Kamis, 21 Juli 2016

Kel. 8 Model dan Perspektif Kajian Dalam Studi Sejarah Islam



MAKALAH
Model dan Perspektif Kajian Dalam Studi Sejarah Islam
(Kompleksitas memahami Islam Sebagai Fenomena Sejarah, Pola Keragaman Budaya Islam, Model dan Perspektif Studi Sejarah Islam, dan Model-Model Kajian Sejarah Islam)

Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Historiografi Islam

Dosen Pengampu:
Nyayu Soraya, M.Hum

Disusun Oleh Kelompok 8:
Aji Effendi                             (1532100079)
Dewi Putri Andesta               (1532100102)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2015/2016

DAFTAR ISI




BAB I

PENDAHULUAN

A.                LATAR BELAKANG

Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Study keislaman pun semamkin berkembang. Islam tidak lagi di pahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari dari petunjuk formal. Islam telah menjadi sebuah system budaya, peradaba, komonitas politik, ekonomi, dan bagian sah dari perkembangan dunia. Usah mempelajari Islam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga oleh orang-orang luar kalangan umat Islam. Semua memiliki tujuannya masing-masing yang berbeda.
Islam yang tumbuh dan berkembang di tanah air Indonesia ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan Islam yang tumbuh dan berkembang di Negara-negara lain didunia. Seiringberjalannya waktu padasaat sekarang ini maka agama Islam akhirnya memainkan peranan yang urgen dalam pergerakan roda kehidupan manusia di Negara ini. Berbagai pemikiran keagamaan tentang Islam yang berkembang bersamaan dengan perkembangan-perkembangan di lembaga-lembaga telah mewarnai agama Islam itu sendiri. Berbagai macam model pendekatandalam memahami Islam juga bermunculan dengan varian-varian tersendiri.

 









B.        RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana memahami kompleksitas Islam sebagai fenomena sejarah?
2.      Bagaimana keragaman pola budaya Islam?
3.      Apa saja model dan perspektif  study sejarah Islam?
4.      Apa saja model dan kajian sejarah Islam?

C.     BATASAN MASALAH

1.      Hanya membahas cara memahami kompleksitas Islam sebagai fenomena sejarah?

2.      Hanya membahas bagaimana keragaman pola budaya Islam?

3.      Hanya membahas apa saja model dan perpspektif study sejarah islam?

4.      Hanya membahas apa saja model dan kajian sejarah Islam?

BAB II

PEMBAHASAN


1.    Kompleksitas Memahami Islam Sebagai Femomena Sejarah

Agama Islam adalah agama terbesar kedua di dunia dilihat dari jumlah pemeluknya. Walaupun Agama Islam berkembang dari tanah arab, mayoritas pemeluk Islam bukanlah arab, faktanya hanya 20 persen dari 1,2 milyar orang Islam yang asli berasal dari arab. Masyarakat muslim terbesar terdapat di Indonesia, Pakistan, Bangladesh dan India.[1]
Islam telah membawa perubahan yang besar bagi kehidupan dunia dilihat dari sumbangsih para ilmuwan muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan masa kini. Ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina, Khawarizmi, Ibn Rusyd dan lain-lain telah memberikan pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang membawa perubahan besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Selama ini masih banyak orang-orang Eropa dan Amerika yang berpikiran bahwa Islam itu agama yang aneh, mengerikan, primitif, apalagi ditambah dengan terjadinya peristiwa peristiwa teror, yang mengkaitkan Islam dengan terorisme. Untuk menjawab dan menjelaskan tentang Islam, dibutuhkan informasi dan kajian yang berimbang, yang komprehensif, menyeluruh tentang Islam yang sebenarnya.[2]  
Mengkaji tentang Islam sebaiknya tidaklah hanya dari satu sisi saja, karena memahami Islam hanya dari satu sisi tidaklah memberikan gambaran yang sempurna tentang Islam yang sebenarnya. Mengkaji Islam hanya dari satu sisi, misalnya Fiqh akan memberikan pandangan yang timpang, karena mempelajari ilmu Fiqh saja akan memberikan kesan bahwa Islam itu hanya berbicara tentang Halal dan Haram saja sehingga terkesan sempit, karena setiap akan berbuat sesuatu kita musti bertanya dahulu apakah perbuatan sudah sesuai dengan agama atau tidak.
Islam sebenarnya memiliki beragam aspek, ada aspek yang mempelajari teologi yaitu soal ketuhanan, ada aspek muamalah yang mempelajari hubungan antara sesama manusia, ada aspek filsafat untuk memahami pentingnya peranan akal dalam memahami agama, ada aspek hukum yang mempelajari tentang aturan bermasyarakat sesuai syariah, ada aspek sejarah yang mempelajari peristiwa-peristiwa masa lalu tentang sejarah Islam. Islam dapat dipahami melalui berbagai sisi salah satunya melalui sejarah.
Sejarah Islam merupakan sebuah catatan tentang pengaruh Islam terhadap orang-orang Islam dan lingkungannya. Memahami sejarah Islam berarti mempelajari pengaruh Islam terhadap seluruh bangsa-bangsa yang menganut Islam. Islam telah memberikan pengaruh yang besar di bidang ekonomi, politik, sejarah militer bagi dunia secara umum dan dunia arab secara khusus.
Islam berkembang dari tanah arab hingga ke seluruh penjuru dunia. Menulis sejarah tentang Islam berarti menulis sejarah mulai dari berkembangnya Islam dari tanah Arab hingga kini Islam berkembang mencapai seluruh penjuru dunia. Menulis sejarah tentang Islam berarti tidak hanya menulis tentang sejarah orang arab saja, tetapi juga harus menulis bagaimana perkembangan Islam di luar Arab, karena bukan hanya bangsa Arab yang memeluk agama Islam, tetapi bermacam-macam suku bangsa telah menganut Agama Islam. Dan Islam ketika bersentuhan dengan suatu budaya, akan menimbulkan perpaduan akulturasi antara agama dengan budaya. Hingga menimbulkan suatu budaya yang dilandasi dengan semangat Islam.
Islam telah membawa perubahan besar tidak hanya pada bangsa arab sebagai tempat awal berkembangnya Islam, tetapi juga pada kehidupan seluruh manusia. Perkembangan pengetahuan pada masa keemasan Islam membuka jalan untuk perkembangan tekhnologi pada masa sekarang.[3]

2.    Pola Keragaman Budaya Perspektif  Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Poerwo Darminto, Budaya diartikan dengan “pikiran, akal budi. Sementara “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.[4] Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jama’ dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Secara terminologis, kebudayaan banyak disinggung oleh para tokoh-tokoh Sosiologi dan Antropologi Barat sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman mereka.[5] Namun pada intinya, penulis menarik benang merah dari semua pengertian tesebut,  sebagai sebuah kreasi, inovasi, dan aktivitas manusia yang berdasar pada tata nilai atau subsistem  yang diciptakan bersama. Budaya dapat juga diartikan sebagai keseluruhan warisan sosial yang dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib teratur; biasanya terdiri dari pada kebendaan, kemahiran teknik, pikiran dan gagasan, kebiasaan dan nilai-nilai tertentu, dan sebagainya. Adakalanya budaya itu dibedakan antara budaya materi: seperti hal-hal yang berhubungan dengan peralatan benda serta teknologi, dan budaya non materi, seperti: hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan, organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga adat dan lain sebagainya.[6]
Segala bentuk kegiatan manusia yang mencakup agama, adat, tradisi, dan politik, pendidikan, pemanfaatan teknologi, merupakan bagian dari muatan budaya yang senantiasa akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan kognisi manusia. Semua itu bermuara pada kemampuan akal budi manusia sebagai makhluk berbudaya dan berperadaban. Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantoro, mengertikan kebudayaan sebagai "sesuatu" yang berkembang secara kontinyu, konvergen, dan konsentris. Jadi Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik manusia secara kolektif.
Budaya Dalam Pandangan Islam
Berbicara relasi agama dan budaya merupakan hal yang sangat menarik. Karena secara aksistensial, agama dan budaya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan disatukan. Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak yang salah mengartikan bahwa agama dan kebuadayaan adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam kaidah, sebenarnya agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing dan tidak dapat disatukan, karena agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi (high tradition) dari pada kebudayaan (low tradition). Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan masyarakat.[7]
Warna-warni ekspresi keberagamaan Islam  di dunia, tidak bisa dilepaskan dari akulturasi yang subur antara agama dan budaya lokal masyarakat. hal itu menandakan bahwa betapa kuatnya tradisi lokal masyarakat terhadap agama, khususnya Islam. pola relasi yang terbangun dari keduanya itu dapat diindikasikan dengan berkembangnya pola keberagamaan masyarakat. di Islam murni saja, terdapat Islam Sunni, Islam Syi’ah, dan Islam Mu’tazili, dan Islam Khawarij (Islam ekstrim).[8] Dari Islam Sunni ala Indonesia, muncullah Islam Sunni NU, Islam Sunni Muhammadiyah, Islam Sunni Persis, Islam Sunni Washliyah, dan lainnya. Selanjutnya, lebih sempit lagi dari Islam Sunni NU, lahirlah Islam Sunni NU Abangan, Islam Sunni NU Priayi, dan Islam Sunni NU Pribumi, dan kemudian belakangan muncul lagi Islam Ortodoks, Islam Moderat, dan Islam Liberal.[9] Pola saling mempengaruhi dan keterhubungan di antara keduanya dalam Ilmu Antropologinya disebut dengan “dialektika” agama dan budaya.
Menurut Clifford Geertz, bahwa agama bukanlah hanya spirit, tetapi merupakan hubungan intens antara agama sebagai sumber nilai dan agama sebagai sumber kognisi. Sebab, menurut Taylor bahwa kognisi manusia dipenuhi dengan mentalitas agama.[10] Dan itu akan mengalami perubahan sesuai dengan tingkat kognisi seseorang. Sehingga agama secara tidak langsung sebagai pola bagi tindakan manusia (pattern of behavior) dan menjadi pedoman yang mengarahkan tindakan manusia (pattern for behavior).[11] Dari teori ini agama sering dipahami sebagai suatu sistem kebudayaan yang tingkat efektivitasnya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan.
Islam sebagai suatu agama yang sumber utamanya adalah al-Qur’an dan hadits, tidak secara gamblang menjelaskan tentang kebudayaan secara terminologis. Hal ini terbukti dari tidak adanya istilah kebudayaan dalam Al-Qur'an yang berbahasa Arab. Kebudayaan dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah "ats-Tsaqofah", yang berarti “kebudayaan”, sama dengan istilah "at-Ta'lim". Istilah lain yang sepadan dengan "ats-Tsaqofah" dan "at-Ta’lim" adalah "at-Ta'dib" atau "at-Tahdzib", yang mengandung arti peradaban atau pendidikan. Ada juga istilah lain yang sepadan artinya dengan istilah-istilah di atas, yaitu "Al-Hadlara", at-Tamaddun" dan "Al-Madaniyah", yang semuanya berarti peradaban. Adab berarti sopan, kesopanan, baik budi bahasa, telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya. Peradaban berarti kemajuan dan kebudayaan lahir batin. Melihat kandungan arti yang tercakup dalam istilah budaya, kebudayaan, dan peradaban di atas, maka istilah-istilah ta'lim, ta'dib, tahdzib, hadlara, tsaqafah dan tamaddun atau madaniyah, adalah mengandung arti “kebudayaan” dan “peradaban atau budaya dan adab”.  Kedua istilah ini dipakai dalam bahasa Indonesia dalam pengertian yang sama dan juga berbeda, atau satu sama lain ada persamaan dan perbedaannya.[12]
Islam sebagai agama dan kepercayaan yang datang terakhir, dengan mudah dapat membumi dan mengakar dalam jiwa mayoritas umat manusia di dunia. Prestasi demikian tidak dapat dicapai tanpa adanya dialektika antara Islam sebagai agama langit (samawi) dengan budaya manusia di dunia (budaya lokal), dari berbagai aspek kehidupan manusia. Pola dialektika Islam dengan budaya adalah pola rekonstruktif-dialektis dan elaboratif. Budaya yang berkembangan di tanah Arab pra-Islam seperti pernikahan (nikah), haji, perdagangan, seni (syi’ir-syi’ir Jahily), dan lainya dielaborasi oleh Islam dan dipertahankan dengan cara merekonstruksinya dan memasukkan nilai-nilai Islami. Di Indonesia sendiri, banyak didapatkan budaya-budaya yang berkembang sebelumnya, seperti wayang, nyadran (nyekar; istilah sekarang), tumpengan, gamilan,  tumpengan,  arsitektur, dan lain sebagainya, tetap bertahan bahkan sampai sekrang. Jadi, Islam sebagai sebuah agama yang memiliki unsur-unsur budaya tersendiri, tidak serta merta menghapus terhadap budaya yang berkembang dan mengakar sebelumnya, tetapi mengakomodir dan mengelaborasi semua itu dengan nilai-nilai Islami.
Sebagai suatu ajaran rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya manusia. Cita-cita yang dikembangkan Islam di dalam kehidupan manusia pada khususnya, dan alam pada umumnya, adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara manusia sebagai makhluk berbudaya,[13] memiliki kecenderungan positif dan negatif.[14] Kedua ayat itu secara tegas menjelaskan bahwa budaya manusia cenderung negatif dan positif, tetapi Islam dengan tegas mengantisipasi budaya-budaya dan perabadan yang menyimpang dari ajaran dasar dan mengganggu terhadap ketentraman hidup manusia.
Dalam melakukan dan menata kebudayaan atau peradaban dengan akal sehatnya,  manusia selalu dikontrol atau diawasi oleh Allah. Kontrol itu bukan cuma dilakukan oleh Allah, tetapi juga oleh Rasul Allah dan orang-orang beriman, seperti dalam QS: Al-Taubah (9): 105. Kemudian Islam juga memberikan semangat untuk terus melakukan pengembangan di dalam kebudayaan dalam hal apapun demi mengangkat martabat, kemajuan, dan perkembangan hidup manusia di dunia, sebagaimana dinyatakan di dalam QS: Al- Hasyr (59): 18. QS: Ali Imran(3): 190-191.  Tentunya perkembangan itu mengarah kepada hal-hal yang positif-progresif,[15] demi terealisasinya misi “khalifah fil ardli” sebagai representasi dari “liya’budun  QS: Al- Dzariyat (51): 56. Sehingga secara tegas Nabi Muhammad Saw,  menyampaikan misi risalahnya di dunia sebagai penyempurna budaya-budaya yang sebelumnya dirasa melenceng dari Islam,[16] tentunya dengan cara-cara yang baik (hikmah),[17] persuasif (mau’idzah hasanah), dan dialogis (wa jaadilhum billati hiya ahsan).[18]
Dengan demikian, posisi Islam sebagai suatu agama yang merupakan bagian dari budaya, secara fungsional bersifat elastis. Yaitu menata, memperbaiki, dan mengontrol budaya-budaya yang secara prinsipil melenceng dari nilai-nilai keislaman dan tentunya merugikan kepada yang lain,  tanpa sikap apologis bahkan phobia terhadap budaya-budaya yang sudah berkembang sebelumnyasebagaimana dijelaskan oleh Allah di dalam QS: Al-Maidah (5): 48 dan Al-Kahfi (18): 29.
C. Model Dan Perspektif  Study Sejarah Islam
1.  insider dan outsider
Insider adalah para pengkaji agama yang berasal  dari agamanya sendiri. Sedadngkan outsider adalah para pengkaji agama yang bukan agama yang bersangkutan. Munvul masalah apakah dari kalangan insider maupuj outsider dalam penilaian benar-benar objektif dandapat dipertanggungjawabkan, karena latar belakang dan jerat historis yang melekat pada insider ataupun outsider. Banyak kalangan yang menaruh pandangan negative pada pendapat  outsider.
2. perspektif insider dan outsider
Sarjana-sarjana Barat tampakya amat tertarik dengan dinamika umat muslim di dunia ini. Fenomena ini sudah muncul sejak lama ketika sarjan Barat merasa perlu melakukan sikappertahan diri atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang perlu melakukan pengkajian Islam dipahami oleh umatnya. Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat yang salah karena mereka menggunakan pardigma dan teori meraka dalam mengkaji Islam, sehingga pembahasannya menjadi tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam yang dipahami dan diamalkan oleh umatnyna. Tokoh outsider yang mengkaji Islam terutama dari aspek esoteric atau sufisme adalah Louis Massignon. Ia menulis salah seorang tokoh sufi besar yaitu al Halajj. Pengkaji kajian esoteric Islam yang berikutnya adalah William C. Chittik. Chittik adalahguru besar bidang agama-agam di State University of  Knowledge. Ia membuat kajian tentang Ibnu al-Arrabi dan kajian lainnya seperti kajian tentang Jalaluddin Rumi.
Kajian keislaman dalam perspektif outsider ini juga telah melahirkan beberapa hasil penelitian. Beberapa buku pengenalan umum tentang Islam sebagai agama peradaban oleh penulis menunjukkan pentingnya pendekatan multidisipliner, meskipun pencarian suatu karya yang ideal dalam kapasitas ini masih terus berlangsungdan tujuannya mungkin akan terus bergema. 

D. Model Dan Kajian Sejarah Islam
            Dengan perkembengan di lembaga-lembaga pendidikan telah mewarnai agama Islam itu sendiri. Berbagai macam model pendeketan dalam memahami Islam itu sendiri. Berbagai macam model pendekatan dlam memahami Islam juga bermunculan dengan varian-varian tersendiri. Mulai modelkajian Islam yang dilakukan oleh lembaga pesantren, sekolah, bahkan perguruan tinggi. Hasilnya pun cukup variatif, mulai dari model Islam yang tekstualis sampai kepada model yang memahami Islam yang kontekstualis. Abudinata juga mencoba memahami model-model perilaku keagamaan dalam agama Islam dengan membagainya menjadi bermacam-macam, seperti Islam pluralis, Islam fundamentalis, Islam struktularis, Islam liberal, Islam tradisional, Islam modern, Islam cultural, Islam inklusif, Islam Ekslusif, dan berbagai varian model yang lainnya.
            Tetapi bila kita mencoba melakukan observasi terhadap kajian Islam di Indonesia, maka mungkin ada benarnya tawaran dari Ulil Abshar Abdalla yang mencoba membagi 3 model mainstream kajian Islam di Indonesia:
a.       Model Faith Based Islamic Studies
Model faith based Islamic studies adalah kajian Islam yang berbasis iman. Kajian Islam semacam ini biasanya kita jumpai di pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga ini bisa kita sebut sebagai semacam”Islamic seminaris”, karena di dalam lembaga tersebut pada umumnya mengajarkan kepada penguatan keimanan dan ketauhidan.
b.      Model Faith Based
Model faith based adalah kajian Islam yang berbasis iman dan propagasi, tetapi sudah mulai mengadopsi pendekatan-pendekatan ilmiah yang beragam. Kajiam ini juga sudah meletakkan “Islam” bukan sebagai iman saja, tetapi objek yang dikaji. Di sini Islam sudahdiletakkan dalam suatu jarak untuk kemudian di telaah secara epistemology dengan pendekatan tertentu. Jenis kedua ini banyak dilakukan dalam kajian Islam yang berlangsung di perguruan tinggi Islam.
c.       Model Religious Studies
Religious studies adalah kajian atas Islam yang berkembang di Barat, dan bahkan mulai ditiru  oleh para sarjana di Indonesia. Di sana, Islamsudah sepenuhnya dianggap sebgai”objek kajian” yang sama dengan kedudukannya dengan objek-objek kajian yang lain. Sebagai objek, Islam tak beda dengan masyarakat yang menjadi kajian ilmu sosiologi, atau partikel dan benda-benda fisik solid yang menjadi kajian ilmu fisika. Sama dengan tubuh yang menjadi kajian ilmu anatomi dalam kedokteran. Dalam kajian semacam ini faith/iman sama sekali bukan prasyarat utama. Kajian ini tidak berbasis metode ilmiah yang kurang lebih objektif. Karena itulah seorang non-muslim atau bahkan ateis bisa menjadi pelaku kajian Islam yang”scientific” semacam ini. Sebagaimana seorang pengkaji Agama Hindu tidak harus seseorang yang mengimani Agama itu. Kajian Islam yang ketiga ini sifatnya scientific dan non-faith based. Kalangan yang dating dari tradisi kajian Islam ala madrasah akan terheran-heran”kok bisa orang Kristen menguasai ilmu tafsir dan kajian Qur’an seperti ulama? Kenapa dia tidak masuk Islam saja?” seorang santri madrasah masih sulit membayangkan keterpisahan antara pengkaji dan objek yang dikaji. Mereka terbiasa semacam “unionisme’al-‘alim” dan “al-ma’lum”.
Sesungguhnya bila kita telusuri secara mendalam, maka mungkin kita dapat menemukan berbagai kelebihan dan kelemahan dari berbagai aspek pendekatan model-model kajian ke Islaman di Indonesia. Seorang santri atau seorang pemikir muslim harus terus mengembangkan kajian Islam dengan tetap menghargai perbedaan yang memangtelah Allah dimuka bumi ini.[19][i]


                                  





BAB III

PENUTUP

Kesimpulan           



DAFTAR PUSTAKA


Basyir, Abdul. 1993. Al-Qur'an dan Pembinaan Umat. Yogyakarta: Lesfi.
L. Esposito, Jhon. 2002.  What Everyone needs to know about Islam. New York: Oxford University Press.

Priggodigdo.1983. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Poerwodarminto.1982.  Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ridlwan, Nurkhaliq. 2004.  Agama Borjuis, Kritik Atas Nalar Islam Murni. Yogyakarta: Arruz.
Taylor, Edward B. 1891. Primitif Cultur. London: J. Murray.
Tibi, Bassam.1999. Islam And The Cultural Accommodation of Social Change. Boundler: Sanfrancisco And Oxford.
Harun Nasution. 1986. Teologi-Teologi  Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.






                [1]John L. Esposito, What Everyone needs to know about Islam, (New York, Oxford University Press :2002),  hal.2
                [2]Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme sebuah kajian analitik, diterjemahkan oleh Husein Machnun, (Jakarta, Raja Grafindo Persada:1997) hal.4
                [3]Harun Nasution,Teologi-Teologi Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI Press, 1986) hal
                [4]Poerwodarminto,  Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1982), hal. 157
                [5]Priggodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1983), hal 217.  Terdapat banyak tokoh-tokoh Sosiologi dan Antropologi Barat maupun di Indonesia sendiri yang mencoba untuk memberikan pengertian secara lugas tentang budaya dan kebudayaan, seperti Edward B. Taylor, R. Linton, Ernis Cassirer, Emil Durkhem, Koentjaraningrat, dan lain-lainnya.
                [6]Ibid, hal. 217
                [7]Bassam Tibi, Islam And The Cultural Accommodation of Social Change, (Boundler: Sanfrancisco And Oxford, WestView Press. 1999), hal.  8
                [8]Ibid, hal. 8
                [9]Nurkhaliq Ridlwan, Agama Borjuis, Kritik Atas Nalar Islam Murni, (Yogyakarta: Arruz, 2004), Hal.  129-136
                [10]Edward B. Taylor, Primitif Cultur, (London: J. Murray, 1891), hal. 135             
                [11]Pernyataan ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Nashr Hamid Abu Zaid terkait dengan Al-Qur’an, bahwa ia merupakan kalam Allah yang diramu dari budaya yang ada (muntaj tsaqafi) yang dikenal dengan asbab al-nuzul, dan juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan budaya manusia (muntij tsaqafi), lihat. Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliat al-Qira’at wa Alyat al-Ta’wil, (Beirut: Dar Fikr, 2000), 12
                [12]Abdul Basyir, Al-Qur'an dan Pembinaan Umat, (Yogyakarta, Lesfi, 1993), hal 48
                [13]Sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam firmannya QS: Al-Maidah (5): 48. Dalam ayat itu Imam al- Alusi menafsirkan kata-kata “syir’atan wa minhajan” sebagai cara, jalan, dan metode yang dijadikan media untuk mencapai cita-cita hidup mereka yang baik dan positif.
                [14]Hal ini sebagimana dijelaskan oleh Allah di dalam QS: Al-Syams (91): 8, dan QS: Al-Imran (3): 110.
                [15]Hal senada dengan isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD 1945, pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
                [16]Seperti yang disabdakan di dalam haditsnya “ Hanya sanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. (Al- Hadits).
                [17]Kata “Bi al-Hikmah” di dalam ayat itu, oleh Imam Al- Sya’rawi dalam tafsirnya ditafsirkan dengan “cara lemah lembut, percontohan, pembudayaan, sehingga menjadi terbiasa”. Al-Mau’idzah al-Hasanah adalah adalah dengan komunikasi edukatif. Lihat; Al- Mutawalli al- Sya’rawi, Tafsir al- Sya’rawi, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiah, 2004), hal. 281 
                [18]Lihat QS: Al-Nahl (16): 125
[19] http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/141=google.co.id


[i]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar