islam dengan membagainya menjadi
bermacam-macam, seperti Islam pluralis, Islam fundamentalis, Islam
struktularis, Islam liberal, Islam tradisional, Islam modern, Islam cultural,
Islam inklusif, Islam Ekslusif, dan berbagai varian model yang lainnya.
Tetapi bila kita
mencoba melakukan observasi terhadap kajian Islam di Indonesia, maka mungkin
ada benarnya tawaran dari Ulil Abshar Abdalla yang mencoba membagi 3 model
mainstream kajian Islam di Indonesia:
a.
Model
Faith Based Islamic Studies
Model
faith based Islamic studies adalah kajian Islam yang berbasis iman. Kajian
Islam semacam ini biasanya kita jumpai di pesantren atau madrasah.
Lembaga-lembaga ini bisa kita sebut sebagai semacam”Islamic seminaris”, karena
di dalam lembaga tersebut pada umumnya mengajarkan kepada penguatan keimanan
dan ketauhidan.
b.
Model
Faith Based
Model
faith based adalah kajian Islam yang berbasis iman dan propagasi, tetapi sudah
mulai mengadopsi pendekatan-pendekatan ilmiah yang beragam. Kajiam ini juga
sudah meletakkan “Islam” bukan sebagai iman saja, tetapi objek yang dikaji. Di
sini Islam sudahdiletakkan dalam suatu jarak untuk kemudian di telaah secara
epistemology dengan pendekatan tertentu. Jenis kedua ini banyak dilakukan dalam
kajian Islam yang berlangsung di perguruan tinggi Islam.
c.
Model
Religious Studies
Religious
studies adalah kajian atas Islam yang berkembang di Barat, dan bahkan mulai
ditiru oleh para sarjana di Indonesia.
Di sana, Islamsudah sepenuhnya dianggap sebgai”objek kajian” yang sama dengan
kedudukannya dengan objek-objek kajian yang lain. Sebagai objek, Islam tak beda
dengan masyarakat yang menjadi kajian ilmu sosiologi, atau partikel dan
benda-benda fisik solid yang menjadi kajian ilmu fisika. Sama dengan tubuh yang
menjadi kajian ilmu anatomi dalam kedokteran. Dalam kajian semacam ini
faith/iman sama sekali bukan prasyarat utama. Kajian ini tidak berbasis metode
ilmiah yang kurang lebih objektif. Karena itulah seorang non-muslim atau bahkan
ateis bisa menjadi pelaku kajian Islam yang”scientific” semacam ini.
Sebagaimana seorang pengkaji Agama Hindu tidak harus seseorang yang mengimani
Agama itu. Kajian Islam yang ketiga ini sifatnya scientific dan non-faith
based. Kalangan yang dating dari tradisi kajian Islam ala madrasah akan
terheran-heran”kok bisa orang Kristen menguasai ilmu tafsir dan kajian Qur’an
seperti ulama? Kenapa dia tidak masuk Islam saja?” seorang santri madrasah
masih sulit membayangkan keterpisahan antara pengkaji dan objek yang dikaji.
Mereka terbiasa semacam “unionisme’al-‘alim” dan “al-ma’lum”.
Sesungguhnya
bila kita telusuri secara mendalam, maka mungkin kita dapat menemukan berbagai
kelebihan dan kelemahan dari berbagai aspek pendekatan model-model kajian ke
Islaman di Indonesia. Seorang santri atau seorang pemikir muslim harus terus mengembangkan
kajian Islam dengan tetap menghargai perbedaan yang memangtelah Allah dimuka
bumi ini.[19][i]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Abdul. 1993. Al-Qur'an dan
Pembinaan Umat. Yogyakarta:
Lesfi.
L. Esposito, Jhon. 2002. What Everyone needs to
know about Islam. New York: Oxford University Press.
Priggodigdo.1983. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Poerwodarminto.1982. Kamus
Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Ridlwan, Nurkhaliq. 2004. Agama
Borjuis, Kritik Atas Nalar Islam Murni. Yogyakarta:
Arruz.
Taylor, Edward B. 1891. Primitif
Cultur. London: J. Murray.
Tibi, Bassam.1999. Islam
And The Cultural Accommodation of Social Change. Boundler:
Sanfrancisco And Oxford.
Harun Nasution. 1986. Teologi-Teologi Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
[5]Priggodigdo,
Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1983), hal 217. Terdapat banyak tokoh-tokoh Sosiologi dan
Antropologi Barat maupun di Indonesia sendiri yang mencoba untuk memberikan
pengertian secara lugas tentang budaya dan kebudayaan, seperti Edward B.
Taylor, R. Linton, Ernis Cassirer, Emil Durkhem, Koentjaraningrat, dan
lain-lainnya.
[11]Pernyataan
ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Nashr Hamid Abu Zaid terkait
dengan Al-Qur’an, bahwa ia merupakan kalam Allah yang diramu dari budaya yang
ada (muntaj tsaqafi) yang dikenal dengan asbab al-nuzul, dan juga
memberikan kontribusi terhadap perkembangan budaya manusia (muntij tsaqafi),
lihat. Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliat al-Qira’at wa Alyat al-Ta’wil,
(Beirut: Dar Fikr, 2000), 12
[15]Hal
senada dengan isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun
secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat
menyolok. Dalam penjelasan UUD 1945, pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan
harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Idonesia “.
[17]Kata “Bi
al-Hikmah” di dalam ayat itu, oleh Imam Al- Sya’rawi dalam tafsirnya
ditafsirkan dengan “cara lemah lembut, percontohan, pembudayaan, sehingga
menjadi terbiasa”. Al-Mau’idzah al-Hasanah adalah adalah dengan komunikasi
edukatif. Lihat; Al- Mutawalli al- Sya’rawi, Tafsir al- Sya’rawi,
(Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiah, 2004), hal. 281
[19]
http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/141=google.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar